23 Gagne  dalam  Ngalim  Purwanto  1997  :  84  mengemukakan  bahwa
“Belajar  terjadi  apabila  suatu  situasi  stimulus  bersama  dengan  isi  ingatan mempegaruhi  siswa  sedemikian  rupa  sehingga  perbuatannya  performance-
nya berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.”
Morgan    dalam  Ngalim  Purwanto  1997  :  84  mengemukakan  bahwa “Belajar  adalah  setiap  perubahan  yang  relatif  menetap  dalam  tingkah  laku
yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.” Witherington  dalam  Ngalim  Purwanto  1997  :  84  mengemukakan
bahwa  “Belajar  adalah  suatu  perubahan  di  dalam  kepribadian  yang menyatakan  diri  sebagai  suatu  pola  baru  daripada  reaksi  yang  berupa
kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian.” Dari    pendapat-pendapat  yang  dikemukakan  diatas  terdapat  beberapa
elemen penting yang merupakan ciri belajar, yaitu : 1.  Belajar merupakan suatu perubahan dalam tigkah laku,
2.  Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman,
3.  Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap,
4.  Tingkah  laku  yang  mengalami  perubahan  karena  belajar menyangkut    berbagai  aspek    kepribadian,  baik  fisik  maupun
psikis. Ngalim Purwanto 1997 : 85 Jadi  dapat  disimpulkan  bahwa  belajar  adalah  suatu  bentuk  perubahan
tingkah laku yang menyangkut berbagai aspek, baik fisik maupun psikis yang relatif menetap setelah ia mendapatkan latihan atau pengalaman.
c. Prestasi Belajar
“Prestasi  belajar  adalah  penguasaan    pengetahuan  atau  ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimya ditunjukkan dengan nilai tes
atau angka nilai yang diberikan guru.” KBBI 1990 : 700 Suharsimi  Arikunto  1990  :  450  menyatakan  bahwa  “Prestasi  belajar
sebagai perubahan tingkah laku yang meliputi tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan  psikomotorik.  Prestasi  belajar  merupakan  bukti  keberhasilan  dalam
belajar  yang  dapat  berupa  perbedaan  tingkah  laku  yang  terjadi  pada  pelaku belajar.”
24 Sedangkan Sutratinah Tirtonegoro 1989  : 43 mengemukakan bahwa
“Prestasi  adalah  hasil  usaha  kegiatan  belajar  yang  diyatakan  dalam  bentuk simbol,  angka,  huruf,  maupun  kalimat  yang  dapat  mencerminkan  hasil  yang
sudah dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu.” Dari  beberapa  pengertian  diatas  dapat  diambil  kesimpulan  bahwa
prestasi  belajar  adalah  hasil  yang  dicapai  siswa  setelah  melakukan  kegiatan belajar  dalam  jagka  waktu  tertentu,  berupa  penguasaan  pengetahuan,
pemahaman,  ketrampilan  dan  sikap  yang  diyatakan  dalam  bentuk  nilai  yang berupa simbol-simbol baik angka, huruf maupun kalimat.
d.  Matematika
Banyak pendapat dari para pakar tentang definisi matematika. Dengan kata lain tidak ada pendapat tunggal  yang disepakati sebagai definisi tentang
matematika. Berikut ini beberapa pendapat tentang pegertian matematika. “Matematika  adalah  ilmu  tentang  bilangan-bilangan,  hubungan  antar
bilangan  dan  prosedur  operasional  yang  digunakan  dalam  penyelesaian masalah mengenai bilangan.” KBBI 1990 : 566. Sedangkan Purwoto 1998 :
4  mengemukakan  bahwa  “Matematika  adalah  pengetahuan  tentang  pola keteraturan, pengetahuan tentang struktur terorganisasikan, mulai unsur-unsur
yang  tidak  didefinisikan  ke  unsur-unsur  yang  didefinisikan  ke  aksioma  dan postulat dan akhirnya ke dalil.”
