Kajian Pengelolaan Aliran Permukaan di Arboretum Tol Jagorawi, Bogor

(1)

HENI PRATIWI

A14070060

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Jagorawi, Bogor. Dibimbing oleh WAHYU PURWAKUSUMA dan ENNI DWI WAHJUNIE.

Jalan raya diketahui merupakan salah satu sumber pencemaran air permukaan yang berasal dari polutan kendaraan berupa emisi gas buang dan bahan lain. Aliran permukaan yang melalui jalan raya sebagian akan meresap ke dalam tanah di sekitar jalan dan sebagian dapat berakumulasi menjadi genangan. Proses tersebut berjalan terus menerus menyebabkan adanya akumulasi bahan emisi kendaraan di dalam tanah. Salah satu metode untuk meminimalisir hal tersebut adalah dengan menerapkan teknik bioretensi. Arboretum tol Jagorawi idealnya berfungsi sebagai sistem bioretensi yang dapat mengontrol kualitas aliran permukaan dan mengalirkannya dengan aman ke daerah sekitarnya.

Penelitian ini bertujuan mengkaji pengelolaan aliran permukaan di arboretum tol Jagorawi, mengkaji keterkaitan antara selang kejadian hujan, tinggi dan lama hujan, serta volume kendaraan yang melewati jalan tol Jagorawi dengan sifat-sifat fisik dan kimia pada air hujan dan air permukaan, mengetahui kemampuan tanah sebagai sistem bioretensi dan mengkaji kemampuan sistem bioretensi melalui karakter sifat kimia air sumur di pemukiman warga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa air permukaan dengan selang kejadian hujan paling panjang memiliki kadar TDS paling tinggi sejalan dengan tingginya volume kendaraan. Nilai pH air hujan dan air permukaan sekitar 6,1-6,7, tergolong aman dan tidak berpotensi mencemari air tanah. Kadar P-total air hujan sekitar 0,2-0,33 mg/l, tergolong tidak aman bagi air minum, akan tetapi kandungan P-total dalam air sumur warga tergolong rendah dan tidak menunjukkan adanya pencemaran. Kandungan nitrat pada air permukaan sekitar 10,33-14,47 mg/l, tergolong tidak aman untuk air minum dan berpotensi mencemari air tanah, akan tetapi kandungan nitrat pada air tanah tergolong rendah dan tidak menunjukkan adanya pencemaran. Kadar Pb pada air hujan dan air permukaan sekitar 0,003-0,013 mg/l, tergolong aman bagi air minum dan tidak berpotensi sebagai pencemar, akan tetapi contoh air sumur 3 menunjukkan kandungan Pb yang melebihi batas ambang kualitas air minum yaitu sebesar 0,018 mg/l. Arboretum tol Jagorawi sudah memenuhi syarat sifat fisik sistem bioretensi kecuali tekstur. Tekstur tanah di lokasi penelitian mengandung liat ≥ 50%.


(3)

Arboretum of Jagorawi Toll Road, Bogor. Supervised of WAHYU PURWAKUSUMA and ENNI DWI WAHJUNIE.

Road and highways have been recognized as a source of pollution originated from vehicle emissions and other materials. Overland flow from the road will either infiltrate into the soil around the road or accumulate as surface water. The process runs continuously that the accumulation of vehicle emission materials will occure in the soil. One method to minimize this is to apply the technique of bioretention. Arboretum of Jagorawi toll road ideally works as a bioretention system that controls the quality of surface water and distributed safely into the surrounding area.

Aims of the research is to study overland flow management practices in the arboretum of Jagorawi toll road, to study the relationship between rainfall properties, volume of vehicles passing the road with the physical and chemical properties of the rain and surface water, to evaluate the ability of the soil as bioretention system through chemical properties examination of the groundwater.

The research shows that the longest rainfall occurence timelag has the highest TDS value in line with high volume of the passing vehicles. pH value of rainwater and surface water are about 6,1 to 6,7, they are categorised as safe for drinking water and potentially have no tendency to contaminate groundwater. Total P value of rainwater is about 0,2 to 0,33 mg/l, they are categorised as unsafe for drinking water, but total P value of groundwater is low and has no tendency to contamination. Nitrate value of surface water is about 10,33 to 14,47 mg/l, it is categorised as unsafe for drinking water and potentially has tendency to contaminate the groundwater, but nitrate value in the groundwater is relatively low and has no tendency to contamination. Pb value in rain water and surface water are about 0,003 to 0,013 mg/l, they are categorised as safe for drinking water and potentially have no tendency to contaminate the groundwater, however groundwater sample 3 shows that the value of the Pb is higher than the limit for drinking water standard quality (0,018 mg/l). Arboretum of Jagorawi toll road is physically qualified as bioretention system except of soil texture. The soil texture of arboretum contains more than 50% of clay.


(4)

HENI PRATIWI

A14070060

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

i

LEMBAR PENGESAHAN

Menyetujui,

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Ir. Wahyu Purwakusuma, M.Sc NIP. 19610122 198703 1 002

Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si NIP. 19600330 198601 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Kajian Pengelolaan Aliran Permukaan di Arboretum Tol Jagorawi, Bogor

Nama Mahasiswa : Heni Pratiwi

NRP : A14070060


(6)

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Februari 1990 di Kecamatan Kasokandel, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Dayat (almarhum) dan Ibu Sukamti.

Penulis memulai studinya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Leuwikidang 2 Majalengka sampai tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 2 Majalengka. Penulis kemudian melanjutkan ke sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Majalengka dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswi di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis mengambil program minor yaitu Manajemen Fungsional dari Fakultas Ekonomi Manajemen dan program Supporting Course (SC) yaitu Ilmu Ukur Tanah dari Fakultas Teknik Pertanian serta Komunikasi Profesional dari Fakultas Ekonomi Manajemen.

Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam organisasi mahasiswa daerah (OMDA) Majalengka bernama Himpunan Mahasiswa Majalengka (HIMMAKA) pada tahun pertama. Pada dua tahun berikutnya, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) sebagai anggota Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia (2009-2010) dan Biro Lingkungan Hidup AZIMUTH sebagai anggota Divisi Hubungan Luar Alumni (2008-2010). Adapun pengalaman pendakian penulis antara lain Gunung Walat dan Gunung Mandalawangi. Selain itu, penulis juga pernah aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan di IPB.


(7)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

‘’Kajian Pengelolaan Aliran Permukaan di Arboretum Tol Jagorawi, Bogor’’. Skripsi ini merupakan salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Ir. Wahyu Purwakusuma, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I sekaligus Pembimbing Akademik penulis sejak masuk Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang senantiasa memberikan bimbingan, saran, arahan, nasehat serta motivasi selama kuliah dan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan serta saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan kepada penulis dalam memperbaiki penulisan skripsi ini.

4. Orang tua, adik, dan seluruh keluarga yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat, perhatian, serta dukungan moril dan materi selama penulis menjalani masa kuliah hingga selesainya skripsi ini.

5. Pak Latief, Pak Lutfi, Pak Suganda, Ibu Bebi, Ibu Kartika, dan seluruh anggota PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. yang telah membantu dalam perizinan penelitian di arboretum tol Jagorawi.

6. Seluruh Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah mendidik penulis selama kuliah.

7. Pegawai Laboratorium Konservasi Tanah dan Air, Laboratorium Kesuburan Tanah, dan Laboratorium Sumberdaya Fisik Lahan serta


(8)

iv

seluruh staff dan karyawan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

8. Robi Harisman atas bantuannya selama pengambilan contoh tanah, serta motivasi, semangat, kesabaran, dan dukungan selama masa penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Para sahabat terbaik (Nindi, Etika, Eni, Rini dan Risa) yang telah membantu penulis selama penelitian.

10.Seluruh keluarga besar AZIMUTH 15 dan Soilscaper 44 yang telah memberikan kenangan terindah semasa kuliah.

Kritik dan saran yang membangun penulis harapkan dalam skripsi ini sehingga bisa menjadi lebih baik. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2012


(9)

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Aliran Permukaan ... 3

2.2. Kualitas Air ... 4

2.3. Polusi Udara ... 5

2.4. Sifat Fisik Tanah ... 6

2.4.1. Infiltrasi ... 6

2.4.2. Permeabilitas ... 7

2.4.3. Bobot isi ... 7

2.4.4. Distribusi Ukuran Pori ... 8

2.5. Teknik Bioretensi ... 9

2.5.1. Keuntungan teknik bioretensi ... 11

2.5.2. Keterbatasan teknik bioretensi ... 11

2.6. Akasia (Acacia mangium Willd.) ... 12

2.7. Jati (Tectona grandis Linn. f)... 13

III. METODOLOGI ... 15

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

3.2. Bahan dan Alat ... 15

3.3. Pelaksanaan Penelitian ... 15

3.3.1. Pengamatan Air Hujan dan Air Permukaan ... 17

3.3.2. Pengamatan Sifat Fisik Dan Kimia Tanah ... 18

3.3.3. Pengamatan Contoh Air Sumur ... 20


(10)

vi

4.1. Sejarah dan Deskripsi ... 21

4.2. Komponen Biologi ... 21

4.3. Komponen Fisik dan Kimia ... 23

4.4. Kondisi Lokasi Penelitian ... 24

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

5.1. Keragaan Fisik Arboretum Tol Jagorawi ... 25

5.2. Sifat Kimia Air Hujan ... 25

5.3. Sifat Fisik dan Kimia Air Permukaan ... 30

5.4. Sifat Fisik Tanah ... 36

5.4.1. Bobot isi ... 36

5.4.2. Distribusi Ukuran Pori ... 37

5.4.3. Stabilitas Agregat ... 40

5.4.4. Tekstur ... 42

5.4.5. Infiltrasi ... 43

5.4.6. Permeabilitas ... 44

5.5. Sifat Kimia Tanah ... 46

5.5.1. Tingkat Kemasaman (pH) ... 46

5.5.2. N-total ... 47

5.5.3. P-total ... 48

5.5.4. Logam Berat Pb ... 49

5.6. Karakteristik Kedalaman Sumur dan Analisis Kimia Air Sumur ... 51

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

6.1. Kesimpulan ... 54

6.2. Saran ... 54

VII. DAFTAR PUSTAKA ... 55


(11)

vii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Judul

1. Klasifikasi pori tanah berdasarkan ukuran dan fungsinya (Oades,

1986)……….. 8

2. Estimasi teknik bioretensi dan analisis laboratorium, Davis et al

(1998)………. 11

3. Rata-rata konsentrasi Pb (µg/g) pada kulit batang dan daun dari 10 jenis tumbuhan tepi jalan di Jakarta………..…………... 13 4. Metode analisis sifat kimia air dan alat serta bahan yang digunakan… 17 5. Klasifikasi laju infiltrasi tanah menurut Uhland dan O’Neil (1951)…. 18 6. Parameter pengamatan dan metode analisis sifat-sifat fisik tanah…… 19 7. Metode analisis sifat kimia tanah dan alat serta bahan yang

digunakan………... 19

8. Jenis-jenis tanaman kategori pohon yang ditemukan di sekitar jalan tol Jagorawi……….………... 22 9. Jenis-jenis tanaman kategori semak atau perdu yang ditemukan di

sekitar jalan tol Jagorawi………...…...…..……..……... 23 10. Lama hujan, tinggi hujan, dan volume kendaraan pada selang

kejadian hujan yang berbeda………..……… 26

11. Tekstur pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman tanah 0-30 cm

dan 30-60 cm………...…….. 42

12. Nilai pH pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman tanah 0-10 cm dan 10-20 cm………... 46 13. Kandungan N-total pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman

tanah 0-10 cm dan 10-20 cm……….. 48

14. Kandungan P-total pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman

tanah 0-10 cm dan 10-20 cm………...……... 49

15. Kandungan Pb pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman tanah

0-10 cm dan 0-10-20 cm………..…………. 50


(12)

