MAKNA THE SPIRIT OF KUDA LUMPING (IN TRANCE): TELAAH SEMIOTIK PIERCEIAN.

(1)

i

MAKNA THE SPIRIT OF KUDA LUMPING (IN TRANCE) KARYA IWAN TANZIL: TELAAH SEMIOTIK PIERCEIAN

SKRIPSI

Diajukankepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi sebagai Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

MARDIAN BAGUS PRAKOSA NIM 09208244027

JURUSAN PENDIDIKAN SENI MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap

kekuatanmu.(Markus 12:30)

Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini. (Markus 12:31)

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.(Matius 7:7)

Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.(Amsal 27:17)

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.(F ilipi 4:13)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

Kedua orang tua, Ir. Toni Sudartono dan Ir.Engetin Retno Cahya Ningsih, Kedua kakak,Stevia Setia Permana Putri dan Debora Dewi Gardenia Putri.


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Berkat rahmat, dan Kuasa-Nya akhirnya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Makna The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karya Iwan Tanzil: Telaah Semiotik Pierceian” untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Suminto A. Sayuti selaku Dosen pembimbing I, yang senantiasa mengarahkan dan membimbing dengan sabar hingga terselesaikannya skripsi ini;

2. Drs.Herwin Yogo Wicaksono, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II, yang senantiasa memberikan dorongan semangat belajar, wawasan ilmu, pengarahan dan dengan sabar telah membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini;

3. Iwan Tanzil, Selaku komposer dan narasumber karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) yang telah mengijinkan penelitian ini serta memberikan informasi khususnya tentang karya tersebut.

4. Rahmat Raharjo, S.Sn., L.Mus.A., selaku narusumber dalam penelitian ini yang telah memberikan waktu dan informasi.

5. Bakti Setiaji, S.Pd, selaku narasumber yang telah memberikan wawasan dalam struktur musik dan memberikan banyak masukan berupa kritik dan saran yang bermanfaat, serta memberikan dorongan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini;

6. Birul Walidaini S.Pd, selaku narasumber yang telah memberikan waktu dan wawasan semiosfirnya sehingga dapat membantu peneliti dalam validitas data dengan metode peer de breefing (diskusi sesame peneliti).


(8)

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

ABSTRAK ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II. KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori ... 8

1. Pengertian Struktur Komposisi ... 8

2. Musik Sebagai Tanda Dalam Komunikasi Estetis ... 15

3. Semiotik Pierceian ... 16

B. Penelitian Yang Relevan ... 18

C. Pertanyaan Penelitian ... 20

BAB III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 21

B. Tahap-tahap Penelitian ... 21

1. Tahap Pra-lapangan ... 22

2. Tahap Pekerjaan Lapangan ... 22

3. Tahap Analisis Data ... 22


(10)

x

C. Data Penelitian ... 23

D. Instrumen Penelitian ... 23

E. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 23

1. Observasi ... 24

2. Wawancara ... 24

3. Dokumentasi ... 25

4. Studi Kepustakaan ... 26

F. Teknik Analisis Data ... 26

G. Validitas Data ... 29

BAB IV. Struktur, Identifikasi, dan Klasifikasi Tanda Pada Teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) A. Analisis Struktur The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) ... 31

B. Identifikasi dan Klasifikasi Tanda ... 53

1. Makna Tanda-tanda Tipe Ikon ... 55

2. Makna Tanda-tanda Tipe Indeks ... 58

3. Tanda-tanda Tipe Simbol ... 63

C. Pembahasan ... 66

1. Pembahasan Hasil Analisa Pada Tanda dan Makna Tanda-tanda Tipe Ikon ... 66

2. Pembahasan Hasil Analisa Pada Tanda dan Makna Tanda-tanda Tipe Indeks ... 68

3. Pembahasan Hasil Analisa Pada Tanda dan Makna Tanda-tanda Tipe Simbol ... 70

BAB VI. Penutup A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Identifikasi Tanda Pada Karya The Spirit of Kuda Lumping

(in Trance) ... 53

Tabel 2 : Makna Tanda-tanda Tipe Ikon ... 55

Tabel 3 : Makna Tanda-tanda Tipe Indeks ... 58


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Introduction ... 32

Gambar 2 : Periode A ... 32

Gambar 3 : Periode A’... 33

Gambar 4 : Periode B ... 35

Gambar 5 : Periode C ... 36

Gambar 6 : Periode D ... 37

Gambar 7 :Periode E ... 38

Gambar 8 : Periode F... 39

Gambar9 : Periode E’ ... 40

Gambar 10 : Periode G ... 41

Gambar 11 : Periode H ... 42

Gambar 12 : Transisi ... 43

Gambar 13 : Periode I ... 43

Gambar 14 : Periode J ... 44

Gambar 15 : Periode J’ ... 45

Gambar 16 : Periode H’... 46

Gambar 17 : Periode K ... 47

Gambar 18 : Periode K’... 48

Gambar 19 : Periode L ... 49

Gambar 20 : Periode H” ... 50

Gambar 21 : Periode M ... 51


(13)

