Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Yang Digunakan Sebagai Sarana Praktik Pencucian Uang (Money Laundering

(1)

ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBERIAN HONORARIUM ADVOKAT YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SARANA

PRAKTIK PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH : ERIC TANAKA NIM : 110200063

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBERIAN HONORARIUM

ADVOKAT YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SARANA

PRAKTIK PENCUCIAN UANG (

MONEY LAUNDERING

)

Eric Tanaka* Bismar Nasution ** Mahmul Siregar ***

Tidak adanya pengaturan secara jelas oleh undang-undang terhadap batas pemberian honorarium kepada seorang advokat, menimbulkan suatu celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang untuk menjadikan honorarium advokat sebagai sarana praktek pencucian uang. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan bahwa besarnya honorarium atas jasa hukum ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Hal ini memberikan ketidakpastian batas honorarium yang dapat diterima oleh seorang advokat dari kliennya. Honorarium yang diterima advokat dapat berupa uang hasil tindak pidana pencucian uang yang berusaha dicuci oleh pelaku kejahatan. Agar tidak terdeteksi oleh pihak yang berwenang maka pelaku kejahatan tersebut melakukan kesepakatan secara diam-diam atau kongkalikong dengan advokatnya yang dimana kesepakatan ini termasuk kedalam kerahasiaan antara advokat dengan kliennya.

Metode yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah tersebut adalah metode penelitian yuridis normatif dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan dan dianalisis secara normatif.

Dengan adanya kode etik advokat, kepercayaan masyarakat akan profesi advokat dapat diperkuat dikarenakan setiap klien akan mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. FATF menyebutkan bahwa advokat atau pengacara berpotensi sebagai “gatekeeper” untuk pencucian uang dan pendanaan teroris disebabkan begitu beragamnya jasa yang dapat mereka berikan kepada klien. Gatekeeper adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan seorang profesional di bidang keuangan atau hukum dengan keahlian, pengetahuan, dan akses khusus kepada sistem finansial global yang jasanya digunakan untuk menyembunyikan aset milik kliennya. Seorang advokat dalam menjalankan tugasnya harus didasarkan dengan itikad baik jadi apabila memang terbukti advokat berperan sebagai seorang gatekeeper yang membantu kliennya dalam melakukan tindak pidana pencucian uang melalui modus penetapan honorariumnya, maka advokat tersebut tidaklah hanya telah melanggar UU Advokat dan Kode Etik Profesi Advokat bahkan ia telah melanggar UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kata Kunci : Advokat, Honorarium, Pencucian Uang, Gatekeeper. * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga penulis bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar. Penulisan Skripsi yang berjudul: Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Yang Digunakan Sebagai Sarana Praktik Pencucian Uang (Money Laundering) adalah untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).,

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).


(4)

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang administrasi umum.

5. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan kesejahteraan mahasiswa.

6. Ibu Windha, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan Dosen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu yang sudah memberikan saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini serta waktu bimbingan yang diberikan agar skripsi ini diselesaikan dengan baik.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan dalam perkuliahan.

8. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof atas segala bantuan, kritikan, bimbingan, saran, dan


(5)

dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II dan Dosen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak atas segala bantuan, kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

10.Bapak Alwan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Wali. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bimbingan sejak baru menjadi mahasiswa sampai sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.

11.Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Kepada kedua orang tua penulis, Arifin Tanaka dan Lies Sio yang telah membesarkan, mendidik, dan mendukung penulis hingga bisa menyelesaikan pendidikan formal Strata Satu (S1) ini.

13.Adik penulis Tivanni Tanaka serta anggota keluarga penulis yang lain yang telah menjadi semangat dan faktor pendorong bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan formal strata satu dan juga memberikan dukungan moral dalam menjalani hidup penulis.

14.Larrisa Japardi, teman seperjuangan perkuliahan mencakup pasangan dalam hidup penulis yang selalu menyemagati dan memberikan kebahagiaan serta kasih sayang dalam hidup penulis.


(6)

15.Irene Mulia, Yuendris dan Wisely, sahabat terbaik serta teman senasib, teman makan-makan dan seperjuangan penulis selama masa perkuliahan di FH USU yang selalu bersama penulis dalam suka maupun duka pada saat menjalani masa perkuliahan.

16.Para Pacisu Pacisu yang selalu hadir memberikan canda dan tawa yang tak terkira kepada penulis selama masa perkuliahan di FH USU.

17.William Wijaya, Yoko, Ekarudy, Stella Guntur, Sheila, Yohana, Cathlin, Irene, Abonk, Fredy dan seluruh teman di Fakultas Hukum USU.

18.Yogi, Syahnaz, Pratiwi Habibi, Junanda, Nasrini, Nurul, Suenta, Baim, Merico, Herman, Azri, Aja, Reza, Deni, Michael, dan sahabat-sahabat seperjuangan dari Grup A Fakultas Hukum USU stambuk 2011 yang lain. 19.Kak Yuna yang selalu memberikan arahan dan bantuan bagi penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

20.Filbelt, Hariyanto dan Andrea yang menjadi teman setia ngopi dan ngobrol penulis.

21.Abang dan kakak kelas serta adik-adik kelas Penulis di Fakultas Hukum USU yang lain.

Medan, 1 April 2015 Penulis

Eric Tanaka NIM: 110200063


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat ... 9

D. Keaslian Judul ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KODE ETIK PROFESI ADVOKAT DI INDONESIA

A. Pengertian Advokat ... 18

B. Fungsi dan Peranan Advokat ... 24

C. Kode Etik Advokat ... 30

D. Fungsi Kode Etik Advokat ... 35

E. Cara Penegakan Kode Etik Advokat ... 40

BAB III PEMBERIAN HONORARIUM ADVOKAT YANG

DIJADIKAN

SEBAGAI

SARANA

PRAKTIK

PENCUCIAN UANG (

MONEY LAUNDERING

)

A. Pengertian dan Sejarah Pencucian Uang ... 48

B. Tipologi Pencucian Uang ... 53

C. Dampak Pencucian Uang ... 64


(8)

E. Penetapan Jumlah Honorarium Dimanfaatkan Sebagai Sarana Pencucian Uang ... 80

BAB IV AKIBAT HUKUM BAGI ADVOKAT YANG

MENERIMA

HONORARIUM

HASIL

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Implementasi Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Terkait Honorarium Advokat Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang ... 87 B. Akibat Hukum Bagi Advokat Yang Menerima Honorarium Hasil

Tindak Pidana Pencucian Uang ... 90 C. Peran PPATK Dalam Mengawasi Honorarium Yang Diterima

Advokat ... 93

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 98 B. Saran ... 100


(9)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBERIAN HONORARIUM

ADVOKAT YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SARANA

PRAKTIK PENCUCIAN UANG (

MONEY LAUNDERING

)

Eric Tanaka* Bismar Nasution ** Mahmul Siregar ***

Tidak adanya pengaturan secara jelas oleh undang-undang terhadap batas pemberian honorarium kepada seorang advokat, menimbulkan suatu celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang untuk menjadikan honorarium advokat sebagai sarana praktek pencucian uang. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan bahwa besarnya honorarium atas jasa hukum ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Hal ini memberikan ketidakpastian batas honorarium yang dapat diterima oleh seorang advokat dari kliennya. Honorarium yang diterima advokat dapat berupa uang hasil tindak pidana pencucian uang yang berusaha dicuci oleh pelaku kejahatan. Agar tidak terdeteksi oleh pihak yang berwenang maka pelaku kejahatan tersebut melakukan kesepakatan secara diam-diam atau kongkalikong dengan advokatnya yang dimana kesepakatan ini termasuk kedalam kerahasiaan antara advokat dengan kliennya.

Metode yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah tersebut adalah metode penelitian yuridis normatif dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan dan dianalisis secara normatif.

