Pembuatan Tapioka Asam dengan Fermentasi Spontan

(1)

PEMBUATAN TAPIOKA ASAM DENGAN FERMENTASI

SPONTAN

SKRIPSI

PUJA DWI SARI

F34080005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PEMBUATAN TAPIOKA ASAM DENGAN FERMENTASI

SPONTAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor.

Oleh

PUJA DWI SARI

F34080005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

Judul Skripsi : Pembuatan Tapioka Asam dengan Fermentasi Spontan

Nama : PUJA DWI SARI

NIM : F34080005

Menyetujui, Dosen Pembimbing ,

(Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si) NIP. 19661219 199103 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP. 19621009 198903 2001


(4)

SOUR CASSAVA STARCH PRODUCTION BY SPONTANEOUS FERMENTATION

Titi Candra Sunarti and Puja Dwi Sari

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone : 62 527 4826139, e-mail: pujadwisari@yahoo.co.id

ABSTRACT

Sour cassava starch is a modified starch produced by spontaneous fermentation of native cassava starch. The objectives of this research were to study the production process of sour cassava starch and investigate the effect of spontaneous fermentation to quality, physicochemical and functional properties of sour cassava starch. Sour cassava starch was prepared by spontaneous fermentation with variation of fermentation time (0, 10, 20, 30, 40 and 50 days). Analysis of variance (ANOVA) was employed for analyzed the result obtained from three replications. The result indicated that during spontaneous fermentation, sour cassava starch is dominated by lactic acid bacteria among other bacteria. High amount of organic acid made the environment become acid, and so pH value becomed low, and it effected to suppress the growth of pathogenic bacteria. Growth of the yeast also occurred during fermentation process after ten days. Sour cassava starch has an unique characteristic. It has better expanding capability when toasted (1.18-1.28 ml/g) compared to native cassava starch (1.15 ml/g). Structure of amorphous region in granules of cassava starch ruptured during fermentation so that the value of clarity (51.13-61.88%T), solubility at 70°C (33.88-50.56%) and swelling power at 70°C (0.85-1.71%) increase compared to native cassava starch (45.97%T); (21.18%); and (0.45%) recpectively.


(5)

Puja Dwi Sari. F34080005.

Pembuatan Tapioka Asam dengan Fermentasi Spontan

.

Dibawah bimbingan Titi Candra Sunarti. 2012

RINGKASAN

Industri tapioka di Indonesia umumnya industri skala kecil dan menengah dengan proses pengolahannya masih dilakukan secara tradisional. Hal ini menyebabkan mutu tapioka yang dihasilkan tidak seragam, baik dari bentuk fisik maupun keamanan pangannya yang kurang terjamin. Sanitasi yang buruk dan peralatan yang masih sangat sederhana juga menyebabkan tingginya pencemaran tapioka oleh berbagai mikroorganisme selama pengolahan. Tapioka asam merupakan produk pati termodifikasi yang dihasilkan melalui fermentasi spontan dengan memanfaatkan bakteri asam laktat dan pengeringan dibawah sinar matahari. Di Indonesia kebutuhan tapioka asam khususnya industri kerupuk sangat besar, namun belum ada industri yang mengolahnya. Dengan pengembangan dan perbaikan proses produksi melalui fermentasi secara spontan dan teknologi yang sederhana sehingga dapat diaplikasikan dalam skala industri kecil atau rumah tangga, maka tapioka asam sangat prospektif untuk dikembangkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses produksi tapioka asam melalui fermentasi secara spontan dan mengkaji perbandingan karakteristik mutu tapioka asam dengan tapioka komersial (alami). Metode yang dilakukan yaitu proses fermentasi spontan pada pati basah tapioka selama 10 samapi 50 hari pada suhu kamar. Tapioka asam yang dihasilkan dianalisis karakteristik mutu, dan fisikokimianya. Analisis statistik yang digunakan adalah analysis of variance (ANOVA). ANOVA merupakan metode statistika untuk menguji signifikansi perbedaan dari dua atau lebih nilai rata-rata.

Selama fermentasi spontan diketahui bahwa bakteri asam laktat mendominasi komunitas bakteri yang ada dan mencapai fase eksponensial pada lama fermentasi 20 hari. Nilai pH mengalami penurunan dari 4.75 hingga 3.36 yang diikuti oleh peningkatan total asam tertitrasi (2.23-7.36 ml NaOH/100 g bahan) pada tapioka asam yang dihasilkan. Pada kondisi tersebut ditemukan pertumbuhan kapang dan khamir mulai fermentasi 10 hari dan terus mengalami peningkatan sampai 50 hari fermentasi.

Kandungan komponen proksimat pada tapioka asam yang dihasilkan tidak berubah, namun terjadi sedikit peningkatan pada kadar protein (0.44-0.49% bk) dibandingkan tapioka alami (0.19% bk). Tapioka asam memiliki karakteristik yang unik yaitu memiliki kapasitas pengembangan (expanding capability) (1.18-1.28 ml/g) yang lebih tinggi dari tapioka alami (1.15 ml/g). Selain itu, pada granula tapioka asam yang diamati terlihat bagian amorf pada struktur amilosa pati mengalami kerusakan sehingga menyebabkan nilai kejernihan pasta 1% (51.13-61.88%T), kelarutan (33.88-50.56%) dan swelling power pada suhu 70°C (0.85-1.71%) meningkat dibandingkan tapioka alami (45.97%T), (21.18%), dan (0.45%). Pada sifat amilografi diperoleh bahwa suhu awal gelatinisasi tidak berubah (67.65°C) sedangkan breakdown viscosity lebih tinggi (4124-4617 cP) dibandingkan tapioka alami (4077cP). Namun, setback viscosity (449-576 cP) dan final viscosity (2221-2487 cP) pada tapioka asam lebih rendah dari tapioka alami (977 cP), dan (3178 cP). Viskositas maksimum pada tapioka asam hampir sama dengan tapioka alami (6035-6442 cP).


(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pembuatan Tapioka Asam dengan Fermentasi Spontan adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Yang membuat pernyataan

Puja Dwi Sari


(7)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang

wajar di Insitut Pertanian Bogor. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak

sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian


(8)

BIODATA PENULIS

Puja Dwi Sari, lahir di Payakumbuh pada tanggal 25 Januari 1990. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Syahrial dan Elmisdar. Pada tahun 1996 penulis memulai pendidikan di SD Negeri 07 Balai Batimah Tiakar dan lulus tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 5 Payakumbuh dan lulus tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan lulus pada tahun 2008.

Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut Pertanian Bogor tahun 2008 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan di Institut Pertanian Bogor (IPB), penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Pati, Gula dan Sukrokimia periode 2011/2012, dan Teknologi Minyak, Lemak dan Emulsi periode 2012/2013. Penulis juga aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah Payakumbuh yang bernama IKMP sebagai sekretaris pada perode 2009/2010. Penulis juga berpartisipasi dalam kepanitian beberapa acara seperti Hagatri 2010 dan Atsiri 2010.

Pada tahun 2011 penulis melakukan Praktek Lapang dengan judul Mempelajari Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Resin Starch-Based Biodegradable Plastics di PT. Tirtamarta, Serang. Selanjutnya pada tahun 2012 penulis melaksanakan penelitian dengan judul Pembuatan Tapioka Asam dengan Fermentasi Spontan dibawah bimbingan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si.


(9)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, berkat, dan hidayah serta kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama proses penelitian sampai penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan baik moral maupun materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Titi Candra Sunarti, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak arahan, bimbingan serta dukungan selama masa studi di TIN-IPB, pada saat penelitian serta dalam penyusunan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ing-. Ir. Suprihatin dan Dr. Ika Amalia K, S.TP. M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.

3. Keluarga besar, terutama kedua orang tua dan uda Dika yang telah memberikan dukungan dan doa serta keteladanan hidup bagi penulis.

4. Laboran TIN (Bu Ega, Bu Sri, Bu Rini, Bu Diyah, Pak Gunawan, Pak Diki, Pak Yogi, Pak Edi dan Pak Sugiardi) dan teknisi Techno-Park FATETA atas kesediaannya membantu penulis selama penelitian.

5. Terima kasih kepada Hari Putra yang telah memberikan bantuan, semangat dan dukungannya kepada penulis.

6. Teman sebimbingan (Siti Aminah Oktaviyani dan Dony Noor Romadona), perjuangan kita mulai dari praktik lapang sampai penelitian dan penulisan skripsi selama ini sungguh mengesankan.

7. Teman-teman TIN 45 yang tergabung dalam Himpunan Solidaritas Labroratorium (Citra, Lutfha, Fani, Ida, Anas, Niza, Dani, Abi) atas dukungan dan kebersamaannya selama penelitian.

8. Keluarga besar Villa Taman Sehat (Sovi, Putri, Desi, Yolan, Dita, Nisa), terima kasih atas kebersamaan dan keakraban kita selama ini.

9. Teman-teman TIN 45 terima kasih untuk tawa dan tangis bersamanya selama masa studi Sarjana di IPB serta semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian sampai penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dan bermanfaat demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pembaca serta mampu memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang teknologi pertanian.

Bogor, November 2012


(10)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR TABEL v

DAFTAR LAMPIRAN vi

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1. Ubi Kayu 3

2.2. Pati 5

2.3. Tapioka 8

2.4. Modifikasi Tapioka dengan Fermentasi 10

III. METODOLOGI 13

3.1. Bahan dan Alat 13

3.2. Metode Penelitian 13

3.2.1. Proses Pembuatan Tapioka Asam 13

3.2.2. Karakterisasi Cairan Fermentasi 14

3.2.3. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Mutu Tapioka Asam 14 3.2.4. Karakterisasi Sifat Fungsional Tapioka Asam 14

3.3. Analysis of Variance (ANOVA) 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 18

4.1. Produksi Tapioka Asam 18

4.2. Karakteristik Cairan Fermentasi 20

4.2.1. pH 21

4.2.2. Total Asam 21

4.2.3. Bakteri Asam Laktat 21

4.2.4. Total Plate Count 22

4.2.5. Total Soluble Carbohydrate 22

4.3. Karakteristik Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tapioka Asam 22

4.3.1. Bentuk Granula Pati 24

4.3.2. Komponen Kimia Tapioka Asam 27

4.3.2.1. Kadar Air 27

4.3.2.2. Kadar Abu 27


(11)

iii

4.3.2.4. Kadar Lemak 28

4.3.2.5. Kadar Serat Kasar 28

4.3.2.6. Karbohidrat by Difference 38

4.3.3. Komponen Mutu Tapioka Asam 29

4.3.3.1. pH 29

4.3.3.2. Total Asam 29

4.3.3.3. Bakteri Asam Laktat 30

4.3.3.4. Total Plate Count 31

4.3.3.5. Kapang dan Khamir 31

4.3.3.6. Escherichia coli 32

4.3.4. Sifat Fungsional Tapioka Asam 32

4.3.4.1. Kejernihan Pasta 1% 32

4.3.4.2. Kelarutan Pasta dan Swelling Power 70°C 33

4.3.4.3. Sifat Amilografi 34

4.3.4.4. Expanding Capability 38

V. PENUTUP 40

5.1. Kesimpulan 40

5.2. Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41


(12)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagian-bagian penyusun ubi kayu 3