Soedjadi 2000 : 11 mengemukakan bahwa : a.  Matematika adalah cabang ilmu pegetahuan eksak  dan terorganisir
secara sistematik. b.  Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi.
c.  Matematika  adalah  pengetahuan  tentang  penalaran  logik  dan berhubungan dengan bilangan.
d.  Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.
e.  Matematika  adalah  pengetahuan  tentang  struktur-struktur  yang logik.
f.  Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Dari  berbagai  pendapat  yang  berbeda  tersebut  terlihat  adanya
karakteristik khusus yang dapat mewakili pegertian matematika secara umum. Beberapa karakteristik tersebut adalah :
25 a.  Memiliki objek kajian abstrak.
b.  Bertumpu pada kesepakatan. c.  Berpola pikir deduktif.
d.  Memiliki simbol yang kosong dari arti. e.  Memperhatikan semesta pembicaraan.
f.  Konsisten dalam sistemnya. Soedjadi 2000 : 13
Dari  pengertian  prestasi,  prestasi  belajar  dan  matematika  yang  telah diuraikan  dapat  disimpulkan  bahwa  prestasi  belajar  matematika  adalah  hasil
yang  dicapai  siswa  setelah  mengikuti  pelajaran  matematika  dalam  jangka waktu  tertentu,  berupa  penguasaan  pengetahuan,  pemahaman,  ketrampilan
dan sikap yang diyatakan dalam bentuk nilai yang berupa simbol-simbol baik angka, huruf maupun kalimat. Menurut Drs. Thulus Hidayat dkk 1994 : 92,
“Prestasi belajar dipengaruhi banyak fator, baik faktor intern maupun ekstern murid”.  Faktor  intern  murid  antara  lain  aktivitas  belajar,  minat  belajar,  rasa
keingintahuan,  kemampuan  awal  dan  sebagainya,  sedangkan  faktor  ekstern diantaranya  adalah  faktor  guru  sebagai  pengajar,  kurikulum  dan  bahan
pelajaran,  pendekatan  pembelajaran,  sarana  dan  prasarana,  serta  faktor  dari lingkungan.  Dalam  penelitian  ini  hanya  akan  membahas  tentang  pendekatan
pembelajaran dan faktor intern siswa yaitu kemampuan awal.
2. Pendekatan Pembelajaran Matematika
Pendekatan  dalam  pembelajaran  adalah  suatu  jalan,  cara  atau kebijaksanaan  yang  ditempuh  oleh  guru  atau  siswa  dalam  pencapaian  tujuan
pembelajaran  dilihat  dari  sudut  bagaimana  proses  pembelajaran  atau  materi pembelajaran itu, umum atau khusus dikelola Ruseffendi, 1988: 240.
Soedjadi 2000: 102 membedakan pendekatan menjadi dua yaitu : 1.  Pendekatan  materi  material  approach,  yaitu  proses  menjelaskan  topik
matematika  tertentu meggunakan materi matematika lain. 2.  Pendekatan pembelajaran teaching approach, yaitu proses penyampaian atau
penyajian topik matematika tertentu agar mempermudah siswa memahaminya. Trefers 1991 mengklasifikasikan empat pendekatan pembelajaran dalam
pendidikan  matematika  berdasarkan  komponen  matematisasi  matematisasi horizontal  dan  matematisasi  vertikal  yaitu  mekanistik,  empiristik  strukturalistik
26 dan  realistik.  Perbedaan  pendekatan  pembelajaran  dalam  pendidikan  matematika
ditekankan  sejauh  mana  pendekatan  tersebut  memuat    atau  menggunakan  kedua komponen  tersebut,  tabel  berikut  ini  menunjukkan  perbedaan  ini  menunjukkan
perbedaan  tersebut  tanda  “  +  ”  berarti  memuat  komponen  dan  tanda  “  –  “ sebaliknya.
Komponen Matematisasi Pendekatan
Pembelajaran Horizontal
Vertikal Mekanistik
_ _
Empiristik +
_ Strukturalistik
_ +
Realistik +
+ Tabel 2.1
Pendekatan Pembelajaran dalam Pedidikaan Matematika Trefers, 1991 Dalam  matematisasi  horizontal  siswa  dengan  pengetahuan  yang
dimilikinya  dapat  mengorganisasikan  dan  memecahkan  masalah  nyata  dalam kehidupan  sehari-hari,  dengan  kata  lain  matematisasi  horizontal  bergerak  dari
dunia nyata ke dunia simbol.  Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses pengorganisasian  kembali  dengan  menggunakan  matematika  itu  sendiri,  jadi
matematisasi vertikal bergerak dari dunia simbol.
