taman bermain anak-anak. Hal ini dapat menyebabkan tingginya kemungkinan kehancuran fasilitas tersebut akibat dari pemilihan material
yang rentan untuk taman dengan pengunjung anak-anak. 2. Lingkungan tidak dapat mengakomodir kebutuhan penggunanya
Vandalisme yang dilakukan karena lingkungan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan dari penggunanya yang menyebabkan kelebihan
kapasitas sehingga menimbulkan perilaku yang dilakukan secara sadar atau tidak dapat merusak obyek dan lingkungan sekitarnya. Salah satu contohnya
adalah kerusakan yang dialami oleh boks tanaman akibat dari minimnya tempat duduk pada taman publik sehingga pengguna taman menggunakan
boks tanaman sebagai tempat duduk. 3. Akumulasi kerusakan
Vandalisme mengalami peningkatan pesat pada lingkungan yang tampaknya diabaikan. Lingkungan yang dirusak cenderung memberikan kesan
ditinggalkan dan tidak terawat sehingga memberikan kesan diizinkan untuk dirusak Lavrakas, 1982. Kerusakan tidak hanya dihasilkan oleh perilaku
perusakan yang berat yang dapat menyebabkan degradasi kualitas lingkungan secara drastis, tetapi juga dapat dihasilkan oleh akumulasi perilaku-perilaku
merusak ringan sehingga kemudian menarik pelaku vandalisme lainnya untuk melakukan perusakan dan pada akhirnya menyebabkan degradasi kualitas
lingkungan yang tidak jauh berbeda dengan perilaku perusakan yang berat.
2.2 Setting pada Suatu Lanskap
Menurut Haryadi dan Setiawan 1995, setting adalah suatu lokasi pada tapak atau areal tertentu yang telah diplotkan sebelumnya. Setting merupakan suatu satuan
lingkungan spesifik yang menunjukkan makna lingkungan tersebut untuk suatu kegiatan. Setting sendiri meliputi bangunan dan lingkungan ruang luar yang
dirancang serta organisasi yang akan menempati lingkungan binaan tersebut Laurens, 2004. Gagasan, sasaran, kendala, dan kebiasaan organisasi harus
dipertimbangkan seperti juga persyaratan fisik, seperti luas, penerangan, suara,
penataan ruang secara spesifik, dan dekorasi. Dalam perjalanannya, telah banyak penelitian dan pengembangan teori untuk menggambarkan hubungan manusia dengan
setting , dan salah satu model tersebut adalah model seperti yang ditunjukkan oleh
Gambar 3 Gifford, 1987, diacu dalam Laurens, 2004.
Gambar 2. Hubungan Integratif Manusia dengan Setting Karakteristik individu M, kualitas setting S, dan norma sosial budaya SB
secara bersama-sama mempengaruhi rencana seseorang ketika memasuki setting dan juga apa yang akan terjadi di dalamnya. Dalam setting, seseorang berperilaku
misalnya menghayati atau berinteraksi, berpikir misalnya mengenali, menghitung, atau mengumpulkan informasi, dan merasa misalnya bahagia, gembira, atau sedih,
dalam keadaan sehat atau sakit secara fisik. Hasil dari transaksi dalam setting dapat berlangsung ataupun tidak langsung terlihat. Seseorang dapat menjadi lebih baik
misalnya lebih gembira atau lebih terampil atau dapat pula menjadi lebih buruk misalnya menjadi sedih atau menjadi sakit. Perancangan setting yang kurang
mewadahi aktivitas penggunanya seringkali menyebabkan kerusakan terhadap fasilitas, meningkatnya biaya pemeliharaan, atau bahkan mubazirnya fasilitas tersebut
karena tidak digunakan seperti yang diprediksikan oleh perancang dalam hasil rancangannya Laurens, 2004.
2.3 Kebun Raya