Macam-macam Metode Dakwah RUANG LINGKUP DAKWAH

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa tujuan dakwah adalah: 1. Menegakkan ajaran dan perintah Allah SWT. di muka bumi agar dilaksanakan oleh seluruh umat manusia. 2. Memperoleh kesejahteraan hidup dengan keridhoan Allah SWT. 3. Menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. e. Metode Dakwah Metode dakwah adalah salah satu unsur yang terpenting dalam penyampaian dakwah. Metode dakwah adalah suatu cara untuk mencapai tujuan dakwah yang efektif dan efisien. Merujuk kepada statemen di atas maka berikut ini akan dipaparkan metode dakwah yang akurat dalam al-Qur’an, antara lain tertuang dalam surat an-Nahl ayat 125: ی+ , -, . , . R “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat-nasehat yang baik dan bertukar pikiranlah dengan cara yang lebih baik...“ Berdasarkan ayat di atas, maka metode dalam berdakwah ada tiga macam yaitu: bi al hikmah, mau’idzoh hasanah dan mujadalah.

3. Macam-macam Metode Dakwah

Dalam berdakwah ada beberapa metode yang dapat digunakan oleh seorang da’i. Metode dakwah yang paling populer adalah metode dakwah yang diterangkan dalam surat an-Nahl ayat 125, yaitu metode dakwah bi al hikmah, mau’idzoh hasanah dan mujadalah. 1 Bi al-Hikmah Kata al-hikmah mempunyai banyak pengertian. Pengertian- pengertian yang dikemukakan para ahli bahasa maupun pakar al- Qur’an tidak hanya menyangkut pemaknaan mashadaq eksistensi- nya, tetapi juga pemaknaan dalam mafhum konsep-nya sehingga pemaknaannya menjadi lebih luas dan bervariasi. Dalam kamus dan beberapa kitab tafsir, kata al-hikmah diartikan; al’adl keadilan, al- hilm kesabaran dan ketabahan, an-nubuwwah kenabian, al-‘ilm ilmu pengetahuan, al-Qur’an, falsafah, kebijakan, pemikiran atau pendapat yang baik, al-haq kebenaran, meletakkan sesuatu pada tempatnya, kebenaran sesuatu, dan mengetahui sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama. 57 Penjabaran di atas, sesuai dengan pegertian hikmah yang di uraikan oleh Said bin Ali bin Wahif al-Qathani dalam kitab al Hikmah wa fi al Dakwah Ilallah Ta’ala, sebagai berikut: 58 a. Menurut Bahasa • Adil, ilmu, sabar, kenabian, al-Qur’an dan Injil • Memperbaiki membuat menjadi baik atau pas dan terhindar dari kerusakan • Ungkapan untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang utama • Obyek kebenaran al-haq yang didapat melalui ilmu dan akal • Pengetahuan atau ma’rifat, dan seterusnya. b. Menurut istilah syar’i • Valid tepat dalam perkataan dan perbuatan • Mengetahui yang benar dan mengamalkannya ilmu dan pengamalan • Wara’ dalam Din Allah • Meletakkan sesuatu pada tempatnya • Menjawab dengan tegas dan tepat, dan seterusnya. Dalam bahasa komunikasi hiknnmah menyangkut apa yang disebut sebagai frame of reference, field of reference dan field of 57 Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan Wawasan Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2002, h. 163. 58 Said bin Ali bin Wahif alQathani, al Hikmah wa fi al Dakwah Ilallah Ta’ala, penerjemah Masykur Hakim Ibaidillah, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, h.21-23. experience , yaitu situasi total yang mempengaruhi sikap terhadap pihak komunikan obyek dakwah. 59 Selain itu beberapa ilmuan Islam juga memberi makna bi al-hikmah, sebagai berikut: a. Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi memberi makna bi al-hikmah dengan hujjah argumentasi. 60 b. Al-Zamakhsyari memberikan makna bi al-hikmah sebagai perkataan yang pasti benar, yakni dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran. Kemudian ia juga mengartikan dengan Al-Qur’an, yakni “serulah mereka mengikuti kitab yang memuat al-hikmah“. 61 c. Wahbah Al-Juhali memberikan makna bi al-hikmah sebagai perkataan yang jelas dengan dalil yang terang, yang dapat mengantarkan pada kebenaran dan menyingkap keraguan. 62 d. Al-Maraghi memberi makna bi al-hikmah dengan lebih luas, yakni “dengan wahyu Allah yang telah diberikan kepadamu”. 63 Dari pemaknaan al-hikmah tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dakwah bi al-hikmah dakwah yang dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, kesabaran, keadilan, ketabahan, argumentatif, dan filosofis, yang sesuai dengan risalah kenabian an-nubuwwah dan ketentuan- ketentuan di dalam al-Qur’an wahyu Allah, dalam rangka 59 Toto Tasmono, Komunikasi Dakwah Jakarta: Gaya Media Pratam, 1987, hal. 37. 60 Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsir Al-Munir, h. 469. 61 Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan Wawasan Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2002, h. 163. 62 Wahbah Al-Juhali, At-Tafsir Al-Munir, Juz. 13-14, h.267. 63 Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz.5, h. 161. mengungkapkan al-haq kebenaran, menghilangkan keraguan, dan memposisikan sesuatu pada tempatnya secara proporsional berdasarkan ilmu yang paling utama dan ma’rifat. Dakwah bi al-hikmah yang berarti dakwah bijak, mempunyai makna selalu memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi mad’u muqtadha-al-hal. Hal ini berarti menggunakan metode yang relevan dan realistis sebagaimana tantangan dan kebutuhan, dengan selalu memperhatikan kadar pemikiran dan intelektual, suasana psikologis, dan situasi sosial kultural mad’u. 64 Dengan demikian dakwah bi al-hikmah yang merupakan metode dakwah bijak, akan selalu memperhatikan kondisi mad’u dalam hal: a. Kadar pemikiran, tingkat pendidikan, dan intelektualitas mad’u, b. Keadaan psikologis mad’u yang menjadi objek dakwah, dan c. Suasana serta situasi sosial kultural mad’u. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sayyid Quthub. Ia menyatakan bahwa untuk mewujudkan metode dakwah bi al-hikmah harus memperhatikan tiga faktor, yaitu: a. Keadaan dan situasi orang yang didakwahi. b. Kadar atau ukuran materi dakwah yang disampaikan agar mereka tidak merasakan keberatan dengan beban materi tersebut. c. Metode penyampaian materi dakwah dengan membuat variasi sedemikian rupa yang sesuai dengan kondisi pada saat itu. 65 64 Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan Wawasan , Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2002, h. 164. 65 Sayyid Quthub, Fi Dzilal Qal-Qur’an Jilid VII, Bairut, Ihya’ At-Turas Al-Arabi, t.t., h.122. Prinsip-prinsip metode dakwah bi al-hikmah ini ditujukan terhadap mad’u yang kapasitas intelektual pemikirannya terkategorikan khawas, cendekiawan, atau ilmuan. 66 Mohammad Natsir dalam bukunya yang berjudul Fiqhud Da’wah, mengartikan kata hikmah dalam beberapa arti berikut ini: 67 a. Mengenal golongan. b. Kemampuan memilih saat bila harus bicara, bila harus diam. c. Mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik pertemuan, sebagai tempat bertolak, untuk maju secara sitematis. d. Tidak melepaskan shibghah corak kepribadian dari ajaran yang dibawakan. e. Memilih dan menyusun kata yang tepat. f. Hikmah dalam cara perpisahan. g. Uswah hasanah dan lisanul hal. h. Khulasah. Dengan demikian, maka seorang da’i yang menggunakan metode dakwah bi al hikmah dalam menyampaikan dakwahnya akan melakukann dan melaksanakan hal-hal yang tersebut di atas. 2 Mauidzah al Hasanah Nasehat yang baik Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa Mauidhah al Hasanah adalah “ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik dimana ia dapat bermanfaat bagi orang yang mendegarkannya, atau argumen-argumen 66 Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan Wawasan Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2002, h. 164. 67 Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah Jakarta: MEDIA DA’WAH, 2000, h. 161-225. yang memuaskan sehingga pihak audience dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subyek dakwah.“ 68 Dakwah dengan metode ini ditujukan pada manusia jenis kedua, yaitu keumuman manusia. Manusia yang memiliki kemampuan di bawah manusia jenis pertama. Mereka memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi ragu untuk memilih mengikuti kebenaran yang disampaikan kepada mereka atau justru mengikuti kebatilan yang tumbuh disekelilingnya. Muhammad Husain Yusuf mengatakan: “Mereka membutuhkan pelajaran yang baik al-maw’idzah al-hasanah , ucapan yang mengena qaul baligh, serta penjelasan yang berguna, berupa sugesti targhib untuk mengikuti kebenaran, penjelasan tentang kebaikan mengikuti kebenaran, serta ancaman tarhib mengikuti kebatilan, serta penjelasan atas dosa dan nista yang terdapat dalam kebatilan. Begitu pula seterusnya sampai benar- benar jelas kepada mereka jalan yang lurus dan cahaya yang terang, serta dapat menghilangkan keraguan mereka untuk masuk ke dalam barisan orang-orang mukmin di bawah panji Nabi dan Rasul yang paling mulia“. 69 Dengan demikian menurut Asep Muhiddin, dakwah dengan pendekatan mau’idzah hasanah ini, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut: 70 a. Tutur kata yang lembut sehingga akan terkesan hati. b. Menghindari sikap sinis dan kasar. c. Tidak menyebut-nyebut kesalahan atau bersikap menghakimi orang yang diajak bicara mukhathab. Mereka tidak merasa tersinggung atau merasa dirinya dipaksa menerima suatu gagasan atau ide tertentu. Upaya untuk menghindari 68 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, h. 121. 69 Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan Wawasan Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2002, h. 166-167. 70 Ibid., h. 167. rasa tersinggung atau paksaan ini tercermin dalam ayat al-Qur’an surat Al-Imran ayat 159: ﻡ 1BSﻥT 2,K U,V W X Y G Y : ﻡ ? X 777 R “Maka disebabkan Rahmat dari Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati bersikap kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...“ 3 Mujadalah atau berdiskusi dengan cara yang baik Metode dakwah yang ketiga ini juga disebutkan dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125, yakni wa jadilhum bi al-lati hiya ahsan. Metode ini merupakan upaya dakwah melalui jalan bantahan, diskusi, atau berdebat dengan cara yang terbaik, sopan santun, saling menghargai, dan tidak arogan. 71 Dalam hal ini, Syeikh Yusuf al-Qardhawi menuturkan bahwa dalam diskusi ada dua metode, yaitu metode yang baik hasan dan metode yang lebih baik ahsan. al-Qur’an menggariskan bahwa salah satu pendekatan dakwah adalah dengan menggunakan metode diskusi yang lebih baik. Diskusi dengan metode ahsan ini adalah dengan menyebutkan segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang berdiskusi, kemudian dari situ dibahas masalah-masalah perbedaan dari kedua belah pihak, sehingga diharapkan mereka akan mencapai segi-segi persamaan pula. 72 71 Ibid. 72 Syekh Yusuf al-Qardhawi, al Shahwah al Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatarruf, Risalah al Mahakim al-Syar’iyyah wa al Syu’ur al-Diniyah Qatar, 1402 H, h. 203. Lazimnya cara ini digunakan untuk orang-orang yang taraf berpikirnya cukup maju, dan kritis seperti ahl al kitab yang memang telah memiliki bekal keagamaan dari para utusan sebelumnya. Karena itu al-Qur’an juga telah memberikan perhatian khusus kepada ahl al Kitab yaitu melarang berdebat bermujadalah dengan mereka kecuali dengan cara terbaik. 73 Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 46: ﻡ ,Z یP T [T 4 3ﺕ T 777 R “Dan janganlah kamu sekalian berdebat dengan ahli kitab Yahudi dan Nasrani melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali dengan orang-orang dzalim dari mereka.“ 74 Ayat tersebut menerangkan cara melakukan perdebatan kepada ahli kitab, yakni harus dilakukan dengan cara yang sebaik mungkin, sopan santu, dan lemah lembut, kecuali jika mereka telah memperlihatkan keangkuhan dan kezaliman yang keluar dari batas-batas kewajaran. Dalam aplikasi metode ini, ada watak dan suasana yang khas, yakni bersifat terbuka atau transparan, konfrontatif, dan kadang-kadang reaksioner. Namun, juru dakwah harus tetap memegang teguh pada prinsip-prinsip umum dari watak dan karakteristik dakwah yang berinti pencerahan pikiran dan penyejukan jiwa. 75 73 Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer Yogyakarta: MITRA PUSTAKA, 2000, Cet. Ke. I. h. 49. 74 Departemen Agama RI. Op.Cit., 635. 75 Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan Wawasan Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2002, h. 168. Sayyid Qutb menyatakan bahwa dalam menerapkan metode diskusi dengan cara yang baik perlu diperhatikan hal-hal berikut: 1. Tidak merendahkan pihak lawan, atau menjelek-jelekkan, karena tujuan diskusi bukan mencari kemenangan, melainkan memudahkannya agar ia sampai kepada kebenaran. 2. Tujuan diskusi semata-mata untuk menunjukkan kebenaran sesuai dengan ajaran Allah. 3. Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia tetap memiliki harga diri. Karenanya harus diupayakan ia tidak merasa kalah dalam diskusi dan merasa tetap dihargai dan dihormati. 76 Maka penulis menyimpulkan bahwa metode dakwah mujadalah ini hanya perlu digunakan pada orang-orang tertentu seperti ahli kitab dan orang-orang kafir yang sombong. Namun ketika seorang da’i menggunakan metode ini, Ia harus tetap mampu menjaga sikap dan kata- katanya dengan penuh kelemah lembutan dan sopan santun sehingga mereka mampu menerima kebenaran yang disampaikan dengan kesadarannya sendiri tanpa merasa ada unsur paksaan apalagi permusuhan. Namun, bagi orang-orang yang benar-benar dzalim metode ini tidak perlu digunakan.

C. RUANG LINGKUP MAJLIS TA’LIM