Gambar 2. Struktur amilosa 5

Gambar 3. Struktur amilopektin 5

Gambar 4. Struktur amilopektin pada daerah kristalin dan amorf 6

Gambar 5. Model struktur granula pati 7

Gambar 6. Produksi asam laktat melalui fermentasi glukosa secara homofermentatif dan

heterofermentatif 12

Gambar 7. Kondisi fermentasi secara spontan pada tapioka 14

Gambar 8. Bagan alir pembuatan tapioka asam 15

Gambar 9. Mekanisme modifikasi pati pada tapioka asam 20

Gambar 10. Bentuk granula tapioka asam dengan mikroskop cahaya perbesaran 100X 25 Gambar 11. Pengamatan mikroskopik granula pada tapioka asam dengan mikroskop cahaya

terpolarisasi 26

Gambar 12. Grafik jumlah mikroorganisme pada tapioka asam 31

Gambar 13. Pola Rapid Visco Amilograph pada tapioka asam 36 Gambar 14. Perubahan granula pati selama proses gelatinisasi dan retrogradasi 37


(13)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kimia ubi kayu per 100 g bahan 4

Tabel 2. Rasio amilosa-amilopektin pada umbi-umbian 6

Tabel 3. Komposisi kimia tapioka 8

Tabel 4. Syarat mutu tapioka menurut SNI 3451:2011 9

Tabel 5. Standar kehalusan tapioka 10

Tabel 6. Tabel ANOVA 16

Tabel 7. Hasil analisis cairan fermentasi 21

Tabel 8. Hasil analisis sifat fisikokimia dan fungsional tapioka asam 23 Tabel 9. Sifat amilografi dengan RVA (Rapid Visco Analyzer) 35


(14)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Karakterisasi komposisi mutu cairan fermentasi dan tapioka asam 44

Lampiran 2. Karakterisasi sifat fisikokimia tapioka asam 45

Lampiran 3. Karakterisasi sifat fungsional tapioka asam 48

Lampiran 4. ANOVA karakteristik cairan fermentasi 50

Lampiran 5. ANOVA karakteristik kimia, mutu dan fungsional tapioka asam 54

Lampiran 6. Visualisasi tapioka asam yang dihasilkan 65


(15)

1

I. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Ubi kayu merupakan salah satu komoditas pertanian jenis umbi-umbian yang banyak dimanfaatkan sebagai sumber pangan di Indonesia. Ubi kayu dapat diolah menjadi berbagai macam makanan tradisional yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif sumber karbohidrat selain padi. Komoditas ini sangat mudah dibudidayakan karena dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah termasuk lahan kering dan kurang subur. Oleh karena itu penyebaran produksi ubi kayu meluas ke semua provinsi di Indonesia.

Tapioka merupakan salah satu produk agroindustri yang memiliki banyak kegunaan antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Tapioka juga merupakan salah satu komoditi yang potensial dan memiliki prospek pengembangan yang bagus. Namun proses pengolahan tapioka yang ada saat ini masih memiliki beberapa kelemahan. Industri tapioka di Indonesia umumnya industri skala kecil dan menengah dengan proses pengolahannya masih dilakukan secara tradisional. Hal ini menyebabkan mutu tapioka yang dihasilkan tidak seragam, baik dari bentuk fisik maupun keamanan pangannya yang kurang terjamin. Sanitasi yang buruk dan peralatan yang masih sangat sederhana juga menyebabkan tingginya pencemaran tapioka oleh berbagai mikroorganisme selama pengolahan.

Tapioka asam merupakan salah satu produk pati termodifikasi yang dihasilkan melalui proses fermentasi tapioka alami yang diikuti dengan pengeringan pada sinar matahari. Tapioka asam memiliki sifat yang unik yaitu menghasilkan kapasitas pengembangan yang baik saat dipanggang. Tapioka asam sudah dikenal di Amerika Selatan yaitu di Colombia yang dikenal dengan almidon agrio dan di Brazil dengan polvilho azedo (Demiate et al., 2000). Pada kedua negara tersebut, tapioka asam digunakan untuk pembuatan roti keju dan bermacam biskuit tradisional lainnya. Di Indonesia tapioka asam digunakan di industri kerupuk tradisional dan biasanya disiapkan langsung oleh pabrik dengan cara merendam tapioka alami selama selang waktu tertentu. Selain itu, tapioka asam juga digunakan pada industri makanan lainnya seperti industri biskuit, industri roti, industri kue (cake) dan berbagai industri lainnya yang membutuhkan daya pengembangan tinggi. Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat khususnya para pengusaha di Indonesia terhadap tapioka asam sangat besar, namun sampai saat ini belum ada industri yang mengolahnya. Kebanyakan industri pengguna menyiapkan sendiri kebutuhan tapioka asamnya.

Fermentasi secara spontan dapat dilakukan untuk menghasilkan tapioka asam. Prinsip metode fermentasi tersebut yaitu memanfaatkan pertumbuhan mikroorganisme yang tumbuh secara alami selama proses fermentasi. Salah satu mikroorganisme yang menguntungkan dalam proses pengolahan tapioka ini adalah bakteri asam laktat. Selama proses fermentasi, bakteri asam laktat mendominasi komunitas bakteri yang ada dan dapat menghasilkan asam laktat yang merupakan produk utama fermentasi (Ampe et al., 2001). Selain itu, bakteri asam laktat juga dapat memproduksi protein yang disebut bakteriosin. Baik senyawa bakteriosin maupun asam laktat yang dihasilkan diharapkan mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang sering dijumpai pada tapioka alami. Dengan demikian, keamanan pangan akan lebih terjamin.

Pengembangan dan perbaikan proses produksi yang sederhana melalui fermentasi secara spontan dan dapat diaplikasikan industri kecil dan rumah tangga, maka produk tapioka


(16)

2 asam sangat prospektif untuk dikembangkan dan diharapkan dapat meningkatkan minat petani untuk menanam ubi kayu sehingga akan meningkatkan pendapatan petani yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tapioka asam yang dihasilkan diharapkan memiliki mutu dan sifat fungsional yang lebih baik dibandingkan dengan tapioka alami dari industri rakyat.

1.2

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses produksi tapioka asam melalui fermentasi secara spontan (alami). Secara khusus penelitian ini mengkaji pengaruh proses fermentasi tapioka secara spontan terhadap karakteristik mutu, dan fisikokimia tapioka asam yang dihasilkannya.


(17)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Ubi Kayu

Tanaman ubi kayu atau ketela pohon di dalam dunia tumbuh-tumbuhan dinamakan Manihot utilissima Pohl atau M. esculenta Crantz. Tanaman ini termasuk famili Euphorbiaceae yang dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 10–700 m diatas permukaan laut dan pada daerah 25° lintang utara- 25° lintang selatan. Tanah yang sesuai adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak liat dan juga tidak poros serta mengandung unsur hara. Sementara itu pH yang dibutuhkan antara 4.5-8, dengan pH idealnya adalah 5.8. Suhu udara minimal bagi pertumbuhan tanaman ubi kayu adalah 10°C. Suhu dibawah 10°C akan menghambat pertumbuhan tanaman, seperti tanaman menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. Curah hujan yang diperlukan antara 1.500-2500 mm/tahun dan kelembaban udara optimal untuk tanaman antara 60-65 % (Mastani, 2009).

Ubi kayu berasal dari negara Amerika Latin atau tepatnya dari negara Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India serta China. Ubi kayu atau ketela pohon diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun 1852. Pada tahun 1852 Kebun Raya Bogor menerima bibit ubi kayu dari Suriname yang pada tahun 1854 disebarkan ke seluruh karesidenan di Pulau Jawa dan kawasan lain di luar Pulau Jawa, sedangkan pengembangannya dimulai sekitar tahun 1914-1918. Pada tahun 1968 Indonesia menjadi negara penghasil ubi kayu nomor 5 di dunia (Rukmana, 1997).

Umbi ubi kayu rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis ubi kayu yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi ubi kayu tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia (Anonim, 2012).

Ubi kayu memiliki umbi yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Umbinya berbentuk bulat memanjang, daging umbi mengandung pati dan tiap tanaman dapat menghasilkan 5-10 umbi (Rukmana, 1997). Bagian penyusun umbi ubi kayu diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagian-bagian penyusun ubi kayu (CIAT, 2009)

Pada Gambar 1 terlihat potongan melintang ubi kayu yang terdiri dari kulit luar (periderm), kulit dalam (cortex), daging umbi (flesh) dan tali vaskular tengah (central vascular strands). Kulit luar

Kulit luar

Kulit dalam (cortex)

Daging umbi


(18)

4 terdiri dari beberapa lapisan sel mati yang membungkus umbi ubi kayu. Warnanya bervariasi, bentuk dan teksturnya kadang tebal dan kasar, kadang tipis dan halus. Kulit dalam terletak di bawah kulit luar, terdiri dari sklerenkima, parenkima kortikal, dan phloem. Warna kulit dalam bervariasi dari putih atau krem sampai merah muda. Daging buah terletak di tengah umbi dan sebagian besar terdiri dari sel-sel parenkima tempat penyimpanan yang berasal dari kambium. Daging umbi merupakan tempat penyimpanan utama tanaman ubi kayu dimana butir-butir pati disimpan. Warna daging umbi bervariasi dari putih sampai kuning. Benang vaskular tengah terdiri dari bundel xylem. Kadar serat dan kekuatan benang ini tergantung pada kondisi lingkungan dan umur tanaman. Umbi ubi kayu bervariasi bentuknya, tergantung kondisi tanah tempat tumbuhnya (Ekanayake et al., 1997).

Daging umbi pada ubi kayu dapat berwarna putih atau kuning. Komposisi kimia ubi kayu dipengaruhi oleh faktor tanah, kondisi penanaman, kelembaban, suhu, varietas dan umur tanaman. Hal lain yang perlu dicatat adalah kandungan racun sianida di dalam ubi kayu. Racun tersebut ada didalam tanaman ubi kayu (akar, batang dan daun) dalam bentuk bebas maupun dalam bentuk terikat secara kimia yaitu sebagai senyawa kompleks linamarin glukosa. Adanya sianida mudah dikenali dengan munculnya rasa pahit. Tahap-tahap pengolahan sejak pengecilan ukuran hingga pengolahan lebih lanjut akan mengurangi kadar racun ini sampai tingkat yang tidak membahayakan (Wirakartakusumah, 1989). Tabel 1 berikut ini menyajikan komposisi kimia ubi kayu.