xiii

MAKNA THE SPIRIT OF KUDA LUMPING (IN TRANCE): TELAAH SEMIOTIK PIERCEIAN

Oleh

Mardian Bagus Prakosa 09208244027

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna dari tanda-tanda yang terdapat pada partitur The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karya Iwan Tanzil.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini yaitu partitur lagu The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karya Iwan Tanzil. Penelitian difokuskan pada karyaThe Spirit of Kuda Lumping (in Trance)sebagai representasi dari kesenian kuda lumping yang dikaji berdasarkan bentuk dan strukturnya terlebih dahulu, kemudian diidentifikasi dan dianalisis maknanya melalui pendekatan semiotik tipologi tanda dari Carles Sander Peirce. Data diperoleh dengan teknik observasi, wawancara dokumentasi, dan studi pustaka. Data dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif. Keabsahan data dilakukan melalui validitas (peer de breefing).

Hasil penelitian menunjukkan bahwamaknaThe Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karyaIwanTanzilsebagairepresentasidarikeseniankuda lumping direpresentasikanmelalui hubungan persamaan/simulasi antara tanda dan objek, hubungan sebab akibat antara tanda dan objek serta hubungan tanda dengan objek melalui kesepakatan. Tanda dan hubungan antar tanda pada teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) yang teridentifikasi menunjukan bahwa karya tersebut merupakan karya modern dengan bentuk minimalis yang merepresentasikan unsur musikal dan ekstra musikal pada kesenian kuda lumping.


(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Musik merupakan salah satu cabang kesenian yang sangat erat hubungannya dengan indra pendengaran. Ewen (1971: 4) menyatakan bahwa:

“musik merupakan ilmu pengetahuan dan seni tentang kombinasi ritmik dari nada-nada, baik vokal maupun instrumental, yang meliputi melodi dan harmoni sebagai ekspresi dari segala sesuatu yang ingin diungkapkan terutama aspek emosional”.

Musik mencerminkan kebudayaan masyarakat pendukungnya yang ditandai dengan karakteristik jenis musik yang beranekaragam serta mengandung nilai dan norma-norma yang menjadi bagian dari proses enkulturasi budaya, baik dalam bentuk formal maupun informal. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Danesi (2004: 195) bahwa musik memainkan peran dalam tiap masyarakat dan memiliki sejumlah gaya yang merupakan ciri dari wilayah geografis atau sebuah era sejarah. Maka dari itu, masyarakat memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai musik.Konteks sosial tempat bunyi itu muncul pun sering menentukan apakah bunyi itu dapat dianggap sebagai musik atau tidak.

Musik dan manusia merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.Manusia dapat menciptakan bunyi melalui dirinya sendiri ataupun melalui alat penghasil bunyi yang kita kenal sebagai alat musik atau instrumen. Banoe (1997:113) mengklasifikasikan instrumen musik menurut sumber bunyinya:

1)instrumen musik yang sumber bunyinya berasal dari getaran pada badan instrumen itu sendiri (ideophone), contohnya seperti bel, gong, kulintang,


(15)

2

marakas, dan lain-lain; 2) instrumen musik yang sumber bunyinya berupa membran (membranophone), contohnyaseperti drum, kendang rebana, dan lain-lain; 3) instrumen musik yang sumber bunyinya berupa dawai (chordophone), contohnya seperti gitar, biola, piano, harpa, dan lain-lain; 4) Instrumen musik yang sumber bunyinya berupa udara (aerophone, contohnya seperti flute, trombon, harmonika, dan lain-lain; 5) instrumen musik yang sumber bunyinya berupa komponen elektronik (electrophone), contohnya seperti keyboard, gitar elektrik dan lain-lain.

Berdasarkan jenis-jenis instrumen tersebut, gitar merupakan instrumen musik yang paling umum dijumpai, baik dari kalangan masyarakat lapisan bawah hingga kalangan masyarakat lapisan atas. Kebutuhan masyarakat dalam konteks musik, dapat dipenuhi oleh adanya gitar, mengingat fungsi gitar secara umum merupakan instrumen pengiring yang mudah dibawa dan dapat dimainkan dimana saja. Peluang tersebut dimanfaatkan oleh para produsen gitar.Para produsen memproduksi gitar dengan material yang memiliki kualitas yang beraneka ragam sehingga harga gitar sangat bervariasi dan dapat dijangkau oleh semua kalangan.Gitar klasik (nylon strings), gitar akustik (steel strings), gitar akustik elektrik, dan gitar elektrik merupakan jenis-jenis gitar yang umum digunakan. Penyebutan istilah gitar klasik dan gitar akustik merupakan suatu kesepakatan konvensional yang secara tidak langsung menunjukkan identitas gitar klasik sebagai gitar yang digunakan untuk memainkan karya klasik dan gitar akustik digunakan sebagai gitar yang digunakan untuk pengiring dalam band populer dan budaya musik populer lainnya, walaupun pada hakikatnya gitar klasik merupakan gitar akustik.

