commit to user 30
24. Mudah cemas 25. Cengeng untuk yang masih kecil
26. Mimpi buruk 27. Mudah tersinggung
Yayasan Semai Jiwa Amini SEJIWA, 2008:12
H. Dampak Bullying
Berdasarkan hasil suatu Seminar Bullying : bullying berdampak menurunkan tes kecerdasan dan kemampuan analisis siswa yang menjadi korban, bahkan sampai
berusaha bunuh diri. Bullying juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai - nilai akademik dan tindakan bunuh diri. Pelaku
bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal dibanding yang tidak melakukan bullying. Tindakan ini juga masih menjadi masalah tersembunyi yang ti dak disadari
oleh para pendidik dan orang tua murid http:www.indosiar.com. Menurut Neni Utami Adiningsih, seorang pemerhati pendidikanKepala
Madrasah Diniyah Awaliyah Raudlatul Jannah BandungGuru Tamu di SMPN 1 Jatinangor.
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, terlebih bila melihat dampak yang dialami oleh siswa korban. Secara fisik, korban bisa mengalami memar, luka, patah tulang
bahkan bukan tidak mungkin berujung pada kematian. Secara psikis, korban akan merasa dipermalukan, menjadi pemurung, tidak bisa berkonsentrasi, penakut, tidak
bersemangat. Bukan tak mungkin bila korban menjadi trauma. Saat tidur, ia sering mengigau. Bahkan bisa jadi anak menjadi takut sekolah, dan minta pindah sekolah
Neni Utami, http:www.pelita.or.id. Menurut Mona OMoore Ph. D dari Anti-Bullying Centre, Trinity College,
Dublin, badan penelitian yang menyatakan bahwa individu-individu, baik anak atau
commit to user 31
orang dewasa yang memiliki perilaku kekerasan hati yang kasar beresiko stres, serta terkait penyakit yang kadang-kadang dapat mengakibatkan bun
uh diri…. Korban bullying dapat menderita jangka panjang masalah emosi dan perilaku. Bullying dapat
menyebabkan perilaku menyendiri, depresi, gelisah, mengakibatkan rendah diri dan meningkatkan kerentanan untuk penyakit www.wikipedia.org.
Bullying ternyata tidak hanya memberi dampak negatif pada korban, melainkan juga pada para pelaku. Bullying, dari berbagai penelitian, ternyata
berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. Bullying juga menurunkan skor tes kecerdasan dan
kemampuan analisis para siswa. Para pelaku bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal, jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan bullying.
Karena itu, tindakan ini akan merusak generasi penerus di Indonesia Nurvita Indarini, http:www.detiknews.com.
Kekerasan lepas kendali dengan dalih penegakan disiplin di sekolah, selain tidak mendidik, juga berpotensi bagi timbulnya rasa dendam korban dan rantai
kekerasan dari
generasi ke
generasi. Tidak
mustahil bahwa
tawuran pelajarmahasiswa selama ini pun termasuk bagian dari dampak psikologis kasus
penganiayaan oknum guru terhadap murid. Padahal, tidak ada kaitan antara kedisiplinan dan kekerasan. Sekolah memang harus menerapkan disiplin bagi guru-
guru maupun para murid. Tetapi kedisiplinan tidak identik dengan kekerasan. Guna menerapkan disiplin bisa berkomunikasi dengan nalar sehat, dialog, dan lain
sebagainya. Tidak dengan cara menyakiti. Sebab itu, para pendidik harus pandai- pandai mengendalikan emosi untuk bisa berpikir positif, agar otomatis tampak
berwibawa serta disegani, sehingga pelanggaran disiplin para murid di sekolah dapat ditekan sekecil mungkin. Aksi penganiayaan oknum guru terhadap murid untuk
commit to user 32
pendisiplinan atau sebagai hukuman mustahil bisa mencapai tujuan pendidikan kita. Murid yang terkena tindak bullying justru jiwanya tertekan, depresi, kerdil dan mudah
emosional. Hukuman semacam itu tidak pernah memberikan efek jera, tetapi bahkan bisa menumbuhkan rasa benci dan hilang rasa hormat murid kepada guru yang
bersangkutan M. Fauzi, www.hupelita.com. Bila guru dan orang tua tidak dapat membina hubungan saling percaya dengan para
siswa disekolah maka bullying akan terus terjadi. Dampaknya beragam mulai dari anak yang mogok sekolah, prestasinya menurun, menjadi pemurung dan lain
sebagainya. Perlu ditanamkan budaya empati dan rasa kasih sayang di sekolah, perhatian langsung ditujukan pada hubungan antara iklim sekolah dan tingkat prestasi
siswa, serta kebijakan anti-bullying dijalankan dengan semestinya dan penerapan peraturan serta konsekuensi Riri Wijaya, http:www.dradio1034fm.or.id.