Dengan adanya kode etik advokat, kepercayaan masyarakat akan profesi advokat dapat diperkuat dikarenakan setiap klien akan mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. FATF menyebutkan bahwa advokat atau pengacara berpotensi sebagai “gatekeeper” untuk pencucian uang dan pendanaan teroris disebabkan begitu beragamnya jasa yang dapat mereka berikan kepada klien. Gatekeeper adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan seorang profesional di bidang keuangan atau hukum dengan keahlian, pengetahuan, dan akses khusus kepada sistem finansial global yang jasanya digunakan untuk menyembunyikan aset milik kliennya. Seorang advokat dalam menjalankan tugasnya harus didasarkan dengan itikad baik jadi apabila memang terbukti advokat berperan sebagai seorang gatekeeper yang membantu kliennya dalam melakukan tindak pidana pencucian uang melalui modus penetapan honorariumnya, maka advokat tersebut tidaklah hanya telah melanggar UU Advokat dan Kode Etik Profesi Advokat bahkan ia telah melanggar UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kata Kunci : Advokat, Honorarium, Pencucian Uang, Gatekeeper. * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang memiliki kebutuhan dan kepentingannya yang berbeda-beda. Dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya di dalam masyarakat, sengketa maupun pelanggaran hukum banyak terjadi. Bagi orang yang memilih jalur litigasi sebagai jalan penyelesaiannya. Oleh karena itu, jasa advokat sangat dibutuhkan untuk menghindari pengurusan terhadap birokrasi pengadilan yang rumit dan berbelit-belit. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum.

Advokat merupakan salah satu penegak hukum yang jasanya adalah untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau klien yang memiliki sengketa hukum. Advokat memiliki tugas, kewajiban, dan tanggung jawab yang luhur, baik terhadap diri sendiri, klien, pengadilan, dan Tuhan, serta demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Dalam sumpahnya, advokat bersumpah tidak akan berbuat palsu atau membuat kepalsuan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Juga tidak akan menghambat suatu proses peradilan untuk


(11)

keuntungan seseorang atau itikad buruk seseorang, tetapi akan menjalankan fungsi advokat di dalam proses peradilan sesuai dengan pengetahuan dan kebijaksanaannya.1

Pada saat menjalankan tugasnya seorang advokat memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban seorang advokat adalah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai Kode Etik Advokat Indonesia, Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat), dan peraturan perundang – undangan lainnya yang mengatur tentang advokat.

Hubungan antara advokat dan kliennya dipandang dari advokat sebagai officer of the court, yang mempunyai dua konsekuensi yuridis, sebagai berikut:2 1. Pengadilan akan memantau bahkan memaksakan agar advokat selalu

menuruti ketentuan undang-undang atau kepantasan kepada kliennya, antara lain membela kliennya semaksimal mungkin sesuai dengan kewajiban fiduciary yang disandangnya

2. Akan tetapi, di lain pihak, karena advokat harus membela kliennya semaksimal mungkin hampir-hampir tanpa kompromi, maka advokat haruslah hati-hati jika dia dihadapkan untuk membela kliennya semaksimal mungkin dengan tunduk sepenuhnya pada aturan hukum yang berlaku , seperti yang disebutkan dalam Canon 7 dari Code of Professional Responsibility dari advokat di Amerika Serikat bahwa advokat haruslah mewakili kliennya secara habis-habisan (zealous) dalam batas-batas hukum yang berlaku. “A lawyer should represent a client zealously within the bounds

1

Kelik Pramudy dan Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum

(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2010), hlm.63.

2


(12)

of the law”. Jadi, meskipun advokat harus membela kepentingan kliennya secara habis-habisan, tetapi di lain pihak, sebagai officer of the court, dia tidak boleh melanggar aturan hukum yang berlaku, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan kliennya itu.

Sebagai officer of the court, advokat harus tunduk dan patuh terhadap aturan yang ada di pengadilan. Dan lebih dari itu, advokat haruslah selalu bertingkat laku yang sesuai dengan kemuliaan dan kewibawaan pengadilan. Dia tidak boleh berperilaku tercela yang dapat mencoreng kewibawaan pengadilan tersebut.3

Pada pembukaan kode etik advokat menyatakan bahwa profesi advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile). Kode etik mengenai advokat itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghambat kemandirian profesi, yang punya kewajiban mulia atau terpandang (officium nobile). Sebaliknya, kode etik advokat merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, teman sejawat, negara atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya sendiri.4

Kode etik advokat harus dipatuhi oleh setiap advokat, didalam kode etik tersebut terdapat peraturan yang mewajibkan para advokat untuk menjaga rahasia dengan kliennya. Seperti yang dikutip dari Kode Etik Advokat Pasal 4 huruf h: “Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan

3

Ibid, hlm.33.

4


(13)

oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.”

Jasa advokat akan diberi imbalan berupa legal fee atau honorarium. Honorarium yang diterima seorang advokat tidak memiliki batasan, yang artinya honorarium advokat tidak ada ditentukan jumlahnya dalam undang-undang maupun kode etik advokat. Nilai besarnya honorarium setiap advokat berbeda-beda meskipun atas suatu kasus atau perkara yang mirip sama. Yang terpenting ada persetujuan yang jelas antara advokat dengan calon kliennya, baik menyangkut fee maupun success fee yang akan diterima advokat. Dan seorang calon klien berhak untuk mengundurkan diri dari pembicaraannya, jika ia merasa tidak akan sanggup dapat membayar fee kepada seorang advokat. Demikian pula advokat berhak untuk menentukan sikapnya menyangkut fee yang akan diterima dari calon kliennya.5

Pada era globalisasi, berbagai kejahatan baik yang dilakukan perseorangan maupun perusahaan dalam batas wilayah negara maupun melintasi batas wilayah negara lain semakin meningkat. Kejahatan dimaksud berupa perdagangan minuman keras, judi, perdagangan gelap senjata, korupsi, penyelundupan. Agar tidak mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai asal-usul dana kejahatan tersebut, maka pelakunya tidak langsung menggunakan dana dimaksud tapi diupayakan untuk menyamarkan atau menyembunyikan asal usul dana tersebut dengan cara tradisional, misalnya melalui kasino, pacuan kuda atau memasukkan dana tersebut ke dalam sistem keuangan atau perbankan. Upaya

5

H. A. Sukris Sarmadi, Advokat Litigasi & Non Litigasi Pengadilan Menjadi Advokat Indonesia Kini (Bandung: Cv Mandar Maju, 2009), hlm.66-67.


(14)

untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana yang diperoleh dari tindak pidana dimaksud dikenal dengan pencucian uang (money laundering).

Pencucian uang telah didefinisikan sebagai “Penggunaan uang yang diperoleh dari aktivitas ilegal dengan menutupi identitas individu yang memperoleh uang tersebut dan mengubahnya menjadi aset yang terlihat seperti diperoleh dari sumber yang sah”. Secara lebih luas, pencucian uang dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan atau upaya dari pelaku kejahatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang diperoleh dari tindak pidana dengan memasukan harta kekayaan hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan, khususnya sistem perbankan baik didalam maupun luar negeri, dengan maksud untuk menghindar diri dari tuntutan hukum atas kejahatan yang telah dilakukan dan mengamankan harta kekayaan hasil kejahatan dari sitaan aparat hukum.6

Saat ini dengan berkembangnya teknologi, keamanan perbankan dan ada dibentuknya berbagai lembaga pengawas transaksi keuangan yang mempersulit para pelaku tindak kejahatan untuk mencuci uang mereka sampai segala cara dilakukan mereka untuk melakukan pencucian uang. Bahkan sekarang sampai legal fee (honorarium) advokat pun digunakan sebagai modus pencucian uang para pelaku tindak kejahatan.

Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak serius terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian negara secara keseluruhan. Di Indonesia, tindak pidana pencucian uang ini diatur didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

6

Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering (Jakarta: Cv Ayyccs Group, 2005), hlm.40.


(15)

2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU PPTPPU). Pada bulan Juni 2001, Indonesia masuk dalam Daftar Hitam Financial Action Task Force (FATF) sebagai negara yang tidak kooperatif dalam upaya pemberantasan Pencucian Uang (Non Cooperative Countries or Territories/ NCCTs). Hal ini disebabkan rentannya kebijakan pengaturan sektor industri keuangan dan belum adanya sarana yang memadai dalam mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang. Menanggapi kondisi tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia kemudian turut menerapkan pendekatan anti money laundering regime sejak 17 April 2002 yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang selanjutnya telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang sekarang menjadi UU PPTPPU. Lahirnya UU PPTPPU ini memberi peluang bagi penegakan hukum terhadap “aktor-aktor intelektual” dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan melalui praktik pencucian uang, dan juga memberikan landasan berpijak yang kokoh bagi para aparat penegak hukum dalam upaya menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai dan merencanakan kejahatan seperti predicates crimes dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap aliran uang yang mendanai suatu tindak kejahatan.7

Lalu, dibentuknya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (selanjutnya disebut PPATK) sebagai salah satu dari pelaksana UU PPTPPU yang

7

Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering (Bandung: Books Terrance & Library, 2005), hlm.32.


(16)

berperan dalam upaya mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Sehubungan dengan itu, bersama-sama dengan instansi terkait, PPATK telah melakukan inventarisasi berbagai kendala dan hambatan yang terjadi untuk efektifitas pelaksanaan UU PPTPPU di masa mendatang. Meskipun dalam implementasi Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia masih terdapat berbagai kelemahan, akan tetapi dengan menimbang adanya perkembangan yang memadai dan berkelanjutan serta komitmen Pemerintah Indonesia dalam memberantas kejahatan Pencucian Uang, maka berdasarkan hasil sidang pleno FATF tanggal 11 Februari 2005 di Paris, Indonesia dinyatakan keluar dari daftar NCCTs karena mampu memenuhi syarat minimal suatu rezim anti-pencucian uang berdasarkan standar yang dikenal dengan istilah FATF 40+9 Recommendations.8

Pengaturan honorarium advokat sebagaimana tertuang dalam Pasal 21 UU Advokat, menyatakan kebolehan adanya honorarium ini tanpa adanya batasan atau tidak adanya standar suatu penetapan honorarium yang diterima advokat atas jasa hukum yang diberikan kepada kliennya. Pasal 21 UU Advokat dapat dikatakan menjadi landasan yuridis keabsahan honorarium. Namun bila tidak diatur secara tegas, penasehat hukum yang menerima pembayaran jasa hukum (legal fee) dari terdakwa tindak pidana pencucian uang atau korupsi dapat pula diancam pidana berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU PPTPPU. Pasalnya, dalam hubungan profesional antara advokat dengan klien, terdapat suatu hubungan yang sangat dekat. Sehingga, advokat patut menduga harta yang dimiliki kliennya

8

Philips Darwin, Money Laundering Cara Tepat Memahami Dengan Tepat dan Benar Soal Pencucian Uang (Jawa Timur: Sinar Ilmu, 2012), hlm.81-82.


(17)

adalah hasil tindak pidana. Namun, adanya ketentuan kode etik kerahasiaan advokat terhadap klien, tidak memungkinkan para advokat melaporkan harta yang dimiliki kliennya atas dugaan tidak pidana. Selain itu, telah terdapat beberapa kasus dimana tindak pidana pencucian uang dilakukan advokat bersama dengan kliennya. Honorarium yang diterima oleh seorang advokat dari kliennya digunakan sebagai mekanisme dalam proses melakukan tindak pidana pencucian uang, dimana advokat menjadi kaki tangan dari pelaku kejahatan untuk melakukan pencucian uang.

Berdasarkan Pasal 21 UU Advokat yang menyebutkan bahwa besarnya honorarium atas jasa hukum ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Tidak adanya pengaturan secara jelas oleh undang-undang terhadap batas pemberian honorarium kepada seorang advokat, menimbulkan suatu celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang untuk menjadikan honorarium advokat sebagai sarana praktek pencucian uang. Hal ini lah yang mendorong penulis untuk membahas atau mengangkat judul skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Sebagai Sarana Praktek Pencucian Uang (Money Laundering)”.


(18)

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini yaitu :

1. Bagaimana fungsi kode etik advokat bagi advokat dalam menjalankan profesinya?

2. Bagaimana honorarium advokat dimanfaatkan sebagai sarana praktik pencucian uang?

3. Bagaimana akibat hukum bagi advokat yang menerima honorarium hasil tindak pidana pencucian uang?

C. Tujuan dan Manfaat

Secara umum tujuan utama penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi kewajiban dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus lagi, tujuan penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang sudah dirumuskan. Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan kode etik advokat di Indonesia

2. Untuk mengetahui proses dan mekanisme bagaimana honorarium advokat dijadikan sarana money laundering

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum bagi advokat yang menerima honorarium hasil tindak pidana pencucian uang

Di samping tujuan di atas diharapkan juga skripsi ini memberi manfaat sebagai berikut :


(19)

1. Secara teoritis, pembahasan ini bisa menjadi tambahan ilmu dalam hukum ekonomi. Dan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan dan pencegahan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia

2. Secara praktis, pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya, advokat dan mahasiswa pada khususnya untuk mengetahui honorarium advokat yang dijadikan sarana pencucian uang dan beserta dengan akibat hukumnya.

D. Keaslian Judul

Terdapat judul yang berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu:

1. Prinsip Akuntabilitas dan Transparansi Yayasan dalam Rangka Pencegahan Praktik Pencucian Uang Money Laundering, yang ditulis oleh Dwi Cesaria Sitorus, NIM 080200258, yang di dalamnya membahas tentang Prinsip Akuntabilitas dan Transparansi dalam pencegahan praktek pencucian uang. 2. Peran PPATK dalam Mengatasi Kejahatan Money Laundering di Indonesia,

yang ditulis oleh Agusta Kanin, NIM 030200171, yang didalamnya membahas tentang upaya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam memberantas kejahatan pencucian uang di Indonesia.

3. Kajian Hukum Terhadap Posisi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Dalam Pemberantasan Praktek Money Laundering, yang ditulis oleh Fitri Hadijah, NIM 030200072, yang didalamnya membahas tentang kajian hukum menyangkut posisi PPATK dalam memberantas praktek pencucian uang yang terjadi di Indonesia.


(20)

Sedangkan dalam skripsi ini yang dibahas adalah analisis yuridis mengenai adanya praktek pencucian uang yang menggunakan honorarium advokat sebagai mekanisme pencucian uang, dimana adanya kerahasiaan yang kuat antara seorang advokat dengan kliennya menyebabkan tidak memungkinkan para advokat melaporkan harta yang dimiliki kliennya atas dugaan tindak pidana. Juga tidak ada diatur undang-undang tentang jumlah honorarium yang dapat diterima seorang advokat atas imbalan jasanya menyebabkan dapat terjadinya kongkalikong antara advokat dengan kliennya karena jumlah honorarium advokat tersebut disetujui kedua belah pihak yang memungkinkan honorarium seorang advokat dijadikan mekanisme dalam praktik pencucian uang yang menjadikan advokat sebagai kaki tangan dari pelaku tindak pidana pencucian uang tersebut.

Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan kerahasian advokat dengan kliennya, honorarium advokat yang tidak diatur oleh undang-undang, pencegahan praktek pencucian uang serta peraturan-peraturan yg berkaitan dengan judul tersebut, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakan atau media cetak maupun media elektronik. Sehubung dengan keaslian judul skripsi ini, penulis melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat diminta pertanggungjawaban dikemudian hari.


(21)

E. Tinjauan Kepustakaan

Adapun yang menjadi pengertian secara etimologis daripada judul skripsi ini adalah :

1. Pengertian advokat

Pasal 1 Kode Etik Advokat Indonesia meyebutkan bahwa advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai advokat, pengacara, penasehat hukum, pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum.

Advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Advokat merupakan suatu bentuk profesi terhormat sehingga ia sering disebut sebagai officium nobile yakni sebagai pemberi jasa yang mulia dalam hukum. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan.

2. Pengertian kode etik advokat

Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. Kode etik advokat dimaksudkan untuk


(22)

mengatur dan memberi kualitas kepada pelaksana profesi, untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi, serta untuk melindungi publik yang memerlukan jasa-jasa baik profesional.

3. Pengertian pencucian uang (money laundering)

Pencucian uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil kejahatan dengan bisnis yang sah sehingga uang tersebut bersih atau tampak sebagai uang halal. Pencucian uang secara umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi kejahatan (crime organization) maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya.9

Pasal 1 ayat (1) UU PPTPPU menyebutkan bahwa :

“Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”

4. Pengertian transaksi mencurigakan

Pasal 1 ayat (5) UU PPTPPU menyebutkan bahwa : “Transaksi keuangan mencurigakan adalah:

a.Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa bersangkutan;

b.Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk mengindari pelaporan transaksi yang bersangkutan

9


(23)

yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan Undang- undang ini;

c.Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

d.Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.”

F. Metode Penelitian 1. Jenis dan sifat penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan penelitian hukum normatif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, digunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dengan hanya menggunakan data-data sekunder. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini bersifat deskriptif. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu, asas-asas atau suatu peraturan- peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanannya, serta menganalisa secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang.


(24)

2. Data penelitian

Berhubung karena metode penelitian adalah penelitian hukum normatif maka data-data yang dipergunakan adalah data berupa bahan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang seperti :

a. Bahan hukum primer yaitu : bahan yang telah ada dan yang berhubungan dengan skripsi terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dalam skripsi ini antara lain yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Kode Etik Advokat Indonesia, dan peraturan-peraturan lainnya.

b. Bahan hukum sekunder yaitu : bahan-bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tertier yaitu : kamus, bahan dari internet dan lain-lain bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Teknik pengumpulan data

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi. Teknik ini dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Penelitian yang dilakukan dengan membaca serta menganalisa peraturan perundang-undangan maupun karya


(25)

ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet maupun sumber teoritis lainnya yang berkaitan dengan materi skripsi yang diajukan.

4. Analisa data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam undang-undang yang relevan dengan permasalahan, membuat sistematika dari data tersebut sehingga akan menghasikan kualifikasi tertentu yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bagian yang tersebut dengan bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih ada konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain.

Secara sistematis penulisan menempatkan materi pembahasan keseluruhannya kedalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan secara ringkas latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.


(26)

BAB II KODE ETIK PROFESI ADVOKAT DI INDONESIA

Dalam bab ini akan dibahas mengenai fungsi kode etik profesi advokat di Indonesia, mencakup pengertian advokat, kelemahan kode etik advokat dan cara penegakannya.

BAB III PEMBERIAN HONORARIUM ADVOKAT YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SARANA PRAKTIK PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengertian berserta sejarah pencucian uang, tipologi dan dampak pencucian uang serta dibahas tentang penetapan jumlah honorarium advokat.

BAB IV AKIBAT HUKUM BAGI ADVOKAT YANG MENERIMA HONORARIUM HASIL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Dalam bab ini akan dibahas mengenai implementasi undang-undang terhadap honorarium advokat, akibat hukum bagi advokat dan peran PPATK dalam mengawasi honorarium..

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


(27)

BAB II

KODE ETIK PROFESI ADVOKAT DI INDONESIA

A. Pengertian Advokat

Menurut UU Advokat, advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Maka dengan hal ini berarti cakupan advokat meliputi mereka yang melakukan pekerjaan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan, sebagaimana diatur didalam UU Advokat. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain.

Menurut Jimly Asshiddiqie, ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dalam kekuasaan yudikatif, advokat menjadi salah satu lembaga yang perannya sangat penting, selain peran dari instansi kepolisian dan kejaksaan. Kepolisian dan kejaksaan adalah lembaga yang mewakili kepentingan pemerintah, sedangkan advokat mewakili kepentingan masyarakat. Dengan demikian secara umum, dalam sistem kehakiman di Indonesia, hakim ditempatkan sebagai pihak yang mewakili kepentingan negara, jaksa dan kepolisian mewakili kepentingan pemerintah, sedangkan advokat menjaga dan mewakili kepentingan masyarakat.


(28)

Pada posisi inilah peran advokat menjadi penting karena dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan pemerintah.10

Advokat merupakan suatu bentuk profesi terhormat sehingga ia sering disebut sebagai officium nobile yakni sebagai pemberi jasa yang mulia dalam hukum. Ia disebut mulia karena ia merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia dan yang mengupayakan pemberdayaan masyarakat dalam menyadarkan hak-hak fundamental mereka didepan hukum.11 Dalam menjalankan profesi, seorang advokat harus memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan keterbukaan, guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan berperilakuan kurang terhormat. Advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif advokat ini sebab ia mewakili kepentingan masyarakat (klien) untuk membela hak-hak hukumnya. Namun, dalam membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien. Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan

10

Kelik Pramudy dan Ananto Widiatmoko, Op.Cit., hlm.96.

11


(29)

hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya.12

Sebagai pengemban profesi mulia, advokat dituntut untuk melaksanakan profesi hukumnya dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai moralitas umum (common morality) seperti:13

1. Nilai-nilai kemanusiaan (humanity) dalam arti penghormatan pada martabat kemanusiaan;

2. Nilai-nilai keadilan (justice) dalam arti dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya;

3. Nilai kepatuhan atau kewajaran (reasonableness), dalam arti bahwa upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan didalam masyarakat

4. Nilai kejujuran (honesty), dalam arti adanya dorongan kuat untuk memelihara kejujuran dan menghindari diri dari perbuatan yang curang; 5. Kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan

kehormatan profesinya;

6. Nilai pelayanan kepentingan public (to serve public interest), dalam arti bahwa di dalam pengembangan profesi hukum telah imberent semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan yang merupakan konsekuensi langsung dari di pegang teguhnya nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kredibilitas profesinya.

12

Irenna Becty, “Tinjauan Kode Etik Advokat”, http://hukum.bunghatta.ac.id/ tulisan.php?dw.7 (diakses pada tanggal 01 Februari 2015).

13

Frans Hendra Winata, “Citra Advokat Sebagai Officium Nobile dan Peranan Organisasi Advokat”, http://variaadvokat.awardspace.info/vol6/frans.pdf (diakses pada tanggal 01 Februari 2015).


(30)

Syarat untuk menjadi pengacara (advokat) di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat yaitu sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu hukum.

Persyaratan lebih lanjut untuk menjadi advokat diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Advokat :

1. warga negara Republik Indonesia; 2. bertempat tinggal di Indonesia;

3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; 4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;

5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);

6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;

7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor advokat;

8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi;


(31)

Adanya ketentuan keharusan seorang advokat yang muda untuk melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat mempunyai maksud bahwa seorang advokat yang baru memerlukan persiapan diri sebelum terjun menjadi seorang advokat yang profesional. Persiapan yang dimaksud adalah :14

1. Persiapan mental, maksud dari persiapan mental ini adalah mental yang berkaitan dengan penyesuaian kondisi dengan penegak hukum lain, misalnya polisi, jaksa maupun hakim.

2. Persiapan pengalaman, maksud dari persiapan pengalaman ini adalah untuk mendapatkan pengalaman dalam melakukan pekerjaan seorang advokat, dikarenakan advokat adalah pekerjaan keterampilan sehingga untuk menjadi seorang advokat membutuhkan pengalaman.

Advokat dalam melaksanakan tugasnya memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur dalam UU Advokat, sebagai berikut :

1. Pasal 14 menyebutkan bahwa advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

2. Pasal 15 menyebutkan bahwa advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

14

Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.60.


(32)

3. Pasal 16 menyebutkan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.

4. Pasal 17 menyebutkan bahwa dalam menjalankan profesinya, advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5. Pasal 18 menyebutkan bahwa :

a.Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

b.Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membelaperkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

6. Pasal 19 menyebutkan bahwa :

a.Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

b.Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik advokat.

7. Pasal 20 menyebutkan bahwa :

a.Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.

b.Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.

c.Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut


(33)

B. Fungsi dan Peranan Advokat

Peran advokat tidak akan lepas dari masalah penegakan hukum di Indonesia. Profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.15

Profesi advokat yang bebas mempunyai arti bahwa dalam menjalankan profesinya membela masyarakat dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran hukum tidak mendapatkan tekanan darimana pun juga. Kebebasan inilah yang harus dijamin dan dilindungi oleh undang-undang yaitu UU Advokat agar jelas status dan kedudukannya dalam masyarakat, sehingga bisa berfungsi secara maksimal. Advokat adalah profesi yang bebas (free profession) yang tidak tunduk pada hirarki jabatan dan tidak tunduk pada perintah atasan, dan hanya menerima perintah atau order atau kuasa dari klien berdasarkan perjanjian yang bebas, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis, yang tunduk pada kode etik profesi advokat, tidak tunduk pada kekuasaan publik, seperti notaris yang merupakan jabatan publik, yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab publik.16

15

Kelik Pramudy dan Ananto Widiatmoko, Op.Cit., hlm.96-97.

16


(34)

Advokat memiliki banyak peranan dalam hukum, seperti:17 1. Peran advokat sebagai penegak hukum

Advokat itu berperan dalam mendorong penerapan hukum yang tepat untuk setiap kasus, mendorong yang tidak bertentangan dengan tuntutan kesusilaan maupun ketertiban umum dan mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus perkara bukan sebaliknya menempuh segala cara agar hakim tidak netral dalam menerapkan hukum dikarenakan salah satu asas penting dalam pembelaan, apabila advokat berkeyakinan seorang klien bersalah, maka advokat sebagai penegak hukum akan menyodorkan asas “clemency” atau sekedar memohon keadilan.

2. Peran advokat sebagai pengawas penegakan hukum

Advokat itu berperan melakukan pengawasan terhadap penegakan hukum. Pengawasan ini dijalankan oleh perhimpunan advokat yang mencakup dua hal, yaitu :

a. Internal, secara internal peran perhimpunan advokat harus dapat menjadi sarana efektif mengawasi tingkah laku advokat dalam profesi penegakan hukum atau penerapan hukum. Harus ada cara- cara yang efektif untuk mengendalikan advokat yang tidak mengindahkan etika profesi dan aturan-aturan untuk menjalankan tugas advokat secara baik dan benar. b. Eksternal, secara eksternal baik perhimpunan advokat maupun advokat

secara individual harus menjadi pengawas agar peradilan dapat berjalan

17

Bagir Mannan, Peran Advokat Mewujudkan Peradilan Yang bersih dan Berwibawa dalam Majalah Hukum No. 240 September 2005 (Jakarta: IKAHI, 2005)


(35)

secara benar dan tepat. Bukan justru sebaliknya, advokat menjadi bagian dari upaya menghalangi suatu proses peradilan.

3. Peran advokat sebagai penjaga kekuasaan kehakiman

Advokat berperan dalam menjaga kekuasaan kehakiman. Perlindungan atau jaminan kehakiman yang merdeka tidak boleh hanya diartikan sebagai bebas dari pengaruh atau tekanan dari kekuasaan negara atau pemerintahan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka harus juga diartikan sebagai lepas dari pengaruh atau tekanan publik, baik yang terorganisasi dalam infra struktur maupun yang insidental. Tekanan itu dapat dalam bentuk melancarkan tekanan nyata, membentuk pendapat umum yang tidak benar, ancaman dan pengrusakan prasarana dan sarana peradilan. Tekanan tersebut dapat pula bersifat individual dalam bentuk menyuap penegak hukum agar berpihak. Advokat sebagai penegak hukum, terutama yang terlibat dalam penyelenggaraan kehakiman semestinya ikut menjaga agar kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat berjalan sebagaimana mestinya.

4. Peran advokat sebagai pekerja sosial

Advokat itu berperan dalam melakukan pekerjaan sosial. Pekerja sosial dalam hal ini adalah pekerja sosial di bidang hukum. Sebagaimana diketahui, betapa banyak rakyat yang menghadapi persoalan hukum, tetapi tidak berdaya. Mereka bukan saja tidak berdaya secara ekonomis tetapi mungkin juga tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Berdasarkan hal tersebut, maka persoalan- persoalan hukum yang yang dihadapi rakyat kecil dan lemah yang memerlukan bantuan, termasuk dari para advokat. Pasal 22 UU Advokat dalam hal ini


(36)

memaparkan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu (pro bono legal aid).

Dalam sistem peradilan pidana masing-masing penegak hukum sudah mempunyai tugas masing-masing. Polisi bertugas dibidang penyidikan, Kejaksaan bertugas di bidang penuntutan, dan hakim mempunyai tugas akhir memutuskan perkara. Sementara itu, advokat dalam menjalankan tugasnya berada pada posisi masyarakat. Advokat dan hakim harus membantu sesama. Hakim akan lebih mudah bekerja dan menjalankan tugasnya sehari-hari apabila para advokat yang ada bermutu atau berkualitas dalam menjalankan tugas sehari-hari.

Advokat dalam membela kliennya mempunyai suatu hubungan yang sangat khusus dan khas antara advokat dan kliennya itu. Hal ini diakibatkan karena adanya suatu hubungan fiduciary antara advokat dan kliennya itu. Dalam hubungan antara advokat dan kliennya, ada suatu kepercayaan yang penuh (trust & confidence) yang diberikan oleh klien kepada advokat tersebut. Hubungan fiduciary, yang menimbulkan tugas fiduciary (fiduciary duties) dari advokat ini merupakan ciri utama dan merupakan hal yang sangat penting bagi hubungan antara advokat dan kliennya. Yang dimaksud dengan tugas fiduciary dari seorang advokat adalah tugas yang terbit secara hukum (by the operation of law) dari suatu hubungan hukum yang menerbitkan hubungan fiduciary antara advokat dan kliennya, yang menyebabkan advokat berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang advokat mempunyai tanggung jawab moral dan hukum yang sangat tinggi terhadap kliennya, dan advokat haruslah setiap saat mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad


(37)

baik, loyalitas, dan kejujuran terhadap kliennya dengan derajat yang tinggi (high degree) dan tidak terbagi. Karena itu, advokat haruslah mengutamakan kepentingan kliennya melebihi dari kepentingan lain apa pun, termasuk melebihi kepentingan advokat itu sendiri. Jadi, kewajiban fiduciary dari advokat berhubungan bukan saja dengan kewajiban kepedulian (duty of care) yang mensyaratkan advokat memiliki kemampuan dan pengetahuan, tetapi mensyaratkan juga advokat untuk memiliki kewajiban berkepribadian, loyalitas, integritas, dan bersikap (conduct) yang bijaksana.18

Selain dalam proses peradilan, peran advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Selain tugas diatas, peran advokat dapat juga bersifat futuristik, yang berarti bahwa advokat itu ikut memikirkan dan memberikan sumbangan dalam strategi pembangunan hukum pada masa yang akan datang. Yang dimaksud dengan strategi pembangunan hukum adalah upaya dari kelompok sosial dalam suatu masyarakat untuk mengambil bagian dari pembentukan, penerapan dan

18


(38)

pelembagaan dalam proses politik. Peran ini disebut sebagai agent of development, yaitu untuk turut serta dalam pembangunan hukum (law development), pembaharuan hukum (law reform), dan pembuatan formulasi rumusan hukum (law shaping).19

Dalam pembangunan hukum (law development), advokat berperan untuk mendorong dan mengarahkan undang-undang dan perkembangan hukum kebiasaan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat yan berkembang ke arah modernisasi. Dalam peran ini advokat harus membuka mata terhadap perkembangan di sekitarnya agar mereka dapat menyumbangkan pikirannya dalam pembangunan hukum.20

Dalam pembaharuan hukum (law reform), advokat berperan untuk merombak dan memperbarui hukum yang tertulis sesuai dengan peradaban dan kemajuan kesadaran dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat. Dalam peran ini advokat harus siap untuk melakukan penggantian atau amandemen undang-undang yang telah ada.21

Dalam pembuatan dan penyusunan formulasi hukum (law shaping), advokat berperan untuk membuat dan menyusun formalisasi hukum dalam undang-undang dan hukum kebiasaan, secara tegas dan jelas untuk melindungi hak asasi manusia dan keadilan sosial.22

Berdasarkan hal diatas, advokat seharusnya dapat memberikan andil atau berbuat secara konket dalam menentukan arah perkembangan hukum nasional

19

V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm.22.

20

Ibid

21

Ibid, hlm.23.

