Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) obat antipeptik pada pasien dengan Peptic Ulcer Disease (PUD) non spesifik sekunder rawat inap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta (studi kasus pada periode Januari 2013-Desember 2013).

(1)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) OBAT ANTIPEPTIK PADA PASIEN DENGAN PEPTIC ULCER DISEASE (PUD) NON SPESIFIK

SEKUNDER RAWAT INAP RSUP. DR. SARDJITO YOGYAKARTA (STUDI KASUS PADA PERIODE JANUARI 2013-DESEMBER 2013)

INTISARI

Gangguan saluran cerna merupakan penyakit yang jumlahnya terus meningkat..Peptic Ulcer Disease banyak ditemukan sebagai penyakit penyerta dari penyakit yang cukup serius, sehingga pengobatan membutuhkan waktu lama dan menggunakan cukup banyak obat sehingga rentan terjadi Drug Related Problems (DRPs). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pola penggunaan obat, Drug Related Problems (DRPs) terkait obat PUD, dan outcome pasien setelah menerima terapi di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013 – Desember 2013

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan data retrospektif menggunakan rekam medis. Data yang diambil meliputi identitas pasien, diagnosis masuk, diagnosis komplikasi, riwayat penyakit dan pengobatan, gejala dan tanda dan data laboratorium. Kriteria inklusi yang digunakan ialah pasien yang didiagnosis dengan PUD. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment, dan Planning/Recommendation), mengacu pada standar terapi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dan beberapa pustaka

Terdapat 20 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian diketahui ditemukan 9 kasus DRPs terkait dengan penggunaan obat Peptic Ulcer Disease (PUD). Dari 7 kasus ini DRPs yang ditemukan ialah 6 kasus obat tanpa indikasi, dan 3 kasus interaksi dan efek samping obat


(2)

THE EVALUATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) ANTIPEPTIC DRUGS ON PATIENTS WITH SECONDARY NON SPESIFIC PEPTIC

ULCER DISEASE (PUD) INPATIENT OF RSUP. DR. SARDJITO YOGYAKARTA

(CASE STUDY ON THE PERIOD OF JANUARY 2013-DECEMBER 2013)

ABSTRACT

Gastrointestinal disorder is an always growing number disease. Peptic Ulcer Disease is mostly found as a morbidity of quite serious disease, therefore the medication needs longer time and uses quite many drugs so Drug Related Problems (DRPs) often occurs. This research intends to evaluate the system of drug use, Drug Related Problems(DRPs) related tp PUD drugs, and the outcomeof patientsafterreceivingtreatmentat RSUP Dr.Sardjito on the period ofJanuary 2013-December 2013.

This research is a observational research with retrospective data using medical records. Data taken encompass the patients identities, incoming diagnosis, complication diagnosis, hospital chart and medication, symptoms and laboratory data. Inclusion criteria used is the patients diagnosed with PUD. The data obtained then are analyzed with SOAP (Subjective, Objective, Assesment, dan Planning/Recommendation) method, refer to the therapy standard of RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, and some books.

There are twenty patients who meet the inclusion criteria. The research result finds there are nine cases of related DRPs with the use of Peptic Ulcer Disease (PUD) drugs. From this nine cases, the DRPs found are: six cases unnecessary drug therapy, and three cases interaction and adverse drug reaction.


(3)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) OBAT ANTIPEPTIK PADA PASIEN DENGAN PEPTIC ULCER DISEASE (PUD) NON

SPESIFIK SEKUNDER RAWAT INAP RSUP. DR. SARDJITO YOGYAKARTA

(STUDI KASUS PADA PERIODE JANUARI 2013-DESEMBER 2013)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Maria Jessica Cynthia Debby NIM : 108114138

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) OBAT ANTIPEPTIK PADA PASIEN DENGAN PEPTIC ULCER DISEASE (PUD) NON

SPESIFIK SEKUNDER RAWAT INAP RSUP. DR. SARDJITO YOGYAKARTA

(STUDI KASUS PADA PERIODE JANUARI 2013-DESEMBER 2013)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Maria Jessica Cynthia Debby NIM : 108114138

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya Keciku Kupersembahkan untuk:

Orangtuaku

tersayang

atas doa dan dukungannya sahabat sekaligus saingan terhebat yang menjadi penyemangat, penghibur saat galau

Eyang Kakung dan Eyang Uti Marwandi

yang selalu membimbing, dengan doa yang selalu menyertakan namaku di dalamnya Sahabat-sahabat yang selalu ada dalam suka & duka

Ibu wali baptisku, BERNADETA PINESTHI JANJI, yang selalu

mendoakanku dari surga….

sahabat untuk menuju “langit senja” yang selalu yang membuatku kagum…

Kalian selalu di hati


(8)

(9)

(10)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan kasih-Nya skripsi dengan judul “Evaluasi Drug Related Problems pada Pasien Dengan Peptic Ulcer Disease (PUD) Rawat Inap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta (Studi Kasus Pada Periode Juli 2012-Desember 2013)” dapat diselesaikan tepat waktu. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Skripsi ini dapat terselesaikan pasti tidak lepas dari bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Sanata Dharma. dan Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan bimbingan, petunjuk, koreksi, saran serta motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji yang telah bersedia dalam meluangkan waktu dan tenaga dalam menguji skripsi ini.

3. Ibu Dita Maria Virginia. selaku Dosen Penguji yang telah bersedia dalam meluangkan waktu dan tenaga dalam menguji skripsi ini.

4. Keluarga di kecilku di Magelang yang selalu menyemangati, mendukung dan mendoakanku : Papa Gregorius Suharso,Mama Fransiska Deni Arita, Kakak Yohanes Pradipta Eka Yudha Adi Nugraha, Adek-adekku, Christophorus Susilo Adi Kurniawan, dan Michael Sinathrya Agung Wibisono, dan Eyangku Florentius Marwandi dan Maria Helena Siti Trimurti.


(11)

viii

5. Teman – teman sekelompok dan seperjuangan Anggun dan Mega yang selalu kompak dalam tiap masalah dan saling mendukung serta menyemangati. 6. Sahabat terkasih Mbak Anul, Mbak Agnho, Tari, Tere, Cindot, Liu, Mirsha,

Orie, Anas, Ejun, Tika, Agrif dan Ci Mpriz yang selalu memberi semangat dalam penyusunan skripsi ini.

7. Kelas FKK B, terimakasih atas kebersamaan kita yang luar biasa dan semangat yang selalu berkobar. Bersama kalian itu… rasanya manis!

8. Keluarga besarku di Yogyakarta yang selalu memberi semangat dan dukungan dalam penyususan skripsi ini : teman-temanku di Komunitas Tritunggal Mahakudus.

9. Angkatan Farmasi 2010,calon-calon farmasis yang hebat, terimakasih untuk kebersamaan yang luar biasa ini. Terimakasih untuk kekompakan dan kesatuan hingga saat-saat terakhir. Euphoria saat bersama kalian takkan terlupa.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu selama penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga masukan berupa kritik dan saran sangat diharapkan agar skripsi ini menjadi lebih baik, dan akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang berkepentingan.


(12)

ix

Yogyakarta, 20 Agustus 2015


(13)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERSEMBAHAN... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... PRAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... BAB I. PENGANTAR... A.Latar Belakang... 1. Perumusan masalah... 2. Keaslian penelitian... 3. Manfaat penelitian...

a. Manfaat teoretis... b. Manfaat praktis... B.Tujuan Penelitian... 1. Tujuan umum... 2. Tujuan khusus... BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... A.Pharmaceutical Care...

1. Obat tanpa indikasi………... 2. Indikasi tanpa obat………...

i ii iii iv v vi vii x xiv xv xvi xvii xviii 1 1 3 4 5 5 5 6 6 6 7 7 7 7


(14)

xi

3. Obat Salah………

4. Dosis terlalu rendah………

5. Interaksi dan efek samping obat………

6. Dosis terlalu tinggi………

7. Ketidaktaatan pasien……… B.Peptic Ulcer Disease... 1. Definisi………... a. Duodenal Ulcer... b. Gastric Ulcer...

c. Stress Ulcer………..

d. Gastritis erosif..……….

e. Refluks esofagitis………..

2. Epidemiologi…………... 3. Etiologi………... 4. Patofisiologi………...

a. Asam lambung dan pepsin... b. Helicobacter pylori dan NSAID... 5. Manifestasi Klinik………... 6. Diagnosis……….. 7. Strategi Terapi……….. a. Terapi Non Farmakologi... b. Terapi Farmakologi... 1) Proton Pump Inhibitors (PPI)... 2) Histamin H2 Receptor Antagonists...

3) Prostaglandin Analogs... 4) Sucralfate... 5) Antacids... C.Keterangan Empiris... BAB III. METODE PENELITIAN...

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... B. Variabel Penelitian………

8 8 8 8 9 9 9 10 10 10 11 11 11 12 13 13 14 18 19 19 20 20 21 21 21 22 22 26 27 27 27


(15)

xii

C. Definisi Operasional... D. Subyek Penelitian... E. Instrumen Penelitian……….. F. Tata Cara Penelitian...

1. Analisa situasi... 2. Permohonan ijin...

a. Permohonan ijin ethical clearance………. b. Pengajuan ijin ke RSUP Dr. Sardjito………. 3. Pengambilan data...

a. Pengumpulan Data………... b. Penelusuran informasi terkait………... c. Pengolahan dan analisis data……… 1) Karakteristik pasien……….. 2) Profil penggunaan obat………. 3) Profil penggunan obat Peptic Ulcer Disease……… 4) Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)………... d. Penyajian dan pembahasan hasil……….. G. Keterbatasan dan Kesulitan Penelitian... BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... A. Karakteristik Pasien...

1. Distibusi pasien berdasarkan usia... 2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin………...………... 3. Profil diagnosis utama dan sekunder pasien dengan Peptic Ulcer Disease

non spesifik sekunder………

B. Profil Penggunaan Obat......... 1. Obat untuk Saluran Cerna……… 2. Obat Kardiovaskular dan Diuretik……… 3. Obat yang Mempengaruhi Darah dan Nutrisi……….. 4. Obat yang Mempengaruhi Hormon……….. 5. Obat Analgetika dan Antipiretik……….. 6. Obat untuk Antiinflamasi dan Antibiotik………...

27 28 29 29 29 29 30 30 30 30 30 31 31 31 31 32 32 32 34 34 34 35 36 38 38 40 40 41 41 42


(16)

xiii

7. Obat untuk Saluran Nafas……… 8. Obat untuk Susunan Saraf Pusat………... 9. Infus………... C. Profil Penggunaan Obat Peptic Ulcer Disease……….....

