18
tinggi dan untuk itu ada kalanya status, bahwa obyek jaminan tetap memberikan hasil yang baik.
2.2.3. Subyek Jaminan
Subyek dalam perjanjian pengikatan jaminan ialah pihak-pihak yang tersangkut dalam perjanjian pengikatan jaminan yang mencangkup dua
pihak yaitu pihak kreditur sebagai penerima jaminan dan debitur sebagai pemberi jaminan. Pemberi jaminan bisa debitur sendiri bisa pihak ketiga
bukan debitur sebagai pemilik benda jaminan. Pada dasarnya pihak yang memberi jaminan adalah pihak yang berwenang menjaminkan barang itu
yaitu pemilik barang. Orang atau badan hukum yang tidak memiliki barang atau benda secara sah menurut hukum tidak berwenang untuk
menjaminkan barang atau benda tersebut. Dengan kata lain yang berhak menjaminkan atas barang atau benda adalah pemilik barang atau benda
tersebut.
2.2.4. Sifat Perjanjian dalam Pengikatan Jaminan
Semua perjanjian pengikatan jaminan bersifat accessoir, artinya perjanjian pengikatan jaminan eksistensinya atau keberadaannya
tergantung perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit. Perjanjian pengikatan jaminan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri tetapi
tergantung pada perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok sehingga perjanjian kredit harus dibuat lebih dulu baru kemudian perjanjian
pengikatan jaminan. Dengan demikian kedudukan perjanjian jaminan yang
19
dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir mempunyai akibat hukum yaitu:
1. Adanya tergantung pada perjanjian pokok.
2. Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok.
3. Jika perjanjian pokok batal maka ikut batal.
4. Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok.
5. Jika perutangan pokok beralih karena cessi, subrogasi maka ikut
beralih juga perjanjian tanpa adanya penyerahan khusus Sofwan, 1980:37.
2.2.5. Macam Jaminan
Menurut hukum perdata, jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
2.2.5.1. Jaminan Perorangan
Jaminan perorangan personal quarentee adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seseorang pihak ketiga,
guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak- pihak kreditur, apabila debitur yang bersangkutan cidera janji
wanprestasi. Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang
berpiutang kreditur dengan seorang pihak ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban- kewajiban si berutang debitur. Ia bahkan dapat
diadakan di luar tanpa pengetahuan si berutang tersebut. Subekti, 1989:15
Dalam jaminan perseorangan selalu dimaksudkan bahwa untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban si berutang, yang dijamin pemenuhan
seluruhnya atau sampai suatu bagian jumlah tertentu, harta benda si
20
penanggung penjamin bisa disita dan dilelang menurut ketentuan- ketentuan perihal pelaksanaan eksekusi putusan-putusan pengadilan.
2.2.5.2. Jaminan Kebendaan
Tercantum dalam pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Segala kebendaan debitur atau nasabah baik bergerak maupun
yang tidak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan”. Jaminan yang bersifat hak kebendaan ialah “suatu hak hak yang
memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang” Subekti, 2003:62.
Hukum perdata terutama mengenai lembaga jaminan, penting sekali arti pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak. Dimana
atas dasar pembedaan benda tersebut, menentukan jenis lembaga jaminanikatan kredit yang mana dan yang dapat dipasang untuk kredit
yang akan diberikan. Jika benda jaminan itu berbentuk benda tidak bergerak, maka dapat
dipasang lembaga jaminan yang berbentuk hipotek dan hak tanggungan, sedangkan benda jaminan itu berbentuk benda bergerak, maka
sebagai lembaga jaminan dapat berbentuk gadai atau fidusia.
2.2.6. Pengikatan Jaminan Fidusia
Berdasarkan ketentuan umum dalam pasal 1 angka 1 Undang- Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pengertian Fidusia
21
adalah pengalihan hak kepamilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam pengusaan pemilik benda. Fidusia merupakan pengembangan dari lembaga gadai, maka yang
menjadi obyek jaminannya yaitu barang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Sebelum adanya
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Jaminan Fidusia di satu sisi memberi kemudahan bagi debitur pemberi fidusia karena tetap
menguasai dan dapat menggunakan benda yang dijaminkan tetapi di sisi yang lain kreditur pemegang fidusia kurang terjamin kepentingannya hal
ini karena fidusia tidak didaftarkan. Adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 maka fidusia harus didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, perkem- bangan ekonomi dan perkembangan perkreditan dalam masyarakat sekarang
memerlukan bentuk-bentuk jaminan, dimana orang atau masyarakat dapat memperoleh kredit dengan jaminan barang bergerak namun orang
masyarakat tersebut masih tetap dapat memakainya untuk keperluan sehari- hari maupun untuk keperluan usahanya. Berdasarkan kenyataan tersebut
menunjukkan betapa pentingnya lembaga fidusia sebagai lembaga jaminan yang memungkinkan menampung kebutuhan-kebutuhan kredit, yang tidak
dapat melalui lembaga jaminan lain. Lembaga jaminan fidusia lazim dipakai
22
sebagai jaminan dalam praktek perbankan, dalam lembaga simpan pinjam di kantor-kantor koperasi, pada importer, eksportir, leveransir dan lain-lain.
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, 1977:75. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
dalam hal pelaksanaan pemberian jaminan maka kedua belah pihak yakni Bank sebagai kreditur dan debitur akan tunduk pada ketentuan
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia yang dalam prakteknya banyak penyimpangan-
penyimpangan. Pada saat ini masih banyak Bank khususnya Bank Perkreditan Rakyat yang memberikan kredit dengan perjanjian tambahan
fidusia tanpa dibuat secara Notariil otentik dan konskwensi logisnya tidak diadakan pendaftaran Jaminan Fidusia. Yang dalam hal ini tentunya
tidak bermasalah apabila kredit yang diberikan dibayar dengan lancar akan tetapi akan terjadi problematik apabila debitur wanprestasi.
2.3. Tinjauan Umum Tentang Kredit
2.3.1. Pengertian Kredit
Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan dirumuskan bahwa kredit adalah “penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.