Kebudayaan Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Pembentukan Kepribadian

29 dikatakan mustahil, bagi seorang untuk mengembangkan gambaran diri yang dewasa sebagai seorang yang berharga dan kompeten. Kelompok acuan ini dalam perkembangannya mengalami pergan- tian seiring dengan usia dan aktifitas individu yang bersangkutan. Hanya perlunya disadari bahwa dari ratusan kemungkinan kelompok referens yang menjadi penting bagi setiap orang dan dari evaluasi kelompok ini gambaran diri seseorang secara terus-menerus dibentuk dan diperba- harui. Oleh karena itu, tidaklah salah kalau dikatakan bahwa setiap individu bisa menjadi acuan atau referens bagi individu lainnya dalam pembentukan kepribadian yang bersangkutan, demikian juga sebaliknya. Masyarakat yang kompleksmajemuk memiliki banyak kelompok dan kebudayaan khusus dengan standar yang berbeda dan kadangkala bertentangan. Seseorang dihadapkan pada model-model perilaku yang pada suatu saat dipuji sedang pada saat lain dicela atau disetujui oleh beberapa kelompok dan dikutuk oleh kelompok lainnya. Dengan demikian seorang anak akan belajar bahwa ia harus tangguh dan mampu untuk menegakkan haknya, namun pada saat yang sama ia pun harus dapat berlaku tertib, penuh pertimbangan dan rasa hormat. Dalam suatu ma- syarakat di mana setiap orang bergerak dalam sejumlah kelompok dengan standar dan nilai yang berbeda, setiap orang harus mampu menentukan cara untuk mengatasi tantangan-tantangan yang serba bertentangan.

e. Pengalaman yang Unik

Mengapa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sama sedemikian berbeda satu dengan yang lainnya, sekalipun mereka pernah mendapatkan pengalaman yang sama? Masalahnya adalah karena mereka tidak mendapatkan pengalaman yang sama; mereka pernah mendapatkan pengalaman yang serupa dalam beberapa hal dan berbeda dalam beberapa hal lainnya. Setiap anak memasuki suatu unitkesatuan keluarga yang berbe- da. Anak yang dilahirkan pertama, yang merupakan anak satu-satunya sampai kelahiran anak yang kedua, kemudian akan mempunyai adik laki- laki atau perempuan dengan siapa ia dapat bertengkar. Orang tua berubah dan tidak memperlakukan sama semua anak-nya. Anak-anak memasuki kelompok sebaya yang bebeda, mungkin mempunyai guru yang berbeda dan berhasil melampaui peristiwa yang berbeda pula. Sepasang anak kembar mempunyai warisan heredity yang identik dan kecuali bila dipisahkan lebih cenderung memperoleh pengalaman yang sama. Mereka berada dalam suatu keluarga bersama-sama, seringkali mempunyai kelompok sebaya yang sama, dan diperlakukan kurang lebih sama oleh orang lain; akan tetapi bahkan anak kembar pun tidak meng- 30 alami bersama seluruh peristiwa dan pengalaman. Karena pengalaman setiap orang adalah unik dan tidak ada persamaannya. Pengalaman sen- diripun tidak ada yang secara sempurna dapat menyamainya. Suatu inventarisasi dari pengalaman sehari-hari berbagai anak- anak dalam suatu keluarga yang sama akan mengungkapkan banyaknya perbedaan. Maka setiap anak terkecuali anak kembar yang identik mempunyai warisan biologis yang unik, yang benar-benar tidak seorang- pun dapat mehyamainya, dan demikian pula halnya suatu rangkaian pengalaman hidup yang unik tidak dapat benar-benar disamai oleh pengalaman siapapun. Pengalaman tidaklah sekedar bertambah, akan tetapi menyatu. Kepribadian tidaklah dibangun dengan menyusun suatu peristiwa di atas peristiwa lainnya sebagaimana membangun tembok bata. meniru satu sama lainnya, akan tetapi mereka juga berusaha untuk memiliki identitas sendiri. Anak-anak yang lebih muda seringkali menolak kegiatan yang telah dikerjakan dengan baik oleh kakak-kakaknya, dan mencari peng- akuan melalui kegiatan-kegiatan lainnya. Tanpa disadari, orang tua membantu proses seleksi ini. Seorang ibu dapat mengatakan, Susi si kecil adalah pembantu mama, tetapi aku pikir Anna akan menjadi anak perempuan yang kelaki-lakian, ketika Susi mulai merapikan meja, sedangkan Anna sedang berjumpalitan di tangga. Jadi dalam hubungan ini dan dalam banyak hal lainnya setiap pengalaman hidup seseorang adalah unik. Unik dalam pengertian tidak seorangpun mengalami serangkaian pengalaman seperti ini dengan cara yang persis sama dan unik dalam pengertian bahwa tidak seorangpun mempunyai latar belakang pengalaman yang sama, setiap peristiwa baru akan menimbulkan pengaruh yang akan dapat diperoleh suatu makna.