3. Realistic Mathematics Education
Pembelajaran Matematika Realistik
Realistic Mathematics Education RME merupakan teori belajar mengajar dalam  pendidikan  matematika.  Teori  RME  pertama  kali  diperkenalkan  dan
dikembangkan  di  Belanda  pada  tahun  1970  oleh  Institut  Freudenthal.  Teori  ini mengacu  pada  pendapat  Freudenthal  yang  mengatakan  bahwa  matematika  harus
dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matrmatika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-
hari.  Matematika  sebagai  aktivitas  manusia  berarti  manusia  harus  diberi
27 kesempatan  untuk  menemukan  kembali  ide  dan  konsep  matematika  dengan
bantuan orang dewasa. I Gusti  Putu Suharta, 2002. Proses  pembelajaran  matematika  realistik  menggunakan  masalah
kontekstual  sebagai  titik  awal  dalam  belajar  matematika.  Masalah  kontekstual yang  dimaksud  adalah  masalah-masalah  nyata  dan  konkrit  yang  dekat  dengan
lingkungan  siswa  dan  dapat  diamati  atau  dipahami  oleh  siswa  dengan membayangkan. Dalam hal ini siswa melakukan aktivitas matematika horizontal,
yaitu  siswa  mengorganisasikan  masalah  dan  mencoba  mengidentifikasi  aspek matematika  yang  ada  pada  masalah  tersebut.  Siswa  bebas  mendeskripsikan,
menginterprestasikan  dan  menyelesaikan  masalah  kontekstual  dengan  caranya sendiri  dengan  pengetahuan  awal  yang  dimiliki,  kemudian  dengan  atau  tanpa
bantuan  guru  menggunakan  matematika  vertikal  melalui  abstraksi  dan formulasi,  sehingga  tiba  pada  tahap  pembentukan  konsep.  Setelah  dicapai
pembentukan  konsep,  siswa  mengaplikasikan  konsep-konsep  tersebut  kembali pada masalah kontekstual, sehingga dapat memahami konsep.
Model skematis
proses pembelajaran
yang merupakan
proses pengembangan  ide-ide  dan  konsep-konsep  yang  dimulai  dari  dunia  nyata  yang
disebut  matematisasi  konseptual  oleh  de  Lange  1987  :  72  dilukiskan  dalam gambar berikut :
Dunia nyata
Matematisasi dalam aplikasi Matematisasi dalam refleksi
Abstraksi dan formalisasi
Gambar 2.1 Matematika Konseptual de Lange, 1987
28 RME  mempunyai  lima  karakteristik  de  Lange,  1987.  Secara  ringkas
kelimanya adalah sebagai berikut : 1.  Menggunakan  masalah  kontekstual  masalah  kontekstual  sebagai
aplikasi  dan  titik  tolak  darimana  matematika  yang  diinginkan  dapat muncul.
2.  Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal perhatian diarahkan  pada  pengembangan  model,  skema  dan  simbolisasi  daripada
hanya mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung. 3.  Menggunakan  kontribusi  murid  kontribusi  yang  besar  pada  proses
belajar  mengajar  diharapkan  dari  konstruksi  murid  sendiri  yang mengarahkan  mereka  dari  metode  informal  ke  arah  yang  lebih  formal
atau standar.
4.  Interaktivitas  negosiasi  secara  eksplisit,  intervensi,  kooperasi  dan evaluasi  sesama  murid  dan  guru  adalah  faktor  penting  dalam  proses
belajar  secara  konstruktif  dengan  strategi  informal  murid  digunakan sebagai jantung untuk mencapai yang formal.
5.  Terintegrasi  dengan  topik  pembelajaran  lainnya  pendekatan  holistik, menunjukkan  bahwa  unit-unit  belajar  tidak  akan  dapat  dicapai  secara
terpisah,  tetapi  keterkaitan  dan  keterintegrasiannya  harus  dieksploitasi dalam pemecahan masalah.