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Judul

1. Aplikasi teknik bioretensi di daerah jalan raya………... 10

2. Bagan alir metodologi penelitian……….. 16

3. Lokasi penelitian (a) Lahan akasia, (b) Lahan jati, (c) Lahan rumput, dan (d) Lahan bera……… 24

4. Celah di pinggiran jalan yang masuk pada lahan akasia (kiri) dan lahan rumput (kanan)……….………. 25

5. Peralatan pengukur tinggi hujan (kiri) dan pengambilan contoh air permukaan (kanan)………..………. 26

6. Nilai pH dalam air hujan di setiap kejadian hujan…..……….. 27

7. Kandungan P-total dalam air hujan di setiap kejadian hujan……… 28

8. Kandungan nitrat dalam air hujan di setiap kejadian hujan……….. 29

9. Kandungan Pb dalam air hujan di setiap kejadian hujan……….. 30

10. Kandungan TDS dalam air permukaan di setiap kejadian hujan……..… 31

11. Nilai pH dalam air permukaan di setiap kejadian hujan………... 32

12. Kandungan P-total dalam air permukaan di setiap kejadian hujan……... 33

13. Kandungan nitrat dalam air permukaan di setiap kejadian hujan………. 34

14. Kandungan Pb dalam air permukaan di setiap kejadian hujan…………. 35

15. Bobot isi pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman tanah 0-30 cm dan 30-60 cm………...……….… 36

16. Porositas total pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman tanah 0-30 cm dan 30-60 cm………..…………... 38

17. Distribusi ukuran pori pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman tanah 0-30 cm dan 30-60 cm……….…… 39

18. Stabilitas agregat pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman tanah 0-30 cm dan 0-30-60 cm………...……..…. 41

19. Infiltrasi pada berbagai vegetasi lahan………... 43

20. Permeabilitas pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman tanah 0-30 cm dan 30-60 cm………..…. 45


(13)

ix


(14)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Judul

1. Sifat kimia air hujan………... 60

2. Sifat fisik dan kimia air permukaan………... 60 3. Sifat fisik pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman tanah 0-30 cm

dan 30-60 cm……….. 60

4. Sifat kimia pada berbagai vegetasi lahan dan kedalaman tanah 0-10 cm dan 10-20 cm………... 60 5. Volume lalu lintas kendaraan tol Jagorawi di Gerbang Tol Bogor

selama bulan November 2011………...………. 61

6. Volume lalu lintas kendaraan tol Jagorawi di Gerbang Tol Bogor

selama bulan Desember 2011………. 62

7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 492/Menkes/Per/IV/2010 Tanggal 19 April 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum…….. 62 8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tanggal 14 Desember

2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air………... 66


(15)

1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Jalan raya diketahui merupakan salah satu sumber pencemaran air permukaan. Kendaraan di jalan raya menghasilkan polutan kendaraan berupa emisi gas buang dan bahan lain yang dapat menyebabkan turunnya kualitas air akibat air limpasan jalan raya ke daerah di sekitarnya.

Hujan yang jatuh di permukaan jalan menyebabkan aliran permukaan yang dikenal sebagai aliran permukan jalan (road/highway runoff). Aliran permukaan yang melalui jalan raya sebagian akan meresap ke dalam tanah di sekitar jalan dan sebagian dapat berakumulasi menjadi genangan. Proses tersebut berjalan terus menerus menyebabkan adanya akumulasi bahan emisi kendaraan dan bahan lain di dalam tanah. Selain kualitas air yang menurun, maka kualitas sifat fisik, kimia, dan biologi tanah dapat dipengaruhi.

Menurut Rengganis (1997), aliran permukaan dari halaman dan jalan di sekitar bangunan sumur peresap diketahui mengandung kadar sedimen sangat tinggi > 2.500 mg/l. Selain kandungan sedimen, terdapat pula sisa-sisa oli yang terbawa oleh hujan, berupa minyak dan lemak. Tingginya kandungan sedimen disebabkan oleh sarana drainase dan penataan taman yang kurang baik.

Proses pembakaran bahan bakar dari kendaraan menghasilkan gas buang yang mengandung unsur CO, NO2, HC, C, H2, CO2, H2O, dan N2, beberapa diantaranya bersifat mencemari lingkungan. Penggunaan kendaraan di dalam kehidupan manusia tidak bisa dikurangi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.

Salah satu metode untuk meminimalisir permasalahan di atas adalah dengan menerapkan teknik bioretensi. Teknik ini merupakan suatu sistem pengontrol kualitas dan kuantitas aliran permukaan dengan menggunakan sifat kimia, biologi, serta fisik tanaman, mikroba, dan tanah untuk menghilangkan polutan dari limpasan air hujan (Scott, 2009). Sistem ini berfungsi untuk menyaring polutan yang dibawa air hujan oleh tanah. Selain peran tanah, tanaman berperan dalam pemanfaatan unsur-unsur yang terkandung dalam air hujan dan polutan kendaraan. Teknik bioretensi dirancang dalam sebuah kebun atau taman berupa cekungan yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya air hujan dan air


(16)

permukaan sehingga dapat menangkap dan menyaring air permukaan. Selain itu, sistem bioretensi berfungsi sebagai penahan kelembaban ekstrem dan konsentrasi nutrisi yang dibawa oleh aliran permukaan air hujan, khususnya Nitrogen dan Fosfor.

Aplikasi teknik bioretensi di area sekitar jalan seperti jalan tol sangat penting. Konstruksi daerah berupa cekungan dan vegetasi yang padat pada kedua sisi jalan tol diduga berperan sama seperti sistem bioretensi. Aliran permukaan yang mengalir dari jalan raya, masuk ke dalam cekungan dan tertahan di permukaan tanah secara hidrologis. Selanjutnya dapat diserap oleh tanah dan tanaman. Selain itu, polutan udara yang berasal dari polusi kendaraan akan dimanfaatkan oleh vegetasi atau dijerap oleh tanah.

1.2. Tujuan

1. Mengkaji pengelolaan aliran permukaan di Arboretrum Tol Jagorawi. 2. Mengkaji keterkaitan antara selang kejadian hujan, tinggi dan lama hujan,

serta volume kendaraan yang melewati jalan tol dengan sifat-sifat fisik dan kimia air hujan dan air permukaan.

3. Mengetahui kemampuan tanah di sekitar arboretum tol Jagorawi sebagai sistem bioretensi.

4. Mengkaji kemampuan sistem bioretensi dalam kaitannya dengan karakter sifat kimia air sumur di pemukiman warga sekitar tol Jagorawi.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aliran Permukaan

Aliran permukaan merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju sungai, danau, dan lautan (Asdak, 1995). Menurut Arsyad (2010), aliran permukaan adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah dan mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran permukaan terjadi apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, dalam hal ini tanah telah jenuh air. Sifat aliran permukaan seperti jumlah atau volume, laju atau kecepatan, dan gejolak aliran permukaan menentukan kemampuannya dalam menimbulkan erosi. Besaran aliran permukaan dinyatakan dalam satuan mm (Haridjaja dkk, 1991).

Pengendalian aliran permukaan (overland flow) dilakukan dengan mengurangi kekuatan alirannya sehingga tidak menyebabkan kerusakan tanah. Peningkatan peresapan air sebaiknya dilakukan secara in situ sehingga tidak terjadi akumulasi aliran permukaan pada lereng bawah (daerah yang lebih rendah). Selain itu, perlu pengaturan penggunaan lahan dan penataan ruang kawasan:

1. Zona konservasi sepanjang jalur aliran sungai. 2. Zona konservasi di areal sumber mata air. 3. Zona konservasi lahan berlereng curam.

4. Pengaturan penggunaan lahan (penatagunaan lahan) dengan mengoptimalkan penggunaan lahan dan mempertahankan penggunaan lahan hutan pada kawasan yang diperlukan.

Koefisien aliran permukaan menunjukkan pengaruh penggunaan lahan, tanah, lereng, dan potensial aliran permukaan. Penggunaan lahan di wilayah urban yang menyebabkan pemadatan tanah dan pembuatan lapisan kedap di permukaan tanah akan menghasilkan koefisiensi aliran permukaan yang lebih besar. Nilai C sangat tergantung pada intensitas hujan. Jika intensitas hujan rendah, maka koefisien aliran permukaannya rendah. Sebaliknya, jika intensitas hujan tinggi, maka koefisien aliran permukaannya tinggi. Selain itu, nilai C sangat dipengaruhi laju infiltrasi dan penutupan lahan.


(18)

2.2. Kualitas Air

Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur atau diuji berdasarkan parameter dan metode tertentu. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiah (Anonim, 2001). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Parameter fisik menyatakan kondisi fisik air atau keberadaan bahan yang dapat diamati secara visual. Beberapa yang termasuk dalam parameter fisik adalah kekeruhan, kandungan partikel atau padatan, warna, rasa, bau, suhu, dan sebagainya.

Kualitas air permukaan dapat berubah sesuai interaksinya dengan kondisi lingkungan dan kegiatan di sekitarnya. Beberapa penyebab perubahan kualitas air permukaan adalah:

1. Masuknya materi

Masukan materi polutan ke dalam air permukaan selalu menyebabkan perubahan kualitas air. Walau demikian, masukan polutan tersebut tidak selalu dapat dikatakan menyebabkan pencemaran air. Pencemaran air baru terjadi jika masukan polutan menyebabkan mutu air turun sampai ke tingkat yang menyebabkan fungsinya terhambat. Misalnya, sampai ke tingkat dimana perkembangbiakan flora dan fauna air terganggu, atau pemanfaatannya sebagai sumber air bersih terhalangi. Untuk mempermudah penilaian tercemar atau tidaknya air permukaan, maka dapat membandingkan kualitas air dengan Baku Mutu Kualitas Air (BMKA). Jika konsentrasi dari suatu polutan sudah melampaui nilai baku mutu, maka air tersebut sudah tercemar. Sumber-sumber pencemaran lain seperti jalan raya disebabkan oleh lalu lintas dan drainase jalan raya. Kendaraan menghasilkan Pb yang berdampak buruk bagi lingkungan jika kadarnya melebihi ambang batas. Menurut Lind and Karro (1995), konsentrasi Zn, Pb, dan Cu pada tanah dari daerah perkotaan yang memiliki kondisi jalan yang ramai sebesar 2-8 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah pedesaan yang alami. Begitu juga, konsentrasi logam pada daerah infiltrasi air permukaan rata-rata 200% lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan alami.