Tabel 1. Komposisi kimia ubi kayu per 100 g bahan

Komponen

Jenis ubi kayu

Putih Kuning

Energi (kal) 146.00 157.00

Protein (g) 1.20 0.80

Lemak (g) 0.30 0.30

Karbohidrat (g) 34.70 37.90

Kalsium (g) 33.00 33.00

Fosfor (g) 40.00 40.00

Besi (g) 0.70 0.70

Vitamin A (SI) 0.00 385.00

Vitamin B (mg) 0.06 0.06

Vitamin C (mg) 30.00 30.00

Air (g) 62.50 60.00

Bagian yang dapat dimakan (g) 75.00 75.00

Sumber : Departemen Kesehatan RI (1990)

Komposisi kimia ubi kayu biasanya bervariasi tergantung dari varietas disamping faktor luar seperti iklim, kesuburan tanah dan lain sebagainya. Komponen pati yang tinggi memungkinkan pati digunakan sebagai sumber karbohidrat. Kadar pati ubi kayu akan sangat dipengaruhi oleh waktu panen. Ubi kayu mengandung racun asam sianida (HCN) atau sianogenik glikosida. Berdasarkan kadar HCN-nya ubi kayu terbagi atas dua jenis yaitu ubi kayu manis dan tidak beracun dengan kadar HCN kurang dari 50 mg per kg ubi kayu segar. Kedua, jenis ubi kayu pahit, beracun dan kandungan HCN-nya lebih besar dari 50 mg per kg ubi kayu segar (Hamid, 2012).


(19)

5

2.2

Pati

Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di alam dan memiliki rumus molekul (C6H10O5)n. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan, antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas), dan pada batang (aren dan sagu). Menurut Hart (1990), pati merupakan glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Sifat pati tergantung panjang rantai karbonnya dan perbandingan antara molekul yang lurus dan bercabang rantai molekulnya. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara seperti lipid dan protein. Umumnya pati mengandung 15-30% amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-10% bahan antara. Pati terdiri dari dua fraksi yaitu amilosa dan amilopektin (Winarno, 2002). Struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

Gambar 2. Struktur amilosa

Gambar 3. Struktur amilopektin

Amilosa mempunyai struktur lurus yang didominasi dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa. Panjang polimer dipengaruhi oleh sumber pati dan akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Pada umumnya amilosa dari umbi-umbian mempunyai berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan berat molekul amilosa serealia, dengan rantai polimer lebih panjang daripada rantai polimer amilosa serealia (Moorthy, 2004). Amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekuler yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil molekul amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin (Taggart, 2004).


(20)

6 Amilopektin mempunyai titik percabangan dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa disamping ikatan α-(1,4)-D-glukosa pada rantai lurusnya, dan memiliki bobot molekul yang besar. Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart, 2004).

Menurut Flach (1993) amilopektin mempunyai ukuran yang lebih besar daripada amilosa, tetapi mempunyai kekentalan yang lebih rendah. Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa. Butiran pati mengandung amilosa berkisar antara 15-30%, sedangkan amilopektin berkisar antara 70-85%. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Tabel 2 menyajikan perbandingan jumlah amilosa dan amilopektin yang berbeda pada setiap jenis sumber pati.

Tabel 2. Rasio amilosa-amilopektin pada umbi-umbian Sumber Pati Amilosa (%) Amilopektin (%)

Ubi jalar 17.0 83.0

Ubi kayu 18.0 82.0

Talas 18.0 82.0

Kimpul 21.2 78.7

Ganyong 18.9 81.1

Suweg 18.3 81.7

Uwi 23.6 76.4

Gembili 24.3 75.7

Sumber : Sunarti (2005)

Pati terdiri dari bagian yang bersifat kristalin dan bagian amorf, yang letaknya berselang seling membentuk cincin berlapis mengelilingi hilum. Bagian kristalin berisi ikatan pendek dari amilopektin yang berklaster-klaster. Bagian amorf berisi percabangan amilopektin dan amilosa (Liu, 2005). Model molekul amilopektin pada daerah kristalin dan amorf dapat dilihat pada Gambar 4.


(21)

7 Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno (2002), menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga dibawah mikroskop terlihat kristal hitam putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai pecah, sifat

birefringent ini akan menghilang. Pada umumnya granula pati tidak terdapat dalam keadaan murni karena adanya zat antara misalnya protein dan lemak. Granula pati memiliki hilum sebagai inti. Hilum granula pati ada yang berada ditengah dan ada yang cenderung berada di tepi granula, tergantung asal pati tersebut. Liu (2005) menggambarkan model struktur pati seperti pada Gambar 5.

Gambar 5. Model struktur granula pati (Liu, 2005)

Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung dari sumbernya. Menurut Moorthy (2004), ukuran granula tapioka menunjukkan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman ubi kayu dan periode pertumbuhan pada musim yang berbeda. Menurut Satin (2007) bahwa sebaran dan ukuran


(22)

8 granula pati sangat menentukan karakterisasi fisik pati serta aplikasinya dalam produk pangan. Ukuran granula adalah salah satu faktor yang menentukan suhu gelatinisasi. Ukuran granula pati juga berpengaruh terhadap mutu pati yang dihasilkan dalam skala industri.

Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Meyer (1982) menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30% dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati tidak larut dalam air dingin tapi berbentuk suspensi. Winarno (1991) menambahkan bahwa kemampuan pati menyerap air disebabkan oleh adanya gugus hidroksil pada molekul pati. Pemanasan suspensi pati dalam air mengakibatkan suspensi menjadi keruh dan bila gaya tarik-menarik antara molekul air lebih kuat daripada antar molekul pati, air akan terserap dan granula pati membengkak. Masuknya air ke dalam granula meningkatkan viskositas suspensi pati.

Peningkatan volume granula pada selang suhu 55°C sampai 65°C masih memungkinkan granula pati kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan yang luar biasa, dan granula pati tidak dapat kembali pada keadaan semula, maka perubahan ini disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya berbeda tergantung pada jenis pati dan konsentrasinya (Winarno, 1991).

2.3

Tapioka

Tapioka merupakan pati yang diekstrak dari ubi kayu. Dalam memperoleh pati dari ubi kayu (tapioka) harus dipertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman ubi kayu. Usia optimum yang telah ditemukan dari hasil percobaan terhadap salah satu varietas ubi kayu yang berasal dari jawa yaitu San Pedro Preto adalah sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika umbi ubi kayu dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai pada titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu, sehingga umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah. Pati tapioka memiliki bentuk granula oval, kerucut potong dengan ukuran diameter sebesar 20 µm (Beynum dan Roels, 1985). Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia tapioka

Komposisi Jumlah

Serat (%) 0.5

Air (%) 15.0

Karbohidrat (%) 85.0

Protein (%) 0.5 – 0.7

Lemak (%) 0.2

Energi (kalori/100 g) 307.0

Sumber : Grace (1977)

Sebagai bahan baku industri pangan, tapioka telah banyak digunakan untuk sumber karbohidrat (sumber kalori) maupun sebagai zat pengental (thickener) (Somaatmadja, 1984). Hal ini dikarenakan kandungan pati yang tinggi dan sifat patinya mudah membengkak dalam air panas dengan membentuk kekentalan yang dikehendaki. Dalam pembuatan tapioka berbagai faktor harus diperhatikan untuk memperoleh hasil yang bermutu tinggi. Mutu tapioka ditentukan oleh kadar air, serat dan kotoran, derajat putih dan kekentalan (Purwadaria, 1989).


(23)

9 Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), nilai pH tapioka tidak dipersyaratkan. Namun demikian, beberapa institusi mensyaratkan nilai pH untuk mengetahui mutu tepung tapioka berkaitan dengan proses pengolahan, misalnya pada proses pembentukan pasta. Pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7 (Winarno, 2002). Bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi akan cepat turun lagi. Sebaliknya, bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. Disamping itu, nilai pH ini juga berpengaruh terhadap jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam tapioka seperti bakteri asam laktat dan beberapa bakteri patogen. Mikroorganisme tersebut dapat mempengaruhi karakterisasi pati yang dihasilkan. The Tapioca Institute of America (TIA) menetapkan standar pH tepung tapioka sekitar 4.5-6.5 (Radley, 1976). Syarat mutu tepung tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Syarat Mutu Tapioka menurut SNI 3451:2011

No Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bentuk - Serbuk halus

1.2 Bau - Normal

1.3 Warna - Putih, khas tapioka

2 Kadar air (b/b) % Maks. 14

3 Abu (b/b) % Maks. 0.5

4 Serat kasar (b/b) % Maks. 0.4

5 Kadar pati (b/b) % Min. 75

6 Derajat putih (MgO = 100) Min. 91

7 Derajat asam mL NaOH 1 N / 100 g Maks. 4

8 Cemaran logam

8.1 Kadmium (Cd) Mg/kg Maks 0.2

8.2 Timbal (Pb) Mg/kg Maks. 0.25

8.3 Timah (Sn) Mg/kg Maks. 40

8.4 Merkuri (Hg) Mg/kg Maks. 0.05

9 Cemaran arsen (As) Mg/kg Maks. 0.5

10 Cemaran mikroba

10.1 Angka lempeng total (35° C, 48 jam)

Koloni/g Maks. 1x106

10.2 Escherichia coli APM/g Maks. 10

10.3 Bacillus cereus Koloni/g < 1x104

10.4 Kapang Koloni/g Maks. 1x104

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (BSN) (2011)

Kehalusan tepung juga penting untuk menentukan mutu tepung tapioka. Tepung tapioka yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan memiliki kehalusan yang baik. Dalam SNI tidak dipersyaratkan mengenai kehalusan tepung tapioka. Salah satu institusi yang menyaratkan kehalusan sebagai syarat mutu tepung tapioka adalah The Tapioca Institute of America (TIA), yang membagi


(24)

10 tepung tapioka menjadi tiga kelas (grade) berdasarkan kehalusannya. Standar kehalusan tepung tapioka menurut TIA disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Standar Kehalusan Tapioka Grade lolos ayak (%) Ukuran ayakan

A 99 140

B 99 80

C 95 60

Sumber : Radley (1976)

Tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi ubi kayu. Proses ekstraksi umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan lemaknya yang rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan berwarna putih bersih (Moorthy, 2004). Berdasarkan derajat keputihan, maka semakin putih tapioka mutunya juga semakin baik. Pada pembuatan produk pangan juga demikian, tapioka yang lebih putih biasanya lebih diharapkan sebagai bahan baku. Untuk menghasilkan tapioka yang putih maka seringkali beberapa industri tapioka menambahkan bahan pemutih pada proses pembuatan tapioka seperti NaOCl atau metabisulfit.