1. Golongan dan jenis obat…... 2. Indikasi dan pilihan terapi………... 3. Rute dan waktu pemberian…………... 4. Dosis dan frekuensi pemberian……… D. Drug Related Problems (DRPs)... 1. Obat tanpa indikasi…………... 2. Interaksi dan efek samping obat... E. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)... BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...

A. Kesimpulan... B. Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... BIOGRAFI PENULIS...

42 42 43 43 43 44 44 45 47 49 52 53 55 55 56 57 61 135


(17)

xiv DAFTAR TABEL Tabel I.

Tabel II.

Tabel III.

Diagnosa Utama dan Sekunder pada Kasus Pasien Rawat Inap dengan Peptic Ulcer Disease Non Spesifik Sekunder di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari 2013 – Desember 2013………. Profil Penggunaan Obat Berdasarkan Kelas Terapi pada Kasus Pasien rawat inap dengan Peptic Ulcer Disease Non Spesifik Sekunder di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari 2013 – Desember 2013... Profil Penggunaan Obat Saluran Pencernaan pada Pasien Rawat Inap dengan Peptic Ulcer DiseaseNon Spesifik Sekunderdi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari 2013 –Desember 2013…………..

37

38

39

Tabel IV.

Tabel V

Jenis DRPs Penggunaan Obat Anti peptik pada Pasien Rawat Inap dengan Peptic Ulcer Disease Non Spesifik Sekunder di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari 2013 –Desember 2013…………

Rangkuman Hasil Evaluasi DRPs dan Status Keluar Pasien dengan Peptic Ulcer Disease rawat inap di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta

periode Januari 2013-Desember

2013...

.

48

54


(18)

xv DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme infeksi H.pylori... 16

Gambar 2. Mekanisme efek NSAID... 17

Gambar 3. Mekanisme Pembentukan Ulkus... 18

Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan terapi Peptic Ulcer Disease ... 23 Gambar 5.

Gambar 6.

Gambar 7.

Gambar 8.

Gambar 9.

Regimen obat dalam pengobatan eradikasi H.pylori... Regimen terapi oral untuk penyembuhan ulkus atau pemeliharaan pada Peptic Ulcer Disease...... Bagan pemilihan subyek penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013-Desember 2013... Persentase distribusi pasien dengan Peptic Ulcer Disease berdasarkan kelompok usia di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode Januari

2013-Desember 2013……….. Persentase distribusi pasien dengan Peptic Ulcer Disease berdasarkan jenis kelamin di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode Januari 2013-Desember 2013...

24

26

29

35


(19)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.

Lampiran 2.

Lampiran 3. Lampiran 4.

Analasis Drug Related Problems (DRPs) obat antipeptik pasien dengan Peptic Ulcer Disease (PUD) RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013-Desember 2013...... Surat keterangan telah melakukan penelitian di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta... Surat Keterangan Ethics Committee Approval... Daftar nama obat generik dan brand nameyang digunakan

dalam peresepan…………...

62

132 133


(20)

xvii

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) OBAT ANTIPEPTIK PADA PASIEN DENGAN PEPTIC ULCER DISEASE (PUD) NON

SPESIFIK SEKUNDER RAWAT INAP RSUP. DR. SARDJITO YOGYAKARTA

(STUDI KASUS PADA PERIODE JANUARI 2013-DESEMBER 2013)

INTISARI

Gangguan saluran cerna merupakan penyakit yang jumlahnya terus meningkat..Peptic Ulcer Disease banyak ditemukan sebagai penyakit penyerta dari penyakit yang cukup serius, sehingga pengobatan membutuhkan waktu lama dan menggunakan cukup banyak obat sehingga rentan terjadi Drug Related Problems (DRPs). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pola penggunaan obat, Drug Related Problems (DRPs) terkait obat PUD, dan outcome pasien setelah menerima terapi di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013 – Desember 2013

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan data retrospektif menggunakan rekam medis. Data yang diambil meliputi identitas pasien, diagnosis masuk, diagnosis komplikasi, riwayat penyakit dan pengobatan, gejala dan tanda dan data laboratorium. Kriteria inklusi yang digunakan ialah pasien yang didiagnosis dengan PUD. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment, dan Planning/Recommendation), mengacu pada standar terapi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dan beberapa pustaka

Terdapat 20 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian diketahui ditemukan 9 kasus DRPs terkait dengan penggunaan obat Peptic Ulcer Disease (PUD). Dari 7 kasus ini DRPs yang ditemukan ialah 6 kasus obat tanpa indikasi, dan 3 kasus interaksi dan efek samping obat


(21)

xviii

THE EVALUATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) ANTIPEPTIC DRUGS ON PATIENTS WITH SECONDARY NON SPESIFIC PEPTIC ULCER DISEASE (PUD) INPATIENT OF RSUP. DR.

SARDJITO YOGYAKARTA

(CASE STUDY ON THE PERIOD OF JANUARY 2013-DECEMBER 2013)

ABSTRACT

Gastrointestinal disorder is an always growing number disease. Peptic Ulcer Disease is mostly found as a morbidity of quite serious disease, therefore the medication needs longer time and uses quite many drugs so Drug Related Problems (DRPs) often occurs. This research intends to evaluate the system of drug use, Drug Related Problems(DRPs) related tp PUD drugs, and the outcomeof patientsafterreceivingtreatmentat RSUP Dr.Sardjito on the period ofJanuary 2013-December 2013.

This research is a observational research with retrospective data using medical records. Data taken encompass the patients identities, incoming diagnosis, complication diagnosis, hospital chart and medication, symptoms and laboratory data. Inclusion criteria used is the patients diagnosed with PUD. The data obtained then are analyzed with SOAP (Subjective, Objective, Assesment, dan Planning/Recommendation) method, refer to the therapy standard of RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, and some books.

There are twenty patients who meet the inclusion criteria. The research result finds there are nine cases of related DRPs with the use of Peptic Ulcer Disease (PUD) drugs. From this nine cases, the DRPs found are: six cases unnecessary drug therapy, and three cases interaction and adverse drug reaction.


(22)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Pharmaceutical care merupakan tanggung jawab dari tenaga kesehatan, khususnya farmasis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan menjamin keamanan, kerasionalan dan ketepatan pemberian terapi supaya tercapai efek terapi yang maksimal dengan risiko yang seminimal mungkin (Siregar dan Kumulosari, 2004).

Gangguan saluran cerna merupakan penyakit yang sering dijumpai pada masyarakat dewasa ini. Jumlah penderita dari tahun ke tahun semakin meningkat, berdasarkan survei yang dilakukan di Amerika, Australia, dan beberapa negara Eropa, angka kejadian penyakit gangguan saluran cerna sebesar 13-48% (Irawati dan Herawati, 2011).

Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah adalah luka yang terdapat pada lapisan lambung atau duodenum (NIDDK,2004). Di Amerika Serikat, kurang lebih sebanyak 4 juta orang menderita ulcer pada duodenum dan lambung, ditemukan 350.000 kasus baru, dengan 180.000 pasien rawat inap dan sekitar 5000 orang meninggal setiap tahunnya. Kemungkinan untuk menderita Peptic Ulcer Disease adalah 10% pada pria dan 4% pada wanita (Robbins and Cotran, 2005), sedangkan di Indonesia prevalensi Peptic Ulcer Disease antara 6-15% terutama pada usia 20-50 tahun (Suyono, 2001).


(23)

Penelitian ini bertujuan menganalisis terapi yang diberikan kepada pasien penderita Peptic UlcerDisease mencakup keseluruhan dari aspek pharmaceutical care; meliputi dosage, unnescessary drug therapy, needs additional drug therapy, ineffective drug, dosage too low, dosage too high, adverse drug reaction.

Peneliti tertarik pada kajian pharmaceutical care karena pada gangguan saluran pencernaan biasanya diberikan terapi dengan menggunakan berbagai macam obat, sehingga memungkinkan timbulnya interaksi obat yang dapat mengurangi atau meningkatkan efek obat yang mengakibatkan toksisitas. Pemberian dosis yang tidak tepat; terlalu rendah ataupun terlalu tinggi menyebabkan efek farmakologis yang diinginkan tidak tercapai dan terjadi toksisitas. Selain itu ketepatan dosis juga ditentukan oleh kondisi masing-masing pasien.

Polifarmasi seringkali terjadi dalam pemberian terapi, yang seharusnya obat tidak terlalu dibutuhkan oleh pasien namun dimasukkan dalam peresepan (unnescessary drug therapy), atau kurangnya obat dalam peresepan sehingga perlu ditambahkan obat, dan kemungkinan adanya obat yang tidak efektif dalam peresepan dapat menjadi penyebab kegagalan terapi (Siregar dan Kumulosari, 2006). Sebagai calon farmasis, peneliti menyadari pentingnya menganalisis penggunaaan obat dari seluruh aspek pharmaceutical care untuk memaksimalkan hasil terapi dengan resiko seminimal mungkin, sehingga keamanan dan meningkatnya kualitas hidup pasien dapat terwujud (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2009).


(24)

Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, peneliti memilih melakukan penelitian pada bagian instalasi rawat inap karena pasien di instalasi rawat inap merupakan pasien dengan kondisi penyakit yang serius dan biasanya memiliki lebih dari satu jenis penyakit (mengalami komplikasi) (Kementrian Kesehatan, 2010) dan obat yang diberikan lebih dari satu macam, sehingga rentan terjadi masalah terkait penggunaan obat, oleh karena itu perlu diperhatikan pemilihan obatnya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan rasionalitas terapi pada pasien Peptic Ulcer Disease yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito, sehingga keamanan pasien terjamin.

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah pola penggunaan obat yang diberikan pada pasien dengan Peptic Ulcer Disease yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito?

b. Apakah terdapat Drug Related Problems (DRPs) meliputi : 1) Obat tanpa indikasi?

2) Indikasi tanpa obat? 3) Obat salah?

4) Dosis terlalu rendah? 5) Dosis terlalu tinggi?