(19)

2. Asupan panas

Biasanya disebabkan oleh buangan air limbah dari sumber‐sumber pertukaran panas. Asupan panas akan meningkatkan suhu air. Walau demikian, peningkatan suhu air belum tentu akan menimbulkan gangguan berarti bagi kehidupan air atau pemanfaatan air.

3. Pengambilan air

Biasanya untuk kepentingan pengolahan air bersih, baik bagi kepentingan umum maupun untuk kepentingan aktivitas industri. Pengambilan air akan mengakibatkan jumlah air berkurang sehingga kemampuan pengenceran dari suatu badan air akan berkurang. Akibatnya, polutan akan terakumulasi dalam air yang lebih sedikit.

4. Perubahan pola aliran

Misalnya akibat pembuatan bendungan, penambahan alat dan bangunan air, pembangunan kanal, dan sebagainya. Aliran air yang berubah sudah tentu akan menimbulkan akumulasi atau penggelontoran pencemar yang dikandungnya.

5. Perubahan morfologi badan air

Misalnya akibat normalisasi tepi sungai, pengerukan dan, pengerasan dasar sungai, dan sebagainya. Berubahnya morfologi badan air akan menimbulkan penyesuaian aliran air yang kemudian akan menimbulkan akumulasi atau penggelontoran pencemar yang dikandungnya.

6. Interaksi kehidupan flora dan fauna

Misalnya akibat pembusukan ganggang dalam jumlah yang sangat besar. Tidak semua perubahan kualitas air berakibat penurunan kualitas air. Sebagian malah dapat memperbaiki kualitas air.

2.3. Polusi Udara

Polusi udara telah berlangsung lama sejak ditemukannya mesin penggerak yang menggunakan bahan bakar, seperti kayu dan batubara pada abad ke-19 dan disusul dengan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Menurut Wardhana (1999), dari beberapa macam komponen pencemar udara, komponen-komponen yang paling banyak berpengaruh antara lain: Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Oksida (NOx), Belerang Oksida (SOx), Hidro Karbon (HC), Timbal (Pb) dan


(20)

partikel debu. Komponen pencemar udara tersebut dapat mencemari udara secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Dampak yang terjadi pada beberapa polutan yang mencemari udara diantaranya adalah efek rumah kaca, penipisan lapisan ozon, dan hujan asam (acid rain). Menurut Manahan (1994), penyebab utama hujan asam adalah terbentuknya gas SO2 dan NO2 oleh ulah manusia dari bahan bakar batubara dan minyak. Apabila gas-gas tersebut bereaksi dengan uap air maka muncul polutan NH4 dan H2SO4 yang turun bersama hujan menyebabkan pH air menurun. Selain itu, endapannya akan tertahan oleh tanah dan dilarutkan oleh hujan sehingga menyebabkan pH tanah menurun. Adapun reaksi oksidasi di udara, dapat dirumuskan sebagai berikut:

SO2 + ½ O2 + H2O (H2 + SO2)aq NO2 + ½ O2 + H2O (H2 + NO3)aq

HNO3 sangat asam dan larut dengan baik sekali. Selain itu, senyawa ini merupakan asam keras dan reaktif terhadap benda-benda lain yang menyebabkan korosif. Oleh sebab itu, presipitasinya akan merusak tanaman terutama daun (Manahan, 1994).

Timbal merupakan logam berwarna kelabu keperakan yang berasal dari asap kendaraan berbahan bakar bensin. Polutan ini ditemui pada motor, mobil, truk, dan bus. Timbal ditambahkan sebagai bahan aditif pada bensin dalam bentuk timbal organik. Pada pembakaran bensin, timbal organik ini berubah bentuk menjadi timbal anorganik. Timbal yang dikeluarkan sebagai gas buang kendaraan bermotor merupakan partikel-partikel berukuran 0,01 µm. Partikel-partikel timbal ini akan bergabung satu sama lain membentuk ukuran yang lebih besar dan keluar sebagai gas buang atau mengendap pada knalpot (Satriyo, 2008).

2.4. Sifat Fisik Tanah 2.4.1. Infiltrasi

Infltrasi dari segi hidrologi sangat penting, karena menandakan ada peralihan air dari permukaan tanah bergerak cepat ke dalam tanah. Apabila permukaan tanah tidak kedap air, maka air dapat bergerak ke dalam tanah dengan gaya gerak gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran yang disebut infiltrasi. Laju


(21)

maksimal gerakan air masuk ke dalam tanah disebut kapasitas infiltrasi (Seyhan, 1990).

Laju infitrasi ditentukan oleh besarnya kapasitas infiltrasi, intensitas hujan, dan laju penyediaan air. Selama intensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan intensitas hujan. Jika hujan melampaui kapasitas infiltrasi, maka terjadi aliran permukaan. Nilai laju infiltrasi (f) dapat kurang atau sama dengan kapasitas infiltrasi (fp). Jika intensitas hujan kurang dari kapasitas infiltrasi maka laju infiltrasi akan kurang dari kapasitas infiltrasi. Jika intensitas hujan lebih dari kapasitas infiltrasi maka laju infiltrasi sama dengan kapasitas infiltrasi. Satuan laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan panjang persatuan waktu (cm/jam). Faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi antara lain jenis tanah, kelembaban awal, kegiatan biologi, unsur-unsur organik, dan vegetasi (Soesanto, 2008., Arsyad, 2010., Asdak, 1995).

2.4.2. Permeabilitas

Jika air hujan mencapai permukaan tanah, maka seluruh atau sebagiannya akan diabsorbsi ke dalam tanah. Bagian yang tidak diabsorbsi akan menjadi limpasan permukaan (surface runoff). Proses absorbsi limpasan permukaan dari permukaan tanah ke dalam tanah sangat berbeda-beda tergantung pada kondisi tanah. Permeabilitas tanah ditentukan oleh tekstur dan struktur tanah. Perbedaan tekstur dan struktur menentukan kapasitas menahan kelembaban tanah (Suyono dan Takeda, 2006).

2.4.3. Bobot isi

Bobot isi merupakan salah satu sifat fisik tanah yang paling sering ditentukan, karena keterkaitannya dengan penetrasi akar, drainase, dan aerasi tanah, serta sifat fisik tanah lainnya. Bobot isi mempunyai variabilitas spasial (ruang) dan temporal (waktu). Tanah dengan bahan organik yang tinggi mempunyai bobot isi relatif rendah. Tanah dengan ruang pori total tinggi, seperti tanah liat, cenderung mempunyai bobot isi lebih rendah. Sebaliknya tanah dengan tekstur kasar, walaupun ukuran porinya lebih besar, namun total ruang porinya lebih kecil, mempunyai bobot isi yang lebih tinggi. Tanah dengan komposisi


(22)

mineral yang bobot jenis patikelnya tinggi di dalam tanah, menyebabkan bobot isi tanah menjadi lebih tinggi (Kurnia dkk, 2006).

Nilai bobot isi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pengolahan tanah, bahan organik, tekstur, struktur, pemadatan oleh alat-alat pertanian, dan kandungan air tanah. Menurut Hardjowigeno (2003), bobot isi digunakan untuk menghitung kebutuhan pupuk dan air per hektar. Pada umumnya bobot isi berkisar antara 1,1-1,6 gram/cm3, namun ada beberapa jenis tanah yang mempunyai bobot isi kurang dari 0,90 gram/cm3.

2.4.4. Distribusi Ukuran Pori

Menurut Oades (1986), struktur tanah merupakan susunan dari partikel-partikel dan pori-pori di dalam tanah. Susunan tersebut akan stabil ketika struktur tanah tahan terhadap proses pembasahan dan pengeringan, akibat pukulan air hujan, penanaman dan pertumbuhan akar tanaman. Diameter pori tanah berkisar antara 10-9-10-1 m. Klasifikasi pori tanah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi pori tanah berdasarkan ukuran dan fungsinya (Oades, 1986)

No Ukuran Pori (µ m) Fungsi

1 < 0,2 Air sisa, teradsorpsi

2 0,2-25 Air yang tersedia bagi tanaman

3 25-100 Pergerakan kapiler, aerasi

4 > 100 Aerasi, drainase cepat bagi pertumbuhan akar

Menurut Hakim dkk (1986), air tersedia sebagian besar merupakan air kapiler, yang ditahan tanah pada kelembaban antara kapasitas lapang dan koefisien layu permanen. Hal ini tergantung pada jenis tumbuhan dan bagian dari profil tanah yang dijangkau oleh akar. Untuk pertumbuhan optimum, air harus ditambahkan bila 50% - 85% air tersedia telah habis dipakai.

Air kapiler menempati ruang pori mikro dan dinding pori makro yang ditahan tanah pada tegangan berkisar antara 1/3-31 atm, yaitu pada kelembaban tanah antara kapasitas lapang dan koefisien higroskopik. Pergerakan kapiler tergolong lambat sejalan dengan tebal lapisan air. Air kapiler berfungsi sebagai larutan tanah dan sebagian tersedia bagi tanaman.


(23)

2.5. Teknik Bioretensi

Teknik bioretensi dibangun pada ruang terbuka hijau dan dirancang berdasarkan jenis tanahnya, kondisi lokasi, dan tata ruang rencana wilayah pengembangan. Penggunaan teknik bioretensi sebagai ruang terbuka hijau di daerah real estate dapat meningkatkan nilai estetika daerah yang dikembangkan (Cofman, 2000., Winogradoff, 2001., dalam Darsono, 2007). Teknik bioretensi mengintegrasikan fungsi pengurangan polusi dan tampungan aliran permukaan akibat dari penyaringan atau pembersihan sampah dan sedimentasi. Pemberian kompos dan pemeliharaaan serta penggantian tanaman merupakan usaha pemeliharaan dan pengoperasian sistem bioretensi yang perlu dilaksanakan. Untuk memelihara tanaman di sistem bioretensi, sebaiknya tidak perlu menggunakan pupuk buatan. Tumbuhan yang ditanam pada sistem bioretensi sebaiknya menggunakan tanaman asli daerah, agar mudah tumbuh karena cocok dengan kondisi iklim daerahnya.

Agar pengelolaan air hujan dengan teknik bioretensi dapat dioptimalkan, maka proses yang terjadi perlu dipahami. Beberapa proses utama pada bioretensi untuk air hujan lokal (Winogradoff, 2001 dalam Darsono, 2007). adalah:

Intersepsi: merupakan proses tertangkapnya air hujan oleh daun tanaman serta lapisan penutup (mulsa), sehingga memperlambat atau mengurangi terjadinya aliran permukaan.

Infiltrasi: merupakan proses utama yang ada di sistem bioretensi, baik yang mempunyai saluran underdrain maupun yang tidak.

Pengendapan: terjadi akibat aliran lambat yang ada di sistem bioretensi, akibatnya partikel yang ada di air akan tertinggal di permukaan sistem bioretensi.

Absorpsi: merupakan proses penahanan air di ruang antara partikel tanah yang kemudian akan diserap oleh akar tanaman. Absorpsi yang terjadi adalah proses penyerapan kandungan bahan kimia seperti logam berat dan nitrat yang terlarut di air oleh humus dan tanah.

Evapotranspirasi: dapat terjadi di sistem bioretensi, sebagian air limpasan yang tergenang akan berubah menjadi uap air.