Dalam hal teknologi, ada perbedaan proses pembuatan tepung tapioka antara industri besar dan industri rumah tangga. Pada industri besar, proses pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau mesin-mesin yang canggih, sedangkan pada industri rumah tangga pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat-alat yang sederhana sehingga kualitas pati rendah dengan kadar air tinggi, derajat asam yang tinggi dan kandungan serat serta kotoran yang juga tinggi.

2.4

Modifikasi Pati dengan Fermentasi

Pati telah banyak digunakan pada pengolahan pangan, baik pada penggunaan di tingkat industri pangan maupun sklarumah tangga. Pati yang digunakan umumnya berupa pati tanpa perlakuan modifikasi (pati alami atau native starch). Walaupun pati alami cukup luas dalam penggunaannya, namun memiliki kekurangan yang sering menghambat aplikasinya dalam proses pengolahan pangan. kebanyakan pati alami menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan kemampuan membentuk gel yang tidak seragam (konsisten). Hal ini disebabkan profil gelatinisasi pati alami sangat dipengaruhi oleh iklim dan kondisi fisiologis tanaman sehingga jenis pati yang sama belum tentu memiliki sifat fungsional yang sama. Menurut Kusnandar (2010), diantara kekurangan yang utama adalah kebanyakan pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, kondisi dan proses mekanis. Kemudian pati alami memiliki kelarutan terbatas dalam air dan gel pati mudah mengalami sineresis (pemisahan air dari struktur gelnya) akibat retrogradasi pati.

Oleh karena itu, pati alami sering dimodifikasi untuk menghasilkan pati yang sesuai dengan kondisi proses pengolahan. Pati termodifikasi adalah pati yang telah mengalami perlakuan fisik ataupun kimia yang bertujuan mengubah salah satu atau lebih sifat fisik atau kimia yang penting dari pati (Cui, 2006). Modifikasi pati dilakukan untuk mengatasi sifat-sifat dasar pati alami yang kurang menguntungkan tersebut sehingga dapat memperluas penggunaannya dalam proses pengolahan pangan serta menghasilkan karakteristik produk pangan yang diinginkan. Pati diberi perlakuan tertentu agar memiliki sifat yang lebih baik terutama sifat fisikokimia dan fungsionalnya. Beberapa sifat asal yang dapat diubah yaitu suhu gelatinisasi, karakteristik selama proses gelatinisasi, ketahanan


(25)

11 oleh pemanasan, pengasaman dan pengadukan, serta kecenderungan retrogradasi. Modifikasi dilakukan pada level molekuler dan level granular patinya.

Teknik modififkasi pati yang banyak dilakukan diantaranya adalah modifikasi secara fisik (pregelatinisasi dan heat moisture treatment) dan modifikasi kimia (modifikasi ikatan silang, subsitusi, oksidasi dan hidrolisis asam). Modifikasi dapat juga dilakukan secara kombinasi, misalnya kombinasi modifikasi ikatan silang dan substitusi. Metode modifikasi lainnya yaitu dengan konversi atau hidrolisis pati menjadi karbohidrat rantai pendek, misalnya membentuk maltodekstrin (Kusnandar, 2010). Tapioka asam merupakan proses modifikasi pati dengan fermentasi yang memanfaatkan pertumbuhan bakteri asam laktat untuk menghasilkan asam organik terutama asam laktat.

Proses fermentasi spontan dilakukan dengan cara merendam bahan dalam air pada selang waktu tertentu dengan memanfaatkan mikroorganisme dari lingkungan. Selama proses perendaman tersebut terjadi perubahan sifat yang disebabkan adanya aktivitas bakteri antara lain adalah bakteri asam laktat (Hounhouigan et al., 1993a, Johansson et al., 1995). Gibson dan Angus (2000) mengatakan bahwa bakteri asam laktat didefinisikan sebagai suatu kelompok bakteri Gram positif yang disatukan oleh berbagai morfologi. Bakteri asam laktat secara umum tidak berspora, berbentuk bulat atau batang yang memproduksi asam laktat sebagai produk akhir metabolik utama selama fermentasi karbohidrat. Bakteri asam laktat biasa digunakan di dalam industri makanan. Karthikeyan dan Santosh (2009) mengatakan bahwa bakteri asam laktat mampu menurunkan pH makanan, sehingga pada pH rendah pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme yang terdapat di dalam makanan termasuk bakteri patogen dapat terhambat dan mampu memperpanjang umur simpan makanan. Bakteri asam laktat tidak hanya menurunkan pH media, tetapi juga menghasilkan antibiotik yang sering disebut sebagai bakteriosin, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk (Fardiaz, 1988).

Proses fermentasi tapioka menghasilkan beberapa perubahan sifat fisik dan fungsional produk yang dihasilkan. Buckle et al., (1980) menyatakan bahwa selama proses fermentasi tapioka terdapat peranan bakteri asam laktat yang menghasilkan asam laktat mencapai 66-82% dari total asam organik yang terdapat pada tapioka asam. Bakteri asam laktat merupakan sebutan umum untuk bakteri yang memfermentasikan gula seperti laktosa atau glukosa untuk menghasilkan sejumlah besar asam laktat. Tapioka asam menghasilkan produk panggang pada baking test dengan volume yang lebih maksimal dengan struktur yang lembut. Sifat amilograf menunjukkan bahwa viskositas pada tapioka asam lebih rendah dibandingkan dengan tapioka konvensional. Selama proses fermentasi tidak hanya terdapat modifikasi asam tetapi juga terdapat peranan enzim yang berasal dari mikroba yang tumbuh selama fermentasi. Dari produk panggang yang dihasilkan dari tapioka asam ditemukan adanya lubang-lubang kecil yang menunjukkan bukti bahwa adanya peranan enzim yang terlibat (Buckle et al., 1980).

Bakteri asam laktat terdiri dari dua kelompok yaitu bakteri asam laktat homofermentatif dan bakteri asam laktat heterofermentatif. Pada bakteri asam laktat homofermentatif, fermentasinya disebut fermentasi homolaktat karena satu-satunya produk fermentasi yang dihasilkan adalah asam laktat (Fardiaz, 1988). Bakteri asam laktat yang termasuk homofermentatif misalnya Streptococcus,

Pediococcus dan beberapa spesies Lactobacillus. Kelompok bakteri asam laktat lainnya adalah bakteri asam laktat heterofermentatif, karena selain menghasilkan asam laktat juga memproduksi senyawa-senyawa lainnya (Fardiaz, 1988). Bakteri asam laktat yang tergolong heterofermentatif misalnya

Leuconostoc dan beberapa spesies Lactobacillus. Pada Leuconostoc pemecahan glukosa menjadi asam piruvat, asam asetat atau etanol dan karbondioksida.


(26)

12 Menurut Figueroa et al., (1995), fermentasi pada tapioka asam melibatkan dua kelompok bakteri yaitu bakteri asam laktat heterofermentatif yang didominasi oleh spesies Leuconostoc yang akan memulai pengasaman dan diikuti oleh bakteri asam laktat homofermentatif yang didominasi oleh

Lactobacillus plantarum. Selain bakteri juga ditemukan khamir yang tumbuh pada proses fermentasi spontan tapioka (Lacerda et al., 2005). Proses pemecahan glukosa menjadi asam laktat oleh bakteri homofermentatif dan heterofermentatif dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Produksi asam laktat melalui fermentasi glukosa secara homofermentatif (A) dan heterofermentatif (B) (Rahayu, 1992)


(27)

13

III. METODOLOGI

3.1

Bahan dan Alat

3.1.1

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu manis yang berumur 8 bulan yang diperoleh dari petani ubi kayu di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor dan air bersih sebagai bahan pembantu. Bahan lain untuk fermentasi adalah air yang memiliki standar air minum. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah H2SO4 pekat, NaOH, alkohol, pelarut heksan, kertas saring, asam borat, indikator mengsel, indikator pp, glukosa murni, larutan phenol, NaCl, PCA (Plate Count Agar), EMB agar (Eosin Methylene Blue), NA (Nutrient Agar), MRS Broth (de Man-Rogosa-Sharpe), PDA (Potato Dextrosa Agar), Bakto Agar, spritus dan parafin.

3.1.2

Alat

Peralatan yang digunakan untuk proses ekstraksi pati ubi kayu antara lain pisau, alat pengupas kulit ubi kayu, Starch Line Extraction-plant, wadah plastik dan kain penutup. Peralatan yang digunakan untuk pemanenan pati adalah tampah, blender, dan ayakan. Peralatan yang digunakan untuk analisis yaitu peralatan gelas, spektrofotometer, pH meter, mikroskop, cawan aluminium, cawan porselen, oven, desikator, tanur, labu kjeldahl, buret, alat destilasi, alat soxhlet, otoklaf, penangas air, RVA (Rapid Visco Analizer), dan inkubator.

3.2

Metode Penelitian

3.2.1

Proses Pembuatan Tapioka Asam

Pembuatan tapioka asam menggunakan fermentasi spontan pada tapioka yang diekstrak dari umbi ubi kayu. Proses ekstraksi pati dilakukan di F-Technopark, IPB menggunakan alat starch line extraction-plant. Tahap awal pembuatan tapioka yaitu, pengupasan ubi kayu sebanyak 100 kg dengan alat pengupas kulit ubi kayu. Setelah dikupas kemudian dicuci bersih dengan air berulang kali sampai bersih. Proses selanjutnya yaitu pemarutan ubi kayu dengan mesin pemarut. Pada proses ini digunakan air untuk melancarkan proses pemarutan sehingga terbentuk bubur pati. Selanjutnya proses filtrasi bubur ubi kayu menggunakan alat vibrating screen. Proses filtrasi ini dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Hasil filtrasi didekantasi selama 4-5 jam untuk mengendapkan patinya. Endapan pati yang dihasilkan, kemudian dicuci hingga bersih.

Tahap selanjutnya yaitu proses persiapan fermentasi spontan. Proses pertama yaitu pemasukan sekitar 1000 g (volume ±1000 ml) pati basah ke dalam masing-masing wadah plastik yang telah disiapkan. Selanjutnya ditambahkan 500 ml air (standar air minum) sebagai cairan fermentasi. Wadah plastik ditutup dengan kain saring dan diikat yang bertujuan agar kotoran seperti debu tidak dapat masuk sehingga proses fermentasi tidak terkontaminasi. Selanjutnya, wadah disimpan pada suhu ruang dan difermentasi hingga 50 hari dengan pemanenan pati setiap 10 hari. Gambar 7 merupakan gambaran kondisi fermentasi yang dilakukan.


