Determinasi Permainan Kecil untuk Pembelajaran Penjasorkes yang Berkualitas
C. Determinasi Permainan Kecil untuk Pembelajaran Penjasorkes yang Berkualitas
Persoalan kualitas yang sekarang menjadi masalah di Indonesia, sudah lampau dihadapi oleh negara-negara maju lainnya. Atensi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan kian menggeliat dari setiap tahunnya. Dengan dalil bahwa kualitas pendidikan di Indonesia belum memuaskan, sehingga implikasinya pada setiap dimensi kehidupan lainnya. Langkah-langkah strategis mulai dicanangkan, dari seminar, pelatihan, pendampingan, SKGJ, tunjangan sertifikasi, sampai pada perubahan kurikulum terus digulirkan. Intervensi regulasi- regulasi menghendaki guru-guru untuk “digodok” agar memperbaiki kualitas pendidikan dan pembelajarannya secara berkelanjutan. Sebab kualitas pendidikan hanya akan tercapai jika menginvestasi guru-guru yang kompeten dalam bidang ilmu yang digelutinya.
Selama ini pembelajaran Penjasorkes masih dipandang sebagai atribut pelengkap kurikulum pendidikan semata sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam dunia pendidikan. Hal ini begitu nyata, jika dikastasisasi maka bidang IPA masih menjadi dominasi dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM. Tidak sebatas itu, dalam aras praktisnya pun sumbangsih pembelajaran Penjasorkes masih dipertanyakan. Kritik keras pernah dilontarkan Ketua penelitian dan pengembangan (litbang) PB PGRI, Abduhzen kala menyikapi problematika kurikulum 2013, kritikan tersebut adalah daripada mengimplisitkan sains (IPA dan IPS) ke mata pelajaran lain, akan lebih baik jika mengeluarkan Penjasorkes dan seni budaya, kemudian menjadikannya sebagai ekstrakurikuler wajib. Dua mata pelajaran ini (juga keterampilan) tak jelas tujuan institusional dan
Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 261 Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 261
Pengkastasisasian ini tidaklah bijak, sebab semua mata pelajaran mempunyai andil yang sama untuk tujuan pendidikan nasional, namun dengan bidang kajian yang berbeda, termasuk pembelajaran Penjasorkes. Terlepas dari pro dan kontra ini, guru Penjasorkes seyogianya harus mampu membuktikan kepada khalayak bahwa memang determinasi Penjasorkes ke arah tujuan pendidikan nasional sangatlah kental. Sehingga kesangsian khalayak terhadap sumbangsih pembelajaran Penjasorkes dapat teratasi dan terjawab. Untuk menjawabnya, sudah tentu kita tidak boleh menggunakan “kacamata kuda”, setiap elemen-elemen proses dan hasil pembelajaran harus mampu termanifestasi di dalam diri siswa melalui pikiran, perkataan, maupun perbuatannya dalam lingkungan pendidikan maupun masyarakat.
Pembuktian tersebut dapat direaliasikan dengan desain proses pembelajaran yang sinergi dengan tujuan pendidikan nasional, tentu hanya akan tercapai dengan guru-guru yang berkualitas tinggi. Guru besar psikologi olahraga Universitas Negeri Surabaya sekaligus sekretaris kopertis wilayah VII, Ali Maksum (2011:61) menuturkan bahwa: “Prestasi tinggi hanya akan lahir dari individu yang memiliki kualitas pribadi unggul.” Dengan kualitas pribadi yang unggul, guru selalu proaktif mengembangkan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa, baik didapatkan melalui informasi- informasi dengan membaca, berdiskusi, seminar, pelatihan atau terlibat langsung dengan melakukan kajian-kajian ilmiah, misalnya penelitian tindakan kelas (PTK) sehingga tujuan pembelajaran Penjasorkes jelas dan terarah pada pengembangan SDM.