(25)

2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka yang telah dilakukan oleh peneliti, sebelumnya sudah pernah dilakukan penelitian lain mengenai evaluasi Drug Related Problems:

a. Drug Related Problems pada pasien rawat inap dengan gangguan pada gastrointestinal di rumah sakit Panti Rini Yogyakarta tahun 2012 (Pang, 2012). Penelitian ini mengkaji Drug Related Problems pada pasien Peptic Ulcer Disease. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam hal obyek yang diteliti, usia tidak dibatasi dan mencakup seluruh aspek pharmaceutical caresehingga memberikan gambaran yang lebih detail mengenai evaluasi penggunaan obat pada semua rentang usia, dan dilakukan pada tahun yang berbeda dengan pola perkembangan penyakit yang berbeda, sehingga hasil mungkin berbeda.

b. Drug Related Problems pada pasien dengan penyakit Peptic Ulcer Disease di Tertiary Care Hospital Pakistan tahun 2013, yang mengkaji Drug Related Problems dari segi demografi penyebab pasien dirawat inap, dan keamanan farmakoterapi dari segi Drug Interaction (Abidullah, Hussain, Ahmad, Kamal,dan Ullah, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini mengkaji seluruh aspek pharmaceutical care karena Drug Related Problems bukan saja mengenai drug interaction, dan karena penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan kebiasaan dan kondisi demografi yang berbeda, menyebabkan hasil dan perkembangan penyakit yang berbeda.


(26)

c. Polypharmacy and Unnecessary Drug Therapy on Geriatric Hospitalized Patient in Yogyakarta Hospitals, Indonesia tahun 2009 yang mengkaji Drug Related Problems dari segi unnecessary drug therapy pada pasien geriatri rawat inap dengan komplikasi penyakit dan menerima obat dalam jumlah banyak (polifarmasi), yang memungkinkan terjadinya adverse drug reaction, pada penelitian ini penyakit tidak dibatasi (Rahmawati, Pramantara, Rohmah, Sulaiman, 2009), sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengkaji seluruh aspek Drug Related Problems, pada pasien Peptic Ulcer Disease dengan atau tanpa penyakit penyerta pada semua umur penyakit pada penelitian ini lebih spesifik sehingga analisis DRP juga lebih spesifik.

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan penyakit Peptic Ulcer Disease, serta dapat menambah pengetahuan tenaga kesehatan mengenai profil penyakit dan penggunaan obat dalam peberian terapi pasien dengan penyakit gangguan gastrointestinal.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan efektivitas proses terapi pada pasien dengan penyakit gangguan gastrointestinal di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, serta memberikan informasi dan referensi sebagai bahan pertimbangan umtuk meningkatkan keamanan pasien dan kualitas pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan.


(27)

B. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :

1. Tujuan Umum

Mengevaluasi Drug Related Problems pada terapi pasien Peptic Ulcer Disease yang dirawat di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus

a. Mengevaluasi pola penggunaan obat pada pengobatan pasien dengan Peptic Ulcer Disease,

b. Mengevaluasi terjadinya Drug Related Problems (DRPs) pada pasien Peptic Ulcer Disease di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito dengan membandingkan lembar rekam medis dengan pustaka acuan.


(28)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Pharmaceutical Care

Pharmaceutical care adalah praktek pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien, dimana praktisi mengambil tanggung jawab untuk kebutuhan pasien terkait dengan obat (Cipolle, 2004).

Pharmaceutical care merupakan tanggung jawab dari tenaga kesehatan, khususnya farmasis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan menjamin keamanan, kerasionalan dan ketepatan pemberian terapi supaya tercapai efek terapi yang optimal dengan risiko yang seminimal mungkin (Siregar, 2004). Fokus pharmaceutical care antara lain drug related probems; yaitu masalah-masalah yang timbul terkait penggunaan obat. Drug Related Probems meliputi: 1. Obat tanpa indikasi

Obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)merupakan poin Drug Related Problems yang terjadi karena pada pemberian suatu obat dimana obat tidak memiliki indikasi klinis yang valid dan sesuai dengan kondisi pasien, terdapat lebih dari satu obat yang memiliki indikasi yang sama, dan terapi diberikan untuk mencegah efek samping dari obat lain, serta penyalahgunaan obat.

2. Indikasi tanpa obat

Indikasi tanpa obat (needs additional drug therapy) merupakan poin Drug Related Problems yang terjadi karena dalam pemberian terapi pasien perlu diberikan tambahan obat untuk mengobati atau mencegah perkembangan


(29)

penyakit semakin buruk. Obat tambahan diberikan kepada pasien yang: dengan kondisi klinis tertentu dan membutuhkan terapi inisiasi, obat diperlukan unuk mengurangi resiko dari perkembangan suatu keadaan klinis. 3. Obat salah

Obat salah (ineffective drug) merupakan poin Drug Related Problems yang terjadi karena dalam pemberian terdapat obat yang tidak sesuai dengan kondisi pasien sehingga tidak memberikan efek yang diharapkan, kondisi medis yang sukar disembuhkan dengan obat tersebut, dan bentuk sediaan tidak tepat.

4. Dosis terlalu rendah

Dosis terlalu rendah (dosage too low) adalah Drug Related Problems yang terjadi karena dosis pemberian obat terlalu rendah, sehingga respon yang diharapkan tidak tercapai. Dosis terlalu rendah dapat dipengaruhi oleh interaksi obat dan durasi obat yang terlalu singkat.

5. Interaksi dan efek samping obat

Interaksi dan efek samping obat (adverse drug reaction) yaitu terjadinya reaksi yang tidak diinginkan karena pemberian suatu obat yang terjadi pada dosis terapi, terjadi interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan, dan obat dikintraindikasikan karena faktor resiko tertentu.

6. Dosis terlalu tinggi

Dosis terlalu tinggi (dosage too high) adalah poin Drug Related Problems yang terjadi karena dosis pemberian obat terlalu tinggi sehingga timbul efek yang tidak diinginkan. Dosis terlalu tinggi dapat disebabkan oleh


(30)

durasi obat yang terlalu lama, interaksi obat, dan pemberian dosis obat terlalu cepat.

7. Ketidaktaatan pasien

Non compliance atau ketidaktaatan pasien adalah salah satu poin Drug Related Problems disebabkan oleh ketidakmampuan pasien mengikuti dan mentaati instruksi terapi obat. Beberapa hal yang menyebabkan ketidaktaatan pasien antara lain: pasien tidak memahami instruksi, pasien tidak minum obat, pasien memilih tidak mengambil pengobatan, dan obat terlalu mahal.

(Cipolle, Strand dan Morley, 2004). B. Peptic Ulcer Disease

1. Definisi

Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah luka yang terdapat pada lapisan lambung atau duodenum. Duodenum merupakan bagian pertama dari usus kecil. Apabila peptic ulcer ditemukan di lambung maka disebut gastric ulcer dan apabila dijumpai pada duodenum disebut duodenal ulcer (NIDDK, 2004).

Peptic ulcer merupakan luka yang sifatnya kronik, biasanya merupakan luka tunggal yang dapat muncul pada di seluruh bagian gastrointestinal yang terpejan efek getah asam atau pepsin. Peptic ulcer biasa dijumpai di tempat-tempat berikut: Pangkal duodenum, lambung, biasanya pada bagian antrum, taut gastroesofagus, refluks gastroesofagus atau pada esofagus Barrett, pada bagian tepi gastro jejunostomi, duodenum, lambung, dan/atau jejunum pada pasien dengan sindrom Zollinger-Ellison (Robbins and Cotran, 2005).


(31)

a. Duodenal ulcer

Hipersekresi asam lambung merupakan salah satu faktor penyebab duodenal ulcer, selain itu ulcer dapat terbentuk karena adanya respon abnormal terhadap rangsangan submaksimal dari sel-sel sekretori dengan jumlah normal atau respon dari sel-sel parietal dengan jumlah lebih besar dari normal. Pasien dengan duodenal ulcer memiliki jumlah sel-sel sekretori yang lebih besar dari orang normal. Pada duodenal ulcer rasa nyeri muncul 2 jam setelah makan, dan semakin parah dengan adanya makanan asam, alkohol, dan kopi, oleh karena itu penderita duodenal ulcer dapat terbangun pada pukul 1-2 pagi. Mulanya terjadi kerusakan mukosa berkaitan dengan reaksi peradangan. Banyak terjadi pada usia muda terutama pada pria.

b. Gastric ulcer

Pada gastric ulcer rasa nyeri muncul 30 menit sampai 1 jam setelah makan, rasa nyeri dapat diredakan dengan pemberian antasida atau dengan memuntahkan makanan. Sama halnya dengan duodenal ulcer, gastric ulcer terjadi karena reaksi peradangan. Gejala yang timbul sulit dibedakan dengan duodenal ulcer dan perlu dilakukan endoskopi untuk memastikannya. Banyak terjadi pada usia pertengahan atau lebih tua, terutama pada masyarakat tingkat ekonomi rendah dan perokok. Perubahan ketahanan mukosa dan terjadinya refluks empedu dapat mempengaruhi terjadinya gastric ulcer.

c. Stress ulcer

Terjadinya tekanan pada lambung dan atau erosi pada lambung karena luka bakar hebat, sepsis, cedera kepala, atau trauma. Pada Stress ulcer melibatkan


(32)

perdarahan saluran cerna yang fatal. Perdarahan harus diatasi dengan pemberian antasida atau obat antipeptik yang lain, apabila perdarahan tetap terjadi dengan pemberian profilaksis maka vagotomi dan gastrektomi perlu dilakukan.

d. Gastritis erosif

Gastritis erosif sering kali terjadi karena pemberian obat-obat seperti NSAID, aspirin, kortikosteroid dapat menimbulkan erosi pada mukosa lambung. Alkohol juga berperan dalam semakin buruknya kondisi penyakit. Pemberian obat-obat tersebut juga dapat memperparah prognosis duodenal ulcer.

e. Refluks esofagitis

Adalah terjadinya refluks isi lambung ke dalam esophagus, dapat terjadi pada berbagai jenis usia dan jenis kelamin. Gejala yang timbul seperti nyeri epigastrik, heartburn, dan regurgitasi. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus sfingter esophagus seperti makanan, coklat, alkohol, dan rokok dapat memperberat gejala yang dialami.

(Ilse Truter, 2009)

2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kurang lebih sebanyak 4 juta orang menderita Peptic Ulcer Disease pada bagian duodenum dan lambung, ditemukan 350.000 kasus baru, dengan 180.000 pasien rawat inap dan sekitar 5000 orang meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan data penelitian, kemungkinan untuk menderita Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah 10% pada pria dan 4% untuk wanita (Robbins and Cotran, 2005).


(33)

Menurut Brashers (2001) dan Matfin dan Porth (2009) usia puncak terjadinya PUD yakni pada rentang 55 tahun hingga 65 tahun dan sangat jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Sebesar 10% dari populasi diketahui mengidap peptic ulcer, dengan angka kejadian duodenal ulcer adalah lima kali lipat besarnya dibanding gastric ulcer.

Penyebab utama Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah bakteri H. pylori dan penggunaan obat NSAID, penyebab lainnya bervariasi yakni tipe ulkus (ulcer), umur, jenis kelamin, lokasi geografis, ras, perubahan genetik, pekerjaan dan faktor sosial (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008).