(28)

14 Gambar 7. Kondisi fermentasi secara spontan pada tapioka

Tahap selanjutnya adalah proses pemanenan tapioka asam. Pertama, endapan pati dipisahkan dari cairan fermentasi dan dicuci untuk menghilangkan kotoran yang terdapat pada permukaan pati. Pati yang diperoleh kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari selama lebih kurang 7 jam. Pati yang terbentuk dari hasil pengeringan yang tidak seragam dapat diblender dan diayak sehingga ukuran tapioka asam yang diperoleh lebih seragam. Proses pembuatan tapioka asam dapat dilihat pada Gambar 8.

3.2.2

Karakterisasi Cairan Fermentasi

Cairan fermentasi merupakan hasil samping proses fermentasi spontan tapioka asam. Pengamatan karakterisasi cairan fermentasi meliputi analisis pH, total asam, analisis mikroba (TPC, BAL, E.coli, kapang dan khamir) dan TSC (Total Soluble Carbohydrate). Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.

3.2.3

Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Mutu Tapioka asam

Pengamatan karakterisasi sifat fisikokimia tapioka asam meliputi bentuk granula pati, karakterisasi kimia tapioka asam yang meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar serat kasar), dan kadar karbohidrat by difference. Karakterisasi mutu tapioka asam meliputi pH, total asam, dan analisis mikroba (TPC, BAL, E.coli, kapang dan khamir). Prosedur analisis komposisi mutu tapioka asam disajikan pada Lampiran 1, sedangkan prosedur analisis bentuk granula pati serta komposisi kimia tapioka asam disajikan pada Lampiran 2.

3.2.4

Karakterisasi Sifat Fungsional Tapioka Asam

Pengamatan karakterisasi sifat fungsional tapioka asam meliputi kejernihan pasta, kelarutan dan swelling power pada suhu 70°C, expanding capability dengan memodifikasi metode Demiate et al

(2000) dan sifat amilografi dengan Rapid Visco Analyzer (RVA). Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 3.


(29)

15 Gambar 8. Bagan alir pembuatan tapioka asam

Tapioka asam Ubi kayu

Pengupasan

Pencucian

Pemarutan

Ekstraksi

Pengendapan (4-5 jam)

Air sisa pencucian Air bersih

Ampas

Pati basah

Fermentasi (0-50 hari)

Pemisahan pati dengan cairan fermentasi

Pengeringan dibawah sinar matahari (7-8 jam)

Cairan Fermentasi Air (standar air

minum)


(30)

16

3.3

Analysis of Variance

(ANOVA)

Desain percobaan pada penelitian ini adalah pengaruh lama fermentasi spontan terhadap karakteristik mutu cairan fermentasi dan karakteristik fisikokimia dan fungsional tapioka asam yang dihasilkan. Perlakuannya adalah variasi lama fermentasi yaitu 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 hari dengan masing-masing tiga kali ulangan.

ANOVA atau analisis ragam merupakan metode statistika untuk menguji signifikansi perbedaan dari dua atau lebih nilai rata-rata. Pada dasarnya metode ini merupakan proses aritmetika untuk membagi keragaman (jumlah kuadrat) total menjadi kompoen-kompenennya yang berhubungan dengan sumber keragaman yang diketahui. Bentuk hipotesis yang akan diuji ialah :

H0 : µ1 = µ2 = … = µt (nilai rata-rata dari semua perlakuan adalah sama) H1 : minimal ada satu nilai rata-rata yang tidak sama dengan yang lainnya

Hasil perhitungan pada ANOVA biasanya ditampilkan dalam bentuk tabel seperti yang terlihat dalam Tabel 6 berikut :

Tabel 6. Tabel ANOVA Sumber

Keragaman

Derajat bebas (db)

Jumlah kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

F hitung

Perlakuan t-1 JKP KTP F

Galat (error) t(r-1) JKG KTG

Total rt-1 JKT

Keterangan :

t = jumlah perlakuan

r = jumlah ulangan pada setiap perlakuan

Nilai-nilai jumlah kuadrat, kuadrat tengah dan F hitung dicari dengan rumus-rumus sebagai berikut :

Keterangan :

Yij = data pada perlakuan ke-1 dan ulangan ke-j Yi = total data pada perlakuan ke-i


(31)

17 Statistik uji yang digunakan adalah uji-F. F hitung merupakan nilai F yang diperoleh dari hasil perhitungan dan merupakan rasio dari dua nilai dugaan yang bebas dari ragam yang sama. Selanjutnya F hitung ini dibandingkan dengan F tabel, yakni nilai-nilai yang ada pada tabel distribusi F pada derajat bebas yangs esuai dan taraf nyata yang telah ditentukan. Jika F hitung>F tabel, maka keputusannya adalah tolak H0 dan terima H1, sedangkan jika F hitung ≤ F tabel maka keputusannya adalah terima H0.

Apabila pengujian ANOVA menghasilkan penolakan terhadap H0 maka pengujian dapat dilanjutkan untuk mengetahui nilai rata-rata dari perlakuan mana saja yang berbeda signifikan. Uji lanjut yang digunakan adalah uji beda nyata terkecil (LSD). LSD merupakan kriteria uji untuk menentukan signifikan atau tidaknya selisih antara dua rata-rata perlakuan yang dibandingkan. Nilai LSD dicari dengan rumus :

Keterangan :

tα/2 = nilai distribusi t-student pada taraf nyata α dan derajat bebas galat

Keputusan ujinya jika selisih antara dua rata-rata perlakuan yang dibandingkan lebih besar dari LSD maka dinyatakan berbeda signifikan pada tingkat kepercayaan (100 - α)%, sebaliknya jika lebih kecil dari LSD maka tidak berbeda signifikan.


(32)

18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Produksi Tapioka Asam

Komponen utama karbohidrat dalam bahan pangan adalah pati. Ekstraksi basah dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen bahan pangan lainnya, sehingga diperlukan air yang cukup banyak. Ekstraksi tersebut bertujuan untuk melepaskan granula pati sehingga diperoleh pati yang murni. Pengupasan kulit ubi kayu merupakan proses awal dalam pembuatan tapioka asam. Seperti dalam pembuatan tapioka, kulit ubi kayu umumnya dikupas dengan pisau sehingga memerlukan waktu yang relatif lama. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mempercepat waktu pengupasan dengan menggunakan alat pengupas kulit ubi kayu, namun mutu kupasannya masih kurang bagus. Hal ini dikarenakan hanya kulit bagian terluar yang berwarna coklat saja yang terbuang dan sebagian kecil kulit bagian dalam yang berwarna putih. Hal ini menyebabkan kandungan asam sianida pada bubur ubi kayu yang diperoleh akan tinggi karena asam sianida banyak terkandung pada bagian kulit putih tersebut.

Ubi kayu yang telah dikupas secepatnya dicuci dengan air mengalir atau di dalam bak. Tujuan pencucian ini untuk menghilangkan kotoran yang menempel selama pengupasan dan lendir pada permukaan sehingga dapat mengurangi kadar asam sianida. Pencucian dilakukan berulang kali untuk memastikan ubi kayu yang akan diproses selanjutnya sudah bersih. Ubi kayu yang sudah dibersihkan kemudian diparut dengan alat pemarut ubi kayu. Pada tahap ini ditambahkan air untuk memperlancar proses sehingga dihasilkan bubur ubi kayu. Pemarutan ini bertujuan untuk merusak jaringan dan sel-sel ubi kayu agar pati dapat terekstraksi.

Tahap selanjutnya adalah pemerasan bubur ubi kayu dengan menggunakan vibrating screen. Prinsip kerja alat ini adalah menahan padatan yang terdapat pada bubur ubi kayu sehingga dihasilkan supernatan (cairan) yang mengandung pati. Pada alat tersebut terdapat dua saringan bertingkat dengan ukuran 200 mesh dan 100 mesh sehingga bisa dipastikan supernatan tidak mengandung ampas ubi kayu. Pemerasan bubur ubi kayu ini dilakukan sebanyak dua kali hingga cairan yang dihasilkan agak jernih. Hal ini berarti kandungan pati dalam ampas ubi kayu tinggal sedikit. Pengendapan supernatan yang diperoleh dilakukan dengan dekantasi selama 4-5 jam sehingga diperoleh endapan pati yang siap untuk difermentasi. Pengendapan cara ini memanfaatkan gaya grafitasi untuk menurunkan granula-granula pati dan memisahkannya dari cairan.

Proses fermentasi spontan dilakukan dalam wadah-wadah plastik yang telah disiapkan. Endapan pati basah yang diperoleh dimasukkan kedalam wadah-wadah tersebut dengan volume yang sama. Kemudian ditambahkan air yang akan berfungsi sebagai cairan fermentasi. Pada fermentasi spontan tidak ditambahkan starter bakteri asam laktat (Cardena dan deBuckle, 1980). Hal ini dikarenakan fermentasi spontan merupakan teknik fermentasi yang memanfaatkan mikroba yang tumbuh secara alami selama fermentasi. Pada bagian atas wadah fermentasi ditutup dengan kain yang bertujuan untuk menghindari debu atau kotoran masuk. Kain yang digunakan harus tipis atau memiliki pori-pori yang cukup besar sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran udara. Fermentasi spontan dilakukan selama 50 hari dengan pengamatan setiap 10 hari. Selain waktu, proses fermentasi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, pH, aktivitas air dan ketersediaan oksigen.

Suhu adalah salah satu faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan dalam dua cara yang berlawanan. Pertama, apabila suhu naik, kecepatan metabolisme mikroorganisme akan naik dan pertumbuhan dipercepat dan


(33)

19 sebaliknya apabila suhu turun, kecepatan metabolismenya juga turun dan pertumbuhan diperlambat. Kedua, apabila suhu naik atau turun, tingkat pertumbuhan mungkin terhenti, komponen sel menjadi tidak aktif dan sel-sel dapat mati. Suhu yang digunakan pada fermentasi spontan ini adalah suhu ruang yang berkisar 25°C. Cardena dan de Buckle (1980) menyebutkan bahwa pada proses fermentasi spontan dilakukan pada kondisi suhu ruang dengan kisaran suhu 15-25° C.

Setiap organisme juga mempunyai kisaran nilai pH dimana pertumbuhan masih memungkinkan dan masing-masing biasanya memiliki pH optimum. Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6.0-8.0 dan nilai pH diluar kisaran 2.0 dan 10 biasanya bersifat merusak. Ketersediaan oksigen juga mempengaruhi mikroorganisme yang tumbuh selama fermentasi. Berdasarkan kebutuhan oksigen, mikroorganisme dikelompokkan menjadi mikroorganisme aerobik, anaerobik, anaerobik fakultatif dan mikroerofilik. Mikroorganisme aerobik membutuhkan ketersediaan oksigen, sedangkan anaerobik merupakan mikroorganisme yang tidak dapat tumbuh jika adanya oksigen. Mikroorganisme anaerobik fakultatif akan mempergunakan oksigen jika tersedia dan akan tetap hidup walaupun kondisi dalam anaerobik, sedangkan mikroerofilik yaitu mikroorganisme yang tumbuh pada kadar oksigen lebih rendah dari kadar oksigen di atmosfer. Mikroorganisme juga membutuhkan water activity yang berbeda. Bakteri membutuhkan aw yang tinggi berkisar 0.91, sedangkan khamir membutuhkan nilai aw yang rendah sekitar 0.87 (Buckle, 1985).

