Sinopsis Cerita Rakyat Sapta Tirta

lxxvi

C. Sinopsis Cerita Rakyat di Kabupaten Karanganyar

1. Sinopsis Cerita Rakyat Sapta Tirta

Pada zaman penjajahan Belanda di Surakarta, kerajaan di Kartasura diperintah oleh seorang raja yang arif dan bijaksana yaitu Panjenengan Kanjeng Sinuhun Prasen Amangkurat Djawi. Beliau memiliki seorang putra yang bernama Kanjeng Pangeran Aria Mangkunegara. Menurut adat kerajaan, apabila seorang Raja mangkat atau wafat maka yang berhak menggantikan tahta kerajaan adalah puteranya. Akan tetapi, setelah Raja wafat justru orang lainlah yang menggantikannya yakni putera Pakubuwono I dan bukan Kanjeng Pangeran Aria Mangkunegara. Kejadian tersebut ternyata dilatarbelakangi oleh campur tangan Belanda dengan pihak dalam yaitu Patih Danurejo. Kanjeng Pangeran Aria Mangkunegara justru dibuang ke negeri Sailan yang sekarang bernama Srilanka. Semenjak sang pangeran meninggal keadaan keraton menjadi kacau. Kompeni atau orang-orang Belanda semakin berani bertindak dan sewenang- wenang ikut campur mengenai urusan keraton. Raja baru Pakubuwono II pun tidak berani bersikap tegas terhadap Belanda bahkan tidak memiliki pendirian yang tetap. Hal itu membuat benci para kerabat keraton. Melihat keadaan yang demikian, salah satu pihak kerajaan yaitu Raden mas Said mengadakan perlawanan terhadap kompeni. Karena persenjataan yang kurang modern, tidak seperti persenjataan milik Belanda kompeni, maka Raden Mas Said mengalami kekalahan. Setelah kekalahan itu Raden Mas Said melarikan diri untuk menenangkan jiwa dan raganya dengan bertapa di Bukit Argotiloso. Raden Mas Said mendapatkan wahyu sewaktu bertapa, yaitu mendengar bisikan gaib agar ia mengambil sebuah pusaka sakti yakni tombak Tunggul Naga yang dapat membutnya menghilang. Dengan menggunakan tombak tersebut, Raden Mas Said kembali mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Kali ini Raden Mas Said dengan mudah mengalahkan tentara Belanda. Setelah mengalami kemenangan dan berhasil melumpukan Belanda, Raden Mas Said kemudian diangkat menjadi raja dengan gelar Gusti Mangkunegara I. lxxvii Setelah menjadi raja, Raden Mas Said merasa kurang berwibawa karena pusaka yang dimiliki masih kurang. Merasa seperti itu, Raden Mas Said pun akhirnya pergi ke Bukit Argotiloso untuk bertapa. Saat itu Raden Mas Said mendapatkan wangsit agar mengambil pusaka Tambur Sedbyo di Mengadeg Kecamatan Matesih. Tambur tersebut dibuat dari kulit manusia yang bernama Ki Hajar Sindhu. Setelah ia meninggal kulitnya diambil untuk dibuat tambur dan apabila tambur itu dipukulkan, maka dapat memanggil atau mendatangkan makhluk halus sebangsa lelembut. Suatu hari Raden Mas Said mendapatkan wangsit lagi, yaitu agar ia mengambil pusaka Wesi Kuning untuk menyempurnakan pusaka-pusaka keraton. Pusaka Wesi Kuning tersebut dimiliki oleh Purba Siti yang menjadi ratu lelembut. Senjata itu ternyata tidak boleh diminta, namun hanya boleh dipinjam dan dengan syarat Raden Mas Said harus menjadikan Purba Sari sebagai istrinya. Bukit Argotiloso merupakan tempat yang sangat khusus bagi Raden Mas Said untuk bersemedi dan mencari wisisk. Di tempat inilah Raden Mas Said bisa merasa tentram dan damai sehingga ia dapat mengolah batinnya. Pada suatu ketika saat ia bertapa, Raden Mas Said mendapatkan wangsit untuk menggali tanah di bawah Bukit Argotiloso sebanyak tujuh lubang. Meskipun lubang-lubang tersebut letaknya berdekatan, namun memiliki rasa dan khasiat yang berbeda- beda. Raden Mas Said menamainya dengan Sapta Tirta yang berarti tujuh air. Tujuh sumber mata air tersebut kemudian diberi nama oleh masyarakat setempat berdasarkan khasiat atau rasanya masing-masing. Nama ketujuh sumber air itu adalah Air Bleng, Air Hangat, Air Kasekten, Air Hidup, Air Mati, Air Soda, dan Air Urus-urus.

2. Sinopsis Cerita Rakyat Makam Joko Tarub