berbenturan kepentingan, akan tetapi pihak yang tidak memihak atau netral sehingga keputusan tidak terkesan berat sebelah.
C. Pengaruh Akuisisi Pada Persaingan Usaha
Tindakan akuisisi yang dilaksanakan oleh suatu perusahaan memang sangat riskan menyebabkan terjadinya monopoli seperti yang dilarang di dalam undang-
undang yang berlaku. Besar kemungkinan tindakan monopoli dapat terjadi karena mengingat pelaksanaan akuisisi yang dilakukan dengan cara mengambilalih
seluruh atau sebagian saham atau modal dari perusahaan lain yang juga terlibat dalam bisnis, sehingga tindakan akuisisi tersebut secara substansial dapat
memperkecil kompetisi dan cenderung menciptakan monopoli.
89
Sebagaimana diketahui bahwa akuisisi mempunyai beberapa bentuk, diantaranya:
1. Akuisisi Horizontal;
2. Akuisisi Vertikal;
3. Akuisisi Konglomerat;
Masing-masing bentuk dari akuisisi tersebut merupakan akuisisi yang memberikan warna dan ragam tersendiri terhadap monopoli.
1. Akuisisi Horizontal
89
Munir Fuady c, Hukum Tentang Merger, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2008, hlm.135.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal akuisisi horizontal, perusahaaan-perusahaan yang akan diambil alih adalah perusahaan para pesaingnya, baik pesaing yang memproduksi
produk yang sama, ataupun pesaing yang mempunyai teritorial pemasaran yang sama. Sehingga melihat defenisi dari akuisisi horizontal tersebut jelas
bahwa akuisisi horizontal tersebut tujuannya untuk memperbesar pangsa pasar dan menghilangkan pesaing.
90
Untuk melihat apakah akuisisi horizontal yang dilakukan dianggap melanggar prinsip hukum anti-monopoli atau persaingan usaha sehat, maka
hukum perlu mempertimbangkan bagaimana konsentrasi pasar setelah dilakukannya akuisisi merger serta peningkatan konsentrasi pasar tersebut
karena akuisisi merger.
91
2. Akuisisi Vertikal
Akuisisi vertikal adalah akuisisi yang dilakukan oleh peruahaan terhadap perusahaan yang lainnya namun yang masih dalam satu mata rantai dari
produksinya, yakni suatu perusahaaan yang arus pergerakannya bergerak dari hulu ke hilir.
Akuisisi ini dapat menimbulkan halangan bagi pendatang baru dalam bisnis yang bersangkutan entry barrier, dapat menimbulkan kolusi, dan
sebagainya karena akuisisi ini menguasai produksi dari hulu ke hilir. Sehingga yang ditakutkan dengan adanya akuisisi vertical ini adalah
terjadinya pengekangan terhadap masuknya pihak pesaing ke pasar entry
90
Munir Fuady a, Op.Cit., hlm. 88.
91
Munir Fuady c, Op.Cit., hlm. 138.
Universitas Sumatera Utara
barrier. Untuk membuktikan akuisisi vertical ini merupakan kegiatan yang menimbulkan entry barrier maka dalam ilmu hukum anti-monopoli
harus melihat faktor-faktor sebagai berikut:
92
a. Derajat integrasi vertical diantara dua pasar tersebut haruslah
sedemikian ekstensif sehingga dengan memasuki kedalam suatu pasar primary market berarti harus juga memasuki pasar lainnya
secondary market. b.
Untuk masuk secondary market maka primary market juga harus dimasuki, namun untuk memasuki primary market jauh lebih sulit dari
memasuki secondary market. c.
Srtruktur dan sifat lainnya dari primary market haruslah sangat kondusif pada terjadinya hal-hal yang noncompetititive.
Dengan demikian memang ada kemungkinan monopoli yang akan diciptakan oleh akuisisi vertical ini mengingat bahwa akuisisi vertical ini
sangat rentan dengan keadan mengurangi kompetisi pasar secara substansial.
3. Akuisisi Konglomerat
Akuisisi konglomerat merupakan akuisisi yang dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang sama sekali tidak mempunyai kaitan baik
secara vertical maupun secara horizontal.
93
92
Ibid, hlm. 139.
Universitas Sumatera Utara
Akuisisi konglomerat ini dapat menimbulkan masalah baru terhadap persaingan pasar karena akuisisi ini bertujuan untuk memperluas geografis
pasarnya sehingga dapat menghilangkan pesaing potensial. Bagi hukum anti-monopoli keadaan ini perlu diwaspadai mengingat pengaruh negatif
yang ditimbulkan oleh akuisisi adalah membunuh pesaingnya. Dengan demikian, muncullah suatu teori dalam hukum anti-monopoli yang disebut
dengan teori potential competitor yang menurut teori ini agar dapat dikatakan bertentangan dengan hukum anti-monopoli, maka akuisisi
merger konglomerat ini tersebut haruslah dilakukan dengan pihak yang dianggap merupakan potential competitor sehingga akuisisi tersebut dapat
mengakibatkan pengekangan terhadap persaingan pasar.
94
Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Nomor 5 Tahun 1999 melarang keras kepada pelaku usaha apabila
dalam melakukan tindakan pengambilalihan mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Praktek monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat terjadi jika perusahaan yang melakukan akuisisi tersebut diduga melakukan tindakan:
1. Perjanjian yang dilarang;
2. Tindakan yang dilarang; dan
3. Penyalahgunaan posisi dominan.
93
Munir Fuady a, Op.Cit., hlm.88.