Pati yang telah difermentasi kemudian dikeringkan dengan sinar matahari selama 7-9 jam bergantung cuaca. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam bahan. Pengeringan dengan sinar matahari berpengaruh terhadap baking expanding capability tapioka asam yang dihasilkan, khususnya pada panjang gelombang UV tertentu. Vatanasuchart et al., (2005) mengemukakan bahwa asam laktat dan energi UV dengan panjang gelombang 310-330 nm dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi parsial pada struktur amilosa tapioka asam sehingga baking expansion yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan menggunakan oven. Dengan demikian, ketika pasta pati dipanaskan maka molekul air lebih mudah terserap dan membentuk ikatan hidrogen sehingga akan mencapai viskositas yang lebih cepat. Tahapan terakhir adalah penghalusan tapioka asam kasar dengan blender sehingga diperoleh tapioka dengan ukuran pati yang dikehendaki. Bentuk tapioka asam yang dihasilkan secara visual dapat dilihat pada Lampiran 6.

Secara visual tidak terlihat perbedaan pada tapioka asam yang dihasilkan berdasarkan umur fermentasinya. Akan tetapi, tekstur yang dimiliki oleh masing-masing tapioka tersebut berbeda. Umur fermentasi yang lebih panjang akan menghasilkan tapioka asam dengan tekstur lebih halus yang diringi dengan peningkatan jumlah bakteri asam laktat yang tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa granula-granula pati digunakan oleh bakteri asam laktat sebagai subsrat untuk metabolismenya sehingga dihasilkan asam laktat dan senyawa lainnya. Bakteri asam laktat juga memecah pati menjadi molekul yang sederhana seperti glukosa. Granula pati yang awalnya memiliki ukuran yang lebih besar, perlahan akan menjadi kecil dan memiliki bentuk yang tidak teratur dan seragam. Hal ini bergantung pada jumlah bakteri asam laktat yang tumbuh. Selain itu, flavour tapioka asam yang dihasilkan juga semakin baik seiring dengan makin lamanya fermentasi. Hal ini dikarenakan bakteri asam laktat menghasilkan komponen aroma non volatil. Menurut Onyango et al., (2004), bakteri asam laktat menghasilkan komponen utama berupa asam laktat yang merupakan komponen aroma non volatil utama disamping komponen flavor yang lain yaitu asam karboksilat, ester dan aldehida.

Tapioka asam merupakan salah satu jenis pati termodifikasi. Proses modifikasi pada pati dapat memperbaiki cooking properties sehingga pada aplikasi pengolahannya akan semakin mudah. Proses modifikasi yang terjadi pada tapioka asam terjadi disebabkan oleh hidrolisis asam laktat yang dihasilkan dan thermal treatment dari pengeringan menggunakan sinar matahari yang memiliki panjang gelombang yang beragam.


(34)

20 Mekanisme modifikasi pati yang terjadi pada tapioka asam tidak lepas dari bagian yang membentuk pati tersebut yaitu amilosa dan amilopektin. Pada bagian tersebut terdapat bagian amorf dan kristalin yang berpengaruh terhadap sifat pati yang dihasilkan, khususnya sifat fungsional. Bagian amorf merupakan bagian yang dapat larut, sedangkan bagian kristalin tidak dapat larut. Pada tapioka asam bagian amorf akan mengalami kerusakan oleh asam laktat. Bagian amorf merupakan ikatan yang lemah dan umumnya terdapat pada titik percabangan struktur pati sehingga mudah terputus oleh asam. Pada saat bagian tersebut dirusak oleh asam maka percabangannya akan terputus dan akan terbentuk sebagian rantai yang lurus sesuai dengan jumlah kerusakan yang terjadi. Gambar 9 memperlihatkan mekanisme modifikasi pati pada bagian amorf tapioka asam.

Ket : A = bagian amorf

Gambar 9. Mekanisme modifikasi pati pada tapioka asam (model cluster amilopektin oleh Hizukuri, 1986)

Pada produksi tapioka asam, jumlah kerusakan pada bagian amorf yang diinginkan hanya sebagian. Hal ini terkait dengan pengaruh bagian tersebut pada cooking properties pati yang dihasilkan. Jika seluruh bagian amorf terpotong-potong maka bagian yang tersisa pada pati yaitu bagian kristalin yang memiliki struktur yang kaku, sehingga cooking properties yang dihasilkan akan menurun. Pengaruh ini dapat dilihat pada sifat fungsional tapioka asam yang dihasilkan.

4.2 Karakteristik Cairan Fermentasi

Proses fermentasi spontan menghasilkan produk samping berupa cairan fermentasi. Cairan fermentasi diperoleh saat pemisahan pati dengan cairannya. Cairan fermentasi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme karena merupakan salah satu media untuk pertumbuhan mikroba. Pada awal proses fermentasi, tumbuh berbagai jenis mikroba pada permukaan cairan fermentasi dan membentuk sebuah lapisan yang berwarna gelap. Kemudian permukaan cairan fermentasi perlahan bersih dari mikroorganisme ketika fermentasi dilanjutkan hingga 50 hari. Analisis yang dilakukan pada cairan fermentasi meliputi nilai pH, total asam, jumlah bakteri asam laktat, TPC dan Total Soluble Carbohydrate. Hasil analisis cairan fermentasi dapat dilihat pada Tabel 7.

A

A A

A

A A A

A

A


(35)

21 Tabel 7. Hasil analisis cairan fermentasi

Parameter fermentasi hari ke -

10 20 30 40 50

pH 4.18 b 3.75 b 3.39 a 3.65 b 3.63 b

Total Asam (ml NaOH/100g bahan) 15.84 a 46.05 ab 55.15 ab 72.45 ab 103.25 b Bakteri Asam laktat (x 106 CFU/g) 0.72 a 59.60 abcd 19.56 abc 41.77 abcd 16.15 ab

Total Plate Count (x 106 CFU/g) 0.03 a 16.24 abc 16.66 abc 28.54 abcd 10.66 ab

Total Soluble Carbohydrate (mg/L) 178.87 a 601.01 ab 1052.61 abc 1116.50 abc 1594.70 abc

4.2.1. pH

Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 4 diperoleh bahwa terdapat satu perlakuan yang berbeda signifikan dengan perlakuan lain pada taraf 5% yaitu cairan fermentasi 30 hari, sedangkan cairan fermentasi 10 hari, 20 hari, 40 hari dan 50 hari tidak berbeda signifikan. Nilai pH cairan fermentasi 30 hari yaitu 3.39 dan merupakan nilai pH paling rendah, sedangkan pada perlakuan lain berkisar antara 3.63-4.18. Pada cairan fermentasi 30 hari lingkungan fermentasi paling asam dibandingkan dengan yang lain. Rendahnya nilai pH pada cairan fermentasi tersebut disebabkan adanya asam organik yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang tumbuh selama proses fermentasi terutama bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat sehingga dapat menurunkan pH pada cairan fermentasi.

4.2.2. Total asam

Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 4 diperoleh bahwa nilai total asam berbeda signifikan pada cairan fermentasi 10 hari dan 50 hari, sedangkan pada cairan fermentasi 20 hari sampai 40 hari tidak berbeda signifikan pada taraf 5%. Kenaikan nilai total asam terjadi sampai dengan fermentasi 50 hari artinya jumlah asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat semakin tinggi. Hal ini berhubungan dengan jumlah bakteri asam laktat yang tumbuh selama fermentasi. Selain dapat menurunkan pH, asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat juga dapat meningkatkan total asam pada cairan fermentasi. Bakteri asam laktat memanfaatkan kandungan pati sebagai substrat untuk diubah menjadi glukosa dan kemudian digunakan untuk menghasilkan asam laktat melalui proses glikolisis.

4.2.3. Bakteri Asam Laktat

Dari analisis ANOVA dan uji lanjut LSD taraf 5% pada Lampiran 4 maka terdapat perlakuan yang berbeda signifikan berdasarkan jumlah bakteri asam laktat. Cairan fermentasi 10 hari dengan jumlah bakteri asam laktat paling rendah sebesar 0.72 x 106 CFU/g. Jumlah bakteri asam laktat mengalami peningkatan pada cairan fermentasi 20 hari menjadi 5.96 x 106 CFU/g dan nilai tersebut tidak berbeda signifikan dengan cairan fermentasi 40 hari (41.77 x 106 CFU/g). Pada cairan fermentasi 30 hari, jumlah bakteri asam laktat mengalami penurunan menjadi 19.56 x 106 CFU/g dan berbeda signifikan dengan cairan fermentasi 20 hari. Hal yang serupa juga terjadi pada cairan fermentasi 50 hari dengan bakteri asam laktat sebesar 16.15 x 106 CFU/g. Perubahan jumlah bakteri asam laktat disebabkan oleh berbagai faktor seperti suhu, ketersediaan oksigen dan subsrat yang sulit dikontrol selama proses fermentasi.


(36)

22 4.2.4. Total Plate Count (TPC)

Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD taraf 5% pada Lampiran 4 maka terdapat perlakuan yang berbeda signifikan berdasarkan TPC. TPC mengalami peningkatan yang signifikan sampai fermentasi 40 hari menjadi 28.54 x 106 CFU/g. Namun, pada fermentasi 50 hari mengalami penurunan yang signifikan menjadi 10.66 x 106 CFU/g. Penurunan TPC ini disebabkan kandungan total asam yang semakin tinggi pada cairan fermentasi sehingga pertumbuhan mikroorganisme yang tidak tahan terhadap asam akan terhambat. Penurunan TPC ini diduga menghasilkan biomassa berupa sel-sel mikroba yang telah mati sehingga meningkatkan amonia pada cairan fermentasi dan meningkatkan nilai pH yang terjadi mulai pada lama fermentasi 40 hari. Pertumbuhan bakteri asam laktat pada cairan fermentasi sudah mulai terlihat dominan dibandingkan TPC mulai fermentasi selama 10 hari. Walaupun pada fermentasi 30 hari jumlah bakteri asam laktat mengalami penurunan, namun jumlahnya tetap lebih dominan dari TPC.