Prevalensi PUD di Amerika Serikat menunjukkan penurunan jumlah pada pria muda, namun meningkat pada wanita yang lebih tua. Hal ini disebabkan karena menurunnya kebiasaan merokok pada pria muda dan meningkatnya penggunaan NSAID pada kelompok geriatri. Penggunaan NSAID meningkatkan angka kematian pada kelompok geriatri diatas 75 tahun. Diketahui pasien dengan gastric ulcer memiliki angka kematian lebih besar daripada pasien dengan duodenal ulcer (Dipiro, et al., 2008).

3. Etiologi

H. pylori dan penggunaan Non Steroidal Anti Inflammation Drug (NSAID) merupakan dua hal yang sangat umum menyebabkan Peptic Ulcer Disease (PUD) kronis dan mempengaruhi tingkat keparahan penyakit. Penyebab PUD yang kurang umum meliputi hipersekresi, infeksi virus, radiasi dan kemoterapi, kecenderungan genetik; terutama pada duodenal ulceration, penggunaan obat kortikosteroid, dan alkohol. Alkohol dapat memicu timbulnya


(34)

ulkus karena alkohol merupakan senyawa yang memicu sekresi asam lambung (Hardman, Limbird, and Gilman, 2001), selain itu merokok, diet, dan stres, konsumsi NSAID, dan penyakit kronis seperti gagal ginjal kronis, sirosis hati, penyakit paru-paru kronis, dan Crohn’s disease juga berperan dalam menyebabkan ulkus (Ilse Truter, 2009).

4. Patofisiologi

a. Asam lambung dan pepsin

Faktor yang berpotensial untuk merusak membran mukosa adalah sekresi asam lambung (asam klorida) dan pepsin. Asam lambung disekeresi oleh sel-sel parietal yang mengandung reseptor histamin, gastrin, dan asetilkolin. Asam lambung merupakan faktor independen yang berkontribusi pada gangguan membran mukosa. Pada pasien dengan gastric ulcer biasanya asam lambung disekresi dalam jumlah normal atau kurang (hipokloridia) (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, Posey, 2005).

Sekresi asam dikeluarkan dalam jumlah yang sama dengan asam yang disekresi di bawah basal atau kondisi puasa, basal acid output (BAO); setelah setelah stimulasi maksimal, maximal acid output (MAO); atau respons setelah makan. Basal, maximal, dan makanan akan menstimulasi sekresi asam dan dapat dipengaruhi oleh kondisi psikologis, usia, umur, dan kondisi kesehatan (Dipiro, 2008).

Dipiro (2005) mengatakan pepsin diaktivasi oleh pH asam (pH optimal antara 1,5-3,8), inaktivasi revesibel pepsin pada pH 4, dan inaktivasi irreversibel pada pH 7. Pepsin berperan dalam aktivitas proteolitik dalam pembentukan ulkus.


(35)

Perbaikan mukosal berkaitan dengan pergantian sel epitel, pertumbuhan dan regenerasi yang dimediasi oleh prostaglandin. Perubahan pada mukosa pertahanan yang disebabkan H. pylori dan NSAID merupakan kofaktor yang menyebabkan peptic ulcer (Dipiro, et al., 2008).

b. Helicobacter pylori dan NSAID

Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif dengan bentuk spiral merupakan penyebab paling umum selain NSAID, infeksi H. pylori seringkali disebarkan melalui rute oral. H. pylori ditemukan dalam lingkungan asam. Mekanisme patogenik H. pylori meliputi (a) kerusakan mukosa secara langsung, (b) perubahan dalam respon imun,dan (c) hipergastrinemia menyebabkan sekresi asam meningkat. H. pylori menempel membentuk molekul adhesi pada permukaan sel epitel lambung. Di duodenum, H. pylori menempel hanya pada area yang mengandung sel epitel dan meningkatkan sekresi asam lambung pada mukosa duodenum. Kerusakan mukosa secara langsung disebabkan oleh faktor virulensi (vacuolating cytotoxin, cytotoxin-associated protein gene, dan faktor penghambat pertumbuhan) akan menguraikan enzim bakteri (lipase, protease, dan urease). H. pylori dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang tidak sesuai karena memproduksi enzim urease yang mengubah urea menjadi ammonia (Golan, Tashjian, Armstrong, Armstrong, 2012).

Urease dapat merusak host, agen perusak lainnya adalah lipopolisakarida (endotoksin). Keberadaan H. pylori dapat ditelusuri sebagian dari abnormalitas respon imun yang muncul, bahkan respon imunitas mukosal TH2 yang mengontrol infeksi luminal dengan mensekresi antibody IgA, H. pylori


(36)

memunculkan respon TH1, sitokin yang terasosiasi TH1 memicu inflamasi dan kerusakan sel epithelial (Golan, et al, 2012).H. pylori menimbulkan kerusakan mukosa lambung dan duodenum melalui pelepsan faktor kemotaktik, platelet activating factor, leukotrien, dan eukosanoid lain yang berasal dari asam arakidonat, dan sitotoksin seperti protease, lipase fosfolipase A2, fosfolipase C dan vacuolating cytotoksin (Dipiro, et al., 2008).

Kerusakan mukosa lambung karena endotoksin yang dibentuk oleh Helicobacterpylori memicu pembentukan leukosit, dimana leukosit akan menuju ke daerah yang mengalami kerusakan, sehingga cytokines tambahan dilepaskan. Derajat infeksi H.pylori dan beratnya kerusakan mukosa berbanding lurus dengan luasnya infiltrasi leukosit. Endotoksin H. pylori meningkatkan inflamasi mukosa melalui peningkatan adhesi lekosit pada sel-sel endotelium. H. pylori merangsang faktor-faktor dalam tubuh manusia untuk meningkatkan produksi interleukin 8 (IL-8) mRNA epitel dan IL-8 imunoreaktif (Dipiro, et al., 2008).

Mekanisme lain yaitu kenaikan gastrin. Meningkatnya sekresi gastrin dipicu oleh dua mekanisme, yaitu: (1) Ammonia yang dihasilkan membentuk lingkungan basa dekat sel G dan memicu pelepasan gastrin, (2) jumlah sel D antral dibawah normal pada pasien terinfeksi H. pylori, sehingga menurunkan produksi somatostatin dan meningkatkan pelepasan gastrin. H. pylori juga menurunkan sekresi bikarbonat duodenal dan melemahkan mekanisme perlindungan mukosa duodenal (Golan, et al, 2012).

Respon antibodi lambung memicu pelepasan IgA dan IgG. Sekresi IgA dapat melindungi mukosa tanpa aktivasi komplemen, sedangkan IgG dengan


(37)

mengaktivasi komplemen yang menyebabkan kerusakan epitel immune complex mediated dan penurunan sitoproteksi. Pada strain H.pylori yang virulen ditemukan lebih banyak adhesi antara H. pylori dengan permukaan mukosa lambung. H. pylori dapat meningkatkan gastrin plasma melalui perangsangan sel G lambung dan menurunkan sekresi somatostatin melalui inhibisi sel G lambung, akibatnya terjadi hipersekresi gastrin (Dipiro, et al., 2008).

Gambar 1. Mekanisme infeksi H. Pylori (sumber : http://www.nobelprize.org.html)

Efek merugikan NSAID yang menimbulkan terjadinya ulkus peptik diakibatkan oleh penghambatan COX-1 dan COX-2. COX atau prostaglandin H


(38)

sintase (PGHS) berfungsi sebagai katalis pada tahap pertama proses biosintesis prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin. Ada dua bentuk isoform dari enzim siklooksigenase, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 adalah bentuk enzim utama yang ditemukan dibanyak jaringan dan bertanggung jawab dalam menjaga fungsi normal tubuh termasuk keutuhan mukosa lambung dan pengaturan aliran darah ginjal. Sebaliknya, COX-2 tidak ditemukan di jaringan pada kondisi normal, tetapi diinduksi oleh berbagai stimulus, seperti endotoksin, sitokin, mitogen dan dikaitkan dengan produksi prostaglandin selama proses inflamasi, nyeri, dan respon piretik (Dipiro, 2008).

Gambar 2. Mekanisme efek NSAID (sumber : http://www.nobelprize.org.html)

Aspirin dan NSAID non selektif menghambat COX-1 dan COX-2 yang mengakibatkan toksisitas pada saluran cerna. Selain itu, aspirin dan NSAID non


(39)

aspirin menghambat aktivitas platelet pada COX-1 yang mengakibatkan menurunnya agregasi platelet dan terjadi perdarahan berkepanjangan sehingga meningkatkan perdarahan saluran cerna. NSAIDmenyebabkan kerusakan mukosa lambung melalui dua mekanisme: (a) iritasi langsung maupun topikal pada epitel lambung dan (b) penghambatan sistemik sintesis prostaglandin mukosa endogen (Dipiro, et al., 2008).

Gambar 3. Mekanisme pembentukan ulkus (Price and Wilson, 1984)

5. Manifestasi Klinik

Sebagian besar peptic ulcer menimbulkan rasa nyeri, panas, bahkan sensasi sakit pada abdomen bagian atas dan epigastrium. Sebagian pasien mengalami komplikasi anemia defisiensi besi, perdarahan atau perforasi. Rasa nyeri biasa muncul sekitar 2 jam sesudah makan dan reda dengan pemberian antasida atau makanan, namun terdapat banyak pengecualian, manifestasi ini


(40)

menyebabkan pasien sulit tidur di malam hari (Mc. Phee and Ganong, 2007). Gejala dapat timbul dalam rentang waktu minggu hingga bulanan dan hilang selama waktu yang tidak dapat ditentukan (Price and Wilson, 1984).

Manifestasi lainnya ialah mual, muntah, kembung, bersendawa, dan penurunan berat badan yang nyata (dikhawatirkan terjadi keganasan penyakit). Pada penderita ulkus, rasa nyeri terasa pada bagian ulu hati bahkan hingga punggung kuadran kiri atas, atau dada. Gejala nyeri ini dapat diduga gangguan jantung (Robbins and Cotran, 2005).

6. Diagnosis

Ulkus peptik dapat didiagnosa menggunakan endoscopy atau dengan contrast radiographyun barium untuk melihat lubang ulkus, apabila pasien dengan usia muda terdiagnosis PUD dan tidak ditemukan simptom yang mengkhawatirkan, dapat dipastikan penyebabnya ialah infeksi H. Pylori, tetapi pada pasien diatas 50 tahun, endoscopy sangat berguna untuk menentukan penyebab ulkus peptik. Tanda-tanda yang mengindikasi keganasan penyakit atau komplikasi ulkus yakni anemia, penurunan berat badan, haematemesis dan melena, dan muntah. Selain dengan endoskopi infeksi H. pylori dapat didiagnosis dengan deteksi urease, breath urease test, dan stool test untuk mendeteksi antigen yang spesifik H. pylori (Enaganti, 2006).