3. Teori Kepribadian

Teori adalah hipotesis yang belum terbukti atau spekulasi tentang kenyataan yang belum diketahui secara pasti. Apabila teori itu terbukti benar maka menjadi fakta. Teori adalah sekumpulan konvensi kesepa- katan yang diciptakan oleh teoretikus berdasarkan bukti-bukti yang dite- mukan saat itu. Melihat teori sebagai sekumpulan konvensi menekankan fakta bahwa teori-teori tidak diberikan atau ditentukan sebelumnya oleh alam, tetapi data atau proses lain sebagai bukti yang menentukan. Pertama dan yang paling penting, teori membimbing ke arah pe- ngumpulan atau observasi atas hubungan-hubungan empiris relevan yang belum diamati. Teori harus mengarah ke perluasan pengetahuan secara sistematis tentang gejala-gejala yang sedang menjadi perhatian, dan secara ideal perluasan ini harus bersumber atau dirangsang oleh 31 derivasi dari teori tentang dalil-dalil empiris spesifik pernyataan-pernya- taan, hipotesis-hipotesis atau dugaan, prediksi-prediksi atau perkiraan yang harus bisa diuji secara empiris pengalaman langsung. Pada pokoknya, hakikat setiap ilmu pengetahuan terletak pada penemuan hu- bungan-hubungan empiris stabil antara peristiwa atau variabel. Fungsi teori ialah memajukan proses ini secara sistematis. Teori dapat diibaratkan sebagai suatu dapur penggilingan proposisi ungkapan, usulan, mengasah pernyataan-pernyataan empiris yang saling berhu- bungan yang selanjutnya dapat dikonfirmasikan atau ditolak berdasarkan data empiris yang dikontrol dengan semestinya. Hanya dalil-dalil atau ide- ide yang diturunkan dari teori terbuka untuk diuji secara empiris. Teori itu sendiri merupakan asumsi, sedangkan penerimaan atau penolakannya ditentukan oleh kegunaan-nya bukan oleh kebenaran atau kepalsuannya. Dalam hal ini, kegunaan mengandung dua komponen, yaitu verifiabilitas dan ketuntasan comprehensiveness. Verifiabilitas adalah kapasitas suatu teori untuk menghasilkan prediksi-prediksi yang terbukti benar jika data empirisnya yang relevan berhasil dikumpulkan. Ketuntasan atau comprehensiveness adalah jang- kauan atau kelengkapan derivasi-derivasi ini. Kita bisa memiliki teori yang menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang seringkali terbukti benar tetapi yang hanya mengenai sedikit aspek dari gejala-gejala yang dise- lidiki. Secara ideal, teori harus mengarah pada prediksi-prediksi akurat yang secara sangat umum atau secara inklusif mengenai peristiwa- peristiwa empiris yang dicakup oleh teori. Fungsi kedua yang harus dijalankan oleh teori ialah memberi kemungkinan terjadinya pemaduan temuan-temuan empiris ter-tentu ke dalam suatu kerangka yang secara logis konsisten dan cukup sederhana. Teori merupakan sarana untuk menata dan mengintegrasikan semua yang diketahui tentang serangkaian peristiwa yang saling berhubungan. Pada dasarnya suatu teori kepribadian harus mampu memberikan jawaban atas pertanyaan “apa”, “bagaimana”, “dan “mengapa” tentang tingkah laku manusia. Sebuah teori kepribadian yang lengkap biasanya memiliki dimensi-dimensi sebagai berikut. 1. pembahasan tentang struktur, yaitu aspek-aspek kepribadian yang bersifat relatif stabil dan menetap, serta yang merupakan unsur-unsur pembentuk sosok kepribadian. 2. pembahasan tentang proses, yaitu konsep-konsep tentang motivasi untuk menjelaskan dinamika tingkah laku atau kepribadian. 3. pembahasan tentang pertumbuhan dan perkembangan yaitu aneka perubahan pada struktur sejak masa bayi sampai mencapai masa kematangan, perubahan-perubahan pada proses yang menyertainya, serta berbagai faktor yang menentukannya. 32 4. pembahasan tentang psikopatologi, yaitu hakekat gangguan kepriba- dian atau tingkah laku beserta asal-usul atau proses berkembangnya. 5. pembahasan tentang perubahan tingkah laku, yaitu konsepsi tentang bagaimana tingkah laku bisa dimodifikasi atau diubah Pervin, 1980; dalam Supraktinya, 1995. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori kepribadian harus merupakan sekumpulan asumsi tentang tingkah laku manusia beserta definisi-definisi empirisnya. Syarat berikutnya adalah bahwa teori harus relatif kompre- hensif utuh. Teori harus siap untuk menangani, atau membuat prediksi- prediksi tentang berbagai macam tingkah laku manusia. Sesungguhnya, teori harus siap untuk menangani setiap gejala tingkah laku yang memiliki arti bagi individu. Beberapa teori kepribadian yang dikenal dalam kajian sosiologi, psikologi maupun antropologi, secara umum dapat dikelompokkan menja- di beberapa empat 4 bagian, sebagai berikut. 