Amidasi Senyawa Etil p-metoksisinamat Melalui Reaksi Langsung dengan Iradiasi Microwave Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi

(1)

Amidasi Senyawa Etil

p-metoksisinamat Melalui Reaksi

Langsung dengan Iradiasi

Microwave

Serta Uji Aktivitas

Sebagai Antiinflamasi

SKRIPSI

MUHAMMAD REZA

NIM: 1111102000120

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

APRIL 2015


(2)

Amidasi Senyawa Etil

p-metoksisinamat Melalui Reaksi

Langsung dengan Iradiasi

Microwave

Serta Uji Aktivitas

Sebagai Antiinflamasi

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

MUHAMMAD REZA

NIM: 1111102000120

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

APRIL 2015


(3)

Skripsi ini adalah benar hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan benar.

Nama : Muhammad Reza

NIM : 1111102000120

Tanda Tangan :


(4)

Nama : Muhammad Reza

NIM : 1111102000120

Program Studi : Strata-1 Farmasi

Judul Skripsi : Amidasi Senyawa Etil p-metoksisinamat Melalui Reaksi Langsung dengan Iradiasi Microwave Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi

Disetujui Oleh:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. NIP. 197806302006042001

Yardi, Ph.D., Apt. NIP. 197411232008011014 Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(5)

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Muhammad Reza

NIM : 1111102000120

Program Studi : Strata-1 Farmasi

Judul Skripsi : Amidasi Senyawa Etil p-metoksisinamat Melalui Reaksi Langsung dengan Iradiasi Microwave Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Pengujidan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasipada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1 : Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. ( )

Pembimbing 2 : Yardi, Ph.D., Apt. ( )

Penguji 1 : Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. ( )

Penguji 2 : Lina Elfita, M.Si., Apt. ( )

Ditetapkan di : Ciputat Tanggal : April 2015


(6)

Nama : Muhammad Reza Program Studi : Strata-1 Farmasi

Judul Skripsi : Amidasi Senyawa Etil p-metoksisinamat Melalui Reaksi Langsung dengan Iradiasi Microwave Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi

Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan senyawa yang terkandung dalam Kencur (Kaempferia galangaLinn.) yang memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi. Modifikasi struktur EPMS melalui amidasi dapat meningkatkan aktivitas antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan struktur aktivitas senyawa amida turunan EPMS terhadap antiinflamasi. Amidasi EPMS dilakukan dengan mereaksikannya dengan etanolamin dan dietanolamin dengan perbandingan 5 mmol:10 mmol. Hasil amidasi EPMS dengan etanolamin menghasilkan N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dengan rendemen 61,32% dan amidasi EPMS dengan dietanolamin menghasilkan N,N-bis-(hidroksietil) -

p-metoksi sinamamida dengan rendemen 92,62%. Pengujian aktivitas antiinflamasi dilakukan secara in vitro menggunakan metode inhibisi denaturasi BSA dan didapatkan hasil bahwa aktivitas N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dan

N,N-bis-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida lebih besar dibandingkan dengan EPMS. Hal ini menujukkan bahwa adanya gugus amida pada EPMS dapat meningkatkan aktivitas antiinflamasi.

Kata kunci : etilp-metoksisinamat, amidasi, etanolamin, dietanolamin,


(7)

Name : Muhammad Reza Study Program : Bachelor of Pharmacy

Titlel : The Amidation Process of Ethyl p-metoxycinnamate Using Microwave Irradiation Method and Determination of Anti-inflammatory Activity

Ethyl p-metoxycinnamate (EPMC) is a compound which is contained in Kencur (Kaempferia galangal Linn.) which has anti-inflammatory activity. The EMPC structural modification through amidation process can increased the anti-inflammatory activity. The aims of this study were to determine the structure activity relationship of EPMC amides derivative to the anti-inflammatory activity. The amidation process of EPMC has been done by treatment using ethanolamine and diethanolamine with the ratio concentration of 5 mmol:10 mmol, respectively. The result showed that the amidation of EPMC using ethanolamine produced N-(hydroxyethyl)-p-metoxycinnamamide with a yield of 61.32% while diethanol-amine produced N,N-bis-(hydroxyethyl)-p-metoxycinnamamide with a yield of 92.62%. The anti-inflammatory activity performed in in vitro using the inhibiton denaturation process of Bovine Serum Albumin (BSA) method and showed that N-(hydroxyethyl)-p-metoxycinnamamide and N,N-bis-(hydroxyethyl)-

p-metoxycinnamamide has a higher activity than EPMC. This shows that the amide group on EPMC can increase the anti-inflammatory activity.

Keywords : Ethyl-p-metoxycinnamate, amidation, ethanolamine, diethanolamine, Bovine Serum Albumin


(8)

kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan skripsi yang berjudul “Amidasi Senyawa Etilp-metoksisinamat Melalui Reaksi Langsung dengan Iradiasi Microwave Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:

1. Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. dan Yardi, Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, waktu, tenaga, saran, dan dukungan dalam penelitian ini.

2. Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt., selaku Kepala Program Studi Farmasi dan Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt., selaku Sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak motivasi, bantuan, serta ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis.

4. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt., dan Lina Elfita, M.Si., Apt., selaku dewan penguji yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan dukungan dalam penelitian ini.

5. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis.

6. Kedua orang tua, ayahanda tersayang Mul Agustus dan ibunda tercinta Siti Hasanah yang selalu memberikan kasih sayang, doa yang tak pernah terputus dan dukungan baik moril maupun materil. Tak ada satu hal pun di dunia ini yang dapat membalas semua kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang telah kalian


(9)

penulis tercinta.

7. Kepada abangku Ahmad Yani, S.S., dan kakakku Dewi Mardasari, S.Pdi., tersayang yang selalu memberikan arahan dan semangat. Kedua adikku tersayang, Adinda Amalia Silmina dan Izzah Amalina yang selalu memberikan semangat dan doa hingga penelitian ini berjalan dengan lancar.

8. Seluruh keluarga besar Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan, dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan yang amat besar.

9. Syarifatul Mufidah, yang telah memberikan ilmu, pengalaman dan bimbingan dalam melaksanakan penelitian ini, serta Aziz Iqbal Iraqia, Rhesa Ramdhan dan Muhammad Haidar Ali atas segala pengertian, semangat, perhatian, dan bantuannya.

10. Dan tak lupa kepada Gina Kholisoh yang telah memberikan dukungan, semangat dan doanya sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar.

11. Teman-teman Program Studi Farmasi Angkatan 2011 yang telah memberi banyak semangat dan kebersamaannya, terimakasih atas kerjasama dalam penelitian ini.

12. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu farmasi pada khususnya. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.

Ciputat, April 2015


(10)

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Reza

NIM : 1111102000120

Program Studi : Strata-1 Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul:

AMIDASI SENYAWA ETILP-METOKSISINAMAT MELALUI REAKSI LANGSUNG DENGAN IRADIASIMICROWAVE SERTA UJI AKTIVITAS

SEBAGAI ANTIINFLAMASI

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain, yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat Pada Tanggal : April 2015

Yang Menyatakan,


(11)

Hal

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

ABSTRAK... v

ABSTRACT... vi

KATA PENGANTAR... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR ISTILAH... xv

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 4

1.5. Hipotesis... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1. Senyawa Etilp-metoksisinamat (EPMS)... 5

2.2. Amida... 6

2.3. Reaksi Pembuatan Amida... 7

2.4. Perkembangan Amidasi pada AINS... 9

2.5. Etanolamin... 10

2.6. Dietanolamin... 11

2.7. IradiasiMicrowave... 12

2.7.1. Prinsip Dasar Mekanisme Reaksi dengan Metode Iradiasi Microwave... 12

a. Mekanisme secara polarisasi dipolar... 12

b.Mekanisme secara konduksi... 13

2.7.2. Pengaruh IradiasiMicrowaveterhadap Laju Reaksi... 13

2.8. Identifikasi... 14

2.8.1. Kromatografi... 14

a. Kromatografi Lapis Tipis... 14

b. Kromatografi Gas... 17

2.8.2. Spektrofotometri... 18

a. Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red)... 18

b. Spektrofotometri UV-Vis... 20

c. Spektrofotometri Resonansi Magnetik ... 21

2.9. Inflamasi... 22

2.9.1.Pengertian Inflamasi... 22

2.9.2.Mekanisme Terjadinya Inflamasi... 23


(12)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN... 28

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 28

3.1.1. Tempat... 28

3.1.2. Waktu... 28

3.2. Alat dan Bahan... 28

3.2.1. Alat... 28

3.2.2. Bahan... 28

3.3. Prosedur Penelitian... 29

3.3.1. Amidasi Etilp-metoksisinamat... 29

3.3.2. Identifikasi Senyawa... 29

3.3.3. Pembuatan Reagen untuk Uji Antiinflamasi... 30

3.3.4. UjiIn vitroAntiinflamasi... 31

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 32

4.1. Amidasi Etilp-metoksisinamat... 32

4.1.1. Reaksi Amidasi dengan Etanolamin... 33

4.1.2. Reaksi Amidasi dengan Dietanolamin... 35

4.2. Identifikasi Senyawa Hasil Amidasi... 36

4.2.1. Senyawa A... 38

4.2.2. Senyawa B... 42

4.3. Pengujian Aktivitas Antiinflamasi dan Hubungan Struktur Aktivitas Senyawa Hasil Modifikasi... 47

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN... 50

5.1. Kesimpulan... 50

5.2. Saran... 50

DAFTAR PUSTAKA... 51


(13)

Hal

Gambar 2.1 Etilp-metoksisinamat... 5

Gambar 2.2 Jalur asam sikimat dalam biosintesa fenilpropanoid untuk menghasilkan etilp-metoksisinamat... 6

Gambar 2.3 Struktur umum amida... 6

Gambar 2.4 Reaksi umum sintesis pembentukan amida... 7

Gambar 2.5 Reaksi pembentukan amida... 8

Gambar 2.6 Reaksi umum sinteis pembentukan amida melalui iradiasi microwave... 9

Gambar 2.7 Reaksi amidasi asam karboksilat dengan urea melalui iradiasi microwave... 9

Gambar 2.8 Struktur senyawa etanolamin... 10

Gambar 2.9 Struktur senyawa dietanolamin...11

Gambar 2.10Pergerakan molekul dipolar teradiasimicrowave... 13

Gambar 2.11Mekanisme konduksi partikel bermuatan teradiasimicrowave.. 13

Gambar 2.12Skema kromatografi lapis tipis...17

Gambar 2.13Alur mediator yang berasal dari asam arakidonat dan tempat kerja obat...24

Gambar 4.1 Mekanisme amidasi etilp-metoksisinamat dengan etanolamin dan dietanolamin...33

Gambar 4.2 Reaksi amidasi etilp-metoksisinamat dengan etanolamin...34

Gambar 4.3 KLT senyawa hasil amidasi etanolamin (Senyawa A)... 34

Gambar 4.4 Reaksi amidasi etilp-metoksisinamat dengan dietanolamin... 35

Gambar 4.5 KLT senyawa hasil amidasi dietanolamin (Senyawa B)...36

Gambar 4.6 KLT senyawa dengan eluen etil asetat:metanol perbandingan 9:1 (visualisasi UV λ 245 nm)... 37