Mengacu  pada  karakteristik  pembelajaran  matematika  realistik  diatas, maka  langkah  langkah  dalam  kegiatan  inti  proses  pembelajaran  matematika
realistik pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Langkah 1 :  Memahami masalah kontekstual.
Guru  memberikan  masalah  kontekstual  dan  siswa  memahami permasalahan tersebut.
Langkah 2 :  Menjelaskan masalah kontekstual Guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan
petunjuksaran  seperlunya  terbatas  terhadap  bagian-bagian tertentu  yang  belum  dipahami  siswa.  Penjelasan  ini  hanya
sampai siswa mengerti maksud soal.
Langkah 3 :  Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa  secara  individu  menyelesaikan  masalah  kontektual
dengan  cara  mereka  sendiri.  Guru  memotivasi  siswa  untuk menyelesaikan
masalah dengan
cara mereka
dengan memberikan pertanyaanpetunjuksaran.
Langkah 4 :  Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Guru  menyediakan  waktu  dan  kesempatan  pada  siswa  untuk
membandingkan  dan  mendiskusikan  jawaban  dari  soal  secara berkelompok, untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan
pada diskusi kelas.
Langkah 5 :  Menyimpulkan Dari  diskusi  guru  menarik  kesimpulan  suatu  prosedur  atau
konsep.
29
4. Teori Yang Terkait dengan Pembelajaran Matematika Realistik
Terdapat  beberapa  teori  belajar  yang  mendukung  pembelajaran matematika  realistik,  diantaranya  adalah  teori  Piaget,  teori  Bruner  dan  teori
Vigotsky. a.  Teori Piaget
Menurut  teori  belajar  Piaget,  manusia  tumbuh  beradaptasi  dan berubah
melalui perkembangan
fisik, perkembangan
kepribadian, perkembangan  sosioemosional,  perkembangan  kognitif  dan  perkembangan
bahasa.  Menurut  Piaget  Ratna  Wilis  Dahar,  1998  :  181,  perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi.
Organisasi memberikan
organisme kemampuan
untuk mensistematikkan  atau  mengorganisasi  proses-proses  fisik  atau  proses-proses
psikologi  menjadi  sistem-sistem  yang  teratur  dan  berhubungan  atau  struktur- struktur.
Adaptasi merupakan organisasi yang cenderung untuk menyesuaikan diri  dengan  lingkungan,  dilakukan  melalui  dua  proses,  yaitu  asimilasi  dan
akomodasi.  Dalam  proses  asimilasi,  orang  menggunakan  struktur  atau kemampuan  yang  ada  untuk  menanggapi  masalah  yang  dihadapi  dalam
lingkungannya,  sedangkan  dalam  proses  akomodasi,  orang  memerlukan modifikasi struktur mental yang sudah ada untuk menanggapi respon terhadap
masalah yang dihadapi dalam lingkungannya. Adaptasi  merupakan  suatu  keseimbangan  antara  asimilasi  dan
akomodasi.  Jika  dalam  proses  asimilasi  seseorang  tidak  dapat  mengadakan adaptasi  maka  akan  terjadi  proses  ketidakseimbangan  disequilibrium,  yaitu
ketidaksesuaian  atau  ketidakcocokan  antara  pemahaman  saat  ini  dengan pengalaman baru, yang menyebabkan akomodasi.
Implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran menurut Slavin 1994 : 5 adalah sebagai berikut :
1.  Memusatkan  perhatian  pada  proses  berpikir  anak,  bukan  sekedar  pada hasilnya.
30 2.  Menekankan  pada  pentingnya  peran  siswa  dalam  berinisiatif  sendiri  dan
keterlibatannya  secara  aktif  dalam  pembelajaran.  Dalam  pembelajaran  di kelas,  “jadi“  tidak  mendapat  penekanan,  melainkan  anak  didorong
menentukan sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya. 3.  Memaklumi  adanya  perbedaan  individual  dalam  hal  kemajuan
perkembangan,  sehingga  guru  harus  melakukan  upaya  khusus  untuk mengatur  kegiatan  kelas  dalam  bentuk  individu-individu  atau  kelompok-
kelompok. Berdasarkan  teori  Piaget,  pembelajaran  realistik  cocok  dalam
kegiatan pembelajaran
karena pembelajaran
matematika realistik
memfokuskan  pada  proses  berpikir  siswa  bukan  sekedar  kepada  hasil.  Selain itu  dalam  pembelajaran  ini  mengutamakan  peran  siswa  berinisiatif  untuk
menemukan  jawaban  dari  soal  kontekstual  yang  diberikan  guru  dengan caranya sendiri dan siswa didorong untuk terlibat aktif kegiatan pembelajaran.