1. Teori-teori kepribadian yang berorientasi psikodinamik, teori ini berpandangan bahwa sebagian terbesar tingkah laku manusia digerakkan oleh daya-daya psikodinamik seperti motif-motif, konflik- konflik, dan kecemasan-kecemasan. Diantaranya yang termasuk dalam kelompok ini adalah: teori psikoanalisis klasik Freud, psikologi ego Erik Erikson, teori Analitik Carl Jung, teori psikologi sosial Alfres Adler, Erich Fromm, Karen Horney, dan Harry Stack Sullivan. 2. Teori-teori kepribadian yang berorientasi holisitik, teori ini berpandangan bahwa manusia merupakan suatu organisme yang utuh atau padu dan bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata berdasarkan aktifitas bagian-bagiannya. Kelompok yang termasuk dalam teori ini adalah: Personologi Henry Murray, teori organismik Kurt Goldstein dan Andras Angyal, teori Humanistik Abraham Maslow dan Carl Rogers, teori Eksistensial Ludwig Binswanger dan Medard Boss, dan teori Medan Kurt Lewin. Selain itu kelompok teori ini juga disebut dengan teori kepribadian yang berorienttasi fenomenologis, karena teori ini menekankan pentingnya cara sang individu manusia dalam mempersepsikan dan mengalami dirinya serta dunia sekelilingnya. 3. Teori-teori kepribadian yang berorientasi sifat trait theories atau teori tipe type theories, teori ini berpandangan bahwa sebagian terbesar manusia memiliki sifat-sifat tertentu, yakni pola kecenderungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu, sifat yang stabil ini menyebab- kan manusia bertingkah laku secara relatif tetap dari situasi ke situasi. Mereka yang termasuk dalam kelompok teori ini adalah: teori psikologi individu dari Gordon Allport, psikologi konstitusi dari William Sheldon, dan teori faktor Raymond Cattell. 33 4. Teori-teori kepribadian yang berorientasi behavioristik, teori ini menekankan proses belajar serta peranan lingkungan yang merupa- kan kondisi langsung belajar, dalam menjelaskan tingkah laku. Menurut teori ini semua bentuk tingkah laku manusia merupakan hasil belajar yang bersifat mekanistik lewat proses perkuatan. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah teori stimulus-respon John Dollard dan Neal Miller, serta peori perkuatan operan B.F. Skinner. Cooley dan Cermin Diri Seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan orang lain. Misalkan seorang orang tua dan keluarganya mengatakan bahwa anak gadisnya cantik. Kalau hal ini cukup sering diulang-ulang secara konsisten, oleh orang-orang yang cukup berbeda-beda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan bertindak seperti seorang yang cantik. Orang- orang cantik sering tampak lebih tenang dan percaya diri daripada orang bermuka buruk, karena mereka dinilai dan diperlakukan berbeda. Namun, seorang gadis cantik sekalipun tidak akan pernah benar-benar yakin bahwa ia cantik kalau dari awal hidupnya orang tua bersikap kecewa dan apologetis rasa menyesal terhadap gadis itu dan memperlakukannya sebagai anak yang tidak menarik. Diri yang ditemukan melalui tanggapan orang lain dinamakan diri cerminan orang lain cermin diri oleh Cooley 1902, Horton, 1993, yang dengan hati-hati menganalisis segi penemuan diri ini. Mungkin saja ia telah mendapat inspirasi dari kata-kata dalam sandiwara Vanity Fair Thackeray: Dunia adalah sebuah cermin dan memberikan kepada setiap orang bayangan dari mukanya sendiri. Kerutkan dahi di hadapannya, dan bayangan masam akan tampak di hadapan anda; tertawalah di depan bersamanya dan anda akan memperoleh sahabat yang baik dan riang. Tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri: 1 persepsi kita tentang bagaimana kita memandang orang lain; 2 persepsi kita tentang penilaian mereka mengenai bagaimana kita memandang; dan 3 perasaan kita tentang penilaian. Calvin dan Holtzman 1953 menemukan bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam merasakan secara tepat pen- dapat orang lain tentang mereka, dan bahwa orang yang kurang mampu menyesuaikan dirinya dengan pandangan-pandangannya juga kurang akurat. Mead dan Konsep Generalisasi Orang Lain