(24)

Aplikasi teknik bioretensi di daerah jalan raya berfungsi untuk menyerap polutan air hujan yang berasal dari partikel sedimen, bahan kimia, dan oli yang menetes di permukaan jalan. Prosesnya dimulai dari hujan yang turun akan mencuci jalan sehingga aliran permukaannya akan membawa partikel sedimen, bahan kimia, dan oli yang menetes di permukaan jalan, dan mengalir masuk ke dalam sistem bioretensi. Aliran permukaan akan menjalani proses pemurnian di dalam sistem bioretensi.

Jika hujan masih turun, sampai kapasitas tampungan sistem bioretensi sudah terlampaui, air akan mengalir langsung ke sistem saluran drainase. Hujan awal sudah mencuci permukaan jalan sehingga kualitas air limpasan permukaan dari hujan berikutnya diharapkan sudah baik dan dapat mengalir langsung ke badan air. Pengurangan polutan dari air limpasan permukaan yang berupa sedimen, metal dan kandungan lain merupakan efek sedimentasi, proses penyaringan dari media yang digunakan serta proses mikrobiologi dari material organik (Cofman, 2000., Winogradoff, 2001., dalam Darsono, 2007).

Gambar 1. Aplikasi teknik bioretensi di daerah jalan raya

Saluran rumput dapat dimanfaatkan sebagai saluran pembawa air hujan pada berbagai lokasi dan kondisi, bersifat fleksibel dan harganya relatif murah. Umumnya saluran terbuka rumput sangat cocok sebagai saluran drainase daerah tangkapan air yang kecil dengan kemiringan yang landai. Penggunaan saluran ini biasanya sebagai saluran sepanjang jalan lingkungan dan Highway, berfungsi untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan, tempat infiltrasi, dan penyaring (filter). Selain itu, pengendapan sedimen merupakan mekanisme utama dari upaya


(25)

pengurangan polutan. Saluran rumput kerjanya sangat efektif, jika kedalaman aliran minimum dan waktu tinggalnya maksimum. Stabilitas saluran rumput dan kemampuan pengurangan polutan sangat dipengaruhi oleh erodibilitas tanahnya, kemiringan saluran dan kerapatan tanaman.

Berdasarkan hasil percobaan Davis et al (1998), baik di laboratorium maupun lapangan mempunyai hasil yang serupa untuk setiap polutan. Tabel 2 menunjukkan bahwa penambahan atau pengurangan konsentrasi masukan polutan memberikan pengaruh yang kecil terhadap polutan yang dikeluarkan.

Tabel 2. Estimasi teknik bioretensi dan analisis laboratorium, Davis et al (1998)

No Polutan Rata-rata kehilangan

1 Fosfor Total 70-83%

2 Metal (Cu, Zn, Pb) 93-98%

3 Nitrogen Total Kjeldahl 68-80%

4 Total tanah tersuspensi 90%

5 Organik 90%

6 Bakteri 90%

2.5.1. Keuntungan teknik bioretensi

Menurut Davis et al (1998), teknik bioretensi mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya adalah:

 Sistem bioretensi menyediakan tempat perlakuan bagi air permukaan dengan cara menyimpan air permukaan tersebut di BMP (Bioretention Management Practice) selama 4 hari sehingga dapat meningkatkan kualitas air di bagian hilir.

 Vegetasi memberikan efek sejuk, pemecah angin, menyerap kebisingan, dan meningkatkan lanskap daerah yang bersangkutan.

2.5.2. Keterbatasan teknik bioretensi

Menurut Davis et al (1998), teknik bioretensi mempunyai beberapa keterbatasan, diantaranya adalah:

 BMP (Bioretention Management Practice) tidak dianjurkan untuk daerah-daerah dengan lereng >20% atau daerah-daerah dengan adanya penebangan pohon


(26)

karena akan terjadi penyumbatan, terutama jika BMP menerima limpasan dengan muatan sedimen yang tinggi.

 BMP (Bioretention Management Practice) tidak sesuai pada lokasi dengan kedalaman air tanah ≤ 183 cm dari permukaan tanah dan lapisan tanah yang tidak stabil.

 Desain BMP (Bioretention Management Practice) memiliki potensi untuk menciptakan habitat yang dapat menarik nyamuk atau vektor lainnya karena kelembaban yang tinggi pada daerah bervegetasi dan genangan air.

 Dalam cuaca dingin dapat membekukan tanah sehingga mengurangi infiltrasi limpasan permukaan ke dalam tanah.

2.6. Akasia (Acacia mangium Willd.)

Akasia (Acacia mangium Willd.) termasuk pohon berbuah polongan (leguminosae) yang cepat tumbuh. Tanaman ini sangat sensitif terhadap kondisi tanah baik pada tanah tererosi atau tanah miskin mineral dan tanah Entisol. Selain itu, akasia dapat tumbuh pada lahan bekas kebakaran pada tanah Ultisol dari batuan vulkanis. Tanaman ini mampu tumbuh pada tanah-tanah dengan pH rendah, bahkan spesies ini toleran terhadap pH tanah < 4,0. Hal ini merupakan keistimewaan yang membedakannnya dengan Leguminosae yang lainnya (Herawatiningsih, 2001).

Dalam sistem klasifikasi, akasia mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermathophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)\ Subkelas : Rosidae

Ordo : Fabales

Familia : Fabaceae (suku polong-polongan)

Genus : Acacia


(27)

Menurut Wargasasmita (1991), tumbuhan dapat mengakumulasi Pb pada daun dan kulit batangnya (Tabel 3). Terbukti dari hasil penelitian itu bahwa kandungan Pb pada tumbuhan sejenis di lokasi yang jauh dari pinggir jalan.

Tabel 3. Rata-rata konsentrasi Pb (µg/g) pada kulit batang dan daun dari 10 jenis tumbuhan tepi jalan di Jakarta

No Jenis Tumbuhan Rata-Rata Konsentrasi Pb (µg/g)

Daun 1 Batang 1 Daun 2 Batang 2

1 Akasia 76,1 382,4 3,0 10,2

2 Angsana 321,7 843,5 1,1 0,2

3 Asam Jawa 28,8 27,4 16,2 7,0

4 Asam Landi 94,2 121,6 8,6 2,2

5 Bungur 99,0 521,4 7,6 5,4

6 Cemara 221,6 694,2 - -

7 Flamboyan 56,2 347,7 10,6 5,4

8 Glodogan 72,2 526,4 - -

9 Mahoni 249,1 213,7 - -

10 Kiara Payung 77,9 87,7 - -

Sumber: Modifikasi dari Wargasasmita (1991)

2.7. Jati (Tectona grandis Linn. f)

Tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke-9 telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan gangguan rayap serta jamur dan awet (mampu bertahan hingga 500 tahun). Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae

Sub-kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Verbenales

Famili : Verbenaceae

Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis Linn. f.

Secara morfologi, tanaman jati memiliki tinggi yang dapat mencapai sekitar 30-45 m. Dengan pemangkasan, batang yang bebas cabang dapat mencapai antara


(28)

15-20 m dan diameter batang mencapai 220 cm. Kulit kayu berwarna kecoklatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Pangkal batang berakar papan pendek dan bercabang sekitar 4 buah. Daun berbentuk opposite (bentuk jantung membulat dengan ujung meruncing), berukuran panjang 20-50 cm berwarna hijau kecoklatan, sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabu-abuan (Sumarna, 2003).


(29)

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di arboretum tol Jagorawi Km 41 Bogor, Jawa Barat, dari bulan Juli 2011 hingga Januari 2012. Analisis sifat fisik dan kimia contoh tanah dan air dilakukan di Laboratorium Konservasi Tanah dan Air, Laboratorium Kesuburan Tanah, dan Laboratorium Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari contoh tanah utuh, contoh tanah agregat utuh, contoh tanah terganggu, contoh air permukaan, contoh air hujan dan contoh air sumur. Pengambilan contoh air hujan, contoh air permukaan, dan contoh air sumur dilakukan dengan menggunakan botol plastik. Tinggi hujan diukur dengan menggunakan penakar hujan sederhana berupa botol plastik berukuran besar, corong, meteran, dan gelas ukur. Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan ring sample, pisau, cangkul, palu, golok, sekop, plastik, penggaris, label, dan balok kayu.

3.3. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan untuk melihat kemampuan arboretum tol Jagorawi dalam mengendalikan aliran permukaan, mengetahui pengaruh dari populasi kendaraan terhadap kualitas air hujan dan air permukaan serta mengetahui daya retensi tanah di arboretum terhadap pasokan polutan dari jalan tol Jagorawi. Dalam penelitian ini diambil 3 jenis vegetasi yang berada di arboretum yaitu lahan akasia, lahan jati, dan lahan rumput sebagai fokus kajian. Sebagai pembanding, diamati lahan bera yang terletak di belakang arboretum tol Jagorawi. Lahan bera memiliki elevasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan di arboretum, tidak berbentuk cekungan (datar) dan tidak terdapat vegetasi diatasnya.

Untuk mengetahui kemampuan arboretum dalam mengendalikan aliran permukaan dipilih 3 selang kejadian hujan yang berbeda yaitu 2 hari, 3 hari dan 5 hari. Perbedaan pemilihan kejadian hujan dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari populasi kendaraan terhadap kualitas air hujan dan air permukaan. Pengertian


(30)

dari selang kejadian hujan dalam penelitian ini adalah lamanya waktu tidak terjadi hujan.

Daya retensi tanah terhadap bahan polutan di arboretum diamati dengan menguji kualitas air tanah. Pengamatan air tanah dilakukan di sumur sekitar jalan tol Jagorawi dengan asumsi air sumur tersebut mendapat pasokan air dari jalan tol dan sekitarnya. Bagan alir dari pelaksanaan penelitian disajikan pada Tabel 2.

Gambar 2. Bagan alir metodologi penelitian

Gambar 2 menunjukkan bahwa pelaksanaan penelitian terdiri dari pengambilan contoh tanah, pengamatan lapang, dan pengambilan contoh air. Masing-masing contoh tanah dan contoh air dianalisis sifat fisik maupun sifat kimianya. Selanjutnya, dalam pengolahan data ditambahkan data sekunder berupa volume kendaraan yang melintasi jalan tol Jagorawi. Pengolahan data dilakukan dengan pembandingan kadar polutan pada contoh air hujan, air permukaan, dan air sumur terhadap peraturan-peraturan yang ada. Untuk air hujan dan air permukaan dilakukan pembandingan dengan PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk melihat tingkat kualitas air kelas I ( untuk baku air minum) dan kelas IV (untuk pertanaman). Untuk air sumur dilakukan pembandingan dengan PERMENKES No. 492/Menkes/Per/IV/2010 Tanggal 19 April 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air


(31)

Minum untuk melihat tingkat kualitas air khusus bagi baku mutu air minum. Selanjutnya, sifat fisik tanah pada berbagai vegetasi lahan dilakukan pembandingan dengan kriteria teknik bioretensi (Scott, 2009), untuk melihat kesesuaian lahan dan daya retensi tanah terhadap polutan kendaraan di sekitar arboretum tol Jagorawi.

