2.2.1 Jenis Semen
A. Semen Non-Hidrolik
Semen non-hidrolik tidak dapat mengikat dan mengeras di dalam air, akan tetapi dapat mengeras di udara. Contoh utama dari semen non-hidrolik adalah kapur.
Kapur dihasilkan oleh proses kimia dan mekanis di alam. Jenis kapur yang baik adalah kapur putih, yaitu yang mengandung kalsium oksida yang tinggi ketika masih
berbentuk kapur tohor belum berhubungan dengan air dan akan mengandung banyak kalsium hidroksida ketika telah berhubungan dengan air. Kapur tersebut
dihasilkan degan membakar batu kapur atau kalsium karbonat bersama bahan-bahan pengotornya yaitu magnesium, silikat, besi, alkali, alumina, dan belerang. Proses
pembakaran dilaksanakan dalam tungku tanur tinggi yang berbentuk vertikal atau tungku putar pada suhu 800°-1200°C. Kalsium karbonat terurai menjadi kalsium
oksida dan karbon dioksida dengan reaksi kimia sebagai berikut: CaCO
3
CaO + CO
2
Kalsium oksida yang terbentuk disebut kapur tohor, dan jika berhubungan dengan air akan menjadi kalsium hidroksida serta panas. Reaksi kimianya adalah:
CaO + H
2
O CaOH
2
+ panas Proses ini dinamakan proses mematikan kapur slaking dan hasilnya, yaitu
kalsium hidroksida, sering disebut sebagai kapur mati. Kecepatan berlangsungnya reaksi terutama bergantung pada kemurnian kapur, makin tinggi kemurnian kapur
yang bersangkutan makin besar daya reaksinya terhadap air Mulyono, 2005.
Erliana : Hubungan Karakteristik Individu Dan Penggunaan Alat Pelindung Diri Dengan Kejadian Dermatitis..., 2008 USU e-Repository © 2009
B. Semen Hidrolik
Semen hidrolik mempunyai kemampuan untuk mengikat dan mengeras di dalam air. Contoh semen hidrolik antara lain kapur hidrolik, semen pozzolan, semen
terak, semen alam, semen portland, semen portland-pozzolan, semen portland terak tanur tinggi, semen alumina dan semen expansif. Contoh lainnya adalah semen putih,
semen warna, dan semen-semen untuk keperluan khusus.
C. Bahan Kimia yang terkadung dalam Semen
Semen yang paling banyak dipakai saat ini terutama mengandung kalsium silikat, alumunium, dan senyawa besi. Selain itu, semen juga mengandung kromium
VI atau disebut juga dengan kromat dalam jumlah yang sedikit. Kromat dikenal sebagai penyebab utama terjadinya dermatitis kontak pada pekerja yang sering
terpapar kontak dengan semen. Menurut Mulyono 2005 yang mengutip pendapat Cronin, E,1980, bahwa
kandungan kromat dalam semen tidak dapat diturunkan meskipun dengan melakukan penggantian bahan mentah atau merubah proses pembuatan. Namun, telah ditemukan
suatu cara yaitu dengan penambahan fero sulfat dapat menurunkan bentuk kromium VI menjadi kromium III yang tidak bersifat iritan dan alergen terhadap kulit. Fero
sulfat merupakan senyawa kimia yang tidak mahal, jumlah yang dibutuhkan untuk menurunkan kromat sangat sedikit dan keberadaannya tidak mempengaruhi senyawa
lain dalam semen.
Erliana : Hubungan Karakteristik Individu Dan Penggunaan Alat Pelindung Diri Dengan Kejadian Dermatitis..., 2008 USU e-Repository © 2009
Kromium adalah baja berwarna abu-abu, logam yang mengkilat, yang digunakan pada industri baja krom atau bijih nikel krom stainless steel dan untuk
pelapis krom logam lain Marks Deleo, 1992. Kromium merupakan unsur logam yang terdapat pada urutan pertama unsur transisional pada tabel periodik. Di
lingkungan terdapat tiga bentuk kromium yang sering ditemukan yaitu valensi 0 logam dan campuran logam, valensi 3 kromium trivalen, dan valensi 6 kromium
hexavalen. Kromium tersebar banyak di permukaan bumi dan menempati ranking
keenam dari komponen terbanyak di daratan bumi dan rangking ke-15 dalam air laut Marks Deleo, 1992. Kromium yang terkandung dalam udara terjadi akibat proses
alami, pemakaian produk industri, pembakaran bahan bakar fosil dan kayu. Sumber kromium terpenting berasal dari produksi ferrokrom. Sumber lainnya berasal dari
penyulingan bijih, pabrik pembuatan semen, pelapis rem dan konverter katalitik pada kenderaan bermotor, pembuatan kulit, dan pigmen krom Fishbein, 1981.
2.2.2
Patofisiologi
Semen dapat menyebabkan dermatitis dengan mekanisme adanya iritasi dan atau sensitisasi dengan kromat. Semen yang pada kenyataannya adalah agen yang
bersifat alkali, abrasif, dan hidroskopis diduga menjadi alasan mengapa lebih banyak pria yang alergi terhadap kromat dalam semen daripada lewat kontak dengan sumber
lain yang mempunyai konsentrasi kromat yang sama Mulyono, 2005.
Erliana : Hubungan Karakteristik Individu Dan Penggunaan Alat Pelindung Diri Dengan Kejadian Dermatitis..., 2008 USU e-Repository © 2009
Menurut Cronin 1980, semen yang kering relatif tidak berbahaya dan sangat sedikit kasus dermatitis semen yang terlihat di pabrik-pabrik pembuatan semen.
Semen yang basah lebih bersifat alkali daripada semen kering karena air membebaskan kalsium hidroksida menyebabkan peningkatan pH dan adanya
campuran dengan pasir bersifat abrasif. Pajanan kromium terhadap kulit dapat menimbulkan dermatitis kontak alergi
dan dermatitis kontak iritan Cronin, 1980. Dermatitis iritan primer dihubungkan dengan kandungan kromium yang bersifat sitotoksik, sementara itu dermatitis kontak
alergi diakibatkan adanya respon inflamasi yang diperantarai oleh sistem imun. Dermatitis kontak alergi terjadi melalui dua fase. Pertama, disebut juga dengan fase
induksi, kromium diabsorbsi kulit dan selanjutnya memicu respon imum, yang disebut sebagai fase sensitisasi atau fase kedua. Individu yang tersensitisasi akan
menunjukkan respon dermatitis alergi ketika terpajan dengan kromium pada konsentrasi di atas ambang batas Polak, 1983. Fase induksi bersifat irreversibel.
Dermatitis alergi kromium ditandai dengan gejala-gejala: eritema, pembengkakan, papul, vesikel kecil, kekeringan, kulit bersisik, dan fisura Adams, 1993.
2.2.3 Gambaran Klinis Dermatitis Kontak Akibat Kromat