262 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil
Kemasan content pembelajaran yang berkualitas dipengaruhi oleh guru. Jika gurunya berkualitas, pasti proses dan hasil pembelajarannya pun dapat terukur kualitasnya. Tulisan yang bertajuk : “Pedagogi olahraga dalam upaya pengembangan pendidikan
Mutohir (1999:15) mendeskripsikan kebosanan (tidak menggembirakan) anak dan remaja di Australia dalam mengikuti pembelajaran Penjasorkes dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kualitas dan isi dari Penjasorkes itu sendiri. Kedua variabel ini masih menjadi perdebatan masyarakat ilmiah hingga saat ini. Sebab, guru Penjasorkes sendiri belum memahami secara tepat tujuan pembelajarannya (kualitas dan isinya), sehingga kekikukkan dan kerancuan dalam perencanaan, implementasi proses, sampai pada tingkat evaluasinya masih menonjol. Apabila guru Penjasorkes yang tatkala adalah pioner transformasi saja masih mengalami dilema demikian, maka apa yang hendak didapatkan dari out - put pembelajaran Penjasorkes oleh siswa dan pemerintah?
olahraga ”
karangan
Guru yang berkualitas akan memudahkannya mendesain pembelajaran yang berkualitas pula. Kualitas tersebut dimanifestasikan dalam kreativitasnya memilih dan memilah secara cermat pendekatan pembelajaran, metode mengajar, media pembelajaran, lingkungan belajar, membangun situasi yang komunikatif dan interaktif, menggunakan umpan balik humanis, sampai pada evaluasi dan penilaian hasil belajar yang objektif dan komprehensif. Kualitas pembelajaran adalah takaran yang menjelaskan seberapa baik kualitas interaksi antara guru dengan siswa yang terjadi selama proses pembelajaran untuk mencapai tujuan. Interaksi ini melibatkan guru dan siswa yang dikemas dalam lingkungan dengan afirmasi sarana dan prasarana yang bersifat kondisional. Guru, siswa, sarana dan prasarana,
Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 263 Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 263
Guna menilai tingkat kualitas pembelajaran, dapat dilihat dari indikator-indikatornya. Secara umum kualitas pembelajaran dibagi ke dalam 10 kategori sebagai berikut: 1) Lingkungan fisik mampu menumbuhkan semangat siswa untuk belajar; 2) Iklim kelas kondusif untuk belajar; 3) Guru menyampaikan pelajaran dengan jelas dan semua siswa mempunyai harapan untuk berhasil;
4) Guru menyampaikan pelajaran secara koheren dan terfokus; 5) Wacana yang penuh pemikiran; 6) Pembelajaran bersifat riil (autentik dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan siswa); 7) Ada penilaian diagnostik yang dilakukan secara periodik; 8) Membaca dan menulis sebagai kegiatan yang esensial dalam pembelajaran; 9) Menggunakan penalaran dalam memecahkan masalah; dan 10) Menggunakan teknologi pembelajaran secara efektif (Widoyoko dalam Indrayani, 2010:15).
Berikut ini penjabaran indikator-indikator untuk mengukur atau menilai kualitas pembelajaran Penjasorkes melalui permainan kecil:
1. Guru sebagai fasilitator
Kualitas dapat dilihat dari seberapa optimal guru mampu
memfasilitasi proses pembelajaran siswa menggunakan permainan kecil.
Dalam paradigma pembelajaran yang baru ( student center learning ), intervensi guru diminimalisir. Upaya ini merupakan salah satu strategi agar siswa dapat mengoptimalisasi dan mengembangkan kemampuan dan potensi dalam dirinya secara bebas dan gembira . Kebiasaan siswa yang “bergantung” (perilaku adiktif) pada guru membentuk kemandekkan pola berpikir
264 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil 264 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil
Menurut Flewelling dan William, peran ini (guru sebagai fasilitator) dimaksudkan agar guru dan siswa berinteraksi untuk mendorong keberanian, mengilhami, menantang, berdiskusi, berbagi, menjalakan, menegaskan, merefleksi, menilai, dan merayakan perkembangan, pertumbuhan, dan keberhasilan (Suyono & Hariyanto, 2011:188). Selama berlangsungnya permainan, peran di atas hendaknya dimainkan secara pandai dan lihai oleh guru. Dengan demikian, siswa lebih aktif untuk terlibat dalam proses pembelajaran dengan pendekatan bermain dan permainan.