Analisis sifat fisik tanah dilakukan untuk mengetahui kemampuan fisik tanah pada masing-masing vegetasi lahan dalam meresapkan serta meretensi air hujan dan air permukaan yang masuk ke arboretum. Adapun analisis kimia tanah dilakukan untuk mengetahui kandungan polutan dalam tanah di arboretum.

3.3.1. Pengamatan Air Hujan dan Air Permukaan

Air hujan diambil dengan cara ditampung dengan menggunakan botol plastik besar dan corong berdiameter 24 cm. Aliran permukaan diambil dengan cara menampung aliran permukaan yang masuk ke arboretum melalui celah-celah saluran yang berada di pinggiran jalan tol. Adapun analisis fisik dan kimia air yang dilakukan, diantaranya adalah TDS, pH, P-total, Nitrat, dan Pb (Tabel 4).

Tabel 4. Metode analisis sifat kimia air dan alat serta bahan yang digunakan

No Analisis Metode Alat dan Bahan

1. pH Langsung Botol plastik, pH meter, contoh air 2. P-total Spetrofotometri Tabung reaksi, pipet volumetrik,

spektrofotometer, contoh air, larutan standar 50 ppm, PB, PC

3. Nitrat Kjehdal Labu kjehdal, Erlenmeyer 250 ml, buret, pipet volumetrik, contoh air, divarda, ethanol, NaOH 50%, asam borat, indikator conway HCl 0,02 N. 4. Pb Langsung Botol plastik, pipet volumetrik 1 ml dan 2 ml,

AAS, contoh air dan larutan standar 0, 2, 4, 6, 8, 10 ppm

Pengukuran TDS dilakukan pada contoh air permukaan untuk mengetahui banyaknya sedimen yang terkandung dalam air permukaan. Analisis TDS dilakukan dengan menyaring sedimen yang terkandung dalam air permukaan dengan menggunakan kertas saring. Air yang tersaring dihitung volumenya dan


(32)

kertas saring dioven selama 24 jam kemudian ditimbang. Satuan yang digunakan adalah mg/l.

3.3.2. Pengamatan Sifat Fisik Dan Kimia Tanah

Pengamatan sifat fisik dan kimia tanah menggunakan contoh tanah utuh, contoh agregat utuh, dan contoh tanah terganggu pada masing-masing vegetasi lahan. Masing-masing contoh tanah untuk pengamatan sifat fisik diambil pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm pada lahan yang mempunyai vegetasi berbeda yaitu lahan akasia, lahan jati, lahan rumput, dan lahan bera. Setiap pengukuran dilakukan 3 kali ulangan disetiap kedalaman tanah yang diamati. Dengan demikian, jumlah contoh tanah utuh yang diambil pada setiap vegetasi lahan sebanyak 24 ring sample. Namun tanah pada lahan rumput diambil sebanyak 12 sample tanah utuh karena pada kedalaman 30-60 cm didominasi oleh batu cadas sehingga sulit untuk pengambilan contoh tanah. Pengambilan contoh tanah untuk pengamatan sifat kimia diambil pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm dan diambil dengan menggunakan bor tanah. Setiap pengukuran dilakukan 3 kali ulangan di setiap kedalaman tanah yang diamati. Dengan demikian, jumlah contoh tanah yang diambil pada setiap vegetasi lahan sebanyak 18 contoh tanah.

Sifat hidrologi tanah yang diamati di lapang meliputi infiltrasi yang diukur dengan menggunakan alat double ring infiltrometer. Penetapan nilai infiltrasi menggunakan nilai minimum atau nilai konstan untuk melihat kapasitas infiltrasi minimum yang dimiliki masing-masing vegetasi lahan. Klasifikasi laju infiltrasi tanah disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi laju infiltrasi tanah menurut Uhland and O’Neal (1951)

No Kelas Infiltrasi (cm/jam)

1 Sangat lambat < 0,1

2 Lambat 0,1-0,5

3 Agak lambat 0,5-2

4 Sedang 2-6,3

5 Agak cepat 6,3-12,7

6 Cepat 12,7-25,4


(33)

Semua contoh tanah yang diperoleh dari lapangan dianalisis di laboratorium. Alat yang digunakan untuk analisis tanah di laboratorium disesuaikan dengan metode yang digunakan pada setiap sifat fisik tanah (Tabel 6).

Tabel 6. Parameter pengamatan dan metode analisis sifat-sifat fisik tanah

No Parameter sifat fisik tanah Metode analisis

1. Bobot isi Gravimetri

2. Porositas Gravimetri

3. Kadar Air pF pF (PressurePlate)

4. Stabilitas Agregat Berat diameter rata-rata agregat tanah pada pengayakan kering dan pengayakan basah

5. Tekstur Hidrometer

6. Permeabilitas Permeameter

7. Infiltrasi Double ring infiltrometer

Sifat kimia tanah dianalisis di laboratorium. Alat-alat yang digunakan untuk analisis tanah di laboratorium disesuaikan dengan metode yang digunakan untuk setiap sifat kimia tanah (Tabel 7).

Tabel 7. Metode analisis sifat kimia tanah dan alat serta bahan yang digunakan

No Analisis Metode Alat dan Bahan

1. Ph pH H2O 1:5 Timbangan, botol kocok, pH meter, tanah, akuades

2. N-Total Kjehdal Timbangan analitik, digestion apparatus, labu kjehdal, erlenmeyer 250 ml, buret, tanah, H2SO4, paraffin, selenium, NaOH, asam borat, indikator Conway, HCl 0.05 M

3. P-total Spetrofotometri Timbangan analitik, kertas saring, mesin pengocok tabung reaksi, pipet volumetrik, spektrofotometer, tanah, air, akuades, HCl 0.05 M, PB, PC.

4. Pb Ekstrak HCl 25% Timbangan analitik, botol kocok, pipet volumetrik 25 ml, kertas saring, AAS, tanah, air


(34)

3.3.3. Pengamatan Contoh Air Sumur

Pengambilan contoh air sumur, kedalaman permukaan air sumur, dan kedalaman sumur dilakukan di sekitar pemukiman warga dengan jarak yang berbeda (jarak terjauh ± 160 m dari jalan). Lokasi pengambilan contoh air sumur membentuk garis lurus dari jalan dengan jarak terdekat yaitu 50 m (sumur 1) dan jarak terjauh yaitu 158 m (sumur 5). Contoh air sumur yang diambil sebanyak 5 buah. Contoh air sumur diambil dengan menggunakan contoh air sesaat (grab sample) yaitu contoh yang diambil secara langsung dari sumber air yang diamati dan hanya menggambarkan karakteristik air pada saat pengambilan contoh (Effendi, 2002, dalam Ariyanti dan Raharjo, 2010). Adapun analisis kimia air yang dilakukan, diantaranya adalah pH, P-total, Nitrat, dan Pb (Tabel 4).


(35)

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Sejarah dan Deskripsi

Jalan tol Jagorawi dibangun pada tahun 1973 dan merupakan jalan tol tertua di Indonesia. Pada saat dibuka jalan tol ini terdiri dari 2 jalur lalu lintas untuk masing-masing arah. Dengan panjang 47 km, jalan tol yang menghubungkan Jakarta, Bogor hingga Ciawi ini merupakan jalan tol pertama di Indonesia (Ariprayogo, 2011). Tahun 1978, jalan tol mulai diresmikan dan dioperasikan. Secara administratif, jalan tol Jagorawi terletak di DKI Jakarta dan Kabupaten Bogor. Jalan tol Jagorawi memotong wilayah 28 desa, diantaranya 9 desa berada di wilayah administrasi DKI Jakarta dan 19 desa lainnya berada di wilayah administrasi Kabupaten Bogor (Ardian, 2006).

Jalan tol Jagorawi mengalami penambahan-penambahan pintu gerbang tol. Penambahan ini dilakukan untuk penyesuaian perkembangan jalan tol Jagorawi. Pada tiap-tiap jalur terdapat 7 buah pintu gerbang pembayaran tol yang menandai bahwa kendaraan dapat keluar masuk jalan tol Jagorawi melalui gerbang-gerbang tersebut, yaitu gerbang tol Ramp TMII (Km 4.2), TMII ( Km 5.25), Pasar Rebo (Km 7,45), Cibubur (Km 13,90), Gunung putri (Km 24,20), Cibinong (Km 27,50), Sentul (Km 33,2), Bogor (Km 40,50) dan Ciawi (Km 44,6).

4.2. Komponen Biologi

Salah satu komponen penting dalam pemantauan lingkungan di sekitar jalan tol Jagorawi adalah komponen biologi. Komponen biologi yang dimaksud adalah jenis-jenis flora dan fauna baik liar, budidaya, maupun migrasi. Secara umum, jenis-jenis flora yang ditemukan dapat dikelompokan menjadi kelompok pohon, kelompok semak, dan kelompok budidaya. Survei inventarisasi jenis-jenis flora dan fauna dilakukan dengan metode Rapid Assesment melalui observasi dan wawancara dengan masyarakat (Anonim, 2010). Survei ini dilakukan di sepanjang tol Jagorawi dengan 10 stasiun (titik pengamatan), antara lain: Pintu Gerbang tol Bogor, Rest area Cibubur, Rest Area Ciawi, Rest Area Sentul, Gardu TMII, Ramp TMII, TMII, Citeureup, Sentul, dan Cawang. Adapun batas jarak survei ke arah luar badan jalan adalah ± 100 m.


(36)

Berdasarkan hasil survei inventarisasi ditemukan 44 jenis pohon (Tabel 8) dan 13 jenis semak atau perdu (Tabel 9). Pada umumnya jenis pohon yang banyak terdapat di sekitar jalan tol Jagorawi adalah Soka (Ixoxa spp), Akasia (Acacia mangium Willd.), Kayu Manis (Chinamomum burmanii), dan Bambu Cina (Chimonobambusa spp). Jenis semak atau perdu didominasi oleh Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis).

Jenis-jenis tanaman yang ada di sekitar jalan tol tersebut merupakan jenis tanaman yang sengaja ditanam dan dipelihara oleh PT. Jasa Marga (Persero) Tbk, sebagai tanaman lindung terutama sebagai pereduksi kebisingan, karena jalan tol merupakan salah satu sumber kebisingan terutama dari kendaraan. Kebisingan tersebut berasal dari suara mesin (knalpot), kecepatan, gesekan ban dan sound

sistemnya (Anonim, 2010).

Tabel 8. Jenis-jenis tanaman kategori pohon yang ditemukan di sekitar jalan tol Jagorawi

No Nama Lokal Nama Ilmiah No Nama Lokal Nama Ilmiah

1 Bungur Lagerstroemia indica 23 Bambu Bambusa vulgaris

2 Angsana Pterocarpus indicus 24 Palm Kipas Livistona chinensis

3 Kasumba Bixa orellana 25 Kayu Manis Chinamomum burmanii

4 Sawo Duren Crateva religiosa 26 Kasia Kassia oranis

5 Sawo Kecik Manilkara spp. 27 Pete Cina Leucaena leucephala

6 Akasia Acacia mangium 28 Mangga Mangifera spp 1.

7 Jati Putih Gmelina arborea 29

Mangga

Weni Mangifera spp 2.