b.  Teori Bruner Menurut  Bruner  belajar  matematika  adalah  belajar  tentang  konsep-
konsep  dan  struktur-struktur  matematika  yang  terdapat  dalam  materi  yang dipelajari
serta mencari
hubungan-hubungan antara
konsep-konsep matematika  itu.  Pemahaman  terhadap  konsep  dan  struktur-struktur  suatu
materi menjadikan materi itu dipahami secara lebih komprehensif. Selain dari itu  peserta  didik  mudah  mengingat  materi  bila  yang  dipelajari  mempunyai
pola terstruktur. Dengan memahami konsep dan struktur akan mempermudah terjadinya transfer.
Bruner  dalam  Hudojo,  1988  :  56  menggambarkan  anak-anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan, yaitu :
1.  Enactive,  pada  tahap  ini  anak  di  dalam  belajarnya  menggunakan  akal memanipulasi obyek-obyek secara langsung.
2.  Ikonik, dalam tahap ini kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari obyek-obyek.
3.  Symbolik,  pada  tahapan  ini  anak  memanipulasi  simbol-simbol  secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan obyek-obyek.
31 Berdasar  teori  Bruner,  pembelajaran  realistik  cocok  dalam  kegiatan
pembelajaran  karena  di  awal  pembelajaran  sangat  dimungkinkan  siswa memanipulasi  obyek-obyek  yang  ada  kaitannya  dengan  masalah  kontekstual
yang  diberikan  guru  secara  langsung.  Kemudian  pada  proses  matematisasi vertikal siswa memanipulasi simbol-simbol.
c.  Teori Vigotsky. Menurut  Vigotsky  dalam  Slavin  1994  :  49  menekankan  pada
hakekat  sosio-kultural  pembelajaran,  yaitu  siswa  belajar  melalui  interaksi dengan  orang  dewasa  dan  teman  sebaya.  Lebih  lanjut  Vigotsky  yakin  bahwa
fungsi  mental  yang  lebih  tinggi  umumnya  muncul  dalam  percakapan  atau kerjasama antara individu interaksi dengan teman sebaya dan orang dewasa
sebelum  fungsi  mental  yang  lebih  tinggi  itu  terserap  ke  dalam  individu tersebut.
Ide  penting  lain  yang  dapat  diambil  dari  teori  Vigotsky  adalah scaffolding,  yaitu  pemberian  sejumlah  besar  bantuan  kepada  seorang  peserta
didik  selama  tahapa  awal  pembelajaran  dan  kemudian  peserta  didik  tersebut mengambil  alih  tanggungjawab  yang  semakin  besar  segera  setelah  ia  dapat
melakukannya.  Bantuan  tersebut  dapat  berupa  petunjuk,  peringatan  atau dorongan yang memungkinkan peserta didik tumbuh sendiri.
Teori  Vigotsky  sejalan  dengan  salah  satu  karakteristik  dari pembelajaran  matematika  realistik  yang  menekankan  perlunya  interaksi  yang
terus menerus antara siswa satu dengan siswa yang lainnya juga antara siswa dengan  pembimbing  sehingga  setiap  peserta  didik  mendapat  manfaat  positif
dari interaksi tersebut. Dari  uraian  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  terdapat  keterkaitan  antara
teori  Piaget,  Vigotsky  dan  Bruner  yaitu  sama-sama  menekankan  pada  keaktifan siswa untuk membangun sendiri pengetahuan mereka, menekankan proses belajar
terletak pada siswa sedangkan guru berfungsi sebagai pembimbing dan fasilitator, serta  belajar  ditekankan  pada  proses  dan  bukan  hasil.  Hal  ini  sejalan  dengan
prinsip dan karakteristik dari pembelajaran matematika realistik.
