34 Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 maka diperoleh bahwa kelarutan
pada tapioka alami berbeda signifikan dengan perlakuan lain pada taraf nyata 5. Nilai kelarutan pada perlakuan tersebut yaitu 21.18. Pada tapioka asam yang dihasilkan dengan fermentasi 10 hari
sampai 50 hari tidak berbeda signifikan pada taraf nyata 5. Namun, kelarutan pada tapioka asam mengalami peningkatan dari tapioka alami. Tingginya nilai kelarutan menunjukkan semakin
banyaknya pati yang terlarut dalam air. Selama proses fermentasi terjadi pengembangan granula sehingga ketika tapioka asam dipanaskan maka terjadi proses gelatinisasi yang semakin cepat yang
menyebabkan banyak granula yang pecah. Pecahnya granula pati menyebabkan semakin banyaknya molekul pati yang keluar sehingga semakin banyak molekul pati yang larut dalam air dan
menyebabkan kelarutan meningkat. Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 diperoleh bahwa nilai swelling
power tapioka alami dan tapioka asam yang dihasilkan pada fermentasi 20 hari berbeda signifikan pada taraf 5 dibandingkan dengan perlakuan lain. Tapioka alami memiliki swelling power yang
paling rendah yaitu 0.45. Swelling power pada tapioka asam juga mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tapioka alami. Nilai swelling power tertinggi juga terdapat pada tapioka asam
yang telah difermentasi selama 20 hari sebesar 1,71 dan berbeda nyata dibandingkan dengan tapioka asam lainnya. Swelling power yang tinggi berarti semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang
dalam air. Pada proses fermentasi fraksi amorf yang terdapat pada amilopektin akan terpotong sehingga akan terjadi hidrasi air dengan mudah saat pemanasan. Hal ini menyebabkan granula pati
akan semakin mudah mengembang sehingga nilai swelling power akan meningkat. Perubahan nilai swelling power bergantung dari banyaknya fraksi amorf yang terpotong selama fermentasi. Nilai
swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran dan volume wadah yang digunakan dalam proses produksi sehingga ketika tapioka asam mengalami swelling maka wadah tersebut masih
bisa menampung tapioka tersebut. Pengembangan granula pati swelling yang tinggi pada pati sangat diinginkan pada produk
pati termodifikasi karena dapat menurunkan nilai viskositas. Hal ini berkaitan dengan aplikasi pati dalam industri, khususnya industri makanan. Viskositas yang rendah akan menghasilkan produk
dengan tekstur yang lebih baik seperti kekenyalannya meningkat dan permukaannya lebih lembut. Disamping itu, kelarutan yang tinggi, juga sangat penting untuk mencapai homogenitas pasta pati
ketika diproses. Dilihat dari data yang diperoleh, kelarutan dan swelling power tertinggi pada tapioka asam dicapai pada fermentasi 20 hari. Nilai tersebut dipengaruhi oleh jumlah bagian amorf yang
mengalami kerusakan oleh asam laktat. Pada umur fermentasi 20 hari diduga jumlah optimal bagian amorf yang terpotong-potong untuk menghasilkan nilai kelarutan dan swelling power yang tinggi.
Umur fermentasi yang semakin lama akan menghasilkan tapioka asam yang didominasi oleh bagian kristalin yang sulit larut dan kaku karena semakin banyaknya jumlah amorf yang terpotong-potong.
Tapioka asam hanya terdapat bagian kristalin saja akan menghasilkan granula yang sulit mengembang dan larut dalam air.
4.3.4.3 Sifat Amilografi
Pola gelatinisasi tapioka asam dipelajari dengan mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat Rapid Visco Analyzer RVA. Pengamatan dilakukan terhadap suhu
gelatinisasi, viskositas maksimum, viskositas minimum, suhu saat viskositas maksimum, stabilitas pasta breakdown, viskositas balik setback dan stabilitas pendinginan.
Suhu gelatinisasi merupakan batasan suhu yang mengakibatkan hampir seluruh pati mencapai pembengkakan maksimal dan pembengkakan tersebut bersifat irreversibel tidak dapat
kembali seperti semula. Mekanisme gelatinisasi dapat dibagi menjadi 3 tahap. Tahap awal, air secara
35 perlahan-lahan bolak balik berimbibisi ke dalam granula, selanjutnya tahap kedua yaitu pada suhu
60°C sampai 85°C granula akan mengembang dengan cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut, sehingga pati kehilangan sifat birefringence-nya. Pada tahap ketiga, jika suhu tetap naik maka
molekul-molekul pati akan berdifusi keluar granula Fennema, 1996. Hasil pengukuran sifat amilografi tapioka asam disajikan pada Tabel 9, sedangkan pola amilografi tapioka asam dapat dilihat
pada Gambar 13. Tabel 9. Sifat amilografi dengan RVA Rapid Visco Analyzer
Fermentasi hari ke-
Pasting temperature
o
C Viskositas
maksimum cP Breakdown
viscosity cP Setback
viscosity cP Final
viscosity cP 67.65
6278 4077
977 3178
10 67.65
6442 4617
449 2274
20 67.65
6237 4476
533 2294
30 67.65
6035 4124
576 2487
40 67.65
6311 4590
500 2221
50 67.65
6094 4321
570 2343
Menurut Leach 1965 di dalam Goldsworth 1999, yang dimaksud dengan suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Peningkatan viskositas ini
disebabkan karena terjadinya pembengkakan granula pati yang irreversibel di dalam air, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik pati di dalam granula pati.