Berikut ini dijabarkan peran teacher as facilitator dalam berbagai ruang lingkup, di antaranya:
a. Guru memfasilitasi lokasi permainan Setiap kegiatan yang bersifat apapun tentu membutuhkan tempat atau ruang sebagai lokasi untuk melakukan interaksi dan komunikasi. Lokasi ini bisa saja disediakan dalam bentuk in - door maupun out - door yang sifatnya situasional berdasarkan pada cuaca maupun kondisi sekolah, lokasi yang disiapkan pun harus mampu menjaga prinsip kenyamanan dan keselamatan siswa (lihat bab 3).
Pemilihan lokasi permainan juga berpengaruh terhadap kelancaran pembelajaran, dengan pemilihan lokasi yang aman, nyaman, dan strategis dapat mendorong semangat, efektivitas, dan efisiensi
Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 265 Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 265
b. Guru memfasilitasi media permainan Meskipun pada materi-materi tertentu proses pembelajaran dilangsungkan minus media, bukan berarti guru tidak mementingkan media dalam kelancaran proses pembelajaran. Media dapat digunakan dan dimodifikasi guru dengan berbagai bahan-bahan lunak dan mudah dijangkau serta tidak mencederai siswa dalam penggunaan dan pemanfaatannya. Media-media ini dapat dimediasi guru dengan berbagai cara, apakah terbuat dari bahan plastik yang telah dipabriki secara baik (misalnya: cone , tali, bola, dsb.) ataupun media dari bahan-bahan lainnya yang telah mendapat sentuhan modifikasi oleh guru maupun siswa (misalnya: kertas, gardus, karet, dsb.).
Sebagai contoh, dalam permainan lompat pocong, media-media yang dibutuhkan akan mempengaruhi peluang gerak yang besar dan tinggi oleh para siswa. Semakin banyak dan tersedianya medianya (gardus/ cone ), maka siswa pun dapat dimainkan dalam kelompok yang lebih banyak serta menggunakan lintasan yang lebih panjang. Dengan demikian proses pembelajaran
266 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil 266 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil
c. Guru memfasilitasi peraturan permainan Jika permainannya sudah familiar di antara siswa, maka peraturan permainan tidak terlalu serius untuk didiskusikan. Jika belum, maka peraturan hendaknya dibuat dan disepakati bersama antara guru dan siswa selama permainan dilaksanakan. Peraturan-peraturan tidak monoton dan kaku dalam implementasinya, sehingga memungkinkan guru dan siswa untuk melakukan modifikasi-modifikasi guna kepentingan pembelajaran.
Misalnya menentukan peraturan untuk mengatur siswa dalam pengendalian dan pengontrolan dirinya. Permainan akan terarah dan terukur, jika diselipi peraturan. Peraturan ini tidak mengikat, melainkan adanya unsur dinamisasi. Dinamisasi menjelaskan jika peraturan itu dipandang menghambat proses belajar, maka dapat dipertimbangkan untuk direvisi kembali.
d. Guru memfasilitasi pengalaman belajar gerak yang tinggi dalam permainan Kesempatan dan pengalaman belajar yang dimaksudkan adalah ketika guru mengontrol jalannya proses permainan, maka secara cermat harus dapat
Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 267 Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 267
Untuk meminimalisirnya, guru selalu aktif mengontrol siswa yang belum melaksanakan aktivitas geraknya. Kesempatan dan pengalaman belajar geraknya perlu dioptimalisasi, sehingga organ-organ fisiologis siswa
keringat, serta memperlancar peredaran darah dalam tubuh. Dengan bergerak, siswa melatih keterampilan gerak lokomotor, non lokomotor, dan manipulasi, mengembangkan motor educability , serta menjaga dan meningkatkan kebugaran jasmaninya.
terlatih,
mengeluarkan
e. Guru memfasilitas suasana belajar yang edukatif dan interaktif selama permainan Salah satu aspek yang sering dilupakan guru dalam mengemas permainan adalah dengan menyediakan suasana gerak yang edukatif dan interaktif. Suasana yang edukatif dimaksudkan guru memberikan makna-makna pendidikan ( education ) dalam proses permainan. Sehingga permainan tidak dikonotasikan dengan belajar motorik semata. Misalnya berdoa pada saat membuka dan menutup permainan, saling bersalaman antara guru dan siswa serta sesama siswa, jujur pada saat permainan berlangsung, bertanggung jawab atas tugas atau peran yang diemban, memberikan siswa kesempatan memimpin doa atau memimpin warming-up/ colling down atau memimpin permainan.