22


(39)

yang disebut sebagai politik hukum, yang meliputi dua hal. Pertama adalah pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua adalah pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Hal ini terkait dengan jenis dan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa advokat dapat memberikan sumbangan pikiran pembentukan undang-undang sebagai bagian dari hukum.23

C. Kode Etik Profesi Advokat

Kode etik penting bagi profesi hukum karena profesi hukum merupakan suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama, serta memiliki izin untuk menjalankan profesi hukum. Apalagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama dan sama-sama memiliki monopoli atas keahlian di bidang hukum dan tentu saja tertutup bagi orang lain. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan diperkuat karena setiap klien merasa ada kepastian bahwa kepentingannya terjamin. Profesional hukum memberikan pengayoman dan rasa keadilan. Akibatnya, selain masyarakat mengetahui adanya hukum dan dapat memanfaatkan hukum, mereka pun merasa hukum adalah miliknya karena mereka merasa diayomi oleh hukum. Hukum pun

23


(40)

mendapat pengakuan dan legitimasi dari masyarakat. Dengan begitu, kesadaran hukum dan kepatuhan pada hukum akan eksis dalam masyarakat.24

Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian atau keterampilan. Etika Profesi adalah peraturan yang ditujukan kepada perseorangan yang menyandang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian atau keterampilan tertentu. Pasal 322 KUHP, terdapat kategori-kategori orang yang karena jabatan atau pekerjaan dianggap wajib menyimpan rahasia. Rahasia pekerjaan, jika wajib simpan rahasia pekerjaan dalam keadaan apa pun dan bagaimana pun wajib menyimpan rahasianya, maka rahasia pekerjaan itu rahasia mutlak (absolut). Sebaliknya rahasia pekerjaan relatif (nisbi) jika wajib simpan rahasia pekerjaan itu harus membuka rahasianya, maka harus dikorbankan kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan yang dilindungi oleh rahasia itu. Untuk sampai pada kesimpulan membuka rahasia itu bukan pekerjaan mudah, karena si wajib simpan rahasia itu akan mempertimbangkan mana yang hendak dikorbankan, yakni kepentingan yang lebih besar daripada yang dilindunginya.25

Setiap profesi, termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan displin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para profesional untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat dikarenakan setiap klien akan mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. Kode etik ibarat

24

Abdul Rahman, Diktat Etika Profesi Hukum, 2013, hlm.90.

25


(41)

kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Aspek kepercayaan antara profesional dan klien ini menjadi pokok utama kajian Daryl Koehn dalam bukunya berjudul The Ground of Professional Ethics. Daryl menekankan janji publik seorang profesional yang sepihak, tak bersyarat, untuk melayani tujuan khusus dari kelompok orang tertentu memberi landasan pada otoritas kaum profesional yang mengesahkan kekuasaan mereka untuk memulai dan melaksanakan atau memberi hak atas tindakan yang mengubah kehidupan demi kepentingan klien.26

Menurut Sumaryono pembentukan kode etik memiliki tujuan tersendiri, yaitu untuk :27

1. Sebagai sarana kontrol sosial

Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara anggota kelompok profesi dan masyarakat. Anggota kelompok profesi atau anggota masyarakat dapat melakukan kontrol melalui rumusan kode etik profesi, apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi.

26

Abdul Rahman, Op.Cit., hlm.43.

27

Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum (Bandung : Pt. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.78-79.


(42)

2. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain

Kode etik profesi telah menentukan standarisasi kewajiban profesional anggota kelompok profesi. Dengan demikian, pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya. Hubungan antara pengemban profesi dan masyarakat, misalnya antara advokat dan klien, antara dosen dan mahasiswa, antara dokter dan pasien, tidak perlu diatur secara detail dengan undang-undang oleh pemerintah, atau oleh masyarakat karena kelompok profesi telah menetapkan secara tertulis norma atau patokan tertentu berupa kode etik profesi.

3. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik

Kode etik profesi pada dasarnya adalah norma perilaku yang sudah dianggap benar atau yang sudah mapan dan tentunya akan lebih efektif lagi apabila norma perilaku tersebut dirumuskan sedemikian baiknya, sehingga memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan. Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi yang bersangkutan. Dengan demikian, kode etik dapat mencegah kesalahpahaman dan konflik, sebaliknya berguna sebagai bahan refleksi nama baik profesi. Kode etik profesi yang baik adalah yang dapat mencerminkan nilai moral anggota kelompok profesi sendiri dan pihak yang membutuhkan pelayanan profesi yang bersangkutan.

Ada dua hal penting yang harus dimiliki oleh seorang advokat, yaitu logika dan etika. Logika akan menuntun seorang advokat untuk memahami mana


(43)

yang benar dan mana yang salah, sedangkan etika akan menuntun seorang advokat sehingga ia akan mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk, oleh karena itu kedua hal tersebut harus dimiliki dan tidak dapat dipisahkan dari seorang advokat profesional. Setiap advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, seta setia dan menjunjung tinggi kode etik dan sumpah profesi, yang pelaksanaanya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap advokat, tanpa melihat dari organisasi profesi mana yang ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan sumpah profesinya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap kode etik advokat yang berlaku.28

Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang selain menjamin dan melindungi namun juga membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara, atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya sendiri.29

Berkaitan dengan kode etik setiap organisasi, tidak terkecuali organisasi advokat, selalu memiliki kode etik yang dibuat sedemikian baiknya dan dijadikan sebagai landasan bertindak dan berperilaku bagi mereka dalam menjalankan profesi tersebut. Pada dasarnya kode etik itu akan dijadikan sebagai hukum dasar dalam setiap organisasi dan oleh karenanya akan berfungsi sebagai pembebanan

28

Kelik Pramudy dan Ananto Widiatmoko, Op.Cit., hlm.97.

29


(44)

kewajiban kepada setiap anggotanya dan sekaligus pemberian perlindungan hukum.30

Kode etik yang berlakukan oleh organisasi advokat sekarang ini merupakan bagian tak terpisahkan dari UU Advokat. Kode etik advokat dimaksudkan untuk mengatur dan memberi kualitas kepada pelaksana profesi, untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi, serta untuk melindungi publik yang memerlukan jasa-jasa baik profesional. Kode etik merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan pengontrolan etos kerja anggota-anggota organisasi profesi.31

D. Fungsi Kode Etik Profesi Advokat

Sebenarnya kode etik tidak hanya berfungsi sebagai komitmen dan pedoman moral dari para pengemban profesi hukum ataupun hanya sebagai mekanisme yang dapat menjamin kelangsungan hidup profesi di dalam masyarakat. Pada intinya, kode etik berfungsi sebagai alat perjuangan untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perspektif ini pada umumnya berpengaruh pada sebagian advokat yang bergerak dalam bantuan hukum, khususnya bantuan hukum struktural. Oleh karena itu penekanan utama pandangan ini terhadap kode etik adalah bagaimana norma-norma etis di dalamnya dapat memberikan pedoman kepada seorang advokat untuk memperjuangkan hak-hak sosial yang berkemampuan untuk meningkatkan

30

Ibid

31


(45)

potensi survival golongan masyarakat lemah di tengah masyarakat yang kian kompleks dan penuh antagonisme.32

Subekti menilai bahwa fungsi dan tujuan kode etik adalah untuk menjunjung martabat profesi dan menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materil para anggotanya.33

Fungsi kode etik profesi advokat dapat dikelompokkan :34 1. Kode etik dalam hubungan dengan kepribadian advokat umumnya.

Seorang sarjana hukum setelah lulus ujian khusus keadvokatan maka dia lalu disumpah jabatan. Sumpah jabatan tersebut mencerminkan kepribadian advokat atau pengacara, kepribadian lainnya adalah advokat bersedia memberikan nasehat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan tanpa membedakan kedudukan, warna kulit, suku, agama, keturunan, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.

Advokat menjalankan tugasnya tidak semata-mata mencari imbalan materiil, tetapi terutama berjuang untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran dengan cara jujur dan bertanggung jawab.

Advokat tidak dibenarkan melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasannya, derajat, martabat advokat dan harus senantiasa menjunjung tinggi profesi advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile).

32

Advokat, http://bendalbendol.blogspot.com/2010/06/advokat.html (diakses pada tanggal 26 Februari 2015).

33 Haposan Naibaho, “Advokat dan Kode Etik”, http://haposanrendynaibaho.

blogspot.com/p/advokat.html (diakses pada tanggal 26 Februari 2015).

34


(46)

Advokat dalam menjalankan tugasnya harus bersikap dan sopan santun terhadap pejabat, penegak hukum, sesama advokat dan masyarakat, namun dia wajib mempertahankan hak dan martabat advokat di mimbar manapun juga. 2. Kode etik dalam hubungan advokat dan klien

Menjaga dan mempertahankan hubungan baik dengan klien adalah tugas utamanya seorang advokat. Karena di samping klien merupakan sumber penghasilan, profesi advokat juga merupakan jasa. Kepercayaan dari pencari keadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan itu sangat penting. Jangan sampai kepercayaan yang diberikan itu hilang hanya karena klien merasa diabaikan kepentingannya apalagi advokat menyalahgunakan kepercayaan klien.