32
5. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Matematika dengan
Pendekatan RME
Menurut  Suwarsono  dalam  Jaka  Purnama  :  18  kelebihan-kelebihan Realistic Mathematics Education  RME adalah sebagai berikut :
1.  Pendekatan  RME  memberikan  pengertian  yang  jelas  dan  operasional  kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan
tentang kegunaan matematika pada umumnya kepada manusia. 2.  Pendekatan  RME  memberikan  pengertian  yang  jelas  dan  operasional  kepada
siswa  bahwa  matematika  adalah  suatu  bidang  kajian  yang  dapat  dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh setiap orang “biasa“ yang lain,
tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut. 3.  Pendekatan  RME  memberikan  pengertian  yang  jelas  dan  operasional  kepada
siswa  bahwa  cara  penyelesaian  suatu  soal  atau  masalah  tidak  harus  tunggal, dan tidak harus sama antara orang satu dengan orang yang lain.
4.  Pendekatan  RME  memberikan  pengertian  yang  jelas  dan  operasional  kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan
suatu  yang  utama  dan  untuk  mempelajari  matematika  orang  harus  menjalani sendiri proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep dan
materi-materi  matematika  yang  lain  dengan  bantuan  pihak  lain  yang  sudah tahu  guru.  Tanpa  kemauan  untuk  menjalani  sendiri  proses  tersebut,
pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi. 5.  Pendekatan  RME  memadukan  kelebihan-kelebihan  dari  berbagai  pendekatan
pembelajaran lain yang juga dianggap “unggul“. 6.  Pendekatan  RME  bersifat  lengkap  menyeluruh,  mendetail  dan  operasional.
Proses  pembelajaran  topik-topik  matematika  dikerjakan  secara  menyeluruh, mendetail
dan operasional
sejak dari
pengembangan kurikulum,
pengembangan didaktiknya di kelas, yang tidak hanya secara makro tapi juga secara mikro beserta proses evaluasinya.
33 Selain  kelebihan-kelebihan  seperti  yang  telah  diuraikan  diatas,  terdapat
juga  kelemahan-kelemahan  Realistic  Mathematics  Education    RME  yang menurut Suwarsono dalam Jaka Purnama : 20 adalah sebagai berikut :
1.  Pemahaman tentang RME dan upaya pengimplementasian RME membutuhkan paradigma,  yaitu  perubahan  pandangan  yang  sangat  mendasar  mengenai
berbagai  hal,  misalnya  mengenai  siswa,  guru,  peranan  soal,  peranan  kontek, peranan alat peraga, pengertian belajar dan lain-lain. Perubahan paradigma ini
mudah  diucapkan,  tetapi  tidak  begitu  mudah  untuk  dipraktekkan  karena paradigma lama sudah begitu kuat dan lama mengakar.
2.  Pencarian  soal-soal  yang  kontekstual,  yang  memenuhi  syarat-syara  yang dituntut  oleh  RME  tidak  selalu  mudah  untuk  setiap  topik  matematika  yang
perlu dipelajari siswa, terlebih karena soal tersebut masing-masing harus bisa diselesaikan dengan berbagai cara.
3.  Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan cara untuk menyelesaikan tiap soal juga merupakan tantangan tersendiri.
4.  Proses  pengembangan  kemampuan  berpikir  siswa  dengan  melalui  soal-soal kontekstual,  proses  matematisasi  horisontal  dan  proses  matematisasi  vertikal
juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana karena proses dan mekanisme berpikir  siswa  harus  diikuti  dengan  cermat  agar  guru  bisa  membantu  siswa
dalam  melakukan  penemuan  kembali  terhadap  konsep-konsep  matematika tertentu. Dalam hal ini dibutuhkan microdicdactics.
5.  Pemilihan  alat  peraga  harus  cermat  agar  alat  peraga  yang  dipilih  bisa membantu proses berpikir siswa sesuai dengan tuntutan RME.