Gambar 4.7 Pola fragmentasi massa senyawa A... 39

Gambar 4.8 (a) Struktur senyawa A; (b) Struktur etilp-metoksisinamat... 40

Gambar 4.9 Pola fragmentasi massa senyawa B...44

Gambar 4.10(a) Struktur senyawa B; (b) Struktur etilp-metoksisinamat... 44

Gambar 4.11Bagan persentase inhibisi etilp-metoksisinamat dan senyawa turunannya...48


(14)

Hal Tabel 4.1 Daftar daerah spektrum IR senyawa A...39

Tabel 4.2 Data pergeseran kimia (δ) spektrum1H NMR senyawa A

(CD3OD, 500 MHz)...40

Tabel 4.3 Data pergeseran kimia (δ) spektrum13C NMR senyawa A

(CD3OD, 500 MHz)...41

Tabel 4.4 Daftar daerah spektrum IR senyawa B... 43

Tabel 4.5 Data pergeseran kimia (δ) spektrum1H NMR senyawa B

(CD3OD, 500 MHz)...45

Tabel 4.6 Data pergeseran kimia (δ) spektrum13C NMR senyawa B

(CD3OD, 500 MHz)...46

Tabel 4.7 Hasil uji antiinflamasi natrium diklofenak dan senyawa


(15)

Lampiran 1 Kerangka Penelitian... 57

Lampiran 2 Identifikasi Etilp-metoksisinamat...58

Lampiran 3 Hasil Optimasi Metode Reaksi Amidasi... 63

Lampiran 4 Tabel Hasil Uji Antiinflamasi... 65

Lampiran 5 Perhitungan Reaksi...66

Lampiran 6 Dokumentasi...67

Lampiran 7 Spektrum IR Senyawa A... 71

Lampiran 8 Spektrum GCMS Senyawa A...72

Lampiran 9 Spektrum1H NMR Senyawa A...74

Lampiran 10Spektrum13C NMR Senyawa A...77

Lampiran 11Spektrum IR Senyawa B... 80

Lampiran 12Spektrum GCMS Senyawa B...81

Lampiran 13Spektrum1H NMR Senyawa B... 83


(16)

AINS :Anti Inflamasi Non Steroid

BSA :Bovine Serum Albumin COX :Siklooksigenase

g :gram

GCMS :Gas Chromatography Mass Spectrofotometry IC :Inhibitor Concentration

IR :Infra Red

KLT :Kromatografi Lapis Tipis

NMR :Nuclear Magnetic Resonance UV :Ultra Violet


(17)

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia. Keanekaragaman hayati Indonesia terdiri atas 25.000-30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia dan 90% dari jenis tanaman asia, dimana sekitar tujuh ribu spesies tanaman di Indonesia digunakan masyarakat sebagai obat (Pramono E, 2002). Disisi lain berdasarkan pemetaan riset yang dilakukan oleh Dewan Riset Nasional tahun 2006 – 2007 untuk bidang kesehatan dan obat menunjukkan bahwa aktivitas riset yang paling tinggi adalah riset obat alami dari senyawa aktif alam (Menteri Kesehatan RI, 2013). Keanekaragaman hayati dan banyaknya riset di bidang bahan obat alami akan mendorong perkembangan industri bahan baku obat alami.

Salah satu tanaman di Indonesia yang berpotensi sebagai obat adalah kencur (Kaempferia galanga L.). Kencur termasuk ke dalam famili Zingiberaceae dan merupakan tanaman asli india yang penyebarannya sudah memasuki kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Rimpang kencur secara empiris telah dimanfaatkan dalam mengobati berbagai penyakit seperti radang lambung, radang anak telinga, influenza pada bayi, masuk angin, sakit kepala, batuk, memperlancar haid, mata pegal, keseleo, diare, menghilangkan darah kotor dan mengusir lelah (Al-Fattah, 2011).

Penelitian sebelumnya telah melaporkan mengenai aktivitas kencur, diantaranya adalah aktivitas ekstrak etanol kencur sebagai penyembuh luka (Tara et al, 2006), aktivitas ekstrak minyak atsiri kencur sebagai antibakteri dan antifungi (Tewtrakulet al,2005), aktivitas ekstrak etanol kencur sebagai analgesik dan antiinflamasi (Vittalro et al, 2011), dan aktivitas kencur sebagai antioksidan (Mekseepralard, 2010).

Kandungan metabolit sekunder dalam ekstrak rimpang kencur diantaranya adalah Beta-sitosterol (9,88%), asam propionat (4,71%), pentadekan (2,08%), asam tridekanoat (1,81%), 1,21-docosadiene(1,47%)


(18)

dan etil p-Metoksisinamat (80,05%) (Umar et al, 2012). Senyawa etil

p-metoksisinamat merupakan senyawa potensial sebagai bahan dasar sintesa untuk turunan sinamat karena memiliki gugus fungsi ester yang sangat reaktif sehingga mudah ditransformasikan dengan gugus fungsi lainnya seperti gugus amina. Transformasi gugus fungsi ester menjadi gugus fungsi amida dapat dilakukan dengan mereaksikan langsung dengan pereaksi senyawa amina seperti etanolamin pada kondisi tertentu (Barus, 2009).

Dalam penelitian Umaret al, menyatakan bahwa etil p-metoksisinamat menghambat aktivitas COX-1 (42,9%) dan COX-2 (57,82%), dengan masing-masing nilai lC50 1,12 µM dan 0,83 µM. Dengan demikian

membuktikan bahwa aktivitas kencur sebagai antiinflamasi dihasilkan dari penghambatan COX-1 dan COX-2.

Penggunaan antiinflamasi non steroid memiliki kelemahan, salah satunya adalah kurang selektif dalam menghambat COX-1 dan COX-2 dengan efek samping iritasi gastrointestinal dan ulserasi (P. K. Moore et al, 2000; Nazeruddin G. M. et al, 2010). Oleh karena itu, dikembangkan desain modifikasi obat senyawa antiinflamasi dengan subtitusi gugus amina. Dimana dari beberapa penelitian menyatakan bahwa pengembangan obat dengan subtitusi gugus amina pada obat antiinflamasi non steroid dapat meningkatkan analgesik, gastroprotektif dan aktivitas antiinflamasi (Kumar

et al, 2010). Efek gastroprotektif meningkat karena kecenderungan obat antiinflamasi non steroid mengalami proses hidrolisis pada bagian usus kecil (Rakeshet al, 2010).

Untuk mengeksplorasi hubungan struktur terhadap aktivitas senyawa etil p-metoksisinamat sebagai agen antiinflamasi, maka akan dilakukan penelitian tentang pengaruh subtitusi gugus amina pada struktur ester. Penelitian akan dilakukan dengan melihat hubungan struktur terhadap aktivitas antiinflamasi produk amidasi senyawa etilp-metoksisinamat.

Beberapa penelitian telah dilakukan terkait modifikasi struktur senyawa etil p-metoksisinamat dengan subtitusi gugus amina, diantaranya modifikasi struktur etil p-metoksisinamat melalui proses amidasi dengan etanolamin (Barus, 2009) dan amidasi dengan dietanolamin (Bangun, 2011).


(19)

Pada penelitian tersebut metode amidasi konvensional yang dilakukan memiliki banyak kekurangan seperti waktu reaksi yang lama, serta bahan dan alat yang digunakan banyak. Selain itu pada penelitian tersebut belum dilakukan uji aktivitas antiinflamasi. Sehingga menarik untuk dikembangkan proses amidasi melalui rekasi langsung dengan iradiasi microwave (Ferroud

et al, 2008; Khalafiet al, 2003) serta uji aktivitas antiinflamasi dari senyawa hasil amidasi tersebut. Proses sintesis kimia organik dengan menggunakan iradiasi microwave memiliki kelebihan seperti waktu reaksi lebih cepat, produk lebih bersih, selektivitas lebih tinggi, dan hasil yang lebih baik (Bhuiyan, 2011).

Dalam penelitian ini, uji aktivitas antiinflamasi menggunakan metode penghambatan denaturasi protein secara in vitro dengan Bovine Serum Albumin (BSA). Uji ini dipilih karena sederhana, mudah, memerlukan sedikit sampel dan analisanya cepat. Denaturasi protein pada jaringan adalah salah satu penyebab penyakit inflamasi dan artritis. Produksi dari antigen-auto pada penyakit artritis dapat mengakibatkan denaturasi protein secara

in vivo. Oleh karena itu, penggunaan suatu agen tertentu yang bisa mencegah denaturasi protein akan bermanfaat dalam pengembangan obat antiinflamasi (Chatterjee et al., 2012).

1.2. Rumusan Masalah

a. Apakah amidasi senyawa etil p-metoksisinamat dapat dilakukan melalui reaksi langsung dengan iradiasimicrowave?

b. Bagaimana hubungan struktur aktivitas antiinflamasi senyawa yang dihasilkan dari amidasi etilp-metoksisinamat?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Melakukan amidasi senyawa etil p-metoksisinamat melalui reaksi langsung dengan iradiasimicrowave.

b. Mengetahui hubungan struktur aktivitas antiinflamasi senyawa hasil dari proses amidasi etilp-metoksisinamat.


(20)

1.4. Hipotesis

a. Amidasi etil p-metoksisinamat melalui reaksi langsung dengan iradiasi

microwave akan merubah gugus ester pada etil p-metoksisinamat menghasilkan senyawa turunan yang mengandung gugus amida.

b. Penambahan gugus amida pada senyawa etil p-metoksisinamat akan mempengaruhi aktivitas sebagai agen antiinflamasi.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Mendapatkan senyawa turunan etil p-metoksisinamat yang mengandung gugus amida yang diharapkan dapat memberikan informasi baru mengenai hubungan struktur senyawa etil p-metoksisinamat terhadap aktivitas antiinflamasi.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses amidasi senyawa etil p-metoksisinamat melalui reaksi langsung dengan iradiasi microwave dan uji aktivitas antiinflamasi dari senyawa tersebut.


(21)

2.1. Senyawa Etilp-metoksisinamat (EMPS)

Etil p-metoksisinamat atau C12H14O3 termasuk turunan asam sinamat,

dimana asam sinamat adalah turunan senyawa fenil propanoat. Senyawa EPMS berbentuk kristal putih kekuningan, memiliki aroma yang khas, mempunyai berat molekul 206 g/mol dan titik leleh 47-52oC (Mufidah,

2014). Senyawa EPMS merupakan golongan senyawa ester yang mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polar. Sehingga dalam ekstraksinya dapat menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat, metanol, air dan heksana (Barus, 2009).

Gambar 2.1 Etilp-metoksisinamat (Barus, 2009).

Etilp-metoksisinamat merupakan turunan sinamat yang biosintesanya termasuk jalur sikimat. Pembentukan asam sikimat dimulai dengan kondensasi aldol antara suatu tetrosa, yakni eritrosa, dan asam fosfoenolpiruvat. Pada kondensasi ini, gugus metilen C=CH2 dari asam

fosfoenolpiruvat berlaku sebagai nukleofil dan beradisi dengan gugus karbonil C=O dari eritrosa, menghasilkan suatu gula yang terdiri dari 7 atom karbon. Selanjutnya, reaksi yang analog (intramolekuler) menghasilkan asam 5-dehidrokuinat yang mempunyai lingkar sikloheksana, yang kemudian diubah menjadi asam sikimat. Reaksi pararel yang sejenis terhadap tirosin yang mempunyai tingkat oksidasi yang lebih tinggi menghasilkan asamp-kumarat. (Bangun, 2011).