Juliano dan Kongseree 1968, mengemukakan bahwa tidak ada hubungan nyata antara gelatinisasi dengan ukuran granula patinya. Tetapi suhu gelatinisasi mempunyai hubungan dengan kekompakan
granula dan amilopektin berdasarkan derajat polimerisasinya. Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula diikuti berubahnya struktur granula
dan hilangnya sifat kristalin. Sebelum granula berubah, beberapa bahan terutama amilosa mulai terpisah dari granula. Perubahan morfologis granula pati selama pengembangan tergantung pada sifat
alami pati itu sendiri. Setiap granula pati tidak selalu mengembang pada suhu yang sama, melainkan akan mengembang pada kisaran suhu yang biasanya sebesar 10°C. Selain karakteristik granula,
terdapatnya komponen seperti protein, lemak dan gula pada pati juga mempengaruhi suhu awal gelatinisasi. Menurut Glicksman 1969 bahwa lemak mampu berperan sebagai pengkompleks
amilosa dengan membentuk endapan yang tidak larut sehingga akan menghambat pengeluaran amilosa dari granula. Dengan demikian diperlukan energi yang besar untuk melepaskan amilosa
sehingga suhu awal gelatinisasi menjadi lebih tinggi. Keberadaan gula pada pemanasan pati akan menghambat gelatinisasi karena terhambatnya
pembengkakan granula pati oleh gula reduksi yang bersifat hidrofilik, sehingga semakin banyak jumlah pati dibanding gula akan semakin cepat terjadinya gelatinisasi yang akan menurunkan suhu
awal gelatinisasi. Pada aplikasi pembuatan produk pangan, untuk menghindari suhu gelatinisasi yang terlalu tinggi karena adanya gula, maka penambahan gula dilakukan setelah terjadinya gelatinisasi.
36 Gambar 13. Pola Rapid Visco Amilograph pada tapioka asam
36
37 Selama penyimpanan, adonan menjadi keruh dan biasanya terbentuk endapan yang tidak
larut. Hal ini disebabkan oleh rekristalinisasi molekul pati. pada awalnya amilosa membentuk rantai double helix yang diikuti pengumpulan helix-helix. Fenomena ini disebut retrogradasi. Retrogradasi
adalah proses yang terjadi ketika molekul-molekul pati tergelatinisasi mulai bergabung kembali membentuk suatu struktur yang merupakan proses larutnya rantai linier polisakarida dan mengurangi
kelarutan molekul. Fenomena retrogradasi merupakan hasil ikatan hidrogen antara molekul pati yang mempunyai gugus hidroksil dan sisi penerima hidrogen. Pada tahap awal, dua atau lebih rantai
molekul pati membentuk ikatan sederhana yang dapat berkembang lebih luas pada suatu bagian secara teratur yang akhirnya membentuk daerah kristalin Srichuwong, 2006.
Srichuwong 2006 juga menggambarkan perubahan granula pati pada proses gelatinisasi dan retrogradasi seperti pada Gambar 14. Pati mengalami pengembangan dengan peningkatan suhu.
mekanisme pengembangan tersebut disebabkan oleh melemahnya ikatan hidrogen yang menghubungkan molekul amilosa dan amilopektin sehingga mengganggu kekompakan granula pati.
Saat pemanasan diteruskan, sebagian amilosa keluar. Setelah pengembangan maksimum dan pemanasan dilanjutkan, granula akan pecah. Pada saat pendinginan akan terjadi penggabungan
kembali rantai linier pati.
Gambar 14. Perubahan granula pati selama proses gelatinisasi dan retrogradasi Srichuwong, 2006.