6.  Penilaian  assessment  dalam  RME  lebih  rumit  daripada  dalam  pembelajaran konvensional.
7.  Kepadatan  materi  pembelajaran  dalam  kurikulum  perlu  dikurangi  secara substansial,  agar  proses  pembelajaran  siswa  bisa  berlangsung  sesuai  dengan
prinsip-prinsip RME.
34
6. Pembelajaran Matematika Konvensional
Istilah  pembelajaran  konvensional  sama  artinya  dengan  pembelajaran klasikal  atau  pembelajaran  tradisional.  Karena  menurut  KBBI  1990  :  459
“konvensional adalah tradisional“. Sedangkan tradisional sendiri diartikan sebagai sikap  dan  cara  berpikir  serta  bertindak  yang  selalu  berpegang  teguh  pada  norma
dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun. KBBI 1990 : 959. Ulihbukit Karo-karo  1981  :  100  berpendapat  bahwa  “tradisional  adakah  tindakan  ukuran
atau kriteria yang telah lama atau biasa dipakai“. Dari  pengertian  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran dimana guru memiliki sikap, cara berfikir dan bertindak  yang  selalu  berpegang  teguh  pada  norma  dan  adat  kebiasaan  yang  ada
secara turun temurun. Dalam pembelajaran konvensional, proses belajar mengajar didominasi  oleh  guru.  Hal  ini  mengakibatkan  siswa  bersifat  pasif,  reseptif
sehingga  antara  siswa  yang  pintar  dan  kurang  pintar  mendapat  perlakuan  yang sama.  Karena  siswa  hanya  menerima  apa  yang  disampaikan  guru,  ini  akan
mengakibatkan  siswa  kurang  inisiatif,  sangat  tergantung  pada  guru  dan  tidak terlatih untuk mencoba memecahkan masalah sendiri.
Menurut  Soedjadi  2001  :  2  pembelajaran  di  sekolah-sekolah  kita selama ini terpateri kebiasaan dengan urutan sajian pelajaran sebagai berikut : 1
diajarkan  teori    definisi    teorema,  2  diberikan  contoh  soal  dan  3  diberikan latihan soal.
Menurut  Ulihbukit  Karo-karo  1981  :  8  –  10,  dalam  pembelajaran matematika dengan metode konvensional melalui empat tahapan, yaitu :
1.  Persiapan Guru  membangkitkan  perhatian  dan  minat  siswa  dengan  mengulangi
bahan pelajaran  yang telah diberikan, menerangkan tujuan yang hendak dicapai serta masalah yang hendak dipecahkan.
2.  Penyajian bahan Menghubungkan  bahan  pelajaran  baru  dengan  bahan  yang  telah
diketahui siswa, menuliskan dengan jelas judul dari bahan pelajaran baru kemudian  dilanjutkan  dengan  skema  bahan  pelajaran  yang  ingin
disampaikan serta menjelaskannya.
3.  Penilaian evaluasi Guru  menanyakan  bahan  yang  telah  disampaikan  baik  setelah
pelaksanaan pembelajaran maupun terpisah dari kegiatan pembelajaran.
35 4.  Penutup
Guru  menyimpulkan  isi  dari  bahan  pelajaran  yang  baru  saja  disajikan, kemudian  memberikan  wakktu  kepada  siswa  untuk  mencatat,  meresapi
dan memahaminya.
Pembelajaran  konvensional  lebih  menekankan  kepada  menyampaikan pengetahuan  kepada  siswa  sehingga  kegiatan  pembelajaran  lebih  berpusat  pada
guru. Selama kegiatan pembelajaran, guru cenderung lebih mendominasi kegiatan pembelajaran dan hampir tidak ada interaksi antar siswa. Kebanyakan siswa hanya
mendengarkan  dan  menulis  dengan  tekun,  hanya  sedikit  siswa  yang  mengajukan pertanyaan kepada guru, dengan kata lain siswa cenderung pasif.
Uraian  diatas  dapat  dipandang  sebagai  kelemahan  dari  pembelajaran konvensional. Adapun kelebihan dari pembelajaran konvensional antara lain :
1.  Dapat menampung kelas besar dan setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk mendengarkan penjelasan guru.
2.  Kemampuan  masing-masing  siswa  kurang  mendapatkan  perhatian,  sehingga isi dari silabus dapat mudah diselesaikan.
3.  Bahan pelajaran dapat diberikan secara urut sesuai kurikulum.
7. Kemampuan Awal
Dalam  pembelajaran  matematika,  kemampuan  awal  siswa  akan berpengaruh pada pemahaman siswa pada materi selanjutnya, karena matematika
adalah mata pelajaran yang terorganisasikan, dimulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan  ke  unsur  yang  didefinisikan,  selanjutnya  ke  postulat  atau  aksioma
sampai  ke  dalil  atau  teorema,  maka  pembelajaran  matematika  harus  dilakukan secara  hierarkis.  Dalam  pembelajaran  matematika  ada  persyaratan  tertentu  yang
harus  dipenuhi  sebelum  suatu  konsep  tertentu  dipelajari.  Persyaratan  tersebut disebut  prasyarat.  Misalnya  penjumlahan  merupakan  prasyarat  bagi  perkalian,
diferensial merupakan prasyarat bagi integral, dan lain-lain. Abdul Gafur 1989 : 57 mengemukakan bahwa “Kemampuan awal dan
karakteristik  siswa  adalah  pengetahuan  dan  ketrampilan  yang  relevan,  termasuk didalamnya  lain-lain,  latar  belakang  informasi  karakteristik  yang  telah  ia  miliki
pada saat akan mulai mengikuti suatu program pengajaran“.
36
P Q
A B
O C
Sedangkan Winkel 1996 : 134 berpendapat bahwa: “Setiap  proses  pembelajaran  mempunyai  titik  tolaknya  sendiri  atau
berpangkal  pada  kemampuan  siswa  tertentu  tingkah  laku  awal  untuk dikembangkan  menjadi  kemampuan  baru  sesuai  dengan  tujuan
instruksional.  Oleh  karena  itu,  keadaan  siswa  pada  awal  proses pembelajaran  tertentu  tingkah  laku  awal  mempunyai  relevansi  terhadap
penentuan,  perumusan  dan  pencapaian  tujuan  instruksional  tingkah  laku akhir“.
Tentang  pentingnya  kemampuan  awal  ini  dikuatkan  pula  oleh  Ahmad Rofani dan Abu Ahmadi 1992 : 161 yang berpendapat bahwa “Pengajaran akan
berhasil dengan baik bila dimulai dari apa yang telah diketahui peserta didik, baik pengetahuan dan tingkah laku prasyarat bagi bahan pengajaran berikutnya“.
Dari  pemaparan  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  kemampuan  awal adalah  kemampuan  siswa  sebelum  mengikuti  proses  pembelajaran  yang  lebih
tinggi tingkatannya.
8. Tinjauan Materi Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Lengkung
a. Unsur-Unsur Tabung dan Kerucut
1.  Unsur-unsur Pada Tabung
Gambar disamping menunjukkan sebuah tabung.
Tabung  terdiri  dari  sisi  alas  yang  selanjutnya disebut  alas,  sisi  atas  yang  selanjutnya  disebut
tutup, dan sisi lengkung yang selanjutnya disebut selimut tabung.
Sisi  alas  dan  sisi  atas  tutup  tabung  berbentuk  lingkaran  yang  kongruen sama bentuknya dan sama ukurannya.
Garis OA, OB, dan OC disebut jari-jari alas tabung. Garis AB disebut diameter atau garis tengah alas tabung.
Garis BQ atau AP disebut tinggi tabung. 2.  Unsur-unsur pada kerucut
Gambar  berikut  menunjukkan  sebuah  kerucut.  Kerucut  terdiri  dari  sisi  alas yang berbentuk lingkaran dan sisi lengkung  yang selanjutnya disebut selimut
kerucut.
37 Garis  OA,  OB,  dan  OC  disebut  jari-jari  alas
kerucut. Garis AB disebut diameter atau garis tengah alas
kerucut. Garis
TA dan
TB, yaitu
garis yang
menghubungkan  titik  puncak  kerucut  dengan titik  pada  keliling  alas  disebut  garis  pelukis
kerucut.
b. Melukis Jaring-Jaring Tabung dan Jaring-Jaring Kerucut