. Gitar klasik merupakan instrumen chordophone yang memiliki enam dawai dan pada umumnya digunakan untuk memainkan karya musik klasik Gitar klasik terkenal dengan teknik tangan kanan yang komprehensif sehingga dapat


(16)

3

menyajikan unsur nada secara polifoni, homofoni,hingga special effects yang sering kita jumpai pada karya-karya modern. Karya musik gitar klasik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu karya musik asli untuk gitar dan karya musik instrumen non-gitar yang diadaptasi ke dalam gitar (transkripsi).Grand Sonata Eroica karya Mauro Guliani, Julia Florida karya Agustin Barrios Mangore, Anatolian Folksong karya Carlo Domeniconi, De Un Fragmento karya Leo Brouwer, The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karya Iwan Tanzil merupakan contoh-contoh karya asli untuk gitar. Di sisi lain,Chaconne karya J.S Bach, Asturias karya Isaac Albeniz, dan lain-lain merupakan contoh-contoh karya non-gitar yang ditranskripsikan untuk non-gitar.

Karya-karya asli untuk gitar dan non-gitar sangat erat hubungannya dengan latar belakang pencipta /komposer. Pencipta musik atau komposer merupakan salah satu unsur dari karya musik itu sendiri. Gagasan komposer direpresentasikan menjadi sistem nada-nada yang dikombinasikan untuk membuat melodi atau harmoni dan dikombinasikan lagi dengan skema struktural dari ketukan yang muncul secara teratur. Hal-hal tersebut pada umumnya dituangkan ke dalam partitur. Partitur merupakan media penghubung antara komposer dan pemain musik.Faktor yang melatarbelakangi komposer dalam pembuatan karya musik tidak lepas dari interaksinya dengan alam dan lingkungan, kejadian-kejadian yang pernah dialaminya, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut secara tidak langsung merupakan cerminan jaman pada saat karya dibuat. Komposer pada era Renessaince, Barok, Klasik, Romantik dan Modern memiliki suatu karakteristik yang berbeda di dalam karyanya. Konteks fungsi musik era Barok


(17)

4

menyatakan bahwa komposer banyak mendedikasikan karyanya untuk hal-hal yang bersifat relegius, kemudian era Klasik mulai menggeser fungsinya dengan musik-musik hiburan dan lain lain. Perbedaan fungsi tersebut disebabkan oleh pergeseran budaya dari jaman ke jaman. Komposer menangkap sesuatu yang menarik di sekitarnya sebagai inspirasi dalam pembuatan karya seperti: cinta; politik; dan sosial hingga hal-hal yang berhubungan dengan meditasi, ritual, dan lain-lain. Semuanya direpresentasikan menjadi komposisi musik yang mengandung pesan.

Komposer gitar yang banyak dikenal seperti: Fernando Sor; Francisco Tarrega; Mauro Guiliani; Isaac Albeniz; Enrique Granados; Agustin Barrios Mangore; Leo Brouwer; Stepan Rak; Nikita Koshkin; Iwan Tanzil; dan lain-lain memiliki karakteristik yang sangat beragam. Karya-karya Fernando Sor, Francisco Tarega, Mauro guiliani, Isaac Albeniz, Enrique Granados, Agustin Barrios Mangore, dan lain-lain memiliki perbedaan yang kontras dengan karya-karya Leo Brouwer, Stepan Rak, Nikita Koshkin, dan Iwan Tanzil dari sudut pandang struktur musik dan teknik permainannya. Komposer-komposer gitar pada eraReneissance, Barok, Klasik dan Romantik lebih banyak menggunakan teknik-teknik permainan gitar secara konvensional, sedangkan komposer-komposer pada era modern mulai mengadaptasikan beberapa teknik instrumen non-gitar seperti memainkan gitar dengan cara memukul body (golpe),memukul fingerboard, memukul senar gitar (tambora),dan lain-lain seperti dalam karya salah satu komposer gitar Indonesia, Iwan Tanzil.


(18)

5

Iwan Tanzil lahir di Jakarta tahun 1963. Beliau belajar gitar pada usia 14 tahun. Tahun 1983, Iwan Tanzil belajar di College of Art Berlin, Jerman dan ujian akhir pada tahun 1988, kemudian lulus pada tahun 1991. Selama studinya beliau mengambil bagian dalam program international master yang berbeda dengan Javier Hinojosa, Vladimir Mikulka, Manuel Barrueco, Roberto Aussel dan Angelo Gilardino. Pada Tahun 1989, Iwan Tanzil menyandang juara pertama dalam Concorco internationale La Conquista della chitara Classica di Milan, Italia. Selain sebagai seorang pemain gitar klasik, Iwan Tanzil juga diakui sebagai seorang komposer.The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) merupakan salah satu karya Iwan Tanzil yang cukup populer dikalangan pemain gitar klasik Indonesia.Gagasan karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) diambil dari kesenian kuda lumping.