Berdasarkan pola amilografi suhu awal gelatinisasi untuk tapioka asam dan tapioka alami yang dihasilkan sama yaitu 67.65°C. Hal ini berarti bahwa proses fermentasi spontan yang dilakukan
untuk menghasilkan tapioka asam tidak berpengaruh terhadap suhu awal gelatinisasi pati yang dihasilkan dan didukung oleh hasil komponen kimia seperti lemak dan serat yang tidak berbeda
signifikan dengan tapioka alami. Meskipun protein tapioka asam lebih tinggi dari tapioka alami serta meningkatnya gula yang diproduksi selama fermentasi oleh mikroorganisme yang tumbuh juga tidak
mempengaruhi suhu awal gelatinisasi antara tapioka alami dan tapioka asam. Hal ini dikarenakan pada sebagian amorf tapioka asam telah terpotong-potong sehingga meningkatnya protein dan gula pada
tapioka asam tidak dapat mempengaruhi suhu awal gelatinisasi. Suhu dimana viskositas maksimum tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati kehilangan sifat birefringence-nya
dan granula sudah tidak mempunyai sifat kristal lagi Leach et al., 1959. Viskositas maksimum merupakan titik puncak viskositas adonan pada proses pemanasan
yang merupakan indikator kemudahan jika dimasak dan juga menunjukkan kekuatan adonan yang terbentuk dari gelatinisasi selama pengolahan dalam aplikasi makanan. Pola amilografi yang terbentuk
pada masing-masing tapioka asam yang dihasilkan terlihat bahwa kurva saat tercapainya viskositas
38 maksimum hampir sama. Berdasarkan Tabel 9, viskositas maksimum pada tapioka asam hampir sama
dengan tapioka alami yang berkisar antara 6035-6442 cP. Viskositas maksimum menggambarkan fragilitas dari granula pati yang mengembang, yaitu mulai saat pertama kali mengembang sampai
granula tersebut pecah selama pengadukan terus menerus. Nilai viskositas maksimum perlu diketahui untuk penggunaan pati dalam reaktor di industri. Hal ini berkaitan dengan penggunaan daya atau
energi yang digunakan untuk proses pengadukan pati tersebut didalam reaktor. Jika proses pemanasan dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi, granula pati akan pecah dan
mengalami fragmentasi serta mengeluarkan molekul-molekul pati. Keadaan tersebut menyebabkan viskositas suspensi turun. Penurunan tersebut terlihat pada pola amilografi tapioka asam hingga
mencapai viskositas minimum. Nilai penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas minimum disebut dengan breakdown viscosity. Dari
hasil diperoleh, nilai breakdown viscosity tapioka asam 4124-4617 cP lebih tinggi dari tapioka alami 4077 cP.
Wurzburg 1968 melaporkan bahwa jika selama pemanasan terjadi pemecahan granula maka amilosa yang keluar semakin banyak sehingga kerenderungan untuk terjadinya retrogradasi
meningkat. Kenaikan viskositas akan terjadi pada tahap pendinginan disebabkan oleh terjadinya retrogradasi yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan hidrogen
intermolekuler Swinkels, 1985 di dalam Roels dan Beynum, 1985. Pada bagian akhir pola amilografi pada Gambar 12 memperlihatkan bentuk yang berbeda
antara tapioka alami 0 hari fermentasi dengan tapioka asam. Perbedaan tersebut akan menghasilkan nilai setback viscosity dan final viscosity yang berbeda pula. Nilai kenaikan viskositas ketika pati
didinginkan disebut dengan setback viscosity, sedangkan final viscosity yaitu viskositas ketika pati mencapai suhu akhir. Nilai setback viscosity dan final viscosity tapioka asam lebih rendah dari tapioka
alami. Nilai setback viscosity tapioka asam berkisar antara 449-576 cP, sedangkan pada tapioka alami memiliki nilai sebesar 977 cP. Kemudian final viscosity pada tapioka asam berkisar antara 2221-2487
cP, sedangkan pada tapioka alami sebesar 3178 cP. Proses fermentasi secara spontan diduga tidak mempengaruhi suhu awal fermentasi pada
tapioka asam yang dihasilkan. Akan tetapi, proses fermentasi tersebut dapat meningkatkan breakdown viscosity dan menurunkan setback viscosity serta final viscosity pada tapioka asam yang dihasilkan.
Pada aplikasi di industri, viskositas yang diharapkan adalah pada final viscosity. Nilai final viscosity yang lebih rendah pada tapioka asam akan memberikan tekstur yang lebih baik pada produk olahan
yang dihasilkan. Misalnya, aplikasi tapioka asam yang umumnya pada industri makanan terutama produk bakery akan menghasilkan roti ataupun cookies yang memiliki tekstur lebih lembut sehingga
dapat menjadi salah satu daya tarik konsumen. Karakterisasi sifat amilografi diperlukan untuk beberapa tujuan diantaranya adalah identifikasi perubahan respon amilografi akibat perbedaan
variabel bahan atau proses, pendugaan sifat pati dan tepung selama pengolahan dan identifikasi data awal untuk keperluan set up peralatan pengolahan pati dan tepung.
4.3.4.4 Expanding Capability