4.2.5 Total Soluble Carbohydrate (TSC)

Total Soluble Carbohydrate (TSC) menunjukkan karbohidrat yang terlarut pada cairan fermentasi. Metode yang dipakai untuk mengukur TSC adalah metode fenol-asam sulfat. Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 4 diperoleh bahwa cairan fermentasi 10 hari dan 20 hari berbeda signifikan pada taraf 5% dengan perlakuan lain. Nilai TSC mengalami kenaikan hingga fermentasi 50 hari. Peningkatan yang terjadi pada cairan fermentasi 30 hari sampai 50 hari tidak berbeda signifikan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat yang mengubah pati pada tapioka menjadi gula-gula sederhana yang larut dalam cairan. Tingginya jumlah bakteri asam laktat selama fermentasi mengakibatkan jumlah pati yang dipecah semakin banyak sehingga jumlah gula sederhana juga semakin meningkat.

4.3 Karakteristik Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tapioka Asam

Analisis yang dilakukan terhadap tapioka asam yaitu analisis terhadap sifat fisik, kimia, mutu dan fungsional. Sifat fisik merupakan kriteria yang penting pada pati yang meliputi bentuk dan sifat

birefringence pada pati. Karakterisasi kimia tapioka asam meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar serat kasar, kadar lemak, dan karbohidrat by difference). Karakterisasi mutu pati meliputi nilai pH, total asam, dan analisis mikroba (TPC, bakteri asam laktat, Eschericia coli, kapang dan khamir). Selain itu, juga perlu dilakukan karakterisasi fungsional tapioka asam yang dihasilkan meliputi kejernihan, kelarutan, swelling power, sifat amilografi dan expanding capability. Hasil analisis komponen kimia, mutu dan sifat fungsional tapioka asam dapat dilihat pada Tabel 8. Terlihat bahwa perbedaan umur fermentasi menghasilkan sifat fisikokima dan fungsional tapioka asam yang berbeda terutama dalam komponen mutunya.


(37)

23 Tabel 8. Hasil analisis sifat fisikokimia dan fungsional tapioka asam

Parameter Fermentasi hari ke-

0 10 20 30 40 50

Komponen Kimia

Air (%) 11.93 15.60 14.06 16.71 14.62 12.59

Abu (% bk) 0.16 b 0.15 a 0.85 c 0.21 b 0.26 b 0.22 b

Protein (% bk) 0.19 a 0.20 b 0.49 c 0.44 c 0.45 c 0.49 c

Lemak (% bk) 1.19 b 1.45 b 1.06 ab 1.07 b 1.05 a 1.07 b

Serat Kasar (% bk) 0.11 a 0.12 b 0.11 b 0.11 b 0.11 b 0.11 b

Karbohidrat by different (% bk) 86.43 b 82.49 b 83.43 b 81.47 a 83.52 b 85.51 b

Komponen Mutu

pH 4.75 b 4.18 b 3.78 b 3.83 b 3.36 a 3.64 b

Total Asam (ml NaOH/100 g bahan) 2.23 a 4.75 b 6.13 b 6.22 b 7.30 c 7.36 c

Bakteri Asam laktat (x 106 CFU/g) 0.01 a 0.12 ab 14.93 abcd 19.53 abcde 10.43 abcd 5.01 abc

Total Plate Count (x 105 CFU/g) 0.17 a 3.96 ab 18.33 abcd 18.92 abcd 11.25 abc 9.33 abc Kapang dan Khamir (x 105 CFU/g) tt 0.01 ab 0.27 abc 2.49 abcd 2.58 abcd 2.65 abcd

Eschericia coli (CFU/g) tt tt tt tt tt tt

Sifat Fungsional

Kejernihan pasta (%T) 45.97 a 56.80 b 51.13 b 61.88 b 52.25 b 51.52 b

Kelarutan (%) 21.18 a 33.88 b 50.56 b 35.78 b 35.63 b 34.92 b

Swelling Power (%) 0.45 a 0.85 b 1.71 c 0.93 b 0.92 b 0.89 b

Expanding Capability (SV, ml/g) 1.15 a 1.18 a 1.21 a 1.22 a 1.27 a 1.28 a *tt : tidak terdeteksi


(38)

24 4.3.1 Bentuk Granula Pati

Tapioka memiliki bentuk asli berupa butiran atau granula yang berwarna putih, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berampas. Sifat fisik tapioka asam dapat dijelaskan melalui bentuk granula dan sifat birefringence. Sifat mikroskopis granula pati dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber patinya sebab pati yang terdapat dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk dan ukuran yang khas dan beraneka ragam. Menurut Moorthy (2004), granula tapioka menunjukkan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan bentuk bulat dan oval. Sriroth et al., (1999) menambahkan bahwa ukuran granula pati dari ubi kayu yaitu sekitar 8-22 µm, dengan rata-rata ukuran granula yaitu 15 µm (14 bulan masa panen) dan 12 µm (16 bulan masa panen). Perbedaan ukuran granula dapat dipengaruhi oleh kondisi dan waktu panen ubi kayu. Hasil pengamatan bentuk granula tapioka dapat dilihat pada Gambar 10.

Pada Gambar 7 tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan bentuk granula pati sesuai dengan waktu fermentasinya. Secara umum, dapat terlihat bahwa semakin lama fermentasi kerusakan terhadap granula pati semakin meningkat. Ampe et al., (2001) melaporkan bahwa tapioka asam yang difermentasi selama 30 hari memperlihatkan kerusakan granula sebagai akibat terjadinya degradasi pada pati yang semakin meningkat.

Bentuk granula tapioka alami (a) memperlihatkan bentuk sebagian besar granula masih utuh yaitu bulat dan oval. Kemudian tapioka asam yang telah difermentasi selama 10 hari (b) memberikan hasil yaitu terdapat granula yang sudah mulai mengalami kerusakan, walaupun masih banyak granula yang masih utuh. Kerusakan granula meningkat pada tapioka asam yang difermentasi selama 20 hari (c), terdapat banyak granula pati yang memiliki permukaan yang keropos pada bagian luar. Kerusakan granula terus meningkat pada tapioka asam yang difermentasi selama 30 hari (d) yang memperlihatkan banyaknya granula pati yang retak dan berlubang. Begitupun dengan tapioka asam yang difermentasi selama 40 hari (e), kerusakan ditandai dengan granula pati yang berlubang, keropos dan memiliki bentuk yang tidak beraturan. Pada tapioka asam dengan waktu fermentasi 50 hari (f) terdapat granula pati sudah sangat rusak dan berlubang sehingga kemungkinan lapisan yang menyusun granula tersebut banyak yang terkelupas tidak teratur. Kerusakan yang terjadi pada granula pati diduga disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat yang memecah pati menjadi komponen yang sederhana. Jumlah bakteri asam laktat yang terus meningkat hingga mencapai fase eksponensial sejalan dengan kerusakan yang terdapat pada granula tapioka asam.


(39)

25

(a) Fermentasi 0 hari (b) Fermentasi 10 hari

(c) Fermentasi 20 hari (d) Fermentasi 30 hari

(e) Fermentasi 40 hari (f) Fermentasi 50 hari

Gambar 10. Bentuk granula tapioka asam dengan mikroskop cahaya perbesaran 100X

Granula pati pada tapioka asam menunjukkan sifat birefringence yaitu sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga dibawah mikroskop polarisasi membentuk bidang warna kuning biru. Pada waktu granula rusak atau mulai pecah maka sifat birefringence akan semakin berkurang (Gambar 11).


(40)

26

(a) Fermentasi 0 hari (b) Fermentasi 10 hari

(c) Fermentasi 20 hari (d) Fermentasi 30 hari

(e) Fermentasi 40 hari (f) Fermentasi 50 hari

Gambar 11. Pengamatan mikroskopik granula pada tapioka asam dengan mikroskop cahaya terpolarisasi (perbesaran 100X)

Whistler dan Paschall (1984) di dalam Permatasari (2007), melaporkan bahwa warna biru-kuning pada permukaan granula pati disebabkan karena adanya perbedaan indeks refraksi dalam granula pati. Indeks refraksi dipengaruhi oleh struktur molekul amilosa di dalam pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Jika arah getar gelombang cahaya paralel terhadap sumbu heliks amilosa, maka terjadi penyerapan cahaya secara intensif. Jika arah getar gelombang cahaya tegak lurus terhadap sumbu heliks amilosa, maka terjadi sedikit atau tidak ada penyerapan cahaya. Jadi setelah dilakukan fermentasi secara spontan, ada bagian dari pati (amilopektin) yang bersifat amorf terpotong oleh asam. Hal ini yang menyebabkan sifat kristalinitas meningkat sedangkan fraksi amorf semakin berkurang sehingga sifat birefringence juga semakin berkurang.


(41)

27 4.3.2 Komponen Kimia Tapioka Asam

4.3.2.1 Kadar Air

Jumlah kandungan air dalam suatu bahan sangat mempengaruhi daya simpan bahan tersebut terhadap serangan mikroba. Untuk memperpanjang umur simpan suatu bahan maka dilakukan penghilangan sebagian air dalam bahan tersebut sehingga mencapai kadar air tertentu. Pengeringan pada tapioka asam mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan dapat dihambat.

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa kadar air tapioka asam yang diperoleh berkisar antara 11.93-16.71%. Perbedaan nilai kadar air pada tapioka asam ini dipengaruhi oleh proses pengolahan, khususnya pada saat pengeringan. Pengeringan yang dilakukan pada tapioka asam yaitu dengan penjemuran dibawah sinar matahari. Panas sinar matahari yang tidak stabil setiap waktu sehingga dihasilkan tapioka asam yang memiliki kadar air yang bervariasi.

4.3.2.2 Kadar Abu

Kadar abu menunjukkan kandungan mineral dalam suatu bahan. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses pembakaran. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang dianalisis dan cara pengabuannya.

Kadar abu adalah komponen yang tidak mudah menguap, tetap tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Komponen yang umum terdapat pada senyawa organik alami adalah kalium, natrium, kalsium, magnesium, mangan dan besi. Mineral yang banyak terkandung di dalam ubi kayu adalah kalsium dan phosfor.

Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 maka terdapat perlakuan yang berbeda signifikan yaitu pada kadar abu pada tapioka yang dihasilkan pada 10 hari dan 20 hari fermentasi. Tapioka asam yang dihasilkan dari fermentasi 20 hari memiliki kadar abu tertinggi sebesar 0.85 %, sedangkan pada perlakuan lain diperoleh kadar abu berkisar antara 0.15-0.26%. Nilai kadar abu tapioka asam yang diperoleh lebih rendah dari nilai kadar abu tapioka ditetapkan oleh SNI 3451:2011 yaitu maksimal 0.5 %. Kadar abu pada pati dipengaruhi oleh proses pengolahan yaitu pada tahap ektraksi. Ekstraksi yang dilakukan secara manual dengan menggunakan saringan bertingkat memberi kemungkinan mineral yang terkandung dalam umbi ubi kayu dapat ikut terbuang bersama ampas hasil ekstraksi sehingga kadar abu yang terukur menjadi lebih rendah. Sahlin (1999) menjelaskan bahwa kadar abu tidak dipengaruhi oleh fermentasi kecuali jika pada proses fermentasi tersebut ditambahkan beberapa garam atau terjadi leaching saat bagian yang cair dipisahkan dari makanan yang difermentasi.