. Kuda lumping merupakan salah satu kesenian tradisional yang terkenal di Indonesia. Karakteristik kuda lumping tampak pada gerak tariannya yang menceritakan tentang pasukan berkuda. Selain tarian, kuda lumping juga memiliki karakter iringan musik yang khas. Alat-alat musik yang digunakan sebagai pengiring kuda lumping antara lain: saron; demung; bonang, angklung; kempul;gong suwukan; dan instrumen tambahan keyboard, snar drum dan bass drum.Pertunjukan kuda lumping sangat erat hubungannya dengan hal-hal yang menyangkut supranatural. Salah satu fenomena supranatural dalam budaya Jawa disebut kesurupan atau dalam budaya barat disebut dengan trance. The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) merupakan salah satu bukti kejeniusan Iwan Tanzil dalam merepresentasikan kesenian kuda lumping ke dalam sebuah karya gitar


(19)

6

klasik. Iwan Tanzil mencoba menyajikan unsur-unsur kuda lumping ke dalam sebuah karya untuk gitar klasik solo melalui nada, ritmis, dan special effects. Kualitas nada dimodifikasi melalui teknik-teknik yang jarang muncul (special effects) dalam karya-karya klasik tradisional dengan tujuan untuk menggambarkan sebuah kesenian kuda lumping.

Iwan Tanzil merupakan salah satu dari banyak komposer modern yang yang ingin merepresentasikan unsur kesenian daerah ke dalam karyanya. Dalam dunia akademis yang mempelajari musik barat maupun timur, pemain musik menginterpretasikan pesan yang akan disampaikan oleh komposer melalui teks musik/partitur. Namun untuk menginterpretasikan pesan komposer melalui partitur musik, seorang pemain tidak hanya membunyikan apa yang dituliskan komposer di dalam partitur musik untuk dapat memaknai karya tersebut. Pada tahap memaknai pesan sebuah karya musik, seorang pemain kadang harus melihat dari sisi sejarah, teori musik, ilmu bentuk, hingga ilmu-ilmu lain yang tidak memiliki sifat musikal. Semua itu karena seorang komposer dapat secara bebas menemukan gagasan atau ide-ide dalam proses pembuatan komposisi musik seperti gagasan Iwan Tanzil dalam karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).

Berdasarkan semua pernyataan di atas mengenai The Spirit of Kuda Lumping (in Trance), kajian terhadap karya tersebut sangat penting untuk menjadi dasar dalam proses penggarapannya dan sebagai dasar interpretasi terhadap karya musik tersebut.


(20)

7 B. Fokus Masalah

Masalah yang teridentifikasi cukup banyak dan ruang lingkupnya cukup luas. Namun, untuk mempermudah sistem pengkajian, dalam penelitian ini difokuskan pada struktur musik dan makna The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) sebagai representasi dari kesenian kuda lumping.

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk hal-hal berikut:

1. Mendeskripsikan struktur musik The Spirit of Kuda Lumping (in Trance)sebagai dasar dalam proses penggarapan dan interpretasi karya. 2. Mendeskripsikan makna yang terkandung di dalam karya The Spirit of

Kuda Lumping (in Trance). D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, untuk menambah literatur penelitian tentang analisis karya seni musik, dan sebagai sumber bagi yang membutuhkan uraian makna dalam karyaThe Spirit of Kuda Lumping (in Trance).

2. Secara praktis, sebagai dasar interpretasi bagi pemain gitar yang akan membawakan karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).


(21)

8 BAB II

DESKRIPSI TEORI

A. Pengertian Struktur Komposisi

Menurut Poerwodharminto (1985:965), struktur merupakan cara bagaimana sesuatu disusun. Struktur memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya dan memiliki sifat totalitas serta transformatif. Djlantik (2001: 31) menyatakan bahwa kata struktur mengandung arti bahwa di dalam karya seni terdapat suatu pengorganisasian, penataan dan ada hubungan tertentu antara bagian-bagian yang tersusun tersebut. Berdasarkan pendapat tersebut, struktur merupakan cara menyusun segenap unsur-unsur menjadi satu kesatuan yang utuh secara sistematis.