7. Strategi Terapi

Tujuan terapi pada Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah menghilangkan keluhan gejala, menyembuhkan ulkus yang timbul, dan mencegah komplikasi. Sasaran dari pemberian terapi ialah mengatasi penyebab terjadinya ulkus peptik


(41)

yakni sekresi asam lambung yang berlebih dan bakteri Helicobacter pylori. Perbaikan pertahanan mukosa lambung juga merupakan sasaran terapi. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan beberapa strategi terapi. Strategi terapi yang dilakukan dapat berupa non-farmakologi dan farmakologi sebagai berikut :

a. Terapi Non Farmakologi

Pasien yang terdiagnosa dengan PUD dan sedang menggunakan obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) harus menghentikan penggunaan NSAID jika memungkinkan. Mengurangi konsumsi beberapa makanan tertentu (seperti makanan pedas, alkohol, dan kopi) serta menjalani diet. Diet dilakukan dengan cara makan dengan porsi kecil dan berulangkali. Pasien dengan PUD juga sebaiknya menjalankan perubahan gaya hidup, yakni dengan mengurangi stress, istirahat yang cukup, dan mengurangi atau bahkan berhenti merokok.

Pemberian probiotik yang mengandung bakteri Lactobacillus dan Bifidobacterium dan makanan yang mengandung senyawa bioaktif dikombinasikan dengan regimen eradikasi H.pylori dapat mengurangi inflamasi mucosal. Pada beberapa pasien yang mengalami komplikasi (seperti perdarahan, perforasi, atau obstruksi saluran cerna) membutuhkan operasi.

b. Terapi Farmakologi

Berikut adalah golongan obat antipeptik yang digunakan serta mekanismenya dalam menghambat sekresi asam lambung:


(42)

1) Proton Pump Inhibitors (PPI)

Proton Pump Inhibitor merupakan supresor yang paling efektif dari sekresi asam lambung adalah H+, K+-ATPase inhibitors. Merupakan obat yang paling efektif dalam pengobatan peptic ulcer dan mudah didapatkan. Banyak jenis PPI yang digunakan dalam penggunaan klinis, contohnya: omeprazole, lanzoprazole, rebeprazole, danpantoprazole; yang merupakan α -pyrydylmethylsulfinylbenzimidazoles. Obat golongan PPI merupakan prodrug yang membutuhkan suasana asam untuk aktif. Obat golongan PPI pada dasarnya digunakan untuk mempercepat penyembuhan dari ulkus lambung dan duodenum dan mengobati gastric esophageal reflux disease (GERD) yang salah satunya tidak berespon untuk pengobatan apabila diberikan dengan H2-Receptor Antagonists (Hardman, Limbind, dan Gilman, 2001).

2) Histamine H2-Receptor Antagonists

Terdapat empat jenis H2-Receptor Antagonists :cimetidine, ranitidine, famotidine, dan nizatidine. H2-Receptor Antagonists menghambat sekresi asam

lambung dengan berkompetisi secara reversibel dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada membran basolateral dari sel parietal. Efek menonjol dari H2-Receptor Antagonists adalah menghambat sekresi asam basal, dan cukup

efektif menekan sekresi asam pada malam hari (Hardman, et al, 2001). 3) Prostaglandin Analogs : Misoprostol

Prostaglandin (PG) E2 dan PGI2 adalah prostaglandin yang banyak dihasilkan oleh mukosa lambung; obat ini menghambat produksi asam dengan berikatan pada reseptor EP3 pada sel parietal sehingga menghambat adenylyl


(43)

cyclase dan menurunkan siklus intraseluluer AMP. PGE dapat menghambat cedera lambung dengan efek sitoprotektif: stimulasi sekresi mucin dan bikarbonat, perbaikan aliran darah mukosa sehingga mengakibatkan penghambatan sekresi asam (Wolfe et al.,1999). Contoh obat: Misoprostol (Hardman, et al, 2001).

4) Sucralfate

Dalam terapi pemeliharaan jangka panjang, sucralfate merupakan obat yang bersifat sitoprotektif yang memiliki efek meningkatkan ketahanan mukosa lambung yang dapat mengurangi peradangan dan menyembuhkan ulkus. Sucralfate dapat menghambat hidrolisis yang termediasi pepsin dari protein mukosa yang menyebabkan ulserasi dan erosi mukosa. Sulfacrate mengikat asam empedu,karena diaktivasi oleh asam, sulfacrate sebaiknya digunakan dalam keadaan lambung kosong. Penggunaan dengan antasida tidak disarankan, contoh obat: Carafate (Hardman, et al, 2001).

5) Antacids

Antasida diberikan untuk memberikan suasana basa pada lambung yang terlalu asam. NaHCO3 sangat larut air dengan cepat dapat dibersihkan dari lambung dan menghasilkan basa dan natrium. CaCO3 dapat menetralkan HCl dengan cepat, selain itu terdapat antasida dengan kandungan Mg(OH)2 dan Al(OH)3 yang lama diserap dan memberikan efek sustained dengan efek seimbang dengan motilitas usus(Hardman, et al, 2001).

Algoritma penatalaksanaan terapi dan evaluasi pasien yang teerdiagnosis atau menunjukkan gejala ulkus peptik seperti yang ditunjukkan Gambar 4. (Dipiro,et al., 2008)


(44)

Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan Terapi Ulcer Disease(Dipiro,et al., 2008)

Terapi lini pertama pada PUD karena H. pylori ialah obat-obat golongan PPI dengan regimen tiga obat selama minimal 7 hari, namun disarankan untuk diberikan selama 10-14 hari. Bila pengobatan kedua dibutuhkan, PPI dengan regimen tiga obat harus mengandung antibiotik yang berbeda; atau regimen empat obat dengan bismuthsubsalisilat, metronidazole, tetracyclin, dan PPI harus digunakan. Bila terapi tersebut berhasil, terapi ini menyembuhkan luka ulkus dan mengatasi infeksi bakteri H. pylori (menyembuhkan penyakit).


(45)

Gambar 5. Regimen obat dalam pengobatan eradikasi H. pylori (Dipiro,et al., 2008)

Pengobatan dengan obat-obat konvensional anti peptik seperti PPI, reseptor H2 antagonis (H2RA), atau sukrafat (mukosa protektor) saja, merupakan alternatif pengobatan untuk bakteri H. pylori, tetapi perlu berhati-hati karena kecepatan pemulihan ulkus dan komplikasi karena pemberian regimen ini. Terapi bersamaan (misal H2RA dan sucralfate atau PPI dan H2RA) tidak dianjurkan pada pasien ulkus peptik karena H. pylori sebab akan menambah biaya pengobatan tetapi efikasi pengobatan tidak meningkat. Terapi dengan PPI atau H2RA


(46)

dianjurkan untuk pasien resiko tinggi mengalami komplikasi ulkus, kegagalan terapi eradikasi, dan pasien dengan PUD negatif H. pylori.

Pasien dengan PUD yang menggunakan NSAID harus di tes lebih dahulu untuk mengetahui status H. pylori. Apabila hasil tes positif, maka diberikan terapi inisial menggunakan PPI dengan regimen tiga obat. Bila hasil tes H.pylori negatif, penggunaan NSAID dihentikan kemudian pasien diberikan terapi dengan PPI, H2RA, atau sucralfate. Bila pemberian NSAID harus dilanjutkan, pemberian terapi diawali dengan PPI (pada pasien negatif H. pylori), atau PPI dengan regimen tiga obat (pada pasien H. pylori positif). Pada pasien yang memiliki risiko terjadi komplikasi ulkus pada saluran cerna bagian atas, disarankan untuk memberikan profilaksis dengan PPI atau misoprostol, atau bila mungkin diganti dengan obat selektif COX-2 (Dipiro, 2008). Durasi pengobatan harus diperpanjang apabila penggunaan NSAID dilanjutkan.


(47)

Gambar 6. Regimen terapi oral untuk penyembuhan ulkus atau pemeliharaan pada Peptic Ulcer Disease

(Dipiro,et al., 2008) C. Keterangan Empiris

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai Drug Related Problems Drug Related Problems yang terjadi pada pengobatan pasien Peptic Ulcer Disease, meliputi tidak perlu obat (unnecessary drug therapy), perlu obat (need for additional drug therapy), obat salah (wrong drug), dosis kurang (dosage too low), efek samping obat (adverse drug reaction)dandosis terlalu tinggi(dosage too high).


(48)

27 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai evaluasi Drug Related Problems penggunaan obat antipeptik pada pasien dengan Peptic Ulcer Disease non spesifik sekundermerupakan penelitian observasional dengan rancangan penelitian case series yang bersifat retrospektif (Lapau, 2012). Penelitian observasional yaitu penelitian yang dilaksanakan tanpa adanya perlakuan atau intervensi terhadap variabel subyek yang diteliti (Kontour, 2003).

Penelitian termasuk rancangan case series karena dilakukan dengan meneliti beberapa kasus (lebih dari satu kasus) tertentu dengan diagnosa yang sama yang bertujuan mendeskripsikan manifestasi klinis, perjalanan klinis, dan prognosis suatu penyakit (Wibowo, 2014). Penelitian ini bersifat retrospektif sebab data yang digunakan pada penelitian merupakan data dari rekam medis pasien yang telah lampau di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yaitu pada periode Januari 2013-Desember 2013.

B. Variabel Penelitian

1. Pola penggunaan obat pada pasien Peptic Ulcer Disease. 2. Jenis Drug Related Problems.

C. Definisi Operasional

1. Pola penggunaan obat meliputi bentuk sediaan, golongan obat, aturan minum, frekuensi pemberian, dan dosis obat.


(49)

2. Drug Related Problems yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah 6 poin dari 7 poin, meliputi: tidak perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis obat kurang, efek samping obat, dan dosis terlalu tinggi.

3. Subyek penelitian adalah pasien dengan Peptic Ulcer Disease non spesifik sekunder. Peptic Ulcer Disease non spesifik adalahpeptic ulcer dengan perdarahan pada sisi non spesifik (unspecified site) pada saluran cerna, yang sebagian besar termanifestasi dalam bentuk stress ulcer; kemudian disebut sekunder karena stress ulcer muncul sebagai diagnosa sekunder sebagai akibat dari pengaruh penyakit lain yang lebih serius.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien semua umur yang terdiagnosis Peptic Ulcer Disease di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta pada periode Januari-Desember 2013. Kriteria inklusi ialah pasien yang terdiagnosis tegak Peptic Ulcer Disease.Kriteria eksklusi ialah rekam medis yang tidak lengkap, dan dalam pemberian terapi tidak diberikan obat antipeptik (PPI, H2RA, dan mukosa protektif), dan rekam medis yang tidak dapat diakses.