4.3.2.3 Kadar Protein

Protein merupakan komponen minor pada tapioka. Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 maka diperoleh bahwa tapioka tanpa fermentasi (0 hari) atau yang selanjutnya disebut sebagai tapioka alami dan tapioka asam yang difermentasi 10 hari berbeda signifikan dengan perlakuan yang lain. Hal ini terlihat pada Tabel 8, diperoleh kadar protein tapioka alami dan tapioka asam yang difermentasi 10 hari berturut-turut adalah 0.19% dan 0.20%, sedangkan pada perlakuan yang lainnya diperoleh kadar protein tapioka asam berkisar antara 0.44-0.49%. Hasbullah (1985) menyebutkan bahwa kadar protein pada tapioka tanpa fermentasi adalah sebesar 0.8%. Rendahnya


(42)

28 nilai kadar protein pada tapioka yang difermentasi disebabkan karena adanya protein yang larut dalam air saat pencucian pati dan sebagian protein juga ikut terbuang bersama ampas sehingga kadar protein yang terukur menjadi rendah.

4.3.2.4 Kadar Lemak

Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 diperoleh terdapat dua perlakuan yang memiliki kadar lemak berbeda signifikan dengan perlakuan yang lainnya yaitu kadar lemak pada tapioka asam yang difermentasi 20 hari dan 40 hari. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa kadar lemak pada kedua perlakuan tersebut berturut-turut adalah 1.06% dan 1.05%, sedangkan pada perlakuan lain yaitu pada tapioka alami, tapioka asam yang difermentasi 10 hari, 30 hari dan 50 hari memiliki kadar lemak yang berkisar antara 1.07-1.45%. Menurut Hasbullah (1985), kadar lemak pada tapioka biasa yaitu 0.25%. Tingginya kadar lemak yang diperoleh pada tapioka asam dikarenakan tidak dilakukannya pemurnian pati dari lemak (defatting) sehingga masih banyak terdapat lemak di dalam pati. Lemak dalam pati tapioka tidak dapat dihilangkan secara seluruhnya. Hal ini mengacu pada Leach (1965) di dalam Goldswoth (1999) yang melaporkan bahwa proses pemurnian pada pembuatan tepung tapioka secara komersial tidak dapat dihilangkan secara keseluruhan substansi lemak maupun proteinnya.

4.3.4.5 Kadar Serat Kasar

Serat merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada struktur alami tanaman yang terdiri dari beberapa komponen seperti lignin, selulosa, hemiselulosa, substansi pektik, gum, waxes, dan oligosakarida yang tidak tercerna. Hemiselulosa dan substansi pektik yang mampu mengikat air dan mengembang disebut serat larut. Sebagian hemiselulosa, selulosa dan lignin, yang sedikit mengikat air disebut serat tidak larut atau serat kasar (Kalac dan Mika, 1997).

Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 maka kadar serat kasar pada tapioka alami berbeda signifikan dengan kadar serat pada tapioka asam. Hasil analisis yang menunjukkan bahwa kadar serat pada tapioka asam bernilai sama diduga bahwa sebagian besar serat yang terkandung merupakan serat kasar yang terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan hemiselulosa. Fermentasi yang dilakukan sampai 50 hari tidak mempengaruhi kadar serat dalam tapioka asam.

4.3.4.6 Karbohidrat bydifference

Karbohidrat merupakan komponen tertinggi yang terdapat dalam tapioka. Ubi kayu yang merupakan bahan baku dalam pembuatan tapioka merupakan salah satu sumber karbohidrat terbesar selain padi dan jagung. Nilai karbohidrat pada tapioka asam yang diperoleh bydifference yaitu 100% dikurangi dengan komponen kimia pada tapioka (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar serat kasar dan kadar lemak).

Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 diperoleh bahwa pada karbohidrat pada tapioka asam yang telah difermentasi selama 30 hari berbeda signifikan dengan perlakuan lain. Berdasarkan Tabel 8 nilai karbohidrat pada tapioka asam tersebut adalah 81.47%, sedangkan pada tapioka asam dengan perlakuan lain berkisar antara 82.49–86.43%. Rendahnya kandungan karbohidrat pada tapioka asam yang difermentasi selama 30 hari diduga berhubungan dengan jumlah mikroba yang tumbuh pada periode tersebut, yang mana pada fermentasi 30 hari mikroba yang dominan yaitu bakteri asam laktat yang mencapai pertumbuhan eksponensial. Bakteri asam laktat menggunakan pati sebagai substrat untuk diubah menjadi gula sederhana dan kemudian digunakan untuk menghasilkan asam laktat. Pati merupakan salah satu jenis karbohidrat yang tergolong jenis polisakarida.


(1)

5. Kapang dan Khamir

Anova dengan satu faktor Nilai statistik

Lama fermentasi Total ulangan Total Rata-rata Varian

0 3 0 0 0

10 3 3525 1175 139375

20 3 80000 26667 564583333

30 3 747500 249167 1.308E+09

40 3 772500 257500 1425000000

50 3 795000 265000 918750000

Tabel ANOVA Sumber keragaman

Jumlah kuadrat (JK)

Derajat bebas

Kuadrat

tengah F hitung Nilai P F tabel

Perlakuan 2.78377E+11 5 5.5675E+10 79.219 9.12E-09 3.106

Galat (eror) 8433612083 12 702801007

Total 2.8681E+11 17

Uji Lanjut LSD

Nilai LSD = 510467798.044 Urutan rataan

Perlakuan Rataan 0 10 20 30 40 40 Notasi

0 1175 26667 249166.7 257500 265000

0 0 0 tn a a

10 1175 1175 tn 0 tn b ab

20 26667 26667 tn 25492 tn 0 tn c abc

30 249167 249167 tn 247992 tn 221325 tn 0 tn d abcd

40 257500 257500 tn 256325 tn 229658 tn 0 tn abcd

50 265000 265000 tn 263825 tn 237158 tn 0 tn abcd

Karakteristik Fungsional

1. Kejernihan

Anova dengan satu faktor Nilai statistik

Lama fermentasi Total ulangan Total Rata-rata Varian


(2)

Tabel ANOVA Sumber keragaman Jumlah kuadrat (JK) Derajat bebas Kuadrat

tengah F hitung Nilai P F tabel

Perlakuan 446.005 5.000 89.201 15.381 0.000 3.106

Galat (eror) 69.592 12.000 5.799

Total 515.596 17.000

Uji Lanjut LSD Nilai LSD = 4.212 Urutan rataan

Perlakuan Rataan 0 20 50 40 10 30 Notasi

45.967 51.133 51.517 52.250 56.800 61.883

0 45.967 0 tn a a

20 51.133 5.17 * 0 tn b b

50 51.517 5.55 * 0 tn b

40 52.250 6.28 * 0 tn b

10 56.800 10.83 * 0 tn b

30 61.883 15.92 * 0 tn b

2. Kelarutan

Anova dengan satu faktor Nilai statistik

Lama fermentasi Total ulangan Total Rata-rata Varian

0 3 63.550 21.183 1.815

10 3 101.650 33.883 0.069

20 3 151.668 50.556 4.211

30 3 107.355 35.785 0.379

40 3 106.885 35.628 1.012

50 3 104.766 34.922 0.207

Tabel ANOVA Sumber keragaman Jumlah kuadrat (JK) Derajat bebas Kuadrat

tengah F hitung Nilai P F tabel

Perlakuan 1303.553 5.000 260.711 203.338 0.000 3.106

Galat (eror) 15.386 12.000 1.282


(3)

Uji Lanjut LSD Nilai LSD = 0.931 Urutan rataan

Perlakuan Rataan 0 10 50 40 30 20 Notasi

21.183 33.883 34.922 35.628 35.785 50.556

0 21.183 0 tn a a

10 33.883 12.699818 0 tn b b

50 34.922 13.738567 0 tn b

40 35.628 14.445088 0 tn b

30 35.785 14.601446 0 tn b

20 50.556 29.372756 0 tn b

3.

Swelling Power

Anova dengan satu faktor Nilai statistik

Lama fermentasi Total ulangan Total Rata-rata Varian

0 3 1.345 0.448 0.001

10 3 2.563 0.854 0.000

20 3 5.140 1.713 0.016

30 3 2.789 0.930 0.001

40 3 2.769 0.923 0.002

50 3 2.683 0.894 0.000

Tabel ANOVA Sumber keragaman

Jumlah kuadrat (JK)

Derajat bebas

Kuadrat

tengah F hitung Nilai P F tabel

Perlakuan 2.542 5.000 0.508 150.162 0.000 3.106

Galat (eror) 0.041 12.000 0.003

Total 2.582 17.000

Uji Lanjut LSD Nilai LSD = 0.002 Urutan rataan

Perlakuan Rataan 0 10 50 40 30 20 Notasi

0.448 0.854 0.894 0.923 0.930 1.713

0 0.448 0 tn a a

10 0.854 0.406 0 tn b b


(4)

4.

Expanding Capability

Anova dengan satu faktor Nilai statistik

Lama fermentasi Total ulangan Total Rata-rata Varian

0 2 2.300 1.150 0.000

10 2 2.353 1.177 0.000

20 2 2.410 1.205 0.008

30 2 2.442 1.221 0.000

40 2 2.544 1.272 0.001

50 2 2.556 1.278 0.017

Tabel ANOVA Sumber keragaman

Jumlah kuadrat (JK)

Derajat bebas

Kuadrat

tengah F hitung Nilai P F tabel

Perlakuan 0.026 5.000 0.005 1.219 0.402 4.387

Galat (eror) 0.026 6.000 0.004

Total 0.052 11.000

Karena nilai F < F crit maka nilai expanding capability pada tapioka asam yang dihasilkan dari fermentasi 0 hari, 10 hari, 20 hari, 30 hari, 40 hari dan 50 hari tidak berbeda nyata pada taraf 5%.


(5)

Lampiran 6. Visualisasi Tapioka Asam yang dihasilkan

1. Tapioka alami (fermentasi 0 hari) 2. Tapioka asam dengan fermentasi 10 hari

3. Tapioka asam dengan fermentasi 20 hari 4. Tapioka asam dengan fermentasi 30 hari

5. Tapioka asam dengan fermentasi 40 hari 6. Tapioka asam dengan fermentasi 50 hari


(6)

Lampiran 7.

Expanding Capability

pada Tapioka Asam

1. Expanding capability tapioka alami 2. Expanding capability tapioka asam (10 hari)

3. Expanding capability tapioka asam (20 hari) 4. Expanding capability tapioka asam (30 hari)

5. Expanding capability tapioka asam (40 hari) 6. Expanding capability tapioka asam (50 hari)