8 Mahoni Swietenia mahagoni 30 Rambutan Nephelium lappaceum

9 Ketapang Terminalia catapa 31 Waru Hibiscus mutabilis

10 Palm Bismarkisa Bismarckia anobilis 32 Manggis Garcinia mangostama

11 Bintaro Cerbera manghas 33 Nangka Aritocarpus heterophyllus

12 Bambu Cina Chimonobambusa spp. 34 Sirsak Annona muricata

13 Soka Ixora spp. 35 Kelapa Cocos nucifera

14 Kamboja Adenium spp. 36 Jambu Biji Psidium guajava

15 Tabebuta Tabebuls argenta 37 Melinjo Gnetum gnemon

16 Sukun Artocarpus communis 38 Beringin Ficus spp.

17 Kelapa Sawit Elaeis guineensis 39 Saputangan Manittoa grandiflora

18 Palm Kipas Livistona chinensis 40 Dadap Erythrina spp.

19 Cemara Udang Casuarina equiselifolia 41 Gamal Glyricidia sepium

20 Sengon Enterolobium spp. 42 Jarak Jatropa spp.

21 Nyamplung Callophyllum inophyllum 43 Jeruk Citrus sp

22 Durian Durio zibethinus 44 Randu Ceiba petandra


(37)

Tabel 9. Jenis-jenis tanaman kategori semak atau perdu yang ditemukan di sekitar jalan tol Jagorawi

No Nama Lokal Nama Ilmiah

1 Kembang Sepatu Hibiscus rosa sinensis

2 Alamanda Alamanda catartica

3 Kembang Kertas Caesalpynia pulcherima

4 Tahi Ayam Tagetes spp.

5 Bougenvil Bougenvilia spectabilis

6 Bunga Kupu-kupu Bauhinia purpurea

7 Bunga Matahari Helianthus anuus

8 Murbei Morus alba

9 Pacar Air Impatiens spp.

10 Paku Ekor Kuda equisetum hyemale

11 Poncosudo Jasminum multiflorum

12 Putri Malu Mimosa pudica

13 Sirih Piper spp.

Sumber: Hasil Survei dan Studi RKL – RPL Tahun 2010

4.3. Komponen Fisik dan Kimia

Jalan tol Jagorawi memiliki topografi yang datar (kelerengan 0-2%), berombak (kelerengan 3-8%) dan bergelombang (kelerengan 9-15%). Namun, topografinya relatif datar dari arah Jakarta dan mulai berombak dan bergelombang di wilayah yang mendekati Bogor, terutama di wilayah sekitar Citeureup hingga Cibinong. Ketinggian tempat di wilayah jalan tol Jagorawi bervariasi, dari Jakarta hingga Cibubur ketinggiannnya 20 mdpl, Cibinong ketinggiannya 125 mdpl dan Bogor berada pada ketinggian 250-300 mdpl. Dari arah Bogor ke Jakarta, jalan tol Jagorawi melintasi tiga buah sungai, yaitu sungai Ciliwung (Km 28) dan sungai Cikeas (Km 18 dan Km 2) yang berada di wilayah Kabupaten Bogor serta sungai Cisunter (Km 4) yang berada di wilayah provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidth-Ferguson, jalan tol Jagorawi termasuk dalam wilayah yang memiliki iklim tipe A, yaitu mempunyai curah hujan rata-rata yang lebih besar dari 2.000 mm/tahun disertai dengan penyebaran hujan tahunan yang cukup tinggi. Curah hujan rata-rata jalan tol Jagorawi yang berada di wilayah Jakarta sebesar 1.800 mm/tahun, sedangkan di wilayah Bogor dapat mencapai 4.200 mm/tahun. Hujan yang cukup lebat terjadi pada bulan November hingga Maret. Di wilayah Cibinong sampai dengan Bogor rata-rata curah dan jumlah hari hujannya


(38)

cukup tinggi mulai bulan November hingga April. Suhu udara antara Jakarta, Cibinong maupun Bogor relatif sama dan tidak terlalu bervariasi (Pauzi, 2009).

4.4. Kondisi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di arboretum tol Jagorawi km 41 dan jaraknya dekat dengan pintu tol Bogor. Vegetasi yang berada di lokasi penelitian paling banyak adalah Akasia, Sengon, Jati, Pisang, Putri Malu, dan Kembang Sepatu. Area belakang arboretum terdapat peternakan domba dan pemukiman warga Desa Cimahpar yang tidak begitu padat.

Jenis vegetasi yang dipilih sebagai fokus kajian dalam penelitian adalah akasia, jati, dan rumput (Gambar 3). Sebagai kontrol, dipilih lahan bera yang terletak di belakang arboretum (diluar tol). Diantara lahan jati dan lahan rumput terdapat sungai yang memotong jalan tol.

L

Gambar 3. Lokasi penelitian (a) Lahan akasia, (b) Lahan jati. (c) Lahan rumput, dan (d) Lahan bera.

(a)

(b)


(39)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Keragaan Fisik Arboretum Tol Jagorawi

Arboretum tol Jagorawi terletak di kedua sisi jalan tol. Letaknya yang lebih rendah dari jalan akan menyebabkan limpasan air hujan dari jalan masuk ke arboretum tersebut. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa air hujan yang masuk ke dalam arboretum dapat tertahan secara hidrologis karena bentuknya berupa cekungan. Dengan demikan, air limpasan tersebut dapat diresapkan ke dalam tanah dan dimanfaatkan oleh vegetasi di atasnya. Cekungan yang ada di arboretum mempunyai kedalaman ± 2 m, sehingga arboretum ini sudah memenuhi syarat sistem bioretensi menurut Scott (2009).

Pada arboretum di lokasi penelitian tidak dijumpai bangunan pengelolaan aliran permukaan secara khusus, seperti bak sedimentasi untuk mengendapkan sedimen yang dibawa oleh air permukaan dan saluran overflow untuk menyalurkan kelebihan air permukaan. Aliran permukaan mengalir secara acak ke dalam arboretum mengikuti celah yang ada di sisi jalan, serta membawa sedimen masuk (Gambar 4). Sebagian sedimen mengendap di celah-celah tersebut. Pada curah hujan yang sangat tinggi, aliran permukaan keluar dari arboretum dan masuk ke sungai.

Gambar 4. Celah di pinggiran jalan yang masuk ke lahan akasia (kiri) dan lahan rumput (kanan)

5.2. Sifat Kimia Air Hujan

Air hujan merupakan hasil presipitasi dan memiliki nilai tinggi hujan yang berbeda-beda. Konsentrasi polutan dalam air hujan yang terukur dipengaruhi oleh tingkat kepadatan kendaraan dan faktor hujan. Semakin tinggi kepadatan


(40)

kendaraan, maka pasokan polutan ke udara yang terkandung dalam air hujan akan semakin besar. Dalam hal ini, faktor hujan yang berpengaruh adalah selang kejadian hujan, lama hujan dan tinggi hujan. Data lama hujan, tinggi hujan dan volume kendaraan pada 3 contoh kejadian hujan disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Lama hujan, tinggi hujan, dan volume kendaraan pada selang kejadian hujan yang berbeda

Kejadian Hujan

Selang kejadian hujan

Lama Hujan (menit)

Tinggi Hujan (mm)

Volume Kendaraan*

(buah)

Hujan 1 2 Hari 105 23,22 106.342

Hujan 2 3 Hari 55 2,88 158.573

Hujan 3 5 hari 110 35,61 249.696

*Keterangan: Sumber dari kantor Jasa Marga Pintu Tol Bogor

Gambar 5 menunjukkan peralatan pengukur tinggi hujan sekaligus pengambilan contoh air hujan (kiri) dan pengambilan contoh air permukaan (kanan).

Gambar 5. Peralatan pengukur tinggi hujan (kiri) dan pengambilan contoh air permukaan (kanan)

Contoh air hujan diambil pada tiga kejadian hujan yang memiliki selang kejadian hujan yang berbeda (Tabel 10). Tabel 10 menunjukkan bahwa kejadian hujan 1 memiliki selang kejadian hujan 2 hari dengan lama hujan yang panjang dan tinggi hujan lebih tinggi dibandingkan kejadian hujan 2. Kejadian hujan 3 memiliki selang kejadian hujan dan lama hujan yang panjang, serta tinggi hujan yang paling tinggi. Semakin lama selang kejadian hujan, peluang volume


(41)

kendaraan yang melewati jalan tol akan semakin besar. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas air hujan dan air permukaan. Karakteristik kimia air hujan yang dianalisis adalah pH, P-total, nitrat, dan Pb.

Tingkat kemasaman (pH). Nilai pH dalam air hujan pada masing-masing kejadian hujan bervariasi, berkisar antara 6,1-6,3 (Gambar 6). Gambar 6 menunjukkan bahwa kejadian hujan 1 dan 2 memiliki nilai pH yang sama, sedangkan kejadian hujan 3 memiliki nilai pH yang paling rendah. Hal ini disebabkan pengaruh dari volume kendaraan yang tinggi da sejalan dengan selang kejadian hujan yang panjang. Semakin lama selang kejadian hujan maka volume kendaraan semakin tinggi, sehingga pH air hujan cenderung semakin masam. Volume kendaraan yang melintasi jalan sangat mempengaruhi tinggi rendahnya polutan di atmosfer. Semakin padat kendaraan yang melintas maka semakin banyak pula polutan yang dikeluarkan.

Gambar 6. Nilai pH dalam air hujan di setiap kejadian hujan

Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tanggal 14 Desember 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, nilai pH air hujan yang diperbolehkan bagi kelas I (bahan baku air minum) yaitu sekitar 6-9 dan kelas IV (pertanaman) yaitu sekitar 5-9. Nilai pH pada air hujan tergolong aman bagi air minum dan tanaman yang tumbuh sekitar area jalan tol.

Hujan 1 Hujan 2 Hujan 3

pH 6.3 6.3 6.1

Lama Hujan (menit) 105 55 110

Tinggi Hujan (mm) 23.22 2.88 35.61

0 20 40 60 80 100 120

6 6.05 6.1 6.15 6.2 6.25 6.3 6.35


(42)

P-total. Kandungan P-total dalam air hujan pada masing-masing kejadian hujan bervariasi, berkisar antara 0,2-0,33 mg/l (Gambar 7). Gambar 7 menunjukkan bahwa kejadian hujan 1 dengan volume kendaraan paling rendah, memiliki kadar P-total lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian hujan 2. Kejadian hujan 3 memiliki kadar P-total paling tinggi. Besarnya P-total dalam air hujan pada kejadian hujan 1, 2, dan 3 tidak mengikuti besarnya volume kendaraan dan tingkat lamanya selang kejadian hujan. Hal ini disebabkan karena P bukan merupakan keluaran dari kendaraan, terlihat dari kandungan P-total yang tidak berbanding lurus dengan volume kendaraan. Kandungan P-total ini lebih dipengaruhi oleh tinggi hujan dan lama hujan, karena kadarnya mengikuti tingkat besarnya tinggi hujan dan lama hujan. Dengan demikian, semakin lama waktu hujan dan besar tinggi hujan maka kandungan P-total dalam air hujan semakin tinggi.

Gambar 7. Kandungan P-total dalam air hujan di setiap kejadian hujan

Berdasarkan PP No 82 Tahun 2001, kandungan P dalam air hujan di lokasi

penelitian tergolong aman bagi kelas IV (pertanaman) karena nilainya ≤ 5 mg/l,

tetapi tergolong tidak aman bagi kelas I (bahan baku air minum) yaitu ≤ 0,2 mg/l.