(50)

Gambar 7. Bagan Pemilihan Subyek Penelitian diRSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah rekam medis yang memuat data mengenai riwayat penyakit, riwayat pengobatan jika ada, gejala dan tanda, anamnesis, diagnosis, instruksi dokter, catatan keperawatan, hasil tes laboratorium jika ada, serta mencantumkan identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, berat badan, alamat, dan kondisi pasien ketika keluar dari rumah sakit.

F. Tata Cara Penelitian 1. Analisa situasi

Pada tahap ini dilakukan pembuatan proposal. Pada tahap analisa situasi ini peneliti mencari informasi dan mengunjungi RSUP Dr. Sardjito untuk mengetahui tingkat insidensi pasien dengan peptic ulcer di rumah sakit tersebut, serta menanyakan teknis perijinan penelitian dan pengambilan data.

2. Permohonan ijin

20 pasien Pasien yang

dengan Peptic Ulcer Disease

Periode Januari-Desember 2013

56 pasien EKSKLUSI

 Rekam medis tidak lengkap, tidak menggunakan obat antipeptik 29 pasien  Rekam medis tidak dapat


(51)

a. Permohonan Ethical Clearance

Berdasarkan hasil observasi didapatkan informasi bahwa permohonan ijin penelitian dilakukan dengan mengajukan ethical clereance ke Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Permohonan ijin ini dilakukan untuk memenuhi etika penelitian, dimana penelitian dilakukan dengan mengambil data dari lembar rekam medis

b. Pengajuan ijin ke RSUP Dr. Sardjito

Peneliti juga mengajukan permohonan ijin untuk melakukan penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dengan mengajukan surat pengantar dan proposal kepada Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

3. Tahap pengambilan data a. Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengikuti perkembangan pasien dari RM meliputi riwayat penyakit dan riwayat pengobatan, gejala dan tanda, anamnesis, diagnosis, instruksi dokter, catatan keperawatan, hasil tes laboratorium, identitas pasien, serta kondisi pasien ketika keluar dari rumah sakit. b. Penulusuran informasi terkait

Penelusuran dilakukan dengan bertanya pada dokter atau perawat dan mengacu pada formularium dan standar terapi yang berlaku di rumah sakit RSUP Dr. Sardjito, serta pustaka dan sarana penunjang lainnya :Drug Information Handbook, Medscape Drugs Interaction Checker, Baxter tahun 2010, dan Lacy, et al. tahun 2011, serta jurnal-jurnal terkait.


(52)

c. Pengolahan dan analisis data

Data yang didapatkan dibahas dalam bentuk uraian dan deskriptif meliputi karakteristik pasien dan profil penggunaan obat yang ditampilkan dalam bentuk tabel maupun gambar dalam bentuk persentase. Pengolahan data dilakukan dengan melakukan evaluasi dan penilaian DRPs pada masing-masing kasus dengan metode analisis SOAP (Subjective, Objective, Assesment, dan Planning/Recommendation). Dalam penelitian ini peneliti tidak memberikan rencana, namun diganti dengan rekomedasi karena peneliti mengambil data retrospektif, sehingga lebih dibutuhkan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan para tenaga medis dalam mengambil keputusan pemberian terapi. Sebelum melakukan evaluasi data dikelompokkan berdasarkan :

1). Karakteristik Pasien

Pengelompokkan pasien peptic ulcer disease dilakukan dengan mendeskripsikan persentase pasien berdasarkan kelompok umur, dan jenis kelamin.

2). Profil Penggunaan Obat

Penggolongan obat berdasarkan kelas terapi, golongan, dan jenis obat, kemudian dilihat berapa kali pemakaiannya, dan dihitung persentasenya dengan cara membagi dengan total jumlah kasus lalu dikalikan 100%

3). Profil Penggunaan Obat Peptic Ulcer Disease (PUD)

Penggunaan obat Peptic Ulcer Disease (PUD) dikelompokkan menjadi 4 yaitu: kelas terapi, golongan, serta jenis, indikasi dan pilihan terapi, frekuensi dan dosis penggunaan, serta rute dan waktu pemberian.


(53)

4). Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)

Evaluasi DRPsdilakukan dengan menganalisis data obat antipeptik yang telah diperoleh kemudian mengevaluasi DRPs yang terjadi dari 6 kategori yaitu need additional drug therapy, unnecessary drug therapy, wrong drug, dosage too low, dosage too high, adverse drug reaction) yang berdasarkan pustaka acuan. d. Penyajian dan pembahasan hasil

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk diagram dan tabel yang disertai uraian berdasarkan karakteristik pasien yang meliputi umur, dan jenis kelamin. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) yang dilakukan pada tiap pasien hanya berfokus pada obat Peptic Ulcer Disease yang diterima oleh pasien saat rawat inap. Evaluasi DRPs kategori interaksi dan efek samping obat menggunakan Drug Information Handbook (DIH)tahun 2011, caranya ialah mencocokkan kemungkinan efek samping dan interaksi dengan catatan keperawatan di lembar rekam medik pasien. Hasil dari evaluasi DRPs digunakan untuk memberikan rekomendasi.

G. Keterbatasan dan Kesulitan Penelitian

Dalam proses pengambilan data ditemukan kesulitan yaitu terdapat tulisan tangan dokter atau perawat yang tidak dapat dibaca, terdapat istilah-istilah kesehatan yang disingkat, kemudian penggunaan bahasa daerah dalam rekam medis, dan ada rekam medis yang tidak dapat diakses oleh peneliti karena alasan tertentu. Mengatasi masalah singkatan istilah-istilah kesehatan, peneliti berusaha bertanya kepada petugas dan atau tenaga kesehatan yang ada di instalasi rekam


(54)

medis, beberapa ketidaktahuan peneliti terjawab, beberapa tidak terjawab juga dikarenakan ketidaktahuan petugas dan atau tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Pemberian obat golongan PPI secara intravena hanya dituliskan sebagai

“PPI” untuk beberapa kasus, tanpa menuliskan jenis obatnya dan peneliti tidak

dapat mengkonfirmasi jenis obat yang dimaksud karena tidak memiliki akses ke instalasi farmasi untuk informasi lebih lanjut. Kesulitan lainnya adalah tidak adanya akses untuk menemui dokter yang menuliskan resep untuk wawancara dan bertanya maksud dan tujuan terapi serta disesuaikan dengaan kondisi pasien saat itu, sehingga peneliti hanya mendasarkan evaluasi dari data rekam medis dan pustaka.


(55)

34 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) obat Anti peptik pada Pasien Peptic Ulcer Disease (PUD) Non Spesifik Sekunder Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Studi Kasus pada Periode Januari 2013-Desember 2013) dilakukan dengan menelusuri data rekam medik pasien dengan diagnosis keluar peptic ulcer. Berdasarkan penelusuran data yang ada di Instalasi Catatan Medik, diperoleh 20 data yang memenuhi kriteria inklusi pada periode tersebut. Dari hampir semua kasus yang didapat, Peptic Ulcer Disease merupakan diagnosa sekunder dengan manifestasi stress ulcer.

A.

Karakterisik Pasien 1. Distribusi pasien berdasarkan usia

Distribusi pasien berdasarkan kelompok usia bertujuan untuk mengetahui perbandingan jumlah pasien pada kelompok usia tertentu. Pada penelitian ini, peneliti mengambil data semua kelompok usia. Koesoemanto Setyonegoro mengelompokkan usia sebagai berikut: usia 0-18 tahun kelompok pediatri, usia 19-25 tahun dewasa muda (youngadulthood), usia 25-64 tahun dewasa penuh (middle years), usia lanjut lebih dari 65 tahun, dibagi lagi menjadi: 70 – 75 tahun (young old), 75 – 80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old) (Mutiara, 2003).

Standar usia geriatri di RSUP Dr. Sardjito adalah usia 60 tahun ke atas, sesuai dengan pembagian usia menurut WHO, yakni: usia Pertengahan (middle age) adalah usia 45 – 59 tahun, usia lanjut (elderly) rentang usia 60 – 70 tahun,


(56)

usia lanjut tua (old) rentang usia 75 – 90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Mutiara, 2003). Berdasarkan data penelitian diperoleh distribusi usia penderita pasien dengan Peptic Ulcer Disease non spesifik sekunder seperti yang disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Persentase Distribusi Pasien dengan Peptic Ulcer Disease Non Spesifik

Sekunder Berdasarkan Kelompok Usia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari 2013-Desember 2013

2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin

Pada penelitian ini pasien dengan Peptic Ulcer Disease (PUD)non spesifik sekunder di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013-Desember 2013 dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin yang bertujuan untuk mengetahui jumlah pasien pria dan wanita yang menderita PUD, atau dengan PUD. Persentase pasien yang didiagnosis dengan PUD berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Gambar 7.

10.0

10.0

40.0 20.0

10.0

10.0

Persentase Pasien dengan Peptic Ulcer

Disease Berdasarkan Kelompok Usia (n=20)

Pediatri

Dewasa

Pertengahan

Usia Lanjut


(57)

Gambar 9. Persentasi Distribusi Pasien dengan Peptic Ulcer Disease Non Spesifik Sekunder Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Januari 2013-Desember 2013

Dari data diatas dapat disimpulkan pasien dengan Peptic Ulcer Disease (PUD)non spesifik sekunderdi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan jenis kelamin ialah sebesar 80,0% pada pria dan sebesar 20,0% pada wanita. Melihat data tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian sesuai dengan teori, yakni persentase laki-laki untuk terkena PUD lebih besar daripada wanita.Menurut Robins and Cotran (2005), persentase seorang pria untuk menderita PUD adalah 6%-14% dan pada wanitasebesar2-4%.