Pengertian komposisi secara umum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007: 585)adalah susunan; tata susun, sedangkan pengertian komposisi musik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah gubahan, baik instrumental maupun vokal; susunan lagu, baik instrumental maupun vokal (2007: 585). Prier (1989: 87) menyatakan bahwa komposisi musik merupakan suatu komposisi yang berupa bentuk lagu, bentuk ansambel, bentuk sonata, bentuk opera, bentuk oratorio, dan bentuk simphoni.Komposisi yang paling dasar dan sederhana adalah bentuk lagu. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa struktur komposisi merupakan suatu hasil karya musik yang mencakup seluruh susunan unsur-unsur dasar komposisi secara sistematis menjadi satu kesatuan karya musik yang utuh. Secara garis besar, unsur-unsur yang terdapat dalam suatu komposisi yaitu:


(22)

9 1. Irama

Irama merupakan rangkaian gerak yang berurutan dan menjadi unsur dasar dari musik. Irama terbentuk dari sekelompok bunyi dan diam, panjang pendeknya bunyi dan diam dalam waktu yang bermacam-macam membentuk pola irama serta bergerak menurut pulsedalam setiap ayunan birama(Jamlus,1998: 7). Pulse merupakan rangkaian denyutan yang terjadi berulang-ulang dan berlangsung secara teratur, dapat bergerak cepat maupun lambat (Ibid, 1998: 9). Menurut Sumaryo (dalam Joseph 2005: 52), irama secara populer adalah unsur-unsur dalam musik sebagai pembagian berlangsungnya waktu yang memberi pernyataan hidup kepada musik, irama membuat musik terasa mempunyai gerak. Berdasarkan pernyataan diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ritme berhubungan dengan waktu, kapan bunyi dan diam itu berlangsung dalam suatu komposisi musik.

2. Melodi

Jamalus (1998:16) menyatakan bahwa melodi merupakan susunan rangkaian nada (bunyi dengan rangkaian teratur) yang terdengar secara berurutan serta berirama dan mengungkapkan suatu gagasan pikiran dan perasaan. Melodi merupakan naik turunnya nada yang seyogyanya dilihat sebagai gagasan inti musikal yang sah menjadi musik bila ditunjang dengan gagasan yang memadukannya dalam suatu kerjasama dengan irama, tempo, bentuk dan lain-lain (ensiklopedi musik, 1992: 28). Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa melodi


(23)

10

memiliki unsur ritme dan nada yang mengungkapkan suatu gagasan dan pikiran seorang komposer. Unsur yang terdapat dalam sebuah melodi diantaranya:

a. Motif

Motif merupakan unsur lagu yang mencakup nada, ritme, dan harmoni yang dipersatukan dengan suatu gagasan dan memiliki makna musikal, maka dari itu sebuah motif biasanya diulang-ulang dan diolah. Secara normal, sebuah motif memenuhi dua ruang birama (Prier, 2011: 3). Menurut Joseph (2005: 59), istilah motif dalam musik merupakan bagian terkecil dari kalimat musik yang sudah memiliki arti. Motif didukung dengan semua unsur-unsur musik seperti melodi, ritmis, dan harmoni. Meskipun unsur terkecil dalam musik adalah nada, tetapi nada yang berdiri sendiri belum merupakan suatu musik. Menurut Prier (1996:27) untuk pengolahan motif sendiri terdapat tujuh cara, antara lain :

1) Ulangan harafiah

Ulangan harafiah merupakan ulangan/repetisi motif. Ulangan harafiah mengungkapkan suatu kesan (misalnya keheningan malam) dan ulangannya bermaksud menegaskan suatu pesan untuk meningkatkan perhatian.

2) Sekuens (ulangan pada tingkat lain)

Sekuens merupakan variasi termudah.Sekuens memiliki dua kemungkinan, yaitu:


(24)

11

a). Sekuens naik: sebuah motif dapat diulang pada tingkat nada yang lebih tinggi. Sekuen naik sering terdapat didalam kalimat pertanyaan.

b). Sekuens turun: sebuah motif dapat diulang pada tingkat nada yang lebih rendah. Sekuens ini digunakan untuk menurunkan ketegangan dalam sebuah motif .

3) Perbesaran interval (augmentation of the ambitus)

Sebuah motif terdiri dari beberapa nada, dan dengan demikian terbentuklah pula beberapa interval yang dapat diperbesar. Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu peningkatan ketegangan guna membangu “busur” kalimat.

4) Pemerkecilan interval (diminuation of the ambitus)

Pemerkecilan interval merupakan kebalikan dari perbesaran interval, di mana interval dapat diperkecil. Tujuan pemerkecilan nada selain sebagai variasi, juga mengurangi ketegangan dalam sebuah kalimat. Biasanya pemerkecilan tidak terjadi berulan-ulang.

5) Pembalikan (inversion)

Setiap interval yang naik dijadikan turun dan setiap motif asli menuju kebawah, dalam pembalikannya diarahkan keatas. Bila pembalikannya bebas, maka besarnya interval tidak dipertahankan, tetapi disesuaikan dengan harmoni lagu.