(22)

Gambar 2.2 Jalur asam sikimat dalam biosintesa fenilpropanoid untuk menghasilkan etilp-metoksisinamat (Bangun, 2011).

2.2. Amida

Suatu amida ialah senyawa yang mempunyai nitrogen trivalent terikat pada suatu gugus karbonil. Suatu amida diberi nama asam karboksilat induknya, dengan mengubah imbuhan asam…-oat (atau-at) menjadi amida (gambar 2.3).

Gambar 2.3 Struktur umum amida (Fessenden and Fessenden, 1999). Amida disintesis dari derivat asam karboksilat dan ammonia atau amina sesuai gambar 2.4.


(23)

Gambar 2.4 Reaksi umum sintesis pembentukan amida (Fessenden and Fessenden, 1999).

Seperti asam karboksilat, amida memiliki titik leleh dan titik didih yang tinggi karena adanya pembentukan ikatan hidrogen. Amida mampu membentuk ikatan hidrogen intermolekular selama masih terdapat hidrogen yang terikat pada nitrogen. Senyawa ini juga sangat istimewa karena nitrogennya mampu melepaskan elektron dan mampu membentuk suatu ikatan pi dengan karbon karbonil. Pelepasan elektron ini menstabilkan hibrida resonansi (bresnick, S.M.D., 1996).

2.3. Reaksi Pembuatan Amida

Amida asam lemak pada industri oleokimia dapat dibuat dengan mereaksikan asam lemak atau metal ester asam lemak dengan suatu amina (Maag, 1984). Amida asam lemak dibuat secara sintetis pada industri oleokimia dalam proses batch, dimana ammonia dan asam lemak bebas bereaksi pada suhu 200oC dan tekanan 345-690 kpa selama 10-12 jam.

Dengan proses tersebutlah dibuat amida primer seperti lauramida, stearamida serta lainnya.

Amida primer juga dibuat dengan mereaksikan ammonia dengan metal ester asam lemak. Reaksi ini mengikuti konsep HSAB diamana H+ dari

ammonia merupakan hard acid yang mudah bereaksi dengan hard base


(24)

dibandingkan dengan CH3O- akan terikat dengan R-CO+ yang lebih soft

aciddibandingkan H+membentuk amida.

Gambar 2.5 Reaksi pembentukan amida.

Senyawa amina yang digunakan untuk reaksi tersebut antara lain etanolamin dan dietanolamin, yang jika direaksikan dengan asam lemak pada suhu tinggi, 150oC-200oC akan membentuk suatu amida dan

melepaskan air (gambar 2.5). Reaksi amidasi antara alkil klorida lebih mudah dengan gugus amina dibandingkan dengan terjadinya reaksi esterifikasi dengan gugus hidroksil, juga sebelumnya telah teruji dengan adanya reaksi antara laurel anhidrida dengan propanolamin untuk membentuk senyawa N,N-dilauroil propanolamin (Cho dan Kim, 1985).

Adanya amina apabila direaksikan dengan ester baru terjadi pada suhu tinggi dan sangat lambat sekali apabila dilakukan pada suhu rendah dengan bantuan katalis basa Lewis NaOMe yang lebih kuat dari trietilamin. Reaksi amidasi antara amina dan ester dengan bantuan katalis NaOMe baru dapat terjadi pada suhu 100o-120oC, sedangkan apabila tidak digunakan katalis

maka reaksi baru dapat berjalan pada suhu 150o-250oC (Gabriel, R., 1984).

Reaksi amidasi juga dapat terjadi dengan mereaksikan amina dengan ester atau asam karboksilat melalui irradiasi microwave. Reaksi itu terbentuk tanpa menggunakan katalis, bebas pelarut dan reaksinya berlangsung cepat dengan reaksi umum pada gambar 2.6 (Ferroud et al, 2008).


(25)

Gambar 2.6 Reaksi umum sintesis pembentukan amida melalui iradiasi

microwave(Ferroudet al, 2008).

Selain itu reaksi amidasi dapat terjadi dengan mereaksikan (1 mmol) ester atau asam karboksilat dengan (2 mmol) urea dan (1 mmol) imidazol sebagai katalis melalui irradiasi microwave. Reaksi tersebut terjadi pada daya iradiasi 300 watt selama 90-360seconddenganyield 47-88%. Reaksi pembentukan amida dapat dilihat pada gambar 2.7 (Khalafiet al, 2003).

Gambar 2.7 Reaksi amidasi asam karboksilat dengan urea melalui iradiasi

microwave(Khalafiet al, 2003).

2.4. Perkembangan amidasi pada AINS

Salah satu pengembangan dan modifikasi struktur AINS adalah dengan menambahan gugus amina yang bertujuan untuk mengurangi efek samping AINS terhadap gastrointestinal dengan meningkatnya selektifitas penghambatan COX-2 dan menurunkan selektifitas penghambatan COX-1 (S. Kalgutkar, Amitet al, 2000).

Modifikasi ibuprofen menjadi turunan amida menggunakan amina alifatik atau aromatik yang berbeda menghasilkan peningkatan aktivtas analgesic, gastroprotektif dan aktivitas inflamasi (Kumar, Manoj et al, 2010). Efek gastroprotektif meningkat karena kecenderungan obat antiinflamasi non steroid mengalami proses hidrolisis pada bagian usus kecil (Rakesh et al, 2010). Selain ibuprofen, modifikasi struktur senyawa antiinflamasi dengan penambahan gugus amina juga dilakukan pada


(26)

indometasin dan asam meklofenamat, dimana turunan amida dari indometasin menghasilkan efek penghambatan selektif COX-2 dan menghilangkan efek samping pada gastrointestinal (S. Kalgutkar, Amit et al, 2000).

2.5. Etanolamin

Etanolamin atau sering disebut dengan 2-aminoetanol atau MonoEtanolAmina (MEA) merupakan sebuah larutan kental, alkohol amino yang bersifat higroskopis dengan bau ammonia. Didistribusikan dalam jaringan biologis dan merupakan komponen dari lesitin. Biasa digunakan sebagai surfaktan, reagen fluorimetrik, dan untuk menghilangkan CO2dan H2S dari gas alam dan gas lainnya (Pubchem).

Gambar 2.8 Struktur senyawa etanolamin (Pubchem).

Berat molekul = 61,08. Etanolamin diperoleh dalam skala besar dengan amonolisis etilen oksida. Etanolamin adalah cairan viskos dengan berat jenis 1,02, bersifat higroskopis, berbau amoniak, titik lebur = 10,3oC

dan titik didih 170,8oC. Senyawa ini dapat bercampur dengan air, methanol

dan aseton. Larut pada suhu 25oC dalam benzene, 14% eter, 2,1% CCl4,

02% n-heptan (Merck, 1976).

Etanolamin digunakan untuk menghilangkan gas asam dari pipa gas. Etanolamin mengasorpsi CO2 dan H2S, tapi dietanolamin mampu

mengabsorpsi karbonil sulfide. Karena bersifat basa lemah, etanolamin dapat menghasilkan senyawa lain dengan gas asam dimana senyawa ini akan terurai oleh aliran uap dan etanolamin dapat diregenerasi kembali untuk dipakai (Wittcoff, H. A, 2004).


(27)

2.6. Dietanolamin

Dietanolamin merupakan cairan tidak berwarna atau sedikit berwarna, memiliki rumus kimia (HOCH2CH2)2NH. (Departemen Kesehatan RI, 1995). Dietanolamin pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol dietanolamin dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama

Kritchevsky amida sesuai dengan nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamin dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamin biasanya diproduksi secara kimia konvensional pada temperatur 150oC selama 6-12 jam (Herawan, dkk.

1999). Dietanolamin adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol. Dialkohol menunjukkan adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. Dietanolamin juga dikenal dengan nama

bis(hydroxyethyl)amine, diethylolamine, diolamine hydroxydiethylamine dan 2,2-iminodiethanol.

Sifat- sifat dietanolamin adalah sebagai berikut (Pubchem): Rumus molekul: C4H11NO2

Berat Molekul : 105,13564 gr/mol

Densitas : 1,0966 gr/cm3pada suhu 20oC

TitikLebur : 28oC (1 atm)

TitikDidih : 269oC (1 atm)

Kelarutan : Sangat larut dalam air dan etanol, sedikit larut dalam etil eter dan benzen


(28)

2.7. IradiasiMicrowave

Energi alternatif “iradiasi microwave” dapat digunakan untuk proses sintesis senyawa organik. Dalam spektrum radiasi elektromagnetik, daerah radiasi gelombang mikro terletak antara radiasi inframerah dan gelombang radio. Gelombang mikro mempunyai panjang gelombang 1 mm – 1 m dengan frekuensi antara 0,3 – 300 GHz. Pada umumnya, untuk menghindari interferensi, peralatan microwave biasanya diatur dengan panjang gelombang 12,2 cm dengan frekuensi 2,45 GHz (Lidstrom et al, 2001). Radiasi gelombang mikro merupakan radiasi nonionisasi yang dapat memutuskan suatu ikatan sehingga menghasilkan energi yang dimanifestasikan dalam bentuk panas melalui interaksi antara zat atau medium. Energi tersebut dapat direfleksikan, ditransmisikan atau diabsorbsikan (Varma, 2001).

2.7.1. Prinsip Dasar Mekanisme Reaksi dengan Metode Iradiasi

Microwave

Secara teoritis ada dua proses mekanisme yang terjadi pada metode iradiasi microwave, yaitu mekanisme polarisasi dipolar dan mekanisme secara konduksi.

a. Mekanisme secara polarisasi dipolar

Prinsip dari mekanisme ini adalah terjadinya polarisasi dipolar sebagai akibat adanya interaksi dipol-dipol antara molekul-molekul polar ketika di radiasikan denganmicrowave. Dipol tersebut sangat sensitif terhadap medan listrik yang berasal dari luar sehingga dapat mengakibatkan terjadinya rotasi pada molekul tersebut sehingga menghasilkan sejumlah energi (Lidstrom et al, 2001). Energi yang dihasilkan pada proses tersebut adalah energi kalor sehingga hal tersebut dikenal dengan istilah efek termal (pemanasan dielektrik) (Perreux, 2001). Ilustrasi suatu pergerakan molekul secara mekanisme polarisasi dipolar saat molekul diradiasi


(29)

Gambar 2.10 Pergerakan molekul dipolar teradiasi

microwave(Kingston, 1988)

b. Mekanisme secara konduksi

Mekanisme secara konduksi terjadi pada larutan-larutan yang mengandung ion. Bila suatu larutan yang mengandung partikel bermuatan atau ion diberikatan suatu medan listrik maka ion-ion tersebut akan bergerak. Pergerakan tersebut akan mengakibatkan peningkatan kecepatan terjadinya tumbukan sehingga akan mengubah energi kinetik menjadi energi kalor. Mekanisme konduksi suatu larutan yang mengandung partikel bermuatan saat diradiasi microwave dapat diihat pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Mekanisme konduksi partikel bermuatan teradiasimicrowave(Kingston, 1988)

2.7.2. Pengaruh IradiasiMicrowaveterhadap laju reaksi

Ketergantungan konstanta laju reaksi (k) terhadap suhu dapat dinyatakan dengan persamaan Arrhenius:

RT Ea

Ae

K  /

Dimana Ea adalah energi aktifasi dari suatu reaksi (dalam kiloJoule per mol), R adalah konstanta gas (8,314 J/K.mol), T adalah suhu mutlak, dan e adalah basis dari skala logaritma. Besaran A menyatakan frekuensi tumbukan dan dinamakan faktor frekuensi.