3. Profil diagnosa utama dan sekunder pasien dengan Peptic Ulcer Disease non spesifik sekunder

Berdasarkan hasil penelitian, dari hampir semua kasus yang didapat, Peptic Ulcer Disease merupakan diagnosa sekunder dengan manifestasi stress ulcer. Stress ulcer lebih banyak muncul sebagai penyakit penyerta akibat dari penyakit lain yang cukup serius, untuk keterangan lebih lanjut dapat melihat pada Tabel I berikut ini

80.0 % 20.0 %

Persentase Pasien dengan Peptic Ulcer Disease Berdasarkan Jenis Kelamin (n=20)

Laki-laki


(58)

Tabel I.Diagnosa Utama dan Sekunder pada Kasus Pasien Rawat Inap dengan Peptic Ulcer Disease Non Spesifik Sekunder di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode Januari 2013 – Desember 2013

kasus Diagnosis Utama Diagnosis Sekunder

1. A thypical lymphoma anemia ec blood loss, melena stress ulcer, metycillin resistant SA, pneumonia 2. Luka bakar stage II stress ulcer, sepsis

3. Cerebral Infarction

congestive heart failure, Acute pulmonary edema, diabetes mellitus, stress ulcer

4. Tetanus

sepsis shock, melena stress ulcer, multiple organ disfunction syndrome, gagal nafas

5. Myelodisplasia syndrome

anoreksia geriatric, hospital acute pneumonia, ulkus decubitus, sepsis, stress ulcer, anemia, severe neutropenia 6. Neglected close fracture of

interthrocantherof the left femur evans unstable

anemia, hematemesismelena ec stress ulcer

7. Intracerebral hemoragae hipertensi, stress ulcer

8. Intracranial Hemorrhage AKI, anemia, stress ulcer, hematuria 9. STEMI Inferior Peptic ulcer, hipertensi stage 1,

hipoalbumin, pneumonia 10. Breast cancer stage 4

hepatic metastasis, stress ulcer, encephalopathy hepaticum dd brain metastase, cholestasis

11. Bone metastase cancer colon, anemia, melena, stress ulcer

12. End stage masa abdomen C.A.D., renal failure, pneumonia, stress ulcer

13. Hematemesis ec ulkus duodenum I B

angiodisplsia, esofagitis, bubinis kronis, carcinoma pancreas

14. Hepatoma ec hepatitis B varises esophagus, gastropati, Hipertensi

portal. Peptic ulcer , cancer pain

15. Intracerebral hemorrhagic

pneumonia, bisitopenia dengan

leukositosis,subdural hemorrhagic, stress

ulcer, herniation of cerebral

16. intracerebral hemorrhage intraventricular hemorrhage. Hipertensi., stress ulcer

17. Meningoensephalitis pneumonia, sepsis, stress ulcer

18. Diabetes Melitus Gagal Ginjal Kronis, post stress ulcer,

anemia renal 19. Gastroduodenitis akut Peptic ulcer


(59)

B. Profil Penggunaan Obat

Profil penggunaan obat pada pasien dengan PUD Non Spesifik Sekunder, merupakan gambaran pengobatan yang meliputi kelompok obat, golongan, dan jenis obat. Pengelompokan obat ini mengacu pada Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) tahun 2008. Profil penggunaan obat ini disajikan dalam bentuk tabel dan disertai dengan penjelasan. Pola penggunaan obat dalam pengobatan PUD dari 20 kasus yang diteliti oleh peneliti ditampilkan dalam Tabel II.

Tabel II. Profil Penggunaan Obat Berdasarkan Kelas Terapi pada Kasus Pasien Rawat Inap dengan Peptic Ulcer Disease Non Spesifik Sekunder di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari 2013 – Desember 2013

No Kelas Terapi Obat Jumlah

Kasus (n=20)

Persentase (%)

1 Obat untuk Saluran Pencernaan 20 100,0

2 Obat Kardiovaskular 9 45,0

3 Obat Darah dan Nutrisi 11 55,0

4 Obat yang Mempengaruhi Hormon 5 25,0

5 Obat Analgetik-Antipiretik 12 60,0

6 Obat Antibiotik dan Antiinflamasi 16 80,0

7 Obat Susunan Saraf Pusat 9 45,0

8 Obat untuk Saluran Nafas 2 10,0

9 Infus 11 55,0

1. Obat untuk Saluran Cerna

Pada penelitian ini penggunaan obat terfokus pada kelas terapi obat saluran pencernaan, hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yakni mengkaji profil penggunaan obat pada terapi pasien dengan Peptic Ulcer Disease (PUD) Non Spesifik Sekunder. Profil penggunaan obat saluran cerna dapat dilihat pada Tabel III.


(60)

Tabel III. Profil Penggunaan Obat Saluran Pencernaan pada Pasien Rawat Inap dengan Peptic Ulcer DiseaseNon Spesifik Sekunderdi RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta Periode Januari 2013 – Desember 2013

No Golongan Jenis Obat Jumlah

Kasus

Persentase (%)

1 Sucralfate 8 40,0

2 Proton Pump Inhibitor

Tidak disebutkan 5 25,0

Omeprazole 15 75,0

Lansoprazole 4 20,0

Pantoprazole 2 10,0

3 H2RA Ranitidin 9 45,0

4 Antidiare New diatab 1 5,0

5. Antiemetik Ondansetron 1 5,0

Domperidone 1 5,0

Obat untuk saluran cerna ini diberikan untuk mengobati penyakit pada saluran pencernaan, mengurangi risiko yang mungkin berpengaruh pada pencernaan karena penggunaan obat lain sebagai terapi dari penyakit lain. Peptic Ulcer Disease yang dikaji oleh peneliti termanifestasi dalam bentuk stress ulcer, yaitu adanya tekanan (stres) pada saluran pencernaan karena adanya pengaruh dari penyakit lain yang cukup serius, atau karena terdapat gangguan dari saluran pencernaan sendiri.

Stress ulcer merupakan lesi mukosa akut pada saluran cerna atas, yang banyak ditemui pada lambung dan duodenum akibat dari berbagai macam kondisi patologis: tumor otak, perdarahan otak, luka bakar yang parah, pasien dengan kegagalan fungsi multi organ dan stroke (Daldiyono, Makmun, Misbach, Tobing, 2015), stress ulcer seringkali muncul dalam bentuk perdarahan pada saluran cerna atas, dan luka lambung. Pada stress ulcer, luka yang muncul berupa erosi superfisial dan tidak menembus batas epitel sehingga perlu digunakan obat-obat


(61)

seperti Proton Pump Inhibitor (PPI), Histamine-2-Receptor-Antagonist (H2RA), sitoprotektor dan antasida untuk manajemen asam lambung dan perdarahan (Ahmad, 2012). Obat saluran pencernaan lainnya yang diberikan ialah antidiare untuk manajemen gangguan saluran cerna terkait dengan motilitas usus yang berlebihan, sehingga feses melintas dengan sangat cepat dan masih mengandung banyak air pada saat dikeluarkan dari tubuh (Tjay, 2005), sedangkan laksatif (obat sembelit) digunakan untuk memicu motilitas usus yang lemah atau melunakkan feses sehingga memudahkan pasien untuk buang air besar. Antiemetik diberikan untuk mengatasi rasa mual karena sekresi asam lambung yang berlebih, atau karena terapi lain yang menimbulkan rasa mual, misal karena kemoterapi.

2. Obat Kardiovaskular dan Diuretik

Obat kardiovaskular banyak diberikan pada pasien dengan stress ulcer, karena banyak dari pasien yang dirawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta datang dengan diagnosa utama stroke perdarahan dan gagal jantung. Stress ulcer merupakan salah komplikasi pada pasien dengan stroke. Setelah cedera otak akut, stress ulcer terjadi dari hiperaktivitas vagal yang menyebabkan meningkatnya sekresi asam lambung yang menyebabkan terbentuk lesi mukosa (Eelco, Wijdicks, Jimmy, Fulgham, Kenneth, Batts, 2015). Obat-obat kardiovaskular yang banyak ditemui adalah golongan vasodilator perifer yakni citicoline, dan isosorbid dinitrat (ISDN) (Sanjoyo, 2005).

3. Obat yang Mempengaruhi Darah dan Nutrisi

Obat yang mempengaruhi darah dan nutrisi diberikan kepada pasien untuk mengatasi anemia yang terjadi karena perdarahan saluran cerna. Pasien


(62)

anemia diberikan obat dan vitamin yang dapat memodulasi pembentukan sel darah merah, misalkan pemberian vitamin K yang merupakan prekursor pembentukan sel darah merah, membantu proses pembekuan darah dengan membentuk protrombin (Bambang, 2003). Tranfusi PRC diberikan pada pasien dengan anemia yang serius, hingga kadar Hb minimal mencapai 10 g/dL.

4. Obat yang Mempengaruhi Hormon

Obat yang mempengaruhi hormon yang digunakan ini dikelompokkan menjadi obat golongan kortikosteroid dan obat antidiabetik. Penggunaan kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi dan berfungsi sebagai imunosupresan (Tjay, 2007). Obat antidiabetik digunakan untuk mengontrol kadar gula darah yang tinggi. Kadar gula darah perlu dipantau untuk mencegah komplikasi atau memburuknya status kesehatan (Permana, 2009).

5. Obat Analgetika dan Antipiretik

Obat analgetika adalah obat yang diberikan sebagai pereda rasa nyeri yang bekerja dengan menekan pusat saraf nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Tjay, 2005). Obat analgetika yang digunakan dalam terapi ada 2 golongan yakni: analgetika non-opioid atau analgetika non narkotik dan analgetika opioid (Alloyo, 2014). Obat analgetika golongan opioid bila digunakan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan ketergantungan, sehingga perlu diperhatikan jangka waktu pemberian. Contoh analgetik opioid adalah morfin dancontoh analgetika non opioid adalah paracetamol, selain itu paracetamol digunakan sebagai antipiretik.


(63)

6. Obat untuk Antiinflamasi dan Antibiotik

Antibiotik adalah obat yang banyak digunakan dalam pengobatan karena infeksi bakteri, penggunaan antibiotik pada pasien dengan Peptic Ulcer Disease non spesifik sekunder dari seluruh kasus yang dievaluasi sebesar 75,0 %, sedangkan antiinflamasi adalah obat yang diberikan untuk mengatasi peradangan yang terjadi pada pasien. Penggunaan obat antiinflamasi dari seluruh kasus yang dievaluasi sebesar 25, 0%.

7. Obat untuk Saluran Nafas

Obat saluran nafas yang digunakan dalam terapi diberikan dalam bentuk inhalasi ataupun nebulizer, zat yang digunakan adalah kombinasi atroven® dan pulmicort®. Atroven® (ipratropium bromide) merupakan antikolinergik bronkodilator yang apabila digunakan sendiri merupakan bronkodilator yang lemah, sedangkan pulmicort® dengan zat aktif budesonide berfungsi untuk mencegah terjadinya serangan asma. Penggunaan obat untuk saluran nafas ini sebesar 10,0%.

8. Obat untuk Susunan Saraf Pusat

Obat untuk susunan saraf pusat adalah obat yang bekerja pada saraf pusat yang bertujuan untuk memperbaiki sistem saraf pada penderita stroke, beberapa pasien menerima obat dengan efek sedatif untuk menjaga kondisi pasien, Obat-obat susunan saraf pusat lain yang digunakan adalah obat antiepilepsi yang bertujuan mencegah terjadinya kejang, terutama pada pasien stroke dengan gagal ginjal.


(64)

9. Infus

Pemberian cairan infus bertujuan untuk rehidrasi untuk pasien yang mungkin mengalami dehidrasi dan memberikan elektrolit maupun nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh, dan sangat diperlukan untuk pasien yang menjalani rawat inap. Infus berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit yang dibutuhkan oleh tubuh karena infus mengandung elektrolit seperti natrium, kalium, dan klorida.

C Profil Penggunaan Obat

Pembahasanmengenai profil penggunaan obat Peptic Ulcer Disease (PUD) akan dibagi menjadi 4 bagian yaitu : golongan dan jenis, indikasi dan pilihan terapi, rute dan waktu pemberian, serta dosis dan frekuensi pemberian. Dengan uraian sebagai berikut :

1. Golongan dan Jenis

Obat anti peptik yang paling besar digunakan untuk pengobatan Peptic Ulcer Disease di RSUP Dr. Sardjito adalah golongan Proton Pump Inhibitor (PPI), H2 Receptor Antagonist (H2RA), sucralfate dan antasida. Penggunaan obat

anti peptik sering diberikan kombinasi PPI dengan sucralfate, ataupun H2RA dengan sucralfate, ataupun kombinasi obat H2RA atau PPI dengan antasida. Obat ntipeptik yang sering digunakan ialah omeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole, obat-obat ini merupakan obat golongan Proton Pump Inhibitor. Obat dari golongan H2RA yang paling banyak digunakan adalah ranitidine.


(65)

2. Indikasi dan pilihan terapi

Pemberian anti peptik diindikasikan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas, serta mencegah memburuknya perkembangan penyakit karena gangguan pada saluran cerna. Pemberian terapi menggunakan Proton Pump Inhibitor, dan H2 Receptor Antagonist bertujuan untuk mengurangi hipersekresi asam lambung yang dapat mengikis saluran cerna bagian atas maupun bawah. Akibat dari hipersekresi asam lambung ini dapat terbentuk lesi luka pada saluran cerna karena sifat asam yang erosif.Apabila luka tersebut dibiarkan, luka dapat semakin dalam dan dapat menimbulkan perdarahan pada saluran cerna. Terutama obat golongan PPI sering dipilih untuk mengatasi dan digunakan sebagai profilaksis pada perdarahan saluran cerna (Cheng, 2011 dan Barkun, 2003).Antasida diberikan untuk memberikan suasana basa pada kondisi lambung yang terlalu asam (Hardman, et al, 2001).

3. Rute dan waktu pemberian

Menurut Cipolle (2004), waktu dan rute pemberian obat perlu diperhatikan secara khusus karena berhubungan dengan kadar obat di dalam darah. Jika waktu pemberian obat tidak tepat dapat mengakibatkan kadar yang kurang dalam darah sehingga efek yang diinginkan tidak tercapai dan apabila kadar obat terlalu berlebih dapat menimbulkan toksisitas. Jika rute pemberian obat tidak tepat maka kemungkinan dapat menimbulkan interaksi dengan obat lain yang memiliki waktu paruh eliminasi panjang, atau terdegradasi oleh enzim pencernaan sehingga diperlukan pertimbangan mengenai rute pemberian obat sistem pencernaan.


(66)

Dalam penelitian ini obat anti peptik sebagian besar diberikan secara injeksi intravena, dan sebagian kecil dan untuk obat-obat tertentu diberikan secara oral. Pemberian anti peptik secara injeksi intravena ditujukan untuk penanganan saluran cerna yang memerlukan onset yang cepat, dan diberikan dalam bentuk drip atau infus unuk menjaga kadar obat dalam darah, selain itu karena kondisi pasien yang dirawat inap sebagian besar tidak memungkinkan untuk menerima obat oral. Pemberian obat anti peptik secara oral diberikan kepada pasien yang kondisinya memungkinkan dan bentuk sediaan obat nyaman untuk diterima pasien misalkan sucralfate dalam bentuk sirup.

4. Dosis dan frekuensi pemberian

Pengobatan penyakit Peptic Ulcer Disease memerlukan dosis obat yang tepat agar tercapai pengobatan yang efektif bagi setiap pasien dan diharapkan pengobatan yang diberikan rasional. Dosis obat berkaitan dengan kekuatan zat aktif obat, dosis juga berkaitan dengan kadar obat didalam tubuh pasien yang dipengaruhi oleh frekuensi pemberian obat. Terdapat beberapa seri dosis pemberian obat anti peptik yang digunakan dalam penelitian ini. Obat-obat dari golongan Proton Pump Inhibitor (PPI): omeprazole yang diberikan secara injeksi dengan tiap ampul dosisnya 40 mg diberikan dengan 2 seri dosis pemberian yaitu 1 ampul setiap 24 jam, dan 1 ampul setiap 12 jam, kemudian diberikan dengan bolus dosis 80 mg dilanjutkan infus dengan tetesan 10 cc/jam (kasus 16), namun terdapat juga pemberian omeprazole 3 ampul/24 jam (kasus 8). Pada kasus 19 pasien diberikan injeksi omeprazole dengan dosis 1 mg/kgBB/24 jam (disesuaikan dengan berat badan pasien).


(67)

Dosis dan frekuensi pemberian untuk omeprazole ini sudah tepat. Dimana omeprazole 40 mg diberikan dalam dosis tunggal setiap 24 jam, dan bila lebih dari 80 mg cara pemberiannya dibagi dalam 2 hingga 4 kali pemberian dalam sehari. Menurut Cheng (2011) dan Ladan dan Hesch (2009) pemberian obat omeprazole 80 mg (1 ampul/12 jam) ini efektif untuk pengobatan dan pencegahan terjadinya perdarahan kembali. Pemberian PPI selain dengan injeksi juga dapat dilarutkan dalam cairan infus dan diatur tetesannya sesuai dengan hemodinamik tiap-tiap pasien. Tujuan pemberian obat dengan infus ini untuk menjaga kadar obat dalam kondisi steady state, kemudian pemberian obat untuk pediatri disesuaikan dengan berat badan. Belum banyak studi mengenai dosis pemberian omeprazole pada pediatri, tetapi omeprazole dapat diberikan maksimal 20 mg/hari untuk anak usia kurang dari 10 tahun dengan berat badan kurang dari 20 kg (Anderson, 2002).

Lansoprazole diberikan secara injeksi dengan tiap ampulnya berisi lansoprazole 30 mg diberikan 1 ampul setiap 24 jam, dosis ini sudah sesuai, sebab diantara obat-obat golongan PPI hanya lansoprazole yang diberikan 1 kali dalam 24 jam, sedangkan untuk pantoprazole diberikan dalam 2 seri dosis yakni bolus 80 mg dilanjutkan dengan 40 mg/12 jam; dan dosis pemberian 40 mg/24 jam. Sucralfate sirup (suspensi) biasa diberikan dengan rute oral, dengan dosis pemberian adalah 3 kali sehari 1 sendok makan (3xCI, berdasarkan temuan kasus yang dievaluasi) dan 3 kali 2 sendok makan (kasus 14). Dosis sucralfate dalam bentuk suspensi adalah 500 mg/ 5 mL. Dosis maksimal pemberian sucralfate untuk dewasa adalah 8 g/ hari. Pada kasus 19, inpepsa (sucralfate®


(1)

131

“Concomitant administration of ciprofloxacin and omeprazole results in a slight reduction of Cmax and AUC of ciprofloxacin. The effects of omeprazole on the pharmacokinetics of antacids, bortezomib, ciprofloxacin extended release, gemifloxacin, nifedipine, metoprolol, NSAIDs, iron and theophylline have also been investigated, with no clinically significant findings (Wedemeyer, Blume, 2014).”


(2)

Lampiran 2. Surat keterangan telah melakukan penelitian di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta


(3)

(4)

Lampiran 4. Daftar nama obat generik dan brand nameyang digunakan dalam peresepan

No Nama Generik Nama Dagang (Brand Name)

Golongan obat H2Receptor Antagonist

1. Ranitidine Ranitidine®

Radine® Ranivel®

Golongan Obat Proton Pump Inhibitors (PPI)

2. Omeprazole Omeprazole®

OMZ® Gastrofer®

Ozid®

3. Lansoprazole Lansoprazole®

4. Pantoprazole Pantoprazole®

Panso®

Golongan Obat Mucosal Protector

5. Sucralfate Sucralfate®


(5)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul ““Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Obat Antipeptik pada Pasien dengan Peptic Ulcer

Disease (PUD )Non Spesifik Sekunder Rawat Inap RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta (Studi Kasus pada Periode Januari 2013-Desember 2013)” memiliki nama lengkap Maria Jessica Cynthia Debby. Penulis lahir di Semarang pada tanggal 6 September 1992, merupakan anak kedua dari empat bersaudara dalam keluarga pasangan Gregorius Suharso dan Fransiska Deni Arita. Penulis mengawali masa pendidikannya di TK Katolik Santa Maria Magelang (1996 – 1998), kemudian melanjutkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar di SD Katolik Santa Maria Magelang (1998– 2004). Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Tarakanita Magelang (2004 – 2007), kemudian pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Tarakanita Magelang (2007 – 2008), saat naik kelas 2 SMA penulis mengikuti pindah tugas orang tua sebagai anggota militer pada 2008, penulis melanjutkan sekolah di SMA Negeri 4 Watampone, Sulawesi Selatan selama 8 bulan, kemudian penulis pindah, dan menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Depok, Jawa Barat (2009-2010). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2010. Semasa menempuh kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan. Penulis pernah menjadi Pengurus Jalinan Kasih Mahasiswa Katolik, sebagai sie Koor (2011). Sie Dana dan Usaha pada acara Titrasi (2011), dan 3 kali berturut-turut menjadi Sie Liturgi Kompai pada : EKM Kompai dan Pekan


(6)

Dokumen yang terkait

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

2 39 174

Evaluasi drug related problems obat antidiabetes pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap rumah sakit umum pelabuhan periode januari-juni 2014

4 24 164

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015

8 22 167

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015.

0 2 167

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

1 17 174

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) KATEGORI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) KATEGORI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN PERIODE JANUARI – JUNI 20

0 1 16

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien dewasa dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

3 18 145

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

1 17 110

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada kasus terapi diabetes melitus tipe 2 rawat inap : studi kasus di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta periode Maret-Desember 2013 - USD Repository

0 1 157

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien asma pediatri rawat inap : studi kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013 - USD Repository

0 0 141