268 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil
Selain suasana edukatif, guru wajib memfasilitasi suasana yang interaktif pula. Pada kegiatan pendahuluan, guru harus memberikan kesempatan siswa untuk berpendapat atau umumnya dikenal dengan kegiatan apersepsi serta menjelaskan tujuan pembelajarannya atau permainannya. Hal apersepsi maupun tujuannya, dapat dilumatkan guru dalam kegiatan warming - up secara bersamaan, jika guru ingin menghemat waktu sehingga porsi belajar gerak siswa kian tinggi.
Guru sebagai fasilitator dalam permainan Tidak sebatas pada kegiatan pendahuluan, tetapi
pada kegiatan inti dan penutup pun disisipkan secara seimbang suasana interaktifnya. Misalnya menggunakan komunikasi verbal dan non verbal kepada siswa yang keliru maupun yang prestasi (baik secara motorik maupun afektif) selama permainan. Ini memberikan
Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 269
“kehangatan” kepada siswa untuk selalu belajar, sebab dirinya merasakan perhatian guru. Siswa yang pasif
(tidak berpendapat, tidak gembira, dan tidak sportif, tidak bertanggung jawab, dsb.) harus mendapatkan
pendampingan dari guru. Dengan demikian, kesempatan belajar tidak hanya sempit pada wilayah jasmaninya, tetapi meluas pada wilayah kognitif dan afektif.
2. Siswa sebagai pembelajar
Merujuk pada poin pertama di atas, secara otomatis siswa akan produktif memanifestasikan potensi diri melalui motivasi, kegairahan, aktif, dan kreatif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis pada siswa sudah tidak teelakkan lagi, siswa dengan sejumlah kemampuan dan potensi ini hanya akan dapat berkembangan dengan baik jika dirinya mampu mengeksplorasi setiap pengalaman- pengalaman belajar yang ditemuinya di dalam maupun di luar kelas.
Kejenuhan siswa begitu nampak, ketika guru selalu mendominasi proses belajar, hanya sedikit ruang yang diberikan kepada siswa baik itu di awal, pertengahan, maupun akhir pembelajaran. Hal ini sontak membuat proses belajar laksana “penjara” bagi siswa, padahal sejumlah manfaat dan kegunaan yang ditawarkan pendekatan bermain dan permainan sangat menguntungkan siswa. Saat bermain, siswa begitu leluasa melahirkan beragam strategi-strategi baru untuk menghasilkan kepuasan bagi diri dan regunya serta sangat ekspresif dalam meluapkan kegembiraan maupun kekesalannya. Maka sebenarnya, bermain laksana “roh” bagi siswa dalam dunia pembelajaran. Hal ini juga pernah disampaikan Suparman (2010:169) dalam bukunya yang
270 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil 270 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil
apapun dalam pikiran. Suasana hati senantiasa ceria. Dalam keceriaan inilai guru dapat dengan mudah menyelipkan ajaran-ajarannya.
Pada saat permainan dilaksanakan, guru hendaknya menempatkan siswa sebagai pembelajar ( student centries ). Sehingga siswalah yang mencari, melakukan, menemukan, bahkan mengembangkan beragam informasi dan gerak-gerak baru dalam permainan. Jika siswa berpartisipasi aktif dan total, maka setiap detik, menit, dan jam dilewati siswa dengan dominasi gerak-gerak yang optimal. Siswa sebagai pioner yang memprakarsai permainannya dengan daya kreatifnya masing-masing, jika dibolehkan siswa pun berkesempatan secara leluasa memandu jalannya permainan (misalnya sebagai wasit).