(25)

12

6) Perbesaran nilai nada (augmentation of the value)

Suatu pengolahan melodis yang menggandakan nilai nada, sehingga melodi seakan-akan lebih lambat. Secara tidak langsung, perbesaran nilai nada merubah ritme sebelumnya.

7) Pemerkecilan nilai nada (diminuation of the ambitus)

Suatu pengolahan melodis yang membagi nilai nada sehingga melodi seakan-akan lebih cepat. Secara tidak langsung, pemerkecilan nilai nada merubah ritme sebelumnya.

b. Frase

Frase merupakan anak kalimat lagu, dalam tulisan musik lazim ditandai dengan lengkung pengikat (Banoe, 2003: 334). Menurut Joseph (2005: 59), istilah frase dalam musik merupakan gabungan beberapa motif menjadi satu. Frase dalam melodi terdiri atas frase pertanyaan dan frase jawaban. Frase merupakan bagian dari kalimat lagu seperti dalam kalimat bahasa dan dinyanyikan dalam satu pernafasan. Frase sederhana biasanya terdiri atas dua atau empat birama. Kalimat musik terbentuk dari sepasang frase dan dua kalimat musik atau lebih akan membentuk lagu. Fungsi frase ada dua, yaitu:

1) Kalimat pertanyaan/frase antecedens

Kalimat pertanyaan/frase antecedens merupakan awal kalimat (biasanya birama 1-4 atau 1-8), disebut pertanyaan atau kalimat depan karena biasanya berhenti dengan nada yang mengambang atau


(26)

13

biasa disebut dengan koma. Pada umumnya kalimat ini berhenti di dominan.

2) Kalimat jawaban / frase consequens

Kalimat jawaban / frase consequens merupakan bagian kedua dari kalimat (biasanya birama 5-8 atau 9-16), disebut sebagai jawaban karena melanjutkan pertanyaan dan berhenti dengan akor tonika. Kalimat jawaban memberikan kesan selesailah sesuatu di nada akhir kalimatnya.

3. Harmoni

Harmoni merupakan elemen musikal yang didasarkan atas penggabungan nada secara simultan, sebagaimana dibedakan oleh rangkaian nada-nada dan melodi. Melodi merupakan sebuah konsep horizontal, sedangkan harmoni merupakan konsep vertikal, oleh sebab itu harmoni sangat berhubungan dengan akor (Miller via Bramantyo, 1998: 48). Menurut Kodijat (1989: 32), menyatakan bahwa harmoni merupakan selaras, sepadan, bunyi serentak menurut harmoni, yaitu pengetahuan tentang hubungan nada-nada dalam akor serta hubungan antara akor yang satu dengan akor yang lainya.

Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa, harmoni merupakan rangkaian gerak nada secara simultan, selaras dan sepadan yang memiliki hubungan antara nada-nada dan akor serta akor dengan akor lainnya.


(27)

14 4. Tema

Menurut Syafiq (2003: 299), tema adalah rangkaian nada yang merupakan pokok bentukan sebuah komposisi karena sebuah komposisi dapat memakai lebih dari satu tema. Menurut Rahma (2013:1), tema merupakan kumpulan dari beberapa kalimat musik. Tema merupakan gagasan utama dalam sebuah komposisi musik. Pada umumnya sebuah komposisi musik merupakan kumpulan dari beberapa tema. Disisi lain, tema merupakan wajah dari sebuah komposisi musik yang memberikan penekanan-penekanan tertentu sehingga pendengar memiliki pemahaman tertentu pada saat mendengarkan sebuah komposisi musik

5. Kadens

Menurut Sumaryanto (2001), wujud penerapan harmoni lebih lanjut dalam musik yaitu berupa rangkaian kord (progresi kord) yang mengiringi suatu melodi atau ritme tertentu dan rangkaian kord yang berada pada bagian akhir suatu melodi, frase,atau ritme disebut kadens (Cadence).Banoe (1997: 69-69) menyatakan bahwa kadens merupakan cara yang ditempuh untuk mengakhiri komposisi musik dengan berbagai kemungkinan kombinasi ragam akor, sehingga terasa efek berakhirnya sebuah lagu atau sebuah frasa lagu. Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kadens merupakan rangkaian nada dan harmoni yang menunjukkan akhir dari kalimat. Terdapat beberapa macam kadens, antara lain:

a.Kadens Authentic : progresi akor V – I b.Kadens Plagal : progresi akor IV –I


(28)

15

c.Deceptif Kadens : progresi akor V – VI d.Kadens Setengah : progresi akor I – V – I – IV