I. Data-data Bullying
Jika kita menyelidiki dan berusaha mendapatkan data-data asli langsung dari berbagai instansi atau pun pihak sekolah yang terkait secara langsung, kemungkinan
sangat sulit, karena jika kasus bullying yang terjadi tersebar luas bagaikan membong kar borok rahasia keburukan ke khalayak, yang ditakutkan menyebabkan timbulnya
sikap anti merendahkan menjelekkanketidakpercayaan masyarakat terhadap instansipihak sekolah yang terkait anjloknya nama baik. Berikut ini adalah data-
data mengenai bullying yang dapat kita lihat dari berbagai media massa, berbagai situs, dan blog.
Tindakan kekerasan pada anak menurut data Badan Pusat Statistik BPS tahun 2006, ada sebanyak 1.840 kasus penganiayaan yang dilakukan orang dewasa
terhadap anak di Indonesia. Hal ini menunjukkan masih banyak orang yang belum
commit to user 33
memahami hak anak secara keseluruhan. Anak masih dianggap sebagai objek dari kekerasan itu sendiri Nurhamidah, http:.waspada.co.id.
Berdasarkan pernyataan A.M. Fatwa, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI periode 2005-2009, bahwa menurut data Komisi Nasional Perlindungan
anak, terdapat kecenderungan kenaikan jumlah kasus bullying pada anak di sekolah. Pada 2006 sebanyak 15,10 persen dari seluruh kasus kekerasan berupa kekerasan
fisik, 34,9 persen kekerasan seksual, dan 50 persen kekerasan psikis. Angka kekerasan itu cenderung naik pada kuartal pertama 2007, ketika kekerasan psikis
meningkat 80 persen. Fakta ini sangat memprihatinkan justru terjadi di lembaga pendidikan A.M. Fatwa, http:www.reformasihukum.org.
Data dari Media Indonesia menuliskan penuturan kak Seto, Ketua Umum Komisi Nasional Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan selama Januari-
April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya, kekeras an fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah
itu 226 kasus terjadi di sekolah http:mfahmia2705.blogspot.com. Artikel berisi data hasil survei bullying yang dapat dilihat pada web Kompas,
dengan judul “Bullying Normalkah?
”
: ”Ada sekitar 30 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri di
kalangan anak dan remaja berusia 6 sampai 15 tahun yang dilaporkan media massa tahun 2002-
2005,” ujar Diena Haryana dari Yayasan Semai Jiwa Amini Sejiwa. Hasil penelitian Lembaga Pratista
Indonesia menunjukkan, bullying secara verbal-emosional banyak dilakukan oleh guru. Hukuman terhadap pelaku oleh guru sering kali
juga berupa bullying. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia KPAI melalui
hotline service dan pengaduan ke KPAI memperlihatkan, pada tahun 2007 dilaporkan 555 kasus kekerasan terhadap anak, 11,8 persennya
dilakukan oleh guru.
”Pada tahun 2008, dari 86 kasus kekerasan yang dilaporkan, 39 sennya dilakukan oleh guru,” ujar Wakil Ketua KPAI Magdalena
Sitorus.”Bullying di sekolah merupakan embrio kekerasan di masyarakat,” ujar Diena, ”Namun, demi ’nama baik’, tak lebih dari
0,1 persen sekolah di Jakarta mengakui terjadinya bullying di
commit to user 34
lingkungan sekolahnya,”
katanya Maria
Hartiningsih, http:kesehatan.kompas.com.