Aktivitas siswa dalam permainan jalan naga
Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 271
3. Melaksanakan permainan yang koheren dengan materi pembelajaran
Kualitas permainan dapat dilihat dari koherensi antara bentuk permainan dengan materi yang hendak dilaksanakan. Ini adalah hal paling sederhana untuk mengajak siswa masuk ke dalam pengalaman gerak yang kian kompleks pada inti materi pelajaran. Melalui permainan, guru mengantarkan pemahaman dan pengalaman gerak siswa terhadap materi yang hendak dipelajarinya kelak. Kegiatan motorik dan persendian otot anak dapat beradaptasi dengan mudah. Dalam warming - up , dominasi gerak anak sudah merujuk pada materi inti. Sebagai contoh, permainan-permainan yang dapat digunakan guru dalam materi atletik misalnya, lompat pocong, jalan naga, benteng, pelempar jitu. Permainan- permainan ini memiliki koherensi yang tinggi dengan materi atletik (jalan, lari, lompat, dan lempar).
Khasiat pendekatan permainan pernah dijumpai Maray (2011:66) dalam kajiannya terhadap pembelajaran Penjasorkes. Hasil penelitiannya menemukan bahwa: a) Permainan kecil merupakan pendekatan yang efektif dalam pembelajaran atletik; b) Dengan permainan kecil, siswa lebih aktif dalam melakukan kegiatan gerak dasar atletik; dan c) Permainan kecil dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap pembelajaran Atletik. Selain Maray, Priyanto (2013:1) juga memberikan bukti bahwa dengan pendekatan bermain mampu meningkatkan motivasi belajar gerak dasar lari siswa. Dapat meningkatkan rerata kecepatan lari 50 m dari siklus I sebesar 9,75 (kategori baik) meningkat menjadi 9,46 (kategori baik) pada siklus II. Sedangkan jumlah siswa yang tuntas pada siklus I sebanyak 23 anak (67,65%) setelah
272 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil 272 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil
Guru melakukan warming - up dengan permainan hitam-hijau
4. Permainan yang menyenangkan dan bermakna
Kualitas dapat dilihat dari seberapa besar suasana belajar mendukung terciptanya kegiatan pembelajaran yang menarik, menantang, menyenangkan, dan bermakna bagi siswa. Permainan hendaknya beranjak dari sebuah perasaan yang menggembirakan, sehingga tidak terkesan adanya bentuk-bentuk perilaku intimidasi dan diskriminasi yang dirasakan siswa. Hal senada juga disampaikan Salirawati (Saptawulan, 2012:29)
bahwa pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat anak didik tidak takut salah, ditertawakan, diremehkan, atau merasa tertekan.
Jusuf Blegur & M. Rambu P. Wasak 273
Keengganan siswa dalam mengeluarkan imajinasinya kian terasa, ketika perkataan dan perilakunya tidak direspon positif oleh guru bahkan siswa lainnya. Padalah para pakar psikologi dan pendidikan, menantang keras tindakan demikian (menertawai, mengejek, dsb.). Pada saat bermain, justru keterampilan berpikir ini (imajinasi) harus dieksplorasi sedemikian rupa untuk mendukung pembelajaran yang bermakna. Artinya, siswa mendapatkan faedah dalam kehidupan ketika permainan itu telah selesai dilaksanakan. Hal sederhana yang sering dijumpai ialah rawut wajah guru yang selalu suram, sepanjang permainan/ pembelajaran berlangsung, tidak menebarkan pesona senyumnya kepada siswa, intonasi nada yang tinggi, serta menggertak siswa dengan ancaman-ancaman serius sehingga menyisahkan sikap traumatis pada diri siswa.
Ekspresi siswa dalam permainan memindahkan bola
274 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil
Permainan hendaknya membantu siswa untuk menyingkirkan perasaan lelah dan bosan yang dialami baik dalam interaksinya di lingkungan sekolah maupun masyarakat sehingga perasaannya dapat dibebaskan kembali melalui permainan-permainan pilihan. Tugas guru Penjasorkes hendaknya demikian, melalui permainan guru mempererat hubungan emosional antara siswa dan guru serta sesama siswa sehingga keharmonisan dalam proses permainan, pembelajaran, bahkan dalam pola sosialisasi dapat terpelihara untuk mendukungan interaksi sosial- emosional siswa dimanapun dirinya berada.