94
Munir Fuady c, Op.Cit., hlm. 140.
Universitas Sumatera Utara
Apabila pengambilalihan saham telah berlaku efektif dan secara yuridis telah diakui, maka perlu dilakukan penilaian kembali oleh pihak komisi mengenai
tindakan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terhadap perusahaaan tersebut dengan cara menganalisis:
1. Konsentrasi pasar;
2. Hambatan masuk pasar;
3. Potensi prilaku anti persaingan;
4. Efisiensi; danatau
5. Kepailitan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SAHAM
MINORITAS PADA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN AKUISISI A. Defenisi Pemegang Saham Minoritas
Pemegang saham atau di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ‘pesero’ merupakan seseorang yang mempunyai hak terhadap perusahaan berkat
penyerahan bagian modal sehingga dianggap berbagi di dalam kepemilikan dan pengawasan.
95
Di dalam perusahaan terdapat dua jenis pemegang saham yaitu pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Pemegang saham tersebut
dibedakan berdasarkan komposisi dari kepemilikan saham masing-masing pemegang saham di dalam perusahaan. Selain perbedaan komposisi kepemilikan
saham tersebut, kemampuan dalam mengendalikan perusahaan juga yang membedakannya. Seseorang yang mampu mengendalikan perusahaan termasuk
kedalam jenis pemegang saham mayoritas. Peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak memberikan defenisi
tentang pemegang saham minoritas secara eksplisit, namun di dalam Undang- Undang Perseroan terbatas Nomor 40 Tahun 2007 memberikan pengertian tentang
pemegang saham secara implisit seperti yang terdapat dalam Pasal 79 Ayat 2 b, Pasal 97 Ayat 6, Pasal 113 Ayat 6, Pasal 138 Ayat 3 a, Pasal 144 Ayat 1
95
Pemerintah Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1995. hlm. 762.
72
Universitas Sumatera Utara
yakni bahwa 1 satu orang atau lebih dari pemegang saham yang bersama-sama untuk mewakili 110 satu persepuluh jumlah saham atau lebih dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara. Di dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal Nomor IX.F.1 tentang
Penawaran Tender pemegang saham utama adalah setiap pihak yang sekurang- kurangnya memiliki saham 20 dua puluh persen hak suara dari seluruh saham
yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan oleh suatu perseroan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
96
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemegang saham minoritas merupakan pihak yang memiliki saham tidak lebih dari 20 dua puluh perseratus hak suara dari
seluruh saham yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan dengan hak suara. Sehingga pemegang saham minoritas hanya menguasai saham dalam jumlah kecil
yang kalah besarnya dari jumlah saham yang dikuasi oleh kelompok pemegang saham lainnya dalam suatu perusahaan.
Melihat perbedaan komposisi dari kepemilikan saham pada suatu perusahaan maka sudah jelas pengendalian perusahaan berada di dalam kendali pemegang
saham mayoritas sehingga terhadap pemegang saham mayoritas kepentingannya cukup terjamin, terutama dalam mekanisme pengambilan keputusan dalam Rapat
Umum Pemegang Saham yang dimana setiap pengambilan keputusan apabila
96
Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal Nomor IX.F.1 tentang Penawaran Tender, c, angka 1 huruf c.
Universitas Sumatera Utara
tidak dapat dilakukan secara musyawarah maka akan diputuskan berdasarkan suara terbayak.
97
Posisi pemegang saham mayoritas yang begitu menguntungkan membuat pemegang saham minoritas semakin terabaikan keberadaannya. Karena tak jarang
dalam hal mengambil keputusan pemegang saham minoritas kalah suaranya sehingga mau tidak mau pemegang saham minoritas mengikuti keputusan dari
pemegang saham mayoritas. Disinilah muncul masalah, yaitu suara mayoritas yang sering menang dalam mengambil keputusan sering kali bertolak belakang
dengan kehendak dan kepentingan pemegang saham minoritas. Padahal bagaimanapun juga pemegang saham mayoritas tetaplah pihak yang mempunyai
bagian dalam perusahaan meskipun dalam jumlah kecil yang juga berhak mendapat perlindungan, meskipun tidak harus sampai menjadi pihak yang
mengatur perusahaan. Pemegang saham minoritas memang merupakan pihak yang rawan eksploitasi.
98
Di dalam Pasal 84 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 mengandung asas one share one vote yang mengatur bahwa setiap saham yang
dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain. Asas ini bertujuan agar adanya demokratis dalam mengambil keputusan, setiap
pemegang saham berhak mengeluarkan suaranya sebanyak saham yang dimilikinya di dalam perseroan.
97
Munir Fuady d, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, Jakarta: CV. Utomo, 2005, hlm.1.
98
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Asas one share one vote ini memberikan batasan kepada masing-masing pemegang saham dalam menyampaikan aspirasinya sesuai dengan jumlah saham
yang dimiliki. Namun melihat sifatnya, asas ini dirasa belum memenuhi rasa adil bagi pihak pemegang saham minoritas. Karena dalam hal ini tetap pihak minoritas
akan kalah. Hal inilah yang menyebabkan pelunya perlindungan hukum diberikan kepada pemegang saham minoritas, mengingat sangat dominannya pengaruh
pihak pemegang saham mayoritas terhadap kepentingan pihak pemegang minoritas.
99
B. Hak-Hak Pemegang Saham Minoritas