Advokat wajib mengurus kepentingan klien terlebih dahulu daripada kepentingan pribadi advokat dan khususnya dalam menangani perkara-perkara perdata harus diutamakan menempuh jalan perdamaian. Kode etik juga tidak membenarkan seorang advokat memberikan janji-janji kepada klien bahwa perkaranya akan dimenangkan atau janji-janji lain yang bersifat memberikan harapan. Advokat hanya boleh menjanjikan bahwa perkaranya akan diurus sebaik-baiknya dengan mengarahkan segala daya kemampuannya guna memenangkan perkara. Kode etik juga melarang menentukan syarat-syarat guna membatasi hak-hak kliennya untuk menyerahkan pengurusan perkaranya kepada advokat lainnya. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinan tidak ada dasar hukumnya. Yang paling utama seorang advokat harus senantiasa memegang teguh rahasia jabatan tentang ikhwal yang dberitahukan kepadanya oleh klien


(47)

secara kepercayaan dan wajib menjaga rahasia itu meskipun telah berakhir hubungan advokat dan klien yang bersangkutan.

3. Kode etik dalam hubungan dengan rekan sejawat

Rekan sejawat adalah mereka yang bersama-sama menjalankan satu profesi yang sama dalam hal ini maksudnya adalah advokat lain, baik teman dalam kantor maupun di luar kantor. Sebagai sesama rekan sejawat, advokat harus dengan kesejawatan berdasarkan sikap menghargai dan saling mempercayai, baik dalam tutur kata dan tulisan maupun tindakan harus berdasarkan sopan santun. Apabila terdapat perbedaan pendapat itu adalah hal yang wajar dalam urusan kepengacaraan asal diajukan dengan rasa hormat menghormati dan menghargai alasan satu dengan lainnya.

Keberatan atas perilaku rekan sejawat yang dianggap bertentangan dengan kode etik, harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa. Seorang advokat juga tidak diperkenankan untuk menarik seorang klien dari rekan sejawat. Apabila klien hendak berganti advokat, maka advokat yang baru dipilih hanya dapat menerima perkara setelah mendapat keterangan dari advokat yang lain bahwa klien telah memenuhi semua kewajiban terhadapnya termasuk honorarium.

4. Kode etik dalam bertindak menangani perkara

Surat menyurat antara rekan sejawat di dalam suatu perkara pada umumnya tidak dapat dibenarkan untuk ditunjukkan kepada hakim, kecuali dianggap perlu untuk menunjukkan itikad buruk dari pihak lawan. Surat-surat


(48)

yang dibubuhi dengan catatan “Sans Prejudice” sama sekali tidak dibenarkan ditunjukkan kepada hakim.

Ketika suatu perkara sedang berjalan di muka pengadilan, advokat hanya dapat menghubungi hakim bersama-sama advokat pihak lawan dan dalam menyampaikan surat menyurat tersebut advokat pihak lawan diberikan tebusan. Advokat tidak diperkenankan menambah catatan-catatan pada berkas di dalam maupun didalam sidang meskipun hanya bersifat “ad-informandum” atau keterangan tambahan, jika hal itu tidak diberitahukan terlebih dulu kepada advokat pihak lawan dengan memberikan waktu yang layak, sehingga rekan sejawat tersebut dapat mempelajari catatan yang bersangkutan.

Jika advokat mengetahui bahwa seseorang mempunyai advokat, maka hubungan dengan orang tersebut mengenai perkara seseorang tertentu, hanya dapat dilakukan melalui advokat yang bersangkutan dan jika harus berbicara dengan klien dari seorang rekan sejawat tentang soal lain, maka ia tidak dibenarkan menyinggung atau mengkaitkan dengan perkara dalam mana klien tersebut dibantu oleh rekan sejawat yang bersangkutan.

5. Kode etik dalam hubungan advokat terhadap hukum/undang-undang, kekuasaan umum dan para pejabat pengadilan

Pada lafal sumpah jabatan advokat, terdapat kewajiban seorang advokat untuk menghormati kekuasaan umum, badan peradilan dan pejabat lainnya. Sikap atau tindakan jika tidak menghormati badan peradilan dan para pejabatnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan melecehkan atau lazin dinamakan sebagai “Contempt of Court”.


(49)

Rakernas Mahkamah Agung Tahun 1986 mengelompokkan perbuatan advokat yang dapat dianggap sebagai Contempt of Court :35

1. Secara lisan atau tertulis telah mengeluarkan pernyataan atau pendapat yang merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana;

2. Memperlihatkan sikap yang tidak hormat terhadap majelis pengadilan atau pejabat peradilan lainnya;

3. Mengabaikan kepentingan dari si peminta bantuan hukum;

4. Menggunakan kata-kata yang tidak pantas terhadap undang-undang atau pemerintah.;

5. Bertingkah laku dan berbuat yang tidak layak terhadap pihak-pihak yang berperkara atau pembelanya.

E. Cara Penegakan Kode Etik Advokat

Sama halnya dengan penegakan hukum adalah penegakan kode etik. Penegakan kode etik adalah usaha melaksanakan kode etik sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya supaya tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan kode etik yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali. Karena kode etik adalah bagian dari hukum positif, maka norma-norma penegakan hukum undang-undang juga berlaku pada penegakan kode etik advokat.36

Supaya kode etik profesi dapat berfungsi sebagai mana mestinya, maka paling tidak ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kode etik itu harus

35

Ropaun Rambe, Op.Cit., hlm.49-50.

36


(50)

dibuat oleh profesi itu sendiri. Kode etik tidak akan efektif, apabila di drop begitu saja dari atas, dari instansi pemerintah atau instansi lain, karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Instansi luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barangkali bisa membantu juga dalam merumuskannya, tetapi pembuatan itu sendiri harus dilakukan oleh profesi itu sendiri. Supaya bisa berfungsi dengan baik, kode etik harus menjadi self-regulation (pengaturan diri) dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi itu sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Kedua, syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terus-menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan kepada pelanggar kode etik. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, sering kali kode etik berisikan juga ketentuan bahwa profesional berkewajiban melapor, bila ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Namun demikian, dalam praktek kontrol ini kerap kali tidak berjalan dengan mulus. Karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam setiap anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melanggar.37

Penegakan kode etik advokat perlu dilakukan agar dapat berfungsi dengan baik dan efektif, karena itu harus ada badan atau alat yang bertugas membina dan mengawasinya. Dalam suatu organisasi advokat untuk hal pengawasan tersebut biasanya ditugaskan kepada suatu badan atau dewan kehormatan profesi. Badan

37


(51)

ini selain menjaga aturan kode etik profesi itu dipatuhi seluruh anggota, juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penertiban atau tindakan yang bersifat administratif terhadap anggota-anggotanya yang melanggar kode etik profesi tersebut. Tindakan yang bersifat administratif ini dapat berupa hukuman yang paling ringan seperti teguran dan mungkin saja berupa hukuman yang paling berat seperti pemecatan dari keanggotaan organisasi advokat, hukuman yang dijatuhkan ini ditentukan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan advokat tersebut.38

Namun, tindakan administratif yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidaklah selalu efektif, bila anggota yang telah dikenakan sanksi administratif tidak mau secara sukarela mentaatinya lalu kemudian pindah menjadi anggota advokat lainnya. Hal ini merupakan kelemahan umum organisasi profesi advokat Indonesia. Selain itu, ada juga kelemahan lain seperti pada advokat yang melanggar kode etik profesi, apabila advokat tersebut tidak masuk kedalam suatu organisasi atau Asosiasi Advokat maka Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak dapat menjangkau atau mengambil tindakan administratif terhadap advokat yang bukan merupakan anggotanya.39

Dari kelemahan itu, maka Dewan Kehormatan Organisasi Advokat menyadari bahwa pengawasan yang dilakukan tidaklah efektif. Hal itu menyebabkan pembuat undang-undang memberikan kekuasaan dan kewenangan

38

Ibid, hlm.51.

39


(1)

advokat terbukti melaksanakan profesinya tidak didasarkan dengan itikad baik maka ia dapat dihukum karena telah melanggar kode etik profesi advokat dan UU Advokat. Apalagi jika ada advokat yang terbukti berperan sebagai gatekeeper yang membantu kliennya melakukan tindak pidana pencucian uang dengan modus penetapan honorariumnya maka ia telah melanggar itikad baik profesinya dan tidak ada lagi keraguan bagi penyidik maupun penuntut umum untuk menuntut dan menjatuhkan hukuman kepada advokat karena telah melanggar ketentuan UU PPTPPU bahkan izin advokat tersebut dapat dicabut.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dan kesimpulan diatas adalah:

1. Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang harus segara menyusun amandemen baru terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, dimana terdapat benturan norma terkait dengan akibat hukum bagi advokat yang menerima honorarium hasil tindak pidana pencucian uang. Seharusnya terdapat pengaturan batas jumlah honorarium bagi advokat yang membela kliennya, apalagi bagi klien yang merupakan tersangka atau terdakwa tindak pidana pencucian. Hal ini dilakukan untuk mencegah pemberian honorarium yang batas jumlahnya tidak diatur jelas oleh UU Advokat dijadikan sebagai sarana pencucian uang.


(2)

2. PPATK dan organisasi profesi advokat harus mengadakan pembahasan bersama mengenai solusi hukum terbaik terhadap penerimaan honorarium advokat yang merupakan hasil tindak pidana pencucian uang agar tidak ada lagi kekosongan hukum yang dapat menyebabkan penetapan honorarium advokat dijadikan sebagai sarana pencucian uang.

3. PPATK harus sesegera mungkin menerapkan Rekomedasi FATF atau yang lebih dikenal dengan 40+9 Rekomendasi FATF yang sudah banyak diterapkan di negara-negara lain dalam usaha dunia internasional untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian. Langkah pertama yang dapat diterapkan PPATK adalah dengan mewajibkan profesi yang berpotensi sebagai gatekeeper menjadi pihak yang wajib melaporkan transaksi yang mencurigakan. Dikarenakan di negara-negara seperti Perancis, Romania, Kanada, Belgia, Belanda, Spanyol, Italia, dan Australia, pihak pelapor yang wajib menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) telah diperluas hingga mencakup profesi (profession) dan penyedia barang dan jasa (designated non-financial business).


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Darwin, Philips. Money Laundering Cara Tepat Memahami Dengan Tepat dan Benar Soal Pencucian Uang. Jawa Timur : Sinar Ilmu, 2012. Fuady, Munir. Profesi Mulia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005. Gunawan, Andri. membatasi transaksi tunai Peluang dan Tantangan.

Jakarta: Indonesian Legal Roundtable, 2013.

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2008.

Jahja, H. Juni Sjafrien. Melawan Money Laundering!. Jakarta: Visimedia, 2012.

Mannan, Bagir. Peran Advokat Mewujudkan Peradilan Yang bersih dan Berwibawa. Jakarta: IKAHI, 2005.

Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Bandung : Pt. Citra Aditya Bakti, 2001.

Nasution, Bismar. Rezim Anti Money Laundering. Bandung: Books Terrance & Library, 2005.

Pramudy, Kelik dan Widiatmoko, Ananto. Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2010.

Rahman, Abdul. Diktat Etika Profesi Hukum, 2013.

Rambe, Ropaun,. Teknik Praktek Advokat. Jakarta: PT Grasindo, 2001. S, Tb. Irman. Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering.

Jakarta: CV Ayyccs Group, 2005.

Sarmadi, H. A. Sukris. Advokat Litigasi & Non Litigasi Pengadilan Menjadi Advokat Indonesia kini. Bandung: Cv. Mandar Maju, 2009.

Siahaan, N.H.T,. Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.


(4)

Sinaga, V. Harlen. Dasar-dasar Profesi Advokat. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011.

Supriadi. Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2006.

Sutedi, Adrian. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Kode Etik Profesi Advokat

C. Website

Advokat. http://bendalbendol.blogspot.com/2010/06/advokat.html (diakses pada tanggal 26 Februari 2015).

Apa itu egmontgroup?. http://www.egmontgroup.org/about/ (diakses pada tanggal 18 Februari 2015).

Becty, Irenna. “Tinjauan Kode Etik Advokat”

,http://hukum.bunghatta.ac.id/ tulisan.php?dw.7 (diakses pada tanggal 01 Februari 2015).

Laundering the Proceeds of Corruption Report July 2011. http://www.fatf-gafi.org (diakses pada tanggal 5 Februari 2015).

Muktiadi, Apriarto. “Ada ide pengacara, notaris, akuntan publik jadi

pihak pelapor pencucian uang”,

http://gresnews.com/berita/hukum/931297-ada-ide-pengacara-notaris-akuntan-publik-jadi-pelapor-pencucian-uang-bagaimana (diakses pada tanggal 28 Februari 2015).


(5)

Naibaho, Haposan. “Advokat dan Kode Etik”, http://haposanrendynaibaho .blogspot.com/p/advokat.html (diakses pada tanggal 26 Februari 2015).

Noor, Azamul Fadhl, “Latar Belakang Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010”, https://azamul.wordpress.com/2014/05/19/latar-belakang-pasal-4-uu-nomor-8-tahun-2010/ (diakses tanggal 6 Februari 2015).

Pengenalan Anti Pencucian Uang Dan Terorisme. http://elearning.ppatk.go.id/

pluginfile.php/125/mod_page/content/8/Mod%201%20-%20Bag% %20-%20Tipologi%20Pencucian%20Uang.pdf (diakses pada tanggal 1 Februari 2015).

Refki Saputra, “Catatan Kritis Terhadap “Gugatan” Akil Mochtar Dalam Uji Materi UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”, http://www.ilr.or.id/wp-content/uploads/2014/09/ Briefing-Paper- Catatan-Kritis-Gugatan-Akil-Mochtar-Dalam-Uji-Materi-UU-No.-8-Tahun-2010.pdf (diakses pada tanggal 10 Februari 2015).

Rekomendasi FATF 40+9. http://www.ppatk.go.id/files/40dan9 RekomendasiFATF0.pdf (diakses pada tanggal 15 Februari 2015) Revisi UU Tindak Pidana Pencucian Uang mewajibkan kantor advokat

melaporkan transaksi keuangannya ke PPATK. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16082/advokat-harus-melaporkan-transaksi-keuangannya (diakses pada tanggal 13 Februari 2015).

Revisi UU Tindak Pidana Pencucian Uang mewajibkan kantor advokat melaporkan transaksi keuangannya ke PPATK. Sebagian advokat menganggap tugas PPATK sudah keluar jalur, bertentangan dengan kerahasiaan klien. http://www.hukumonline.com/berita/baca/ hol16082/advokat-harus-melaporkan-transaksi-keuangannya

(diakses pada tanggal 13 Februari 2015).

Saktiryan, “Pihak Pelapor Baru Rezim Anti-Pencucian Uang” (New

Reporting Parties),

https://saktiryan.wordpress.com/2014/09/01/pihak-pelapor-baru-rezim-anti-pencucian-uang-new-reporting-parties/ (diakses pada tanggal 7 Maret 2015).

Setiyono, “Kajian Yuridis Mengenai Hak Imunitas Advokat”,


(6)

Sjahdeini, Sutan Remy. “Kerugian Negara Akibat Pencucian Uang”. http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/pencucian-uang /97-kerugian-negara-akibat-pencucian-http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/pencucian-uang (diakses pada tanggal 3 Februari 2015).

Subandi, Imam. Menjerat Sang Advokat, http://koran.tempo.co/konten /2012/09/18/286268/Menjerat-Sang-Advokat (diakses pada tanggal 3 Februari 2015).

Winata, Frans Hendra. Citra Advokat Sebagai Officium Nobile dan

Peranan Organisasi Advokat,

http://variaadvokat.awardspace.info/vol6/ frans.pdf (diakses pada tanggal 01 Februari 2015).


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Yang Digunakan Sebagai Sarana Praktik Pencucian Uang (Money Laundering

11 118 114

Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Perbankan Dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

0 92 94

Tinjauan Hukum Asas Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)”

1 93 112

Analisis Yuridis Tentang Penentuan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 66 142

Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 82 117

Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK ) Dalam Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

0 49 145

Analisis Yuridis Tindak Pidana Narkoba Sebagai Predicate Crime On Money Laundering

1 63 125

BAB II KODE ETIK PROFESI ADVOKAT DI INDONESIA A. Pengertian Advokat - Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Yang Digunakan Sebagai Sarana Praktik Pencucian Uang (Money Laundering

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Yang Digunakan Sebagai Sarana Praktik Pencucian Uang (Money Laundering

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Perbankan Dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

0 0 25