Artikel berisi data hasil survei yang dilakukan Yayasan Sejiwa Semai Jiwa Amini dan Plan Indonesia 2008 di tiga kota besar-Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta
menunjukkan baru 1 persen sekolah yang memiliki program anti-bullying, yang dapat dilihat pada web Suara Karya, Kamis, 29 Januari 2009
: Menurut Diena Haryana, Ketua Yayasan Sejiwa, dari hasil survei
terhadap 1.500 pelajar di tiga kota, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta, 67 persen responden mengaku pernah mengalami
bullying di sekolahnya. Pelakunya mulai dari teman, kakak kelas, adik kelas, guru hingga preman yang ada di sekitar sekolah. Akibatnya,
sekolah tidak lagi tempat yang menyenangkan, tetapi menjadi tempat yang menakutkan bagi anak.
Bentuk-bentuk bullying yang ditemukan di sekolah mulai dari cium paksa, alat kelamin diraba, dipukul, ditonjok, ditampar, dihina hingga
julukan negatif. Lokasi kejadian mulai dari ruang kelas, kantin, halaman bahkan hingga di luar lokasi sekolah.
Paulan Aji Brata, Manajer Komunikasi Plan Indonesia, menambahkan meski bullying ditemukan hampir di semua sekolah, hingga kini baru
500 sekolah di seluruh Indonesia yang memiliki program nyata untuk menghilangkan bullying
… Hal senada dikemukakan Magdalena Sitorus, Wakil Ketua Komisi
Perlindungan Anak Indonesia KPAI. Hasil rekapitulasi pengaduan masyarakat yang masuk KPAI tentang kekerasan terhadap anak di
sekolah sepanjang 2007 menunjukkan, ada 555 kasus kekerasan terhadap anak, yang 11,8 persen di antaranya dilakukan oleh guru.
Pada 2008 ada 86 kasus kekerasan terhadap anak dan 39 persen dilakukan oleh guru.
Oleh karena itu, pemerintah atau Depdiknas harus segera mengeluarkan suatu kebijakan nasional, agar sekolah ikut
meminimalisasi kasus bullying untuk melindungi anak-anak dan mereka
bisa belajar
tanpa rasa
takut, ujar
Magdalena http:www.suarakarya-online.com.
Artikel Kompas, Sabtu, 17 November 2007, dengan judul “Kekerasan di Sekolah, Wajarkah?” berisi opini dari Junifrius Gultom, pernah meneliti Intervensi Bullying,
serta mencantumkan data-data bullying bisa dilihat pada web Kompas :
commit to user 35
Meski belum ada data yang memuat kasus bullying di tiap negara, ada gambaran dari tulisan Smith, yang dilansir The Scottish Council for
Research in Education 1992 dan oleh Ken Rigby dalam buku New Perspectives on Bullying 1988 dapat dilihat sedikit data kasus
bullying di sekolah di beberapa negara, yaitu Selandia Baru 15 persen-SMA, di Inggris 27 persen-SMP dan 10 persen-SMA,
Australia 25-30 persen bahkan tiap hari, dan secara internasional 23 persen-SMP dan 10 persen-SMA.
Di Indonesia belum terpantau berapa persen kasus bullying di sekolah. Namun, kita tentu masih ingat kasus Cliff Muntu di STPDN. Kasus
terbaru di SMA 34 Pondok Labu. Kedua peristiwa ini hanya puncak gunung es.
Hal ini seharusnya membuat kita khawatir karena dampak bullying begitu serius ke hampir semua masalah kesehatan. Gambary Namie
tahun 2003 mensurvei 1.000 responden sukarela yang hasilnya dipublikasikan pada bullyinginstitute.com. Disimpulkan ada 33 jenis
gejala gangguan kesehatan yang dialami orang-orang yang pernah di bully. Hasilnya, 1 ketakutan, stres, kecemasan berlebihan 76
persen; 2 kehilangan konsentrasi 71 persen; 3 gangguan tidur 71 persen; 4 Merasa tidak tenang, gampang terkejut, dan paranoia
60 persen; 5 Sakit kepala 55 persen; 6 Obsesi atas kejelimetan pekerjaan 52 persen; 7 selalu teringat pengalaman buruk, mimpi
buruk 49 persen; 8 detak jantung lebih kencang 48 persen; 9 Kebutuhan untuk menghindarkan perasan, pikiran, dan situasi yang
mengingatkan orang itu terhadap trauma 47 persen; 10 Sakit tubuh 45 persen; 11 Kelelahan 41 persen; 12 perilaku yang terpaksa
40 persen; 13 depresi yang terdeteksi 39 persen; 14 rasa malu 35 persen; 15 perubahan signifikan pada berat badan berkurang
atau bertambah 35 persen; 16 sindrom kelelahan kronis 35 persen; 17 serangan kepanikan 32 persen; 18 pengetatan rahang
masalah gigi 29 persen; 19 perubahan kulit 28 persen; 20 menggunakan bahan adiktif untuk menenangkan pikiran 28 persen;
21 asma atau alergi 27 persen; 22 berpikir kekerasan kepada orang lain 25 persen; 23 Pikiran bunuh diri 25 persen; 24
migran 23 persen; 25 sindrom sakit perut yang mengganggu 23 persen; 26 sakit pada bagian dada 23 persen; dan lain-lain
Junifrius Gultom, www.kompas.com.
Artikel Solo Pos pada tanggal 23 Juli 2007 , dengan judul “Menyelamatkan
Anak: Refleksi Hari Anak Nasional 23 Juli ” yang berisi opini dari Hadi Supeno, yang
juga seorang Pemerhati dan praktisi pendidikan anak, serta mencantumkan data-data bullying, bisa dilihat pada web KPAI
: Dalam sektor pendidikan; a.angka partisipasi sekolah, tahun 2004
untuk anak usia 13-15 tahun sebesar 83,4 sedangkan untuk anak usia 16-18 tahun sebesar 53,4 ; b. angka mengulang kelas, data
tahun 20042005 menunjukkan persentase sebesar 5,4 untuk anak
commit to user 36
usia SD dan 0,44 untuk SMPMts; c. angka putus sekolah, tahun 20052006 menunjukkan sebesar 2,96 untuk SDMI dan 1,6
untuk SMPMTs; d. angka melanjutkan sekolah, tahun 20052006 mencatat hanya 72,5 anak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat
SMPMTs. Aspek perlindungan anak lebih memprihatinkan; a. anak tanpa akte
kelahiran, berdasarkan hasil Susenas 2001 angkanya mencapai 60 atau anak yang sudah memiliki akte kelahiran baru mencapai 40;
b. anak korban kekerasan dan perlakuan salah, menurut laporan kepolisian pada tahun 2002 tercatat 239 kasus dan pada tahun 2003
meningkat menjadi 326 kasus; c. anak jalanan, diperkirakan secara nasional mencapai 60.000-75.000 dan menurut Departemen Sosial 60
di antaranya putus sekolah; d anak yang berkonflik dengan hukum, setiap tahun terdapat lebih dari 4.000 perkara pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh anak di bawah usia 16 tahun. Data lainnya menyebutkan hingga tahun 2002 terdapat 3.722 anak yang menjadi
penghuni lembaga pemasyarakatan. Lebih mengerikan, data di Badan Narkotika Nasional menyebutkan
anak korban penyalahgunaan narkoba, 70 dari 4 juta pengguna narkoba adalah anak berusia 4-20 tahun atau sekitar 4 dari seluruh
pelajar yang ada. Sedangkan kasus AIDSHIV, hingga Desember 2005 terdapat 4.243 kasus HIV, dan 5.320 kasus AIDS. Dari jumlah
tersebut 438 kasus terjadi pada anak usia 0-19 tahun. Sementara korban kerja paksa, trafficking, pelacuran anak, dan anak-anak di
pengungsian belum tersedia data yang memadai. Tetapi diyakini, jumlahnya
mencapai ribuan
anak Hadi
Supeno, http:www.kpai.go.id.
Lagi menurut Hadi Supeno, yang juga menjabat Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI, dalam artikel Kompas pada hari Rabu, 23 Juli
2008 , dengan judul “Sekolah Bukan Tempat Aman Bagi Anak” yang berisi opini serta
mencantumkan data-data bullying, yang juga bisa dilihat pada web KPAI
:
Data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI menunjukkan, dari analisis 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama
tahun 2007, terdapat 455 kasus kekerasan terhadap anak. Dari Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 ada 600 kasus
kekerasan terhadap anak KTA yang telah diputus kejaksaan. Sebanyak 41 persen di antaranya terkait pencabulan dan pelecehan
seksual, sedangkan 41 persen lainnya terkait pemerkosaan. Sisanya, 7 persen, terkait tindak perdagangan anak, 3 persen kasus pembunuhan,
7 persen tindak penganiayaan, sisanya tidak diketahui. Sementara itu, Komnas Perlindungan Anak mencatat, selama tahun
2007 praktik KTA mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya. Dari 4.398.625 kasus menjadi sebanyak
13.447.921 kasus pada tahun 2008 Media Indonesia, 1272008. Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya
commit to user 37
diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi, paedofilia, dan berbagai
eksploitasi anak di bidang pekerjaan penelantaran, penculikan, pelarian anak, penyanderaan, dan sebagainya.
Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan
oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18 persen. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh
semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6 persen, dari 95
kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.
Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru
menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase
akan kian tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orangtuawali murid kepada KPAI Hadi Supeno, http:www.kpai.go.id.
Artikel Berita Jakarta, pada hari Selasa, 22 Juli 2008, dengan judul “Kekerasan terhadap Anak Cenderung Meningkat” yang ditulis Rahmi, serta
mencantumkan data-data bullying : Tekanan ekonomi dan beban hidup yang terus meningkat, memiliki
kecenderungan merubah tingkah laku dalam keluarga. Faktor tersebut, juga bisa memicu peningkatan kekerasan terhadap anak. Sepanjang
2008 saja, sudah 900 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani Komisi Nasional Perlindungan Anak Komnas PA, sedangkan tahun
lalu mencapai 1.926 kasus. Komnas PA mencatat, kekerasan yang terjadi tidak hanya kekerasan
fisik belaka, tapi juga kekerasan psikis. Tidak hanya itu, kekerasan seksual, perdagangan anak, penculikan hingga korban narkoba, dan
AIDS mewarnai perjalanan generasi penerus bangsa ini. Data Komnas PA menyebutkan, saat ini terdapat 101 balita di Jakarta yang mengidap
HIVAIDS turunan. Sedangkan 15.800 anak lainnya menjadi korban peredaran narkoba di Jakarta.
Arist Merdeka Sirait, Sekjen Komnas PA menuturkan, Jakarta selalu dijadikan barometer dari berbagai hal namun pada kenyataannya
bahwa angka tindak kekerasan terhadap anak ternyata juga cukup tinggi di hampir di 12 kota besar lainnya di Indonesia. Lihat saja,
dalam laporan yang diterima Komnas PA, dari 33 Lembaga Perlindungan Anak tingkat provinsi dan kabupaten, sekitar 21.872
anak Indonesia menjadi korban kekerasan fisik dan psikis baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan sosial.
Kemudian, sekitar 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dekat mereka. Tak hanya itu, sekitar 70
ribu-95 ribu anak dijual dan diperdagangkan untuk tujuan komersil. Komnas PA juga mencatat, ada sekitar 136 anak menjadi korban
commit to user 38
penculikan, 18 diantaranya ditemukan dalam keadaan meninggal dan enam diantaranya menjadi korban mutilasi.
Banyak faktor yang memicu kekerasan terhadap anak, salah satunya masalah ekonomi. Mengenai kekerasan terhadap anak yang terjadi di
Jakarta, Arist mengkhawatirkan, terjadi peningkatan yang signifikan. Karena pada tahun ini saja sudah terdapat 900 kasus sedangkan tahun
lalu mencapai 1.926 kasus. Sekarang beban hidup semakin berat, kecenderungan peningkatan kekerasan terhadap anak juga tinggi. Ini
yang perlu diantisipasi semua pihak, ujarnya, Senin 2107. Terkait hal tersebut, Seto Mulyadi Ketua Komnas PA mengatakan,
dari fenomena itu maka sudah waktunya pemerintah mencanangkan gerakan nasional hentikan kekerasan terhadap anak. Pembentukan
kantor Kementrian Anak juga sangat penting agar pemerintah lebihfokus dalam mengurusi permasalahan anak.
Menurutnya, kekerasan terhadap anak bukan lagi muncul sebagai urusan domestik yang tidak boleh disentuh pemerintah. Pasalnya, aksi
kekerasan itu juga disebabkan oleh lemahnya regulasi kebijakan untuk melindungi anak. Masalah kemiskinan struktural, korupsi di segala
sektor dan pembangunan nasional yang tidak berperspektif anak juga turut
andil terjadinya
kekerasan terhadap
anak Rahmi,
http:www.halohalo.co.id.
J. HukumUndang-Undang Mengenai Kasus Bullying