B. Musik Sebagai Tanda dalam Komunikasi Estetis

Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai tanda, di antaranya menurut Martinet (2010: 45), tanda adalah sesuatu yang bisa ditangkap yang memperlihatkan hal selain dirinya sendiri. Danesi (2012: 6) berpendapat bahwa tanda adalah segala sesuatu warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus matematika, dan lain-lain yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya.Pendapat lain, menurut Nurgiyantoro (2005: 40), tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, sesuatu dikatakan sebagai tanda apabila diinterpretasikan sebagai tanda. Tanda-tanda dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rumah, pakaian, karya seni: sastra, lukis, musik, tari, dan lain-lain yang berada di sekitar kita. Berdasarkan pendapat di atas, maka partitur atau teks dari The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karya Iwan Tanzil dikatakan sebagai tanda karena di dalam sebuah partitur bisa memberikan isyarat, rumus, atau perintah yang digunakan para pembaca teks untuk mempresentasikan apa yang diinginkan komposer dalam sebuah teks musik atau partitur. Iwan Tanzil tidak begitu saja menciptakan sebuah karya musik, pasti ada makna yang tersimpan dalam tanda yang dia tulis ke dalam partitur. Untuk mengetahui makna dalam suatu karya musik, dapat menggunakan pendekatan semiotika.


(29)

16 C. Semiotika Pierceian

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani ”Semeionyang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2013 : 7). Danesi (2012: 6) berpendapat bahwa tanda adalah segala sesuatu warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus matematika, dan lain-lain yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya. Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda.Analisis semiotika memang sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi tertentu.Istilah teks mengandung hal-hal seperti percakapan, huruf, ujaran, puisi, mite, novel program televisi, lukisan teori ilmiah, komposisi musik, dan seterusnya (Danesi, 2012 : 19). Berdasarkan pendapat di atas, maka partitur atau teks dari The Spirit of Kuda Lumping(in Trance)bisa dikatakan sebagai tanda karena secara fungsional partitur merupakan media komunukasi antara komposer dan pemain musik, dimana komposer ingin menyatakan sesuatu di luar teks musik tersebut. Seorang komposer memiliki tujuan tertentu didalam komposisi musiknya. Gagasan bisa diambil dari dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar yang memiliki makna dan ditulis ke dalam partitur. Pembaca teksmenginterpretasikan apa yang diinginkan komposer melalui sebuah teks musik atau partitur.


(30)

17

Konsep pemikiran semiotika salah satunya berasal dari Charles Sander Pierce. Teori dari Pierce sering disebut sebagai “ grand theory” dalam semiotika. Menurut Danesi (2004: 199) teori tersebut mengungkapkan bahwa

“Pierce mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Sebuah tanda atau representamen menurut Pierce merupakan sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu, oleh Pierce disebut interpretan dan pada giliranya akan mengacu pada objeknya”

.

Charles Sander Peirce juga membahas tentang teori trikotomi. Trikotomi adalah teori yang membahas mengenai tanda yaitu sign (tanda), objek, dan interpretan. Teori ini membahas hubungan tanda dengan tanda itu sendiri (sign/representamen), tanda dengan objek, dan tanda dengan interpretan.Peirce mengatakan bahwa dalam semiotika terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari ketiga unsur yang berbeda.Hubungan tersebut disebut triadik, yakni tanda atau representamen (sign), objek, dan interpretan.

1. Tiga Trikotomi Tanda Peirce

Trikotomi pertama yaitu hubungan tanda dengan tanda itu sendiri, di dalamnya tanda dibagi menjadi qualisign, sinsign, dan legisign.Qualisign yaitu tanda berdasarkan kualitasnya, sinsign adalah sebuah tanda tentang eksistensi keberadaannya, sedangkan legisign adalah sebuah tanda tentang aturan umum.

Trikotomi kedua adalah hubungan tanda dengan objeknya, di dalamnya terdapat ikon, indeks, dan simbol.Ikon adalah jika tanda


(31)

18

memiliki hubungan kesamaan dengan objeknya.Indeks adalah jika tanda tersebut menjadi penunjuk objeknya, sedangkan simbol adalah tanda konvensional.

Trikotomi ketiga adalah hubungan tanda kepada interpretan sebagai tanda tentang kemungkinan kualitatif (rheme), tentang fakta (decisign/dicentsign), dan tentang pemikiran (argument) (Peirce via Wahono dan Kustap 2007: 54).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka teori konsep trikotomi dari Peirce dianggap tepat untuk penelitian ini, karena di dalamnya berisi pembahasan yang diperlukan untuk langkah awal dalam mencari makna yang terdapat pada tanda-tanda musikal dalam lagu The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).Namun agar penelitian dan analisis tidak meluas maka dalam penelitian ini hanya akan menggunakan analisis tanda berdasarkan trikotomi kedua yaitu hubungan tanda dengan objeknya. D. Penelitian yang relevan

Sebagai bahan acuan dan landasan dalam penelitian ini, peneliti mengambil penelitian yang berkaitan dan sudah pernah dilakukan sebelumnya yaitu:

