Pengetahuan Guru tentang Kemampuan Awal Siswa

Pengetahuan guru tentang siswa dapat dilihat dari berbagai hal namun peneliti membatasi pengamatan dan pembahasan pada hal-hal sebagai berikut:

A. Pengetahuan Guru tentang Kemampuan Awal Siswa

Pada saat anak menerima pelajaran sains secara formal di bangku sekolah, di dalam dirinya telah terbentuk seperangkat keyakinan atas dasar pengetahuan awal yang dimiliki tentang berbagai fenomena-fenomena alam. Dalam kasus tertentu, keyakinan-keyakinan dan intuisi tersebut sangat kuat dipegang oleh anak dan bisa jadi berbeda dengan yang diajarkan melalui pembelajaran sains di sekolah. Akan tetapi tidak jarang pula keyakinan yang telah berkembang itu sejalan dengan teori yang diakui kebenarannya oleh para ilmuwan Driver, 1983:2-3, dalam Sarkim, 1998:242. Menurut Sarkim 1998:242 pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki seseorang seperti disebut di atas dinamakan pengetahuan awal. Siswa mengikuti pelajaran fisika tidak dengan kepala yang kosong yang kemudian dapat diisi dengan pengetahuan fisika. Kepala siswa sudah penuh dengan pengalaman yang berhubungan dengan fisika yang mungkin tidak disadarinya. Semua siswa sudah berpengalaman dengan gerak, gaya, benda yang jatuh bebas, listrik, energi, dan banyak gejala fisis lainnya. Dengan pengalaman itu sudah terbentuk intuisi dan “teori” mengenai gejala-gejala fisis di lingkungannya sehari-hari. Namun, belum tentu intuisi dan teori yang terbentuk itu benar. Menurut Driver Sarkim, 1998:243, pengetahuan awal mempunyai ciri-ciri: 1. Bersifat sangat personal, artinya pengetahuan sangat bervariasi meskipun mengacu pada pokok yang sama; 2. Tampak tidak koheren, artinya bahwa pengetahuan tersebut seringkali tidak sesuai dengan pengalaman sebelumnya dan dal ini digunakan untuk menjelaskan atau meramalkan dalam konteks kepentingan yang berbeda-beda pula; 3. Bersifat stabil, artinya sekalipun sudah mengikuti pelajaran di sekolah siswa tidak memodifikasi pengetahuannya meskipun pengetahuan itu sudah dicoba diubah oleh guru dengan menunjukkan bukti bertentangan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa; 4. Pemikiran anak didominasi oleh persepsi yang disebabkan penalaran didasarkan pada peristiwa-peristiwa terobservasi; 5. Pusat perhatian siswa terbatas yang mengakibatkan ruang lingkup penelaahan suatu fenomena menjadi terbatas dan kurang memperhatikan hal-hal lain yang mestinya terkait; dan 6. Pusat perhatian lebih pada perubahan bukan pada keadaan, di mana hal ini sangat terkait dengan perhatian siswa yang terbatas. Belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi arti entah teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain Suparno, 1997:61. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang diajarkan dengan pengertian yang sudah dipunyai sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain: 1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan manusia dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai. 2. Konstruksi arti itu adalah proses yang terus-menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun secara lemah. 3. Belajar bukanlah mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Menurut Fosnot 1996, dalam Suparno, 1997:61, belajar bukan hasil perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri; yakni suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang. 4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan disequilibrium adalah situasi yang baik untuk memacu belajar. 5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya. 6. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang memperngaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. Dari uraian di atas dapat didefinisikan bahwa ciri-ciri kegiatan belajar adalah menghasilkan perubahan-perubahan tingkah laku, pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu yang belajar, sehingga bagi siswa belajar berarti mencoba memahami apa yang disampaikan dalam proses belajar mengajar dengan pengetahuan yang telah dimiliki atau mengkonstruksi struktur dasar baru yang merupakan perpaduan antara yang telah dimiliki dengan yang baru Ardiyanti, 2006:8. Dengan demikian sangatlah penting mengetahui pengetahuan awal siswa. Pandangan tentang pentingnya mengetahui pengetahuan awal siswa dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, didasari keyakinan bahwa pembelajaran sains akan mengakibatkan restrukturisasi konsep siswa. Keyakinan tersebut juga membawa konsekuensi pada perlunya guru memahami adanya konsepsi awal siswa agar guru dapat merancang dan melaksanakan pembelajaran yang membantu siswa dalam melakukan restrukturisasi konsepsinya. Siswa sudah memiliki konsepsi tentang berbagai hal yang telah diamati atau dialaminya. Apabila siswa mengalami atau melihat sesuatu yang tidak cocok dengan konsep yang ada pada dirinya, siswa akan mengubah konsepnya. Menurut Suparno 2005, perubahan konsep terdapat dua jenis, yaitu perubahan konsep yang kuat dan yang lemah. Perubahan konsep yang kuat terjadi bila seseorang mengubah konsep lamanya secara menyeluruh menjadi konsep yang baru akomodasi ketika berhadapan dengan hal yang baru. Perubahan konsep yang lemah terjadi bila orang tersebut tetap mempertahankan konsep awalnya dan hanya menambah atau memperincinya asimilasi bila orang tersebut berhadapan dengan hal yang baru. Menurut Piaget dalam Suparno, 2000, pembentukan pengetahuan menuntut seseorang bertindakaktif terhadap lingkungannya. Perkembangan koginitif akan berkembang bila orang itu mengasimilasikan dan mengakomodasikan rangsangan dari luar yang dihadapi dalam pemikiran yang sudah dimilikinya.

B. Pengetahuan Guru tentang Motivasi dan Keaktifan Siswa