Nitrat. Nitrat merupakan hasil reaksi Nitrogen Oksida (NOx) dengan air dan bersifat masam. Nitrat merupakan komponen polutan di udara yang berasal dari asap kendaraan bermotor. Dengan demikian, kandungan nitrat dalam air

Hujan 1 Hujan 2 Hujan 3

P-Total (mg/l) 0.25 0.2 0.33

Lama Hujan (menit) 105 55 110

Tinggi Hujan (mm) 23.22 2.88 35.61 0 20 40 60 80 100 120 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 P t ot a l (m g/ L )


(43)

hujan sangat dipengaruhi oleh volume kendaraan yang melintas. Terdapat indikasi bahwa semakin banyak kendaraan yang melintas maka kandungan nitrat semakin tinggi. Kandungan nitrat air hujan yang dianalisis di setiap kejadian hujan berkisar antara 0-6,2 mg/l (Gambar 8). Gambar 8 menunjukkan bahwa kejadian hujan 1 dan 3 memiliki kandungan yang sama, sedangkan kejadian hujan 2 memiliki kandungan yang tidak terukur (kandungannya sangat rendah). Hal ini disebabkan adanya faktor pengenceran pada air hujan. Dengan demikian, kandungan nitrat air hujan di lokasi penelitian lebih dipengaruhi oleh lama dan tinggi hujan.

Gambar 8. Kandungan nitrat dalam air hujan di setiap kejadian hujan

Berdasarkan PP No 82 Tahun 2001, kandungan nitrat air hujan di lokasi penelitian tergolong aman karena masih dibawah ambang batas kelas I (bahan

baku air minum) yaitu ≤ 10 mg/l dan kelas IV(pertanaman) yaitu ≤ 20 mg/l.

Logam berat Pb. Logam berat dikeluarkan oleh kendaraan sebagai gas buang kendaraan berupa partikel-partikel yang berukuran sekitar 0,01 µ m. Partikel-partikel Pb ini akan bergabung satu sama lain membentuk ukuran yang lebih besar dan keluar sebagai gas buang yang dapat melayang ke udara atau mengendap di permukaan jalan, tanah dan daun (Sudarmadji, 1997). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin lama selang kejadian hujan dan semakin besar volume kendaraan, maka peluang akumulasi Pb di udara dan sekitarnya akan

Hujan 1 Hujan 2 Hujan 3

Nitrat (mg/l) 6.2 0 6.2

Lama Hujan (menit) 105 55 110

Tinggi Hujan (mm) 23.22 2.88 35.61 0 20 40 60 80 100 120

0 1 2 3 4 5 6 7

N

it

rat

(

m

g/L


(44)

meningkat. Semakin banyak kendaraan yang melintas, maka semakin banyak pula Pb yang dikeluarkan. Berdasarkan hasil penelitian, kandungan Pb dalam air hujan pada masing-masing kejadian hujan berkisar antara 0,009-0,013 mg/l (Gambar 9). Gambar 9 menunjukkan bahwa kandungan Pb dalam air hujan di lokasi penelitian cenderung berbanding lurus dengan lama hujan dan tinggi hujan.

Gambar 9. Kandungan Pb dalam air hujan di setiap kejadian hujan

Menurut Sudarmadji (1997), partikel Pb dapat mengendap di permukaan tanah dan jalan atau tetap di udara dalam jangka waktu yang lama. Pb yang melayang-layang di udara dapat terangkut air hujan sehingga meningkatkan konsentrasi Pb dalam air hujan.

Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, kandungan Pb air hujan di lokasi penelitian tergolong rendah karena di bawah batas ambang yang diperbolehkan kelas I (bahan baku air minum) yaitu ≤ 0,03 mg/l dan kelas IV (pertanaman) yaitu

≤ 1 mg/l. Akan tetapi, pemanfaatan air hujan untuk kebutuhan air minum perlu

memperhatikan keadaan curah hujan dan lama hujan per hari. Hal ini disebabkan air hujan untuk air minum tidak boleh mengandung zat pencemar (Sudarmadji, 1997).

5.3. Sifat Fisik dan Kimia Air Permukaan

Aliran permukaan merupakan bagian dari curah hujan yang terjadi akibat intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi. Untuk melihat kualitas air

Hujan 1 Hujan 2 Hujan 3

Pb (mg/l) 0.013 0.009 0.013

Lama Hujan (menit) 105 55 110

Tinggi Hujan (mm) 23.22 2.88 35.61 0 20 40 60 80 100 120

0.000 0.002 0.004 0.006 0.008 0.010 0.012 0.014

P

b

(

m

g/L


(45)

permukaan maka dilakukan analisis sifat fisik dan kimianya. Analisis sifat fisik air permukaan diantaranya adalah total padatan terlarut atau total dissolved solid

(TDS) yang merupakan jumlah total padatan yang terkandung dalam air (mg/l) yang masih tetap tertinggal apabila air diuapkan. Analisis sifat kimia air permukaan diantaranya adalah tingkat kemasaman (pH), P-total, nitrat, dan Pb.

Total padatan terlarut atau total dissolved solid (TDS). Kandungan TDS dalam air permukaan pada masing-masing kejadian hujan berkisar antara 61,57-646,44 mg/l (Gambar 10). Gambar 10 menunjukkan bahwa kandungan TDS tertinggi pada kejadian hujan 3 yang memiliki tinggi hujan yang besar, lama hujan dan selang kejadian hujan yang panjang serta volume kendaraan yang tinggi. Kandungan TDS pada kejadian hujan 2 lebih rendah dibandingkan dengan kejadian hujan 1. Dengan demikian, tinggi hujan dan lama hujan berpengaruh terhadap kandungan TDS dalam air permukaan.

Gambar 10. Kandungan TDS dalam air permukaan di setiap kejadian hujan

Kandungan TDS yang ada dipermukaan jalan tersapu oleh air hujan dan dibawa oleh air permukaan. Semakin besar tinggi hujan maka semakin banyak TDS yang tersapu oleh hujan. Volume kendaraan cenderung berpengaruh kecil terhadap kandungan TDS. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, kandungan TDS pada air permukaan di lokasi penelitian di bawah batas ambang yang

P1 P2 P3

Sedimentasi (mg/L) 221.04 61.57 646.44

Lama Hujan (menit) 105 55 110

Tinggi Hujan (mm) 23.22 2.88 35.61

0 20 40 60 80 100 120

0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 700.00

Sedim

en

(m

g/L


(46)

diperbolehkan kelas I (bahan baku air minum) yaitu ≤ 1000 mg/l dan kelas IV (pertanaman) yaitu sebesar ≤ 2000 mg/l.

Tingkat kemasaman (pH). Nilai pH dalam air permukaan dari tiga kejadian hujan memiliki nilai yang berbeda, berkisar antara 6,3-6,7 (Gambar 11). Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai pH dipengaruhi besarnya volume kendaraan dan sejalan dengan lamanya selang kejadian hujan. Semakin lama selang kejadian hujan maka volume kendaraan semakin tinggi, sehingga nilai pH yang terkandung dalam air permukaan semakin rendah.

Gambar 11. Nilai pH dalam air permukaan di setiap kejadian hujan

Volume kendaraan mempengaruhi jumlah polutan yang terkandung di atmosfer. Semakin banyak volume kendaraan, semakin tinggi jumlah polutan di atmosfer. Volume kendaraan yang melintas sebelum kejadian hujan 3 mencapai 249.696 buah dan mengakibatkan pH air permukaan lebih masam.

Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, nilai pH maksimum yang diperbolehkan untuk kelas I (bahan baku air minum) yaitu sebesar 6-9 dan kelas IV (pertanaman) yaitu sebesar 5-9, sehingga nilai pH dalam air permukaan tergolong aman digunakan untuk bahan baku air minum dan pertanaman. Peluang pencemaran pH terhadap air tanah sangat kecil, karena air hujan dan air permukaan yang masuk ke dalam tanah sudah tergolong aman bagi air minum.

P1 P2 P3

pH 6.70 6.60 6.30

Lama Hujan (menit) 105 55 110

Tinggi Hujan (mm) 23.22 2.88 35.61

0 20 40 60 80 100 120

6.10 6.20 6.30 6.40 6.50 6.60 6.70 6.80


(47)

Nilai pH dalam air hujan lebih rendah dibandingkan air permukaan. Hal ini terjadi karena sebelum mencapai permukaan tanah, air hujan banyak melarutkan gas-gas di udara sehingga banyak mengandung CO2 dan O2. Air hujan biasanya mengandung asam lemah, karena terjadi reaksi CO2 dari atmosfer membentuk asam karbonat. Jika air hujan bereaksi dan melarutkan gas-gas yang mengandung zat pencemar yang berasal dari kendaraan maka air hujan akan bersifat lebih masam.

P-total. Kandungan P-total dalam air permukaan pada masing-masing kejadian hujan memiliki nilai yang hampir sama, berturut-turut yaitu 0,02 mg/l, 0,03 mg/l dan 0,02 mg/l (Gambar 12). Gambar 12 menunjukkan bahwa kandungan P dalam air permukaan tidak dipengaruhi oleh volume kendaraan dan selang kejadian hujan. Hal ini terjadi karena P bukan merupakan hasil buangan dari kendaraan.

Gambar 12. Kandungan P-total dalam air permukaan di setiap kejadian hujan

Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, kandungan P pada air permukaan di lokasi penelitian sangat rendah dan aman bagi kelas I (bahan baku air minum)

yaitu sebesar ≤ 0,2 mg/l dan kelas IV (pertanaman) yaitu sebesar ≤ 5 mg/l.

Nitrat. Kandungan nitrat dalam air permukaan memiliki nilai yang bervariasi, berkisar antara 10,33-14.47 mg/l (Gambar 13). Gambar 13

P1 P2 P3

P-Total (mg/l) 0.02 0.03 0.02

Lama Hujan (menit) 105 55 110

Tinggi Hujan (mm) 23.22 2.88 35.61

0 20 40 60 80 100 120

0.00 0.01 0.01 0.02 0.02 0.03 0.03

P

-t

ot

al

(

m

g/L


(48)

menunjukkan bahwa kejadian hujan 2 dengan lama hujan 55 menit dan tinggi hujan 2,88 mm, mengandung nitrat yang paling tinggi. Berbeda dengan kejadian hujan 1 dan 3 yang memiliki lama hujan yang panjang dan tinggi hujan yang besarnya hampir sama dan mengandung nitrat yang sama. Hal ini menyebabkan kejadian hujan 1 dan 3 dipengaruhi oleh faktor pengenceran pada air permukaan oleh air hujan sehingga kadar nitrat menurun seiring dengan besarnya tinggi hujan dan lama hujan yang panjang. Dengan demikian, kandungan nitrat dalam air permukaan lebih dipengaruhi oleh lama hujan dan tinggi hujan.

Gambar 13. Kandungan nitrat pada air permukaan di setiap kejadian hujan

Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, kandungan nitrat dalam air permukaan di lokasi penelitian tergolong aman digunakan untuk pertanaman

(kelas IV) yaitu sebesar ≤ 20 mg/l, tetapi air permukaan tersebut tidak dapat

digunakan sebagai bahan baku air minum karena kadarnya yang melebihi ambang batas kelas I (bahan baku air minum) yaitu sebesar ≥ 10 mg/l. Air permukaan dapat mencemari air tanah apabila tanah tidak memiliki kemampuan untuk menahan air (unsur hara) dan menetralisir bahan-bahan pencemar yang terkandung. Diharapkan kelebihan air yang masuk ke dalam air tanah sudah bersih dari bahan-bahan pencemar.

Logam berat Pb. Kandungan Pb pada air permukaan tiap kejadian hujan masing-masing adalah 0,003 mg/l, 0,005 mg/l dan 0,01 mg/l (Gambar 14).

P1 P2 P3

Nitrat (mg/l) 10.33 14.47 10.33

Lama Hujan (menit) 105 55 110

Tinggi Hujan (mm) 23.22 2.88 35.61

0 20 40 60 80 100 120

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00

Nit

rat

(

m

g/L


(1)

Tabel Lampiran 7. Lanjutan

Alachlor mg / l 0,02

Aldicarb mg / l 0,01

Aldrin dan dieldrin mg / l 0,0003

Atrazine mg / l 0,002

Carbofuran mg / l 0,007

Chlordane mg / l 0,0002

Chlortoluran mg / l 0,03

DDT mg / l 0,001

1,2-Dibromo-3-chloropropane ( DBCP ) mg / l 0,001 2,4 Dichloropenoxyacetic acid ( 2,4-D ) mg / l 0,03

1,2-Dichloropropane mg / l 0,04

Isoproturon mg / l 0,009

Lindane mg / l 0,002

MCPA mg / l 0,002

Methoxychlor mg / l 0,02

Metolachlor mg / l 0,01

Molinate mg / l 0,006

Pendimethalin mg / l 0,02

Pentachlorophenol ( PCP ) mg / l 0,009

Permethrin mg / l 0,3

Simazine mg / l 0,002

Trifluralin mg / l 0,02

Chlorophenoxy herbicides selain 2,4-D dan MCPA

2,4-DB mg / l 0,090

Dichlorprop mg / l 0,10

Fenoprop mg / l 0,009

Mecoprop mg / l 0,001

2,4,5-Trichlorophenoxyacetic acid mg / l 0,009

d. Desinfektan dan Hasil Sampingannya Desinfektan

Chlorine mg / l 5


(2)

65

Tabel Lampiran 7. Lanjutan

Chlorate mg / l 0,7

Chlorite mg / l 0,7

Chlorophenols

2,4,6-Trichlorophenol ( 2,4,6-TCP ) mg / l 0,2

Bromoform mg / l 0,1

Dibromochloromethane ( DBCM ) mg / l 0,1

Bromodichloromethane ( BDCM ) mg / l 0,06

Chloroform mg / l 0,3

Chlorinated acetic acid

Dichloroacetic acid mg / l 0,05

Trichloroacetic acid mg / l 0,02

Chloral hydrate

Halogenated acetonitrilies

Dichloroacetonitrile mg / l 0,02

Dibromoacetonitrile mg / l 0,07

Cyanogen Chloride ( sebagai CN ) mg / l 0,07

2 RADIOAKTIFITAS

Gross alpha activity Bq / l 0,1

Gross beta activity Bq / l 1

Tabel Lampiran 8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tanggal 14 Desember 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air

PARAMETER SATUAN KELAS KETERANGAN I II III IV

FISIKA

Temperatur °C Deviasi 3

Deviasi 3

Deviasi 3

Deviasi 5

Deviasi Tempertur dari keadaan

alamiah Residu Terlarut mg/L 1000 1000 1000 2000

Residu Tersuspensi mg/L 50 50 400 400

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, residu

tersuspensi < 5000 mg/L KIMIA ANORGANIK


(3)

Tabel Lampiran 8. Lanjutan

pH 6-9 6-9 6-9 5-9

Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi

alamiah BOD mg/L 2 3 6 12

COD mg/L 10 25 50 100

DO mg/L 6 4 3 0 Angka batas minimum Total Fosfat sbg P mg/L 0,2 0,2 1 5

NO 3 sebagai N mg/L 10 10 20 20 NH3-N mg/L 0,5 (-) (-) (-)

Bagi perikanan, kandungan amonia

bebas untuk ikan yang peka < 0,02 mg/L sebagai NH3 Arsen mg/L 0,05 1 1 1

Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2 Barium mg/L 1 (-) (-) (-)

Boron mg/L 1 1 1 1 Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05 Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01 Khrom (VI) mg/L 0,05 0,05 0,05 0,01 Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Cu <

1 mg/L Besi mg/L 0,3 (-) (-) (-)

Bagi pengolahan air minum secara koncensional, Fe < 5

mg/L Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 1

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Pb <

0,1 mg/L Mangan mg/L 1 (-) (-) (-)

Air Raksa mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005 Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Zn < 5

mg/L Khlorida mg/L 1 (-) (-) (-)

Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 (-) Fluorida mg/L 0,5 1,5 1,5 (-) Nitrit sebagai N mg/L 0,06 0,06 0,06 (-)

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO2_N < 1 mg/L Sulfat mg/L 400 (-) (-) (-)

Khlorin bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 (-) Bagi ABAM tidak dipersyaratkan Belerang sebagai H2S mg/L 0,002 0,002 0,002 (-)

MIKROBIOLOGI

Fecal coliform jml/100


(4)

67

Tabel Lampiran 8. Lanjutan

Total coliform jml/100

ml 1000 5000 10000 10000

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, fecal coliform < 2000 jml/ 100 ml dan total coliform < 10000

jml/100ml RADIOAKTIVITAS

Gross - A bg/L 0,1 0,1 0,1 0,1 Gross - B bg/L 1 1 1 1 KIMIA ORGANIK

Minyak dan Lemak ug/L 1000 1000 1000 (-) Detergen sebagai

MBAS ug/L 200 200 200 (-) Senyawa Fenol ug/L 1 1 1 (-)

Sebagai Fenol ug/L

BHC ug/L 210 210 210 (-) Aldrin/Dieldrin ug/L 17 (-) (-) (-) Chlordane ug/L 3 (-) (-) (-) DDT ug/L 2 2 2 2 Heptachlor dan ug/L 18 (-) (-) (-) Heptachlor epoxide ug/L

Lindane ug/L 56 (-) (-) (-) Methoxyctor ug/L 35 (-) (-) (-) Endrin ug/L 1 4 4 (-) Toxaphan ug/L 5 (-) (-) (-)


(5)

Jagorawi, Bogor. Dibimbing oleh WAHYU PURWAKUSUMA dan ENNI DWI WAHJUNIE.

Jalan raya diketahui merupakan salah satu sumber pencemaran air permukaan yang berasal dari polutan kendaraan berupa emisi gas buang dan bahan lain. Aliran permukaan yang melalui jalan raya sebagian akan meresap ke dalam tanah di sekitar jalan dan sebagian dapat berakumulasi menjadi genangan. Proses tersebut berjalan terus menerus menyebabkan adanya akumulasi bahan emisi kendaraan di dalam tanah. Salah satu metode untuk meminimalisir hal tersebut adalah dengan menerapkan teknik bioretensi. Arboretum tol Jagorawi idealnya berfungsi sebagai sistem bioretensi yang dapat mengontrol kualitas aliran permukaan dan mengalirkannya dengan aman ke daerah sekitarnya.

Penelitian ini bertujuan mengkaji pengelolaan aliran permukaan di arboretum tol Jagorawi, mengkaji keterkaitan antara selang kejadian hujan, tinggi dan lama hujan, serta volume kendaraan yang melewati jalan tol Jagorawi dengan sifat-sifat fisik dan kimia pada air hujan dan air permukaan, mengetahui kemampuan tanah sebagai sistem bioretensi dan mengkaji kemampuan sistem bioretensi melalui karakter sifat kimia air sumur di pemukiman warga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa air permukaan dengan selang kejadian hujan paling panjang memiliki kadar TDS paling tinggi sejalan dengan tingginya volume kendaraan. Nilai pH air hujan dan air permukaan sekitar 6,1-6,7, tergolong aman dan tidak berpotensi mencemari air tanah. Kadar P-total air hujan sekitar 0,2-0,33 mg/l, tergolong tidak aman bagi air minum, akan tetapi kandungan P-total dalam air sumur warga tergolong rendah dan tidak menunjukkan adanya pencemaran. Kandungan nitrat pada air permukaan sekitar 10,33-14,47 mg/l, tergolong tidak aman untuk air minum dan berpotensi mencemari air tanah, akan tetapi kandungan nitrat pada air tanah tergolong rendah dan tidak menunjukkan adanya pencemaran. Kadar Pb pada air hujan dan air permukaan sekitar 0,003-0,013 mg/l, tergolong aman bagi air minum dan tidak berpotensi sebagai pencemar, akan tetapi contoh air sumur 3 menunjukkan kandungan Pb yang melebihi batas ambang kualitas air minum yaitu sebesar 0,018 mg/l. Arboretum tol Jagorawi sudah memenuhi syarat sifat fisik sistem bioretensi kecuali tekstur. Tekstur tanah di lokasi penelitian mengandung liat ≥ 50%.


(6)

SUMMARY

HENI PRATIWI. The Study of Overland Flow Management Practices in the Arboretum of Jagorawi Toll Road, Bogor. Supervised of WAHYU PURWAKUSUMA and ENNI DWI WAHJUNIE.

Road and highways have been recognized as a source of pollution originated from vehicle emissions and other materials. Overland flow from the road will either infiltrate into the soil around the road or accumulate as surface water. The process runs continuously that the accumulation of vehicle emission materials will occure in the soil. One method to minimize this is to apply the technique of bioretention. Arboretum of Jagorawi toll road ideally works as a bioretention system that controls the quality of surface water and distributed safely into the surrounding area.

Aims of the research is to study overland flow management practices in the arboretum of Jagorawi toll road, to study the relationship between rainfall properties, volume of vehicles passing the road with the physical and chemical properties of the rain and surface water, to evaluate the ability of the soil as bioretention system through chemical properties examination of the groundwater.

The research shows that the longest rainfall occurence timelag has the highest TDS value in line with high volume of the passing vehicles. pH value of rainwater and surface water are about 6,1 to 6,7, they are categorised as safe for drinking water and potentially have no tendency to contaminate groundwater. Total P value of rainwater is about 0,2 to 0,33 mg/l, they are categorised as unsafe for drinking water, but total P value of groundwater is low and has no tendency to contamination. Nitrate value of surface water is about 10,33 to 14,47 mg/l, it is categorised as unsafe for drinking water and potentially has tendency to contaminate the groundwater, but nitrate value in the groundwater is relatively low and has no tendency to contamination. Pb value in rain water and surface water are about 0,003 to 0,013 mg/l, they are categorised as safe for drinking water and potentially have no tendency to contaminate the groundwater, however groundwater sample 3 shows that the value of the Pb is higher than the limit for drinking water standard quality (0,018 mg/l). Arboretum of Jagorawi toll road is physically qualified as bioretention system except of soil texture. The soil texture of arboretum contains more than 50% of clay.