(30)

Faktor ini dapat dianggap sebagai konstanta untuk sistem reaksi tertentu dalam kisaran suhu yang cukup lembut (Chang, 2005).

Microwavedapat menginduksi kenaikan vibrasi suatu molekul sehingga berpengaruh terhadap faktor A pada persamaan di atas (Lidstrom et al, 2001). Kenaikan harga A akibat kenaikan vibrasi suatu molekul berbanding lurus dengan harga K, sehingga K pun juga meningkat. Bila harga K suatu reaksi meningkat maka laju reaksi akan ikut meningkat.

Metode pemanasan dengan gelombang mikro ini memiliki banyak keunggulan, seperti waktu reaksi lebih cepat, produk lebih bersih, selektivitas lebih tinggi, dan hasil yang lebih baik. Hal ini menjadi alternatif utama untuk memperoleh hasil sintesis dari berbagai senyawa organik yang lebih efisien, dengan operasional yang sederhana dan kondisi reaksi yang ringan (Bhuiyanet al, 2011).

2.8. Identifikasi

2.8.1. Kromatografi

Kromatografi adalah metode fisika untuk pemisahan, dalam mana komponen-komponen yang akan dipisahkan didistribusikan antara dua fase, salah satunya merupakan lapisan stasioner dengan permukaan yang luas, dan fase yang lain berupa zat alir (fluid) yang mengalir lambat (perkolasi) menembus atau sepanjang lapisan stasioner itu. Fase stasioner dapat berupa zat padat atau cairan, dan fase geraknya dapat berupa cairan atau gas (Underwood, 1989).

a. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang


(31)

didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gandjar dan Rohman, 2007).

Cara pemisahan dengan adsorpsi pada lapisan tipis adsorben yang dikenal dengan kromatografi lapis tipis (thin layer chromatography atau TLC) telah meluas penggunannya dan diakui merupakan cara pemisahan yang baik, khususnya untuk kegunaan analisis kualitatif. Kini TLC dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion-ion organik, kompleks senyawa-senyawa organik dengan anorganik, dan senyawa-senyawa organik baik yang terdapat di alam dan senyawa-senyawa organic sintetik (Adnan, 1997).

Kelebihan pengguanaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan kromatografi kertas ialah karena dihasilkannya pemisahan yang lebih sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat. Banyak pemisahan yang memakan waktu berjam-jam bila dikerjakan dengan kromatografi kertas, tetapi dapat dilaksanakan hanya beberapa menit saja bila dikerjakan dengan TLC (thin layer chromatography) (Adnan, 1997).

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana adalah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini mudah diatur sedemikian rupa


(32)

sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gandjar dan Rohman, 2007).

Berikut adalah petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :

1) Fase gerak harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif.

2) Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.

3) Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solute yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.

4) Solut-solut ionic dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau ammonia masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam (Gandjar dan Rohman, 2007).

Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat lazim menggunakan harga Rf (Retordation Factor) Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi: Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan, Sifat penjerap, Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap, Pelarut dan derajat kemurniannya, Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana, Teknik percobaan, Jumlah cuplikan yang digunakan, Suhu dan Kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 1985).


(33)

Gambar 2.12 Skema kromatografi lapis tipis

b. Kromatografi Gas

Kromatograf gas merupakan salah satu metode pemisahan di mana fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya (Khopkar, 2003).

Sampel diinjeksikan melalui suatu sampel injection port

yang temperaturnya dapat diatur, senyawa-senyawa dalam sampel akan menguap dan akan dibawa oleh gas pengemban menuju kolom. Zat terlarut akan teradsorpsi pada bagian atas kolom oleh fase diam, kenudian akan merambat dengan laju rambatan masing-masing komponen yang sesuai dengan nilai koefisien partisi masing-masing komponen tersebut. Komponen-komponen tersebut terelusi sesuai dengan urut-urutan makin membesarnya nilai koefisisen partisi menuju ke detektor. Detektor mencatat seluruh sederetan sinyal yang timbul akibat perubahan konsentrasi dan perbedaan laju elusi.


(34)

Pada alat pencatat sinyal ini akan tampak sebagai kurva antara waktu terhadap komposisi aliran gas pembawa.

Ada beberapa kelebihan kromatografi gas, diantaranya kita dapat menggunakan kolom lebih panjang untuk menghasilkan efisiensi pemisahan yang tinggi. Gas dan uap mempunyai viskositas yang rendah, demikian juga kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung cepat, sehingga analisis relatif cepat dan sensitivitasnya tinggi. Fase gas dibandingkan fase cair tidak bersifat reaktif terhadap fase diam dan zat-zat terlarut. Kelemahannya adalah teknik ini terbatas untuk zat yang mudah menguap (Khopkar, 2003).

2.8.2. Spektrofotometri

a. Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi antara energy cahaya dan materi. Warna-warna yang Nampak dan fakta bahwa orang bias melihat adalah akibat-akibat absorpsi energy oleh senyawa organik maupun anorganik, yang merupakan perhatian primer bagi ahli kimia organik ialah fakta bahwa panjang gelombang pada suatu senyawa organik menyerap energy cahaya, bergantung pada struktur senyawa itu. Oleh karena itu teknik-teknik spektoskopi dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tidak diketahui dan untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden, 1986).

Analis spektoskopi inframerah mencakup beberapa metode yang berdasarkan atas absorpsi atau refleksi dari radiasi elektromagnetik (Rousessac dan Rousessac, 2000). Spectrum inframerah berada di antara daerah sinar tampak dan daerah

microwave. Daerah spectrum yang paling baik digunakan untuk berbagai keperluan praktis dalam kimia organik adalah antara 4000-400 cm-1. Rentang bilangan gelombang inframerah dibagi dalam tiga daerah, inframerah jauh (200-10 cm-1), inframerah


(35)

tengah (4000-200 1) dan inframerah dekat (12500-4000 cm-1) (Watson, 2009).

Dua jenis instrument yang biasa digunakan untuk memperoleh spectrum inframerah yaitu instrument disperse, yang menggunakan suatu monokromator untuk memilih masing-masing bilangan gelombang secara berurutan untuk memantau intensitasnya setelah radiasi telah melewati sampel, dan instrument transformasi Fourier, yang menggunakan suatu interferometer. Instrument transformasi Fourier menghasilkan sumber radiasi dengan masing-masing bilangan gelombang dapat dipantau dalam ± 1 detik pulsa radiasi tanpa memerlukan disperse. Dalam suatu instrument inframerah transformasi Fourier (Fourier transform onfrared, FT-IR), prinsipnya adalah monokromator digantikan oleh suatu interferometer. Interferometer menggunakan cermin bergerak untuk memindahkan bagian radiasi yang dihasilkan oleh satu sumber, sehingga menghasilkan suatu interferogram yang dapat diubah dengan menggunakan suatu persamaan yang disebut ‘Transformasi Fourier’ untuk mengekstraksi spectrum dari suatu seri frekuensi yang bertumpang tindih (Watson, 2009).

Spektorskopi FTIR memiliki banyak keunggulan disbanding spektroskopi inframerah diantaranya yaitu lebih cepat karena pengukuran dilakukan secara serentak (simultan), serta mekanik optic lebih sederhana dengan sedikit komponen yang bergerak (Suseno dan Firdausi, 2008).

Jika sinar infamerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Moleku yang menyerap energy tersebut terjadiperubahan energy vibrasi dan perubahan tingkat energy rotasi. Pada suhu kamar, molekul senyawa organik dalam


(36)

keadaan diam, setiap ikatan mempunyai frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi ulur (stretching vibration) dan vibrasi tekuk (bending vibrations) dimana sinar inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut (Suseno dan Firdausi, 2008).

b. Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati monokromatik, dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa molekul selalu mengabsorbsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi cahaya tersebut sama dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut. Elektron yang terikat dan elektron yang tidak terikat akan tereksitasi pada suatu daerah frekuensi yang sesuai dengan cahaya ultraviolet dan cahaya tammpak (UV-Vis) (Rothet al.,1994).

Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 880 nm dan dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi daerah bagian ultraviolet (190-380 nm), spektrum Vis (Visible) bagian sinar tampak (380-780 nm).

Pengukuran dengan alat spektrofotometer UV-Vis didasarkan pada hubungan antara berkas radiasi elektromagnetik yang ditransmisikan (diteruskan) atau yang diabsorbsi dengan tebalnya cuplikan dengan konsentrasi dari komponen penyerap. Hubungan tersebut dinyatakan dalam Hukum Lambert-Beer (Sastroamidjojo, 1985) :

A = a . b . c Keterangan :

(a) Daya Serap ; (b) Tebal Kuvet ; (c) Konsentrasi larutan ; (A) Serapan


(37)

Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Suatu sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spektrum yang mana alat tersebut dirancang untuk beroperasi.

2. Suatu monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita sempit panjang gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.

3. Suatu wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet). 4. Suatu detektor, yang berupa transduser yang merubah

energi cahaya menjadi suatu isyarat listrik.

5. Suatu amplifier (pengganda) dan rangkaian yang merubah energi cahaya menjadi suatu isyarat listrk.

6. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya isyarat listrik yang ditangkap.

c. Spektrofotometri Resonansi Magnetik

Radiasi pada daerah frekuensi radio digunakan untuk mengeksitasi atom, biasanya proton-proton atau atom-atom karbon-13, sehingga spinnya berubah dari sejajar menjadi sejajar melawan medan magnet yang digunakan. Rentang frekuensi yang dibutuhkan untuk eksitasi dan pola-pola pembagian kompleks yang dihasilkan sangat khas pada struktur kimia molekul tersbut (Watson, 2009).

Spektra NMR biasanya ditentukan dari larutan substansi yang akan dianalisis. Untuk itu pelarut yang digunakan tidak boleh mengandung atom hidrogen karena akan mengganggu puncak spectrum. Ada dua cara untuk mencegah gangguan oleh pelarut. Kit dapat menggunakan pelarut seperti tetraklormetana, CCl4 yang tidak mengandung hidrogen atau pelarut yang atom

hidrogennya telah diganti dengan isotopnya yaitu deuterium, sebagai contoh CDCl3. Atom-atom deuterium mempunyai sifat


(38)

mereka akan menghasilkan puncak pada area spectrum yang berbeda (Sudjadi, 1983).

Instrumen NMR terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut (Willardet al., 1988) :

1. Magnet untuk memisahkan energi spin nuklir.

2. Paling tidak terdapat dua saluran frekuensi radio, satu untuk stabilisasi medan/frekuensi dan satu untuk memberikan frekuensi radio untuk energi penyinaran. Yang ketiga dapat digunakan untuk masing-masing inti yang akan dipisahkan. 3. Probe sampel yang mengandung kumparan untuk kopling

sampel dengan bidang frekuensi radio. 4. Detektor untuk memproses sinyal NMR.

5. Generator (Sweep Generator) untuk menyapu bersih baik medan magnet maupun frekuensi radio melalui frekuensi resonansi sampel.

6. Rekorder untuk menampillkan spectrum.

2.9. Inflamasi

2.9.1. Pengertian Inflamasi

Inflamasi adalah reaksi kompleks dalam jaringan ikat vascular yang terjadi karena rangsangan eksogen dan endogen. Inflamasi merupakan respon normal, pelindung terhadap cedera jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia berbahaya atau agen mikrobiologis, yang berupaya untuk menonaktifkan atau menghancurkan organisme asing, menghilangkan iritasi yang merupakan tahap pertama perbaikan jaringan. Proses inflamasi biasanya mereda pada proses penyelesaian atau penyembuhan tapi kadang-kadang berubah menjadi radang yang parah, yang mungkin jauh lebih buruk dari penyakit ini dan dalam kasus ekstrim, juga dapat berakibat fatal (Senet al, 2010).

Kemerahan, suhu yang meningkat, pembengkakan, nyeri, dan hilangnya fungsi adalah tanda klasik dari inflamasi. Inflamasi dapat


(39)

diprovokasioleh berbagai agen berbahaya, bahan asing, toxines, infeksi, bahan kimia, patogen, reaksi kekebalan tubuh dan luka fisik (Senet al, 2010).

2.9.2. Mekanisme Terjadinya Inflamasi

Terjadinya inflamasi adalah reaksi setempat dari jaaringan atau sel terhadap suatu rangsang atau cedera, terjadinya rangsangan untuk dilepaskannya zat kimia tertentu yang akan menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang tersbut, diantaranya histamin, serotonin, bradikinin, leukotrin, dan protaglandin. Histamin bertanggung jawab pada perubahan yang paling awal yaitu menyebabkan vasodilatasi pada arteriol yang didahului dengan vasokontriksi awal dan peningkatan permeabilitas kapiler, hal ini menyebabkan perubahan distribusi sel darah merah. Oleh karena aliran darah yang lambat, seldarah merah akan mengguumpal, akibatnya sel darah putih terdesak ke pinggir. Semakin lambat aliran darah maka sel darah putih akan menempel pada dinding pembuluh darah. Perubahan permeabilitas yang terjadi menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah dan berkumpul dalam jaringan. Bradikinin bereaksi lokal menimbulkan rasa sakit, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler. Sebagai penyebab radang. Prostaglandin berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator lainnya (Mansjoer, 1999).

Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan mengakibatkan kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang diantaranya adalah asam arakidonat. Setelah asam arakidonat tersebut bebas akan diaktifkan oleh beberapa enzim, diantaranya siklooksigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut merubah asam arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisme menjadi leukotrin, protaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Bagian prostaglandin


(40)

dan leukotrin bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan (Katzung, 1998).

Gambar 2.13 Alur mediator yang berasal dari asam arakidonat dan tempat kerja obat (Katzung, 2012).

2.9.3. Jenis Inflamasi

Pada umunya inflamasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronis.

a. Inflamasi akut

Inflamasi akut merupakan tanggapan awal dari tubuh untuk mengambil faktor risiko seperti infeksi atau trauma. Hal


(41)

tersebut bersifat spesifik dan pertahan pertama tubuh terhadap bahaya (Senet al, 2010).

Fitur utama dari peradangan akut antara lain:

1) Akumulasi cairan dan plasma di lokasi terkena dampak.

2) Aktivasi intravaskular datar atau memungkinkan. 3) Polymorph-nuklir neutrofil sebagai sel inflamasi. b. Inflamasi Kronis

Inflamasi kronis terjadi bila faktor-faktor risiko yang memperpanjang dari inflamasi akut tidak dihapus. Hal ini terjadi untuk durasi yang lebih lama dan terkait dengan adanya makrofag, limfosit, sel darag proliferasi, fibrosis dan nekrosis jaringan. Makrofag menghasilkan beberapa produk biologis aktif yang menyebabkan kerusakan jaringan dan karakteristik fibrosis peradangan kronis (Senet al, 2010).

Reaksi inflamasi terjadi dalam mekanisme yang berbeda pada tiap fase, seperti:

1) Fase akut: vasodilatasi lokal sementara dan penigkatan permeabilitas kapiler.

2) Fase sub-akut: infiltrasi atau leukosit dan fagositosis sel.

3) Fase kronis proleferatif: kerusakan jaringan dan fibrosis (Senet al, 2010).

2.9.4. Obat Antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara yaitu menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Berdasarkan mekanime kerjanya, obat-obatan antiinflamasi terbagi dalam golongan steroid yang terutama bekerja dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya dan golongan non steroid yang bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi


(42)

siklooksigenase yang berperan pada biosintesis protaglandin (Setyarini, 2009).

Obat-obat antiinflamasi sangat efektif menghilangkan rasa nyeri dan inflamasi dengan menekan produksi prostaglandin dan metabolisme asam arakidonat dengan cara penghambatan siklooksigenase dan lipooksigenase pada kaskade inflamasi. Penekanan prostaglandin sebagai mediator inflamasi pada jaringan menyebabkan kurangnya rasa nyeri dan pembengkakan sehingga fungsi otot dan sendi membaik (Setyarini, 2009).

2.9.5. Mekanisme Kerja Antiinflamasi dalam Menghambat Denaturasi Protein

Inflamasi adalah proses yang kompleks, seirng dikaitkan dengan rasa sakit dan melibatkan kejadian seperti peningkatan permeabilitas pembuluh darah, penigkatan denaturasi protein dan alterasi membran (Umapathy et al, 2010). Ciri-ciri jaringan yang telah mengalami nekrosis yaitu kematian lokal dalam tubuh makhluk hidup, menunjukkan bahwa komposisi protein mengalami perubahan besar. Denaturasi protein disebabkan oleh aksi panas, alrutan asam atau alkali, elektrolit, alkohol, dan beberapa agen lainnya yang menghasilkan perubahan pada kelarutan albumin dan globulin, terutama pada titik isoelektrik (Opie El, 1961).

Denaturasi protein adalah sebuah proses dimana protein kehilangan struktur tersier dan struktur sekunder oleh senyawa eksternal, seperti asa kuat atau basa kuat, garam organik, pelarut organik dan pemanasan. Pada umunya protein kehilangan fungsi biologisnya ketika didenaturasi. Misalnya enzim kehilangan aktivitasnya karena subtrat tidak dapat lagi mengikat pada gugus aktifnya (Vermaet al, 2011).

Dalam pengembangan AINS, prinsip denaturasi dalam uji antiinflamasi sering digunakan seperti pada uji antiinflamasi dengan albumin telur (Chandra, 2012) dan uji dengan Bovine Serum Albumin (BSA) (Williams et al., 2008). Denaturasi


(43)

protein pada jaringan adalah salah satu penyebab penyakit inflamasi dan artritis. Produksi dari antigen-auto pada penyakit artritis dapat mengakibatkan denaturasi protein secara in vivo. Oleh karena itu, penggunaan suatu agen tertentu yang bisa mencegah denaturasi protein akan bermanfaat pada pengembangan obat antiinflamasi (Chatterjee et al., 2012).

Beberapa metode in vitro lain dapat digunakan untuk mengetahui potensi atau aktivitas antiinflamasi dari suatu obat, kandungan kimia dan preparat herbal. Teknik-teknik yang bisa digunakan antara lain adalah pelepasan fosforilasi oksidatif (ATP biogenesis terkait dengan respirasi), penghambatan denaturasi protein, stabilisasi membran eritrosit, stabilisasi membran lisosomal, tes fibrinolitik dan agregasi trombosit (Oyedapo et al., 2010. Selain itu uji antiinflamasi secara in vitro juga bisa dilakukan dengan melihat efek inhibisi pada siklooksigenase menggunakan kit khusus uji skrining siklooksigenase (Umar et al., 2012).

Beberapa AINS seperti indometasin, ibufenak, asam flufenamik dan asam salisilat memiliki kemampuan dalam mencegah denaturasi BSA yang dipanaskan pada pH patologis yakni 6,2-6,5. Selain itu beberapa ekstrak dan komponen murni tumbuhan seperti ekstrak Boehmeria jamaicensis (Urb), fenil propanoid, eugenol, polisulfid, dibenzil trisulfid dapat menghambat denaturasi BSA, memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan merupakan kandidat obat antiinflamasi. Pada uji BSA, jika senyawa sampel menghambat denaturasi dengan persen inhibisi >20% maka dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi dan layak untuk dikembangkan lebih lanjut. (Williams et al.,2008).


(44)

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat

Penelitian Amidasi senyawa etil p-metoksisinamat melalui reaksi langsung dengan iradiasi microwave serta uji aktivitas sebagai antiinflamasi dilaksanakan di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Kimia Obat, dan Laboratorium Analisa Obat dan Pangan Halal, Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

3.1.2. Waktu

Penelitian ini dimulai pada bulan Februari 2015 sampai dengan April 2015.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat

Spektrofotometri ¹H-NMR dan 13C-NMR (500 MHz,

JEOL), spektrofotometer UV-Vis (HITACHI), vacuum rotary evaporator (SB-1000 Eyela), digital water bath (SB-100 Eyela), spektrofotometri IR (SHIMADZU), GCMS (AGILENT TECHNOLOGIES), Microwave Oven (SAMSUNG), shaking bath, lemari pendingin, Plat aluminium TLC silica gel 60 F254 (Merck), oven, timbangan analitik, statif, labu reaksi, corong, erlenmeyer, gelas piala, rak, tabung reaksi, chamber KLT, termometer, pipet eppendorf, mikropipet, batang pengaduk, pinset, kertas saring, alumunium foil, vial uji, botol, pH meter, labu takar, gelas ukur, corong pisah, magnetik stirer.

3.2.2. Bahan

Senyawa etil p-metoksisinamat, natrium diklofenak (SIGMA-ALDRICH), natrium sulfat (Merck), natrium klorida (Merck), methanol p.a (Merck), tris base (SIGMA-ALDRICH),


(45)

etanolamin (Merck), ditenolamin (Merck), dan Bovine Serum Albumin (SIGMA-ALDRICH). Pelarut dan bahan pembantu lain seperti aquades, etil asetat, n-heksan, methanol.

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1 Amidasi Etilp-metoksisinamat a. Reaksi Amidasi Etanolamin

Sebanyak 1,060 gram EPMS (5 mmol) dilarutkan ke dalam 10 mL etanolamin kemudian diiradiasi dalam microwave oven tanpa modifikasi dengan kekuatan 600 watt selama 5 menit dalam erlenmeyer tertutup. Kemudian hasil reaksi dipartisi dengan aquades dan etil asetat. Lapisan etil asetat dikeringkan dengan Na2SO4anhidrat lalu diuapkan dan dimurnikan dengan

pelarut heksan (Modifikasi Khalafiet al, 2003).

b. Reaksi Amidasi Dietanolamin

Sebanyak 1,030 gram EPMS (5 mmol) dilarutkan ke dalam 10 mL dietanolamin kemudian diiradiasi dalam microwave oven tanpa modifikasi dengan kekuatan 300 watt selama 6 menit dalam erlenmeyer tertutup. Kemudian hasil reaksi dipartisi dengan aquades dan etil asetat. Lapisan etil asetat dikeringkan dengan Na2SO4anhidrat lalu diuapkan dan dimurnikan dengan

pelarut heksan (Modifikasi Khalafiet al, 2003).

3.3.2 Identifikasi Senyawa

a. Identifikasi Organoleptis

Senyawa yang didapat dari hasil modifikasi diidentifikasi warna, bentuk dan juga bau.

b. Pengukuran titik leleh

Senyawa yang didapat dari hasil modifikasi diidentifikasi titik lelehnya menggunakan alat apparatusmelting point.

c. Identifikasi Senyawa Menggunakan FTIR

Sedikit sampel padat (kira-kira 1 - 2 mg), kemudian ditambahkan bubuk KBr murni (kira-kira 200 mg) dan diaduk


(46)

hingga rata. Kemudian sampel (pelet KBr yang terbentuk) diambil dan kemudian ditempatkan dalam tempat sampel pada alat spektroskopi inframerah untuk dianalisis (Hidayati, 2012).

d. Identifikasi Senyawa Menggunakan GCMS

Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m × 0,25 mm ID × 0,25 µm); suhu awal 70oC selama 2 menit, dinaikkan ke

suhu 285oC dengan kecepatan 20oC/min selama 20 menit.

Suhu MSD 285oC. Kecepatan aliran 1,2 mL/min dengan split

1:100. Parameterscanningdilakukan dari massa paling rendah yakni 35 sampai paling tinggi 550 (Umaret al, 2012).

e. Identifikasi Senyawa Menggunakan 1H-NMR dan 13

C-NMR

Sedikit sampel padat (kira-kira 10 mg), kemudian dilarutkan dalam pelarut kloroform bebas proton (khusus NMR), setelah dilarutkan kemudian dimasukkan ke dalam tabung khusus NMR untuk kemudian dianalisis.

3.3.3 Pembuatan Reagen untuk Uji Antiinflamasi

a. Larutan TBS (Tris Buffer Saline)pH 6.3

Sebanyak 1,21 g Tris base dan 8,7 g NaCl dilarutkan dalam 1000 mL aquades. Kemudian adjust pH sampai 6,3 menggunakan asam asetat glacial (Mohan, 2003).

b. Penyiapan variat konsentrasi Na Diklofenak

Pembuatan larutan induk sebesar 10000 ppm Na dikolfenak dengan pelarut Metanol. Kemudian dilakukan pengenceran menjadi 1000, 100, 10 dan 1 ppm.

c. Penyiapan variat konsentrasi EPMS dan senyawa hasil modifikasi (sampel).

Pembuatan larutan induk sebesar 10000 ppm baik senyawa hasil modifikasi maupun EPMS dengan pelarut metanol. Kemudian dilakukan pengenceran menjadi 1000, 100, 10 dan 1 ppm.


(47)

d. Pembuatan BSA 0,2 % (w/v)

Sebanyak 0.2 g BSA dilarutkan dalam TBS 100 mL (Williamset al.,2008).

3.3.4 Uji In vitroAntiinflamasi(Williamset al.,2008)

Pengujian Aktivitas Senyawa Hasil Modifikasi Terhadap denaturasi BSA :

a. Pembuatan Larutan Uji

Larutan Uji (5 mL) terdiri dari 50 µL larutan sampel yang kemudian ditambah dengan BSA hingga volume 5 mL sehingga didapatkan variat konsentrasi menjadi 100, 10, 1, 0.1 dan 0.01 ppm.

b. Pembuatan Larutan Kontrol Positif

Larutan kontrol positif (5 mL) terdiri dari 50 µL larutan natrium diklofenak yang kemudian ditambah dengan BSA hingga volume 5 mL sehingga didapatkan variat konsentrasi menjadi 100, 10, 1, 0.1 dan 0.01 ppm.

c. Pembuatan Larutan Kontrol Negatif.

Larutan kontrol negatif (5 mL) terdiri dari 50 µL methanol yang kemudian ditambah dengan BSA hingga volume 5 mL.

Setiap larutan di atas dipanaskan selama 5 menit pada suhu 72±1oC. Lalu didinginkan dan diukur turbiditasnya dengan spektrofotometer (HITACHI) diukur pada gelombang 660 nm. Persentase inhibisi dari denaturasi atau presipitasi BSA dikalkulasikan dengan rumus berikut:

100 negatif kontrol Abs sampel Abs -negatif kontrol Abs Inhibisi %  

Pada uji BSA, jika senyawa sampel menghambat denaturasi dengan persen inhibisi >20% maka dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi (Williams et al.,2008).


(48)

Pada penelitian ini dilakukan modifikasi senyawa etil p-metoksisinamat menjadi senyawa amida. Modifikasi dilakukan bertujuan untuk melihat pengaruh gugus fungsi amida terhadap aktivitas antiinflamasi dari kerangka asam p -metoksisinamat. Uji antiinflamasi dilakukan secara in vitro dengan melihat daya inhibisi terhadap denaturasi protein menggunakanBovine Serum Albumin(BSA).

4.1. Amidasi Etilp-Metoksisinamat

Hubungan struktur dan aktivitas senyawa antiinflamasi non steroid (AINS) pada turunan asam arilasetat menunjukkan bahwa dengan pembentukan gugus amida dapat mempengaruhi aktivitas antiinflamasi (Siswandono, 2008). Amidasi pada ibuprofen, indometasin, dan asam meklofenamat dapat meningkatkan aktivitas antinflamasi (Kumar, Manoj et al, 2010; S. Kalgutkar, Amit et al, 2000). Etil p-metoksisinamat telah diketahui memiliki aktivitas antiinflamasi (Umar et al, 2012). Untuk meningkatkan aktivitas antiinflamasi dari etil p-metoksisinamat, dipandang perlu untuk merubah gugus ester pada etil p-metoksisinamat menjadi bentuk amidanya, karena dari beberapa penelitian di atas terbukti bahwa gugus amida berperan penting terhadap aktivitas antiinflamasi suatu obat. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan modifikasi senyawa etil p -metoksisinamat yang mempunyai gugus ester menjadi bentuk amida.

Reaksi amidasi etil p-metoksisinamat dilakukan dengan mereaksikan langsung etanolamin dan dietanolamin dengan etil p-metoksisinamat melalui iradiasi microwave tanpa menggunakan katalis dan pelarut pada suhu tinggi. Reaksi amidasi ini didasari oleh prinsip HSAB (hasd soft acid base). Dimana H+ dari gugus NH dari etanolamin dan dietanolamin merupakan asam kuat

(hard acid) yang mudah bereaksi dengan –OC2H5 dari etilp-metoksisinamat

yang merupakan basa kuat (hard base). NH-pada gugus NH dari etanolamin


(49)

membentuk ikatan dengan p-metoksisinamat (R-CO+) yang merupakan

asam lemah (soft acid) (Pearson, 1968). Mekanisme amidasi etil p -metoksisinamat dengan etanolamin dan dietanolamin dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Mekanisme amidasi etilp-metoksisinamat dengan etanolamin dan dietanolamin

4.1.1. Reaksi Amidasi dengan Etanolamin

Reaksi amidasi dilakukan dengan mereaksikan etil p -metoksisinamat dengan etanolamin sebagai reagen. Reaksi ini ditujukan untuk mengubah gugus ester menjadi gugus amida dengan penambahan amin primer. Senyawa amida yang terbentuk selanjutnya diujikan aktivitas antiinflamasinya. Reaksi ini berlangsung melalui iradiasi microwave pada daya 600 watt selama 5 menit dalam erlenmeyer tertutup. Pemilihan daya dan waktu tersebut berdasarkan data optimasi (Lampiran 3). Reaksi ini dilakukan dalam erlenmeyer tertutup dimana reaksi dilakukan berulang dengan perbandingan reaksi EPMS (5 mmol) dan etanoalmin (10 mmol). Reaksi amidasi etil


(50)

Gambar 4.2 Reaksi amidasi etilp-metoksisinamat dengan etanolamin Hasil reaksi berupa cairan kental berwarna kuning. Kemudian hasil reaksi dipartisi menggunakan akuades dan etil asetat. Lapisan etil asetat dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat lalu diuapkan. Hasil

reaksi yang telah diuapkan berbentuk cairan kental berwarna kuning kemudian dimurnikan dengan n-heksan dan akan membentuk serbuk berwana krem. Hasil reaksi selanjutnya diamati dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan menggunakan eluen campuran etil asetat dan metanol perbandingan 9:1.

Gambar 4.3 KLT senyawa hasil amidasi etanolamin (Senyawa A) dengan eluen etil asetat:metanol 9:1 (visualisasi UV λ 245 nm)

Keterangan: (a) etilp-metoksisinamat; (b) Senyawa A

Dari hasil KLT dapat terlihat spot baru yang mengindikasikan bahwa proses amidasi telah berhasil seperti terlihat pada gambar 4.3.


(51)

fungsi ester dari etil p-metoksisinamat sehingga terbentuklah N-(hidroksietil)-p-metoksisinamamida. Reaksi ini menghasilkan rendemen produk sebanyak 61,32% dengan perhitungan sebagai berikut: % 32 , 61 100 gram 1,06 gram 0,65 rendemen %   

4.1.2. Reaksi Amidasi Dietanolamin

Reaksi amidasi dilakukan dengan mereaksikan etil p -metoksisinamat dengan dietanolamin sebagai reagen. Reaksi ini ditujukan untuk mengubah gugus ester menjadi gugus amida dengan penambahan amin sekunder. Senyawa amida yang terbentuk selanjutnya diujikan aktivitas antiinflamasinya. Reaksi ini berlangsung melalui iradiasi microwavepada daya 300 watt selama 6 menit dalam erlenmeyer tertutup. Pemilihan daya dan waktu tersebut berdasarkan data optimasi (Lampiran 3). Reaksi ini dilakukan dalam erlenmeyer tertutup dimana reaksi dilakukan berulang dengan perbandingan reaksi EPMS (5 mmol) dan dietanoalmin (10 mmol). Reaksi amidasi etil p-metoksisinamat dengan dietanolamin dapat dilihat pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 Reaksi amidasi etilp-metoksisinamat dengan dietanolamin

Hasil reaksi berupa cairan kental berwarna kuning. Kemudian hasil reaksi dipartisi menggunakan akuades dan etil asetat. Lapisan etil asetat dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat lalu diuapkan. Hasil


(52)

kemudian dimurnikan dengan n-heksan dan akan membentuk serbuk berwana krem. Hasil reaksi selanjutnyadiamati dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan menggunakan eluen campuran etil asetat dan metanol perbandingan 9:1.

Dari hasil KLT dapat terlihat spot baru yang mengindikasikan bahwa proses amidasi telah berhasil seperti terlihat pada gambar 4.5. Reaksi amidasi dengan dietanolamin bertujuan mengganti gugus fungsi ester dari etilp-metoksisinamat sehingga terbentuklah N,N

-bis-(hidroksietil)-p-metoksisinamamida. Reaksi ini menghasilkan rendemen produk sebanyak 92,62% dengan perhitungan sebagai berikut:

% 62 , 92 100 gram 03 ,1

gram 0,954 rendemen

%   

Gambar 4.5 KLT senyawa hasil amidasi dietanolamin (Senyawa B) dengan eluen etil asetat:metanol 9:1 (visualisasi UV λ 245 nm)

Keterangan: (a) etilp-metoksisinamat; (b) Senyawa B

4.2. Identifikasi Senyawa Hasil Amidasi

Senyawa hasil modifikasi dapat diidentifikasi dengan melihat perbandingan nilai Rf seluruh senyawa yang di KLT menggunakan eluen etil


(53)

asetat : metanol dengan perbandingan 9:1 (gambar 4.6). Nilai Rf yang didapat adalah sebagai berikut:

 Etilp-metoksisinamat : 0,9

 Senyawa amidasi etanolamin (Senyawa A) : 0,65

 Senyawa amidasi dietanolamin (Senyawa B) : 0,55

Berdasarkan nilai Rf, dapat diketahui tingkat kepolaran dari senyawa modifikasi. Etil p-metoksisinamat memiliki nilai Rf tertinggi yang menujukkan bahwa senyawa etil p-metoksisinamat memiliki polaritas yang rendah. Senyawa A memiliki nilai Rf yang lebih rendah dibandingkan etilp -metoksisinamat. Hal ini dapat dilihat dari nilai Rf etilp-metoksisinamat yaitu 0,9 dan nilai Rf senyawa A adalah 0,65. Gugus etil pada ester diganti menjadi etanolamin, dimana gugus amina (NH) dan gugus hidroksi (OH) yang terdapat pada etanolamin meningkatkan polaritas dari senyawa tersebut. Selanjutnya senyawa B memiliki nilai Rf yang lebih rendah dari senyawa A. Hal ini dapat dilihat dari nilai Rf senyawa A adalah 0,65 dan nilai Rf senyawa B adalah 0,55. Gugus hidroksi (OH) pada senyawa B lebih banyak dibandingkan senyawa A, sehingga meningkatkan polaritasnya.

Gambar 4.6 KLT senyawa dengan eluen etil asetat:metanol perbandingan 9:1 (visualisasi UV λ 245 nm).

Etilp-metoksisinamat Senyawa A


(54)

4.2.1. Senyawa A

Senyawa hasil amidasi etil p-metoksisinamat dengan etanolamin memiliki karakteristik sebagai berikut:

 Warna : krem

 Bau : Tidak berbau

 Bentuk : Serbuk

Pengukuran titik leleh dilakukan menggunakan alat melting point. Rentang titik leleh senyawa A hasil amidasi etil p -metoksisinamat dengan etanolamin ada pada 121oC-125oC.

Elusidasi struktur senyawa A dilakukan dengan analisa menggunakan Spektrofotometri IR, GCMS,1H NMR, dan 13C NMR.

Hasil analisis Spektrofotometri IR menunjukkan penafsiran spektrum IR senyawa A dari berbagai bilangan gelombang absorbansi gugus fungsi yang spesifik seperti yang tertera pada tabel 4.1 (Lampiran 7). dari data tersebut dapat dilihat pita absorbansi pada bilangan gelombang ν 3000-2500 cm-1menandakan adanya CH pada aromatik.

Selain itu keberadaan aromatik juga ditandai dengan munculnya pita absorbansi pada bilangan gelombang ν 1596,16 cm-1 (C=C). Pada

bilangan gelombang ν 886,33 cm-1 menandakan bahwa gugus aromatik tersebut tersubtitusi para. Pada bilangan gelombang ν 1648,24 cm-1 menandakan adanya gugus karbonil (C=O) pada

senyawa A dan juga terdapat gugus eter (C-O) yang ditandai oleh pita absorbansi pada bilangan gelombang ν 1250,89 cm-1. Kemudian

ditemukan pita absorbansi pada bilangan gelombang ν 3500-2500 cm-1

yang merupakan frekuensi serapan spesisfik dari OH yang terdapat pada etanolamin. Keberadaan NH ditandai oleh pita absorbansi pada bilangan gelombang ν 3411,29 cm-1dan pada bilangan gelombang ν

1067,5 cm-1menandakan keberadaan C-N. Hal ini memperkuat bahwa

etil p-metoksisinamat telah bereaksi dengan etanolamin membentuk amida.


(55)

Tabel 4.1 Daftar daerah spektrum IR senyawa A

Ikatan Daerah Absorpsi (ν, cm-1)

O-H 3500-2500

N-H 3411,29

C-N 1067,5

C-H 3000-2500

C=C 1596,16

C=O 1648,24

C-O 1250,89

Aromatik posisipara 886,33

Selanjutnya analisa menggunakan GCMS. Hasil interpretasiGas Chromatography-Mass Spectroscopy (GCMS) menunjukkan bahwa senyawa A muncul pada waktu retensi 12,714 dan memiliki berat molekul 221,0 g/mol dengan fragmentasi massa 176; 161; 133; 102; dan 77 (Lampiran 8). Adapun pola fragmentasi yang terjadi pada senyawa tersebut dapat dilihat pada gambar 4.7.

Gambar 4.7 Pola fragmentasi massa senyawa A

Data analisa spektrum IR dan Interpretasi GCMS selanjutnya dikonfirmasi dengan analisa 1H NMR dan 13C NMR. Interpretasi

analisa NMR berupa nilai pergeseran kimia (δ) dalam satuan ppm (Paviaet al, 2008). Adapun hasil analisis senyawa A dengan1H NMR


(56)

Gambar 4.8 (a) senyawa A; (b) etilp-metoksisinamat

Tabel 4.2 Data pergeseran kimia (δ) spektrum1H NMR senyawa A

(CD3OD, 500 MHz)

Senyawa A Etilp-metoksisinamat (Mufidah, 2014) Posisi Pergeseran Kimia (δ,ppm) Posisi Pergeseran Kimia (δ, ppm)

- - 15 1,33 (t, 3H,J= 7,15)

- - 14 4,25 (q, 2H,J= 7,15)

14 3,34 (t, 2H,J= 5,85) -

-15 3,65 (t, 2H,J= 5,85) -

-2 6,49 (d, 1H,J= 15,6) 2 6,31 (d, 1H,J= 15,6) 3 7,48 (d, 1H,J= 15,5) 3 7,65 (d, 1H,J= 16,25) 5 &9 6,94 (d, 2H,J= 8,45) 5 &9 6,90 (d, 2H,J= 9,05) 6 & 8 7,50 (d, 2H,J= 9,05) 6 & 8 7,47 (d, 2H,J= 8,45)

11 3,81 (s, 3H) 11 3,82 (s, 3H)

Dari data di atas, pergeseran kimia pada 1,33 ppm dan 4,25 ppm sudah tidak muncul dimana itu menandakan senyawa A sudah tidak memiliki gugus ester. Spektrum 1H NMR memberikan sinyal pada

pergeseran kimia 3,34 ppm dan 3,65 ppm yang masing-masingnya berbentuk triplet dengan integrasi 2 proton. Hal ini menandakan bahwa senyawa A memiliki gugus alkana (CH2CH2) dimana satu CH2

berikatan dengan NH dan satunya lagi berikatan dengan OH. Sinyal

(a)

(a)


(57)

CH2 yang berikatan dengan OH akan muncul lebih downfield

dibandingakan dengan sinyal CH2 yang berikatan dengan NH. Hal ini

disebabkan atom oksigen (O) lebih elektronegatif dari pada atom nitrogen (N). Kemudian pada pergeseran kimia 6,49 ppm dan 7,48 ppm berbentuk singlet dengan integrasi 1 proton dengan nilai konstanta kopling 15,6 dan 15,5. Sinyal tersebut menunjukkan gugus olefin pada senyawa A. Suatu puncak dengan konstanta kopling (J) 11-18 Hz dapat mengindikasikan bahwa proton tersebut memiliki konfigurasi trans (Pavia et al, 2008). Kemudian pada pergeseran kimia 6,94 ppm-7,50 ppm (4H) merupakan proton-proton dari benzen dengan dua subtitusi. Pola sinyal ini menunjukkan bahwa 2 proton ekivalen terkopling secara orto dengan 2 proton ekivalen lainnya, yang menunjukkan bahwa sinyal ini adalah sinyal H5/9 dan H6/8. Kemudian pada pergeseran kimia 3,81 ppm berbentuk singlet dengan integrasi 3 proton. Sinyal ini menunjukkan CH3 yang berikatan

dengan oksigen (-OCH3, metoksi), sehingga sinyal lebihdownfield.

Selanjutnya hasil analisa menggunakan 13C NMR senyawa

amidasi ditunjukkan pada tabel 4.3 dengan panduan gambar 4.8. Tabel 4.3 Data pergeseran kimia (δ) spektrum13C NMR senyawa A

(CD3OD, 500 MHz)

Senyawa A etilp-metoksisinamat (Hasaliet al,2013) Posisi Pergeseran Kimia (δ,ppm) Posisi Pergeseran Kimia (δ, ppm) etilp-metoksisinamat (Hasaliet al,

2013)

14 43,26 -

-- - 15 14,60

11 55,93 11 55,89

15 61,82 -

-- - 14 60,77

6 & 8 115,45 6 & 8 114,77

2 119,38 2 116,28

4 128,98 4 127,65

5 & 9 130,52 5 & 9 130,19

3 141,63 3 144,12

7 162,72 7 161,29


(58)

Dari data di atas menunjukkan bahwa senyawa A memiliki 10 sinyal atom karbon (C) dimana 4 atom karbon (C) pada benzen muncul dengan 2 sinyal saja karena ekivalen. Pada pergeseran kimia 169,48 ppm adalah karbon quartener pada gugus karbonil (C=O). Pergeseran kimia pada 119,38 ppm dan 141,63 ppm menunjukkan karbon-karbon yang terdapat pada gugus olefin. Pada pergeseran kimia 115,45 ppm, 128,98 ppm, 130,52 ppm dan 162,72 ppm merupakan karbon pada benzen dimana pada pergeseran 115,45 ppm dan 130,52 ppm merupakan sinyal 4 karbon yang ekivalen. Kemudian pergeseran kimia 55,93 merupakan karbon yang berikatan pada oksigen (-OCH3, metoksi). Pergeseran kimia pada 43,26 ppm dan

61,82 ppm merupakan karbon pada etanolamin dimana karbon pada pergeseran kimia 43,26 ppm berikatan dengan amina (NH) dan karbon pada pergeseran kimia 61,82 ppm berikatan dengan hidroksi (OH). Hal ini sesuai dengan teori bahwa karbon yang terikat pada gugus amina akan memberikan nilai pergeseran kimia antara 30-60 ppm (Paviaet al,2008).

4.2.2. Senyawa B

Senyawa hasil amidasi etil p-metoksisinamat dengan dietanolamin memiliki karakteristik sebagai berikut:

 Warna : krem

 Bau : Tidak berbau

 Bentuk : Serbuk

Pengukuran titik leleh dilakukan menggunakan alat melting point. Rentang titik leleh senyawa B hasil amidasi etil p -metoksisinamat dengan etanolamin ada pada 92oC-95oC.

Elusidasi struktur senyawa B dilakukan dengan analisa menggunakan Spektrofotometri IR, GCMS,1H NMR, dan 13C NMR.

Hasil analisis Spektrofotometri IR menunjukkan penafsiran spektrum IR senyawa B dari berbagai bilangan gelombang absorbansi gugus fungsi yang spesifik seperti yang tertera pada tabel 4.4 (Lampiran 11).


(59)

dari data tersebut dapat dilihat pita absorbansi pada bilangan gelombang ν 2958,93-2841,27 cm-1 menandakan adanya CH pada

aromatik. Selain itu keberadaan aromatik juga ditandai dengan munculnya pita absorbansi pada bilangan gelombang ν 1585,55 cm-1

(C=C). Pada bilangan gelombang ν 886,33 cm-1 menandakan bahwa

gugus aromatik tersebut tersubtitusipara. Pada bilangan gelombang ν 1648,24 cm-1 menandakan adanya gugus karbonil (C=O) dan juga

terdapat gugus eter (C-O) yang ditandai oleh pita absorbansi pada bilangan gelombang ν 1259,57 cm-1. Kemudian ditemukan pita

absorbansi pada bilangan gelombang ν 3500-3000 cm-1 yang

merupakan frekuensi serapan spesisfik dari OH yang terdapat pada etanolamin. Keberadaan C-N ditandai oleh pita absorbansi pada bilangan gelombang ν 1195,92 cm-1. Hal ini memperkuat bahwa etilp

-metoksisinamat telah bereaksi dengan dietanolamin membentuk amida. Tabel 4.4 Daftar daerah spektrum IR senyawa B

Ikatan Daerah Absorpsi (ν, cm-1)

O-H 3500-3000

C-N 1195,92

C-H 2958,93-2841,27

C=C 1585,55

C=O 1648,24

C-O 1259,57

Aromatik posisipara 886,33

Selanjutnya analisa menggunakan GCMS. Hasil interpretasiGas Chromatography-Mass Spectroscopy (GCMS) menunjukkan bahwa senyawa B muncul pada waktu retensi 14,334 dan memiliki berat molekul 265,1 g/mol dengan fragmentasi massa 220,1; 161; 133; 103; dan 77 (Lampiran 12). Adapun pola fragmentasi yang terjadi pada senyawa tersebut dapat dilihat pada gambar 4.9.


(60)

Gambar 4.9 Pola fragmentasi massa senyawa B

Data analisa spektrum IR dan Interpretasi GCMS selanjutnya dikonfirmasi dengan analisa 1H NMR dan 13C NMR. Interpretasi

analisa NMR berupa nilai pergeseran kimia (δ) dalam satuan ppm (Paviaet al, 2008). Adapun hasil analisis senyawa B dengan1H NMR

(Lampiran 13) ditunjukkan pada tabel 4.5 dengan panduan gambar 4.10.

Gambar 4.10 (a) senyawa B; (b) etilp-metoksisinamat

(a)


(61)

Tabel 4.5 Data pergeseran kimia (δ) spektrum1H NMR senyawa B

(CD3OD, 500 MHz)

Senyawa B Etilp-metoksisinamat (Mufidah, 2014) Posisi Pergeseran Kimia (δ,ppm) Posisi Pergeseran Kimia (δ, ppm)

- - 15 1,33 (t, 3H,J= 7,15)

- - 14 4,25 (q, 2H,J= 7,15)

14 3,62 (t, 2H,J= 5,85) -

-17 3.72 (t,2H,J= 5,20) -

-15 & 18 3.76 (t, 4H,J= 5,85) -

-2 7,00 (d, 1H,J= 15,6) 2 6,31 (d, 1H,J= 15,6) 3 7,53 (d, 1H,J= 14,9) 3 7,65 (d, 1H,J= 16,25) 5 &9 6,93 (d, 2H,J= 9,10) 5 &9 6,90 (d, 2H,J= 9,05) 6 & 8 7,55 (d, 2H,J= 9,10) 6 & 8 7,47 (d, 2H,J= 8,45)

11 3,82 (s, 3H) 11 3,82 (s, 3H)

Dari data di atas, pergeseran kimia pada 1,33 ppm dan 4,25 ppm sudah tidak muncul dimana itu menandakan senyawa B sudah tidak memiliki gugus ester. Kemudian pada pergeseran kimia 7,00 ppm dan 7,53 ppm berbentuk singlet dengan integrasi 1 proton dengan nilai konstanta kopling 15,6 dan 14,9. Sinyal tersebut menunjukkan gugus olefin pada senyawa B. Suatu puncak dengan konstanta kopling (J) 11-18 Hz dapat mengindikasikan bahwa proton tersebut memiliki konfigurasi trans (Pavia et al, 2008). Kemudian pada pergeseran kimia 6,93 ppm-7,55 ppm (4H) merupakan proton-proton dari benzen dengan dua subtitusi. Pola sinyal ini menunjukkan bahwa 2 proton ekivalen terkopling secara orto dengan 2 proton ekivalen lainnya, yang menunjukkan bahwa sinyal ini adalah sinyal H5/9 dan H6/8. Kemudian pada pergeseran kimia 3,82 ppm berbentuk singlet dengan integrasi 3 proton. Sinyal ini muncul lebih downfield yang menunjukkan CH3pada metoksi (-OCH3). Kemudian pada pergeseran

kimia 3,62 ppm – 3,76 ppm merupakan sinyal proton yang terdapat pada dietanolamin.

Selanjutnya hasil analisa menggunakan 13C NMR senyawa


(62)

Tabel 4.6 Data pergeseran kimia (δ) spektrum13C NMR senyawa B

(CD3OD, 500 MHz)

Senyawa B etilp-metoksisinamat (Hasaliet al,2013) Posisi Pergeseran Kimia (δ,ppm) Posisi Pergeseran Kimia (δ, ppm) etilp-metoksisinamat (Hasaliet al,

2013)

14 51,40 -

-17 52,75 -

-- - 15 14,60

11 55,92 11 55,89

15 61,18 -

-18 61,50 -

-- - 14 60,77

6 & 8 115,77 6 & 8 114,77

2 116,61 2 116,28

4 129,29 4 127,65

5 & 9 130,76 5 & 9 130,19

3 143,72 3 144,12

7 162,77 7 161,29

1 170,09 1 167,55

Dari data di atas menunjukkan bahwa senyawa B memiliki 12 sinyal atom karbon (C) dimana 4 atom karbon (C) pada benzen muncul dengan 2 sinyal saja karena ekivalen. Pada pergeseran kimia 170,09 ppm adalah karbon quartener pada gugus karbonil (C=O). Pergeseran kimia pada 116,61 ppm dan 143,72 ppm menunjukkan karbon-karbon yang terdapat pada gugus olefin (alkena). Pada pergeseran kimia 115,77 ppm, 129,29 ppm, 130,76 ppm dan 162,77 ppm merupakan karbon pada benzen dimana pada pergeseran 115,77 ppm dan 130,76 ppm merupakan sinyal 4 karbon yang ekivalen. Kemudian pergeseran kimia 55,92 merupakan karbon yang berikatan pada oksigen (-OCH3, metoksi). Kemudian pada pergeseran kimia

51,40 ppm dan 52,75 ppm merupakan karbon dari dietanolamin yang terikat dengan nitrogen (N). Dan pada pergeseran kimia 61,18 ppm dan 61,50 ppm merupakan karbon dari dietanolamin yang terikat dengan hidroksi (OH). Sinyal karbon yang terikat pada OH lebih

downfield dari pada karbon yang terikat pada N karena O lebih elektronegatif dibandingkan dengan N.


(63)

4.3. Pengujian Aktivitas Antiinflamasi dan Hubungan Struktur Aktivitas Senyawa Hasil Modifikasi

Pada penelitian ini, uji aktivitas antiinflamasi in vitro dengan prinsip penghambatan denaturasi protein (William et al, 2008) dipilih untuk melakukan skrining awal antiinflamasi pada senyawa hasil modifikasi. Denaturasi protein pada jaringan adalah salah satu penyebab penyakit inflamasi dan artritis. Produksi dari antigen-auto pada penyakit artritis dapat mengakibatkan denaturasi protein secara in vivo. Oleh karena itu, penggunaan suatu agen tertentu yang bisa mencegah denaturasi protein akan bermanfaat pada pengembangan obat antiinflamasi (Chatterjee et al., 2012). Antiinflamasi Non Steroid (AINS) selain memiliki mekanisme antiinflamasi dengan menghambat enzim siklooksigenase (Vane, 1987), juga memiliki mekanisme penghambatan denaturasi protein yang memiliki peran penting sebagai antirematik (Mizushima, 1964; Umapathyet al, 2010).

Uji aktivitas antiinflamasi dengan metode penghambatan denaturasi

Bovine Serum Albumin (BSA) ini dilakukan pada dua senyawa yaitu etil

p-Metoksisinamat, N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dan N,N

-bis-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dengan Na diklofenak sebagai kontrol positif. Uji penghambatan denaturasi BSA dengan % inhibisi >20% dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi (Williamset al, 2008).

Penelitian uji aktivitas antiinflamasi ini dilakukan dengan melihat efek penghambatan denaturasi pada protein. Natrium diklofenak dalam uji ini aktif memberikan efek antidenaturasi protein dimulai dari konsentrasi 10 ppm dengan persen inhibisi 24,93% dan pada konsentrasi 100 ppm mampu menghambat denaturasi protein sebesar 97,43% (tabel 4.7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada senyawa N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida aktif menghambat denaturasi protein pada konsentrasi 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm dengan persen inhibisi terbesar pada konsentrasi 100 ppm yaitu 78,62% (tabel 4.7). Dan pada senyawa N,N-bis-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida aktif menghambat denaturasi protein pada konsentrasi 0,1 ppm, 1 ppm, 10 ppm, 100 ppm, dimana persen inhibisi terbesar terdapat pada konsentrasi 100 ppm yaitu 74,15 %. Aktivitas antiinflamasi EPMS dengan


(64)

menghambat denaturasi protein terjadi pada konsentrasi 0,1 ppm, 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm dimana persen inhibisi terbesar terdapat pada konsentrasi 100 ppm yaitu 54,94%.

Tabel 4.7 Hasil uji antiinflamasi natrium diklofenak, EPMS dan Senyawa Hasil Modifikasi

No Sampel Konsentrasi(ppm) % Inhibisi SD

1 Natrium diklofenak

0,1 1,59 0,36

1 2,99 0,76

10 24,93 1,84

100 97,43 0,62

2 Etilp-metoksisinamat (EPMS)

0,1 30,91 3,10

1 36,48 6,45

10 43,18 2,06

100 54,94 2,43

3 N-(hidroksietil)-sinamamidap-metoksi

0,1 15,37 3,42

1 61,14 1,40

10 70,20 4,81

100 78,62 5,24

4 N,N-bis-(hidroksietil)-sinamamidap-metoksi

0,1 48,88 1,01

1 59,47 3,49

10 65,16 2,60

100 74,15 4,00


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 13. Spektrum

1

H NMR Senyawa B


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

84


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Lanjutan)


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

86


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Lanjutan)


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

88