1. Adagio Dari Concierto de Aranjuez untuk solo gitar dan Orkestra Karya Joaquin Rodrigo Prespektif Semiotika.

Penelitian ini ditulis oleh Sri Wahono dan Kustap yang diterbitkan oleh jurnal ilmiah seni pertunjukan “Resital”.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanda-tanda dalam karya Concierto de


(32)

19

Aranjuez berdasarkan perspektif semiotika. Concierto de Aranjuez terdiri dari tiga bagian: Allegro con spirito, Adagio and Allegro gentile. Bagian Adagio merupakan bagian yang paling umum dimainkan.Bagian Adagio ini bertempo lambat dalam tangga nada minor sehingga melodi yang dimainkan terasa melankolis dan dapat mendiskripsikan bahwa “pada melodinya tercium wangi bunga magnolias, terdengar nyanyian burung-burung dan bisikan pancuran air di taman istana Aranjuez”.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adagio dari Concierto de Aranjuez memiliki tanda-tanda legisign, index, ikon, symbol dan rheme yang akan menjadi awal untuk menemukan makna dari komposisi ini. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya yang ditulis oleh Kustap yang berjudul Semiotika Tripartisi Concierto de Aranjuez Bagian I Allegro con SpiritoKarya Joaquin Rodrigo.

2. Makna LaguKoyunbaba (Suite Für Gitarre Op.19) karya Carlo Domeniconi: Semiotik Pierceian

Penelitian ini ditulis oleh Birul Walidaini.Fokus dari penelitian ini yaitu pada permasalahan partikularitas atau keunikan yang dituangkan komposer ke dalam lagu tersebut yang dikaji berdasarkan bentuk dan strukturnya, kemudian makna dianalisis menggunakan pendekatan semiotika tipologi tanda dari Charles Sander Pierce. Hasil penelitian


(33)

20

menunjukan bahwa tanda-tanda yang bersifat partikular dalam teks Koyunbaba (Suite Für Gitarre Op.19) tidak meninggalkan pondasi dasar dari sebuah musik suita, sehingga bisa dikatakan bahwa teksKoyunbaba (Suite Für Gitarre Op.19) ini merupakan representasi dari suita modern dengan ciri khas tersendiri.

Kedua penelitian ini dianggap relevan karena kesamaan dalam meneliti tanda-tanda dalam teks musik yaitu semiotik dari Peirce, serta kesamaan zaman dari karya yang diteliti.

E. Pertanyaan Penelitian

Iwan Tanzil menunjukan identitas tanah kelahirannya melalui karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance). Sebuah kesenian lokal diangkat menjadi sebuah karya musik untuk solo gitar klasik dengan struktur musik yang jarang digunakan dalam karya gitar klasik pada umumnya.

Berdasarkan fokus masalah dan kajian pustaka yang dituliskan dalam bab ini, maka peneliti menemukan beberapa penelitian yang akan dibahas lebih dalam sebagai fokus awal penelitian, yaitu:

1. Iwan Tanzil menggunakan struktur musik yang berbeda dari karya gitar klasik pada umumnya, seberapa jauh penggunaan struktur musik tersebut membawa makna tertentu?

2. Seberapa jauh komposer merepresentasikan kesenian kuda lumping ke dalam karya musik The Spirit of Kuda Lumping (in Trance)untuk solo gitar?


(34)

21 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diteliti, penelitian ini berhubungan dengan persepsi terhadap objek yang akan diteliti, maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan ditelaah dengan semiotikpierceian. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, dan kepercayaan terhadap obyek yang akan diteliti. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar dan bukan berupa angka-angka, seperti yang diungkapkan Bogdan dan Biklen (via Sugiyono, 2011: 13) bahwa penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif, data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar sehingga tidak menekankan pada angka.Teori yang digunakan dalam penelitian ini tidak dipaksakan untuk memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal.Peneliti menggunakan dirinya sendiri sebagai perangkat penelitian, mengupayakan kedekatan dan keakraban antara dirinya dengan objek atau subjek penelitiannya. Data penelitian kualitatif berasal dari dokumentasi penelitian, pengawasan, evaluasi, pengamatan pendahuluan, dan pernyataan dari narasumber-narasumber yang dipercaya.

B. Tahap-tahap Penelitian

Dalam penelitian ini, agar pelaksanaannya terarah dan sistematis maka disusun tahap-tahap penelitian. Menurut Moleong (2007: 127-148), ada empat tahapan dalam pelaksanaan penelitian yaitu sebagai berikut:


(35)

22 1. Tahap pra lapangan

Dalam tahap ini peneliti menentukan fokus penelitian, studi kepustakaan, mencari sember berupa partitur, audio dan video The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).Selain itu, peneliti melakukan wawancara secara informal dengan pemain-pemain gitar klasik yang pernah memainkan karya tersebut.Tahap pