153
BAB V PEMBAHASAN
5.1.Kegagalan Komunikasi dalam Pandangan Habermas
Beberapa percakapan dalam kedua akun grup pendukung menunjukkan bahwa terdapat kegagalan komunikasi karena adanya tindakan yang tidak
komunikatif. Kegagalan komunikasi muncul karena lemahnya klaim validitas yang terdapat dalam percakapan. Klaim validitas merupakan perhatian utama dari
tindakan komunikatif. Validitas ini bergantung pada bagaimana partisipan mampu memiliki kompetensi komunikatif dan interaktif Hove, 2007:4. Keberadaan
klaim ini hanya dapat diterima oleh partisipan yang menyadari tentang standar- standar yang harus dipenuhi dalam mencapai validitas serta mampu membuat
konsensus. Konsep validitas dapat dilihat secara empiris, dimana setiap klaim haruslah
memiliki objek klaim. Objek klaim ini dapat berupa kebenaran yang objektif, persoalan etis dan norma, maupun kebenaran yang subjektif ataupun
ketulusan.Secara ideal tindakan komunikatif dapat membantu terciptanya proses kesepakatan dengan argumentasi yang rasional,
Dalam percakapan di ruang publik, semua partisipan harus mengungkapkan pemikirannya secara eksplisit agar dapat didengarkan oleh orang lain. Akan tetapi,
pengungkapan pendapat secara eksplisit ini juga dapat menimbulkan kegagalan dalam komunikasi. Kegagalan terjadi ketika klaim validitas justru berakhir dengan
kekacauan dan melemahkan aktivitas sosial, padahal tujuan awalnya adalah mengkoordinasikan aktivitas tersebut. Persoalan lain adalah ketika salah
pengertian hanya menimbulkan ketidaksepakatan dan justru menimbulkan konflik
Universitas Sumatera Utara
lain. Hal ini juga berlangsung dalam percakapan pada akun grup pendukung GANTENG. Kebebasan berpendapat yang menjadi bagian dari tindakan
komunikatif kemudian justru menimbulkan perdebatan panjang antar partisipan ketika pernyataan yang disampaikan dianggap menyerang GANTENG.
Habermas seperti dikutip oleh Hove 2007 membuat dua preposisi mengenai komunikasi yang komunikatif. Pertama adalah akuntabilitas yang terdiri
atas komunikasi yang membangun, kompetensi linguistik, interaktif, dan kompetensi kognitif. Untuk mewujudkan komunikasi yang komunikatif setiap
partisipan harus menekankan bahwa argumentasi yang disampaikan haruslah membangun dengan mengabaikan ego yang kekanak-kanakan. Dari percakapan
yang berlangsung pada kedua akun grup pendukung dapat dikatakan bahwa masih terdapat percakapan yang tidak membangun dan bersifat kekanak-kanakan.
Argumentasi yang diberikan digunakan untuk menyudutkan kelompok yang memiliki pandangan politik berbeda. Ditambah lagi dengan penggunaan gambar-
gambar orang penting yang tidak punya kaitan sama sekali dengan pemilukada Sumut 2013. Hal ini dapat dilihat pada penggunaan ikon-ikon Naruto ataupun
pesebakbola yang diedit sedemikian rupa sehingga seolah-olah mendukung GANTENG dan ESJA.
Konsep interaktivitas diartikan sebagai kemampuan dari partisipan untuk menggunakan bahasa untuk interaksi sosial. Komunikasi yang berlangsung
seharusnya menciptakan saling pengertian yang pada akhirnya akan merujuk pada interaksi sosial yang lebih baik. Dari data diketahui bahwa interaksi sosial pada
kedua akun grup pendukung ini cukup baik. Akan tetapi masih terdapat percakapan yang justru memancing amarah dari partisipan lain terutama pada
Universitas Sumatera Utara
akun grup pendukung GANTENG dimana tidak hanya GANTENG yang menjadi sasaran serangan dari partisipan. Beberapa kandidat lain juga dikomentari secara
negatif pada akun grup pendukung ini. Kompetensi kognitif diartikan sebagai kemampuan dari setiap partisipan
untuk menyadari keberadaan validitas kebenaran itu sendiri. Dengan kata lain partisipan harus memiliki kesadaran mana percakapan yang memiliki dasar dan
bukti serta mana yang tidak. Preposisi kedua adalah bahwasanya setiap partisipan harus memiliki
kesadaran dan mau mencapai saling pengertian. Saling pengertian ini dapat saja berupa pemahaman bersama bahwa terdapat perbedaan pendapat sehingga
kesimpulan yang muncul dari percakapan itu adalah “sepakat untuk tidak sepakat”. Ini disebut sebagai kekuatan
illocutionary. Hal ini menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini, karena peneliti tidak memasukkan variabel ini
dalam penelitian. Dengan kata lain penelitian ini tidak menggambarkan bagaimana setiap akun partisipan berusaha mencapai saling pengertian.
Persoalan distorsi menjadi salah satu perhatian utama dari Habermas. Habermas mengidentifikasikan dua jenis distorsi yaitu:
1. Percakapan pribadi yang salah dikenali oleh partisipan sebagai sesuatu yang dipahami bersama oleh publik.
Komunikasi dapat terdistorsi secara sistematis apabila organisasi internal dalam percakapan dikacaukan. Hal ini terjadi apabila validitas linguistik dalam
komunikasi dikurangi secara diam-diam Hove, 2007: 11. Situasi ini terjadi apabila salah satu dari klaim universal yaitu klaim komprehensibilitas, ketulusan,
Universitas Sumatera Utara
dan kebenaran dilanggar, meskipun pelanggaran ini tetap menghasilkan saling pengertian dari partisipan.
Pelanggaran ini ditemukan dalam beberapa percakapan pada kedua akun grup pendukung. Klaim yang terdistorsi secara sistematis adalah klaim
komprehensibilitas, dimana ada kata-kata yang tidak lengkap namun tetap dapat dipahami oleh partisipan.Partisipan seperti sudah memahami maksud dari kata-
kata tersebut walaupun terdapat pengurangan huruf. Hal ini juga disinggung oleh Habermas dalam konsep tindakan komunikatif sebagai kesepakatan linguistik
linguistic agreement. Habermas menyebut komunikasi sebagai kesepakatan linguistik Hove, 2007:8. Kesepakatan linguistik ini dapat dilihat dalam
percakapan akun partisipan di kedua akun grup pendukung. Adanya pergeseran bahasa dan kata-kata yang seolah telah disepakati perubahan maknanya.
Contohnya adalah kata “gmana”, “bgmn”, ataupun “gmn” yang kemudian dipahami oleh semua partisipan merujuk pada kata “bagaimana”.
Perubahan kata-kata yang dilakukan oleh partisipan adalah bentuk pemahaman pribadi partisipan akan simbol yang kemudian seolah-olah dipahami
dengan makna yang sama oleh orang lain. padahal, sudah ada acuan bersama melalui aturan tata bahasa tentang struktur kata yang benar dalam padanan Bahasa
Indonesia.
2. Tindakan strategis tertentu yang salah dikenali oleh partisipan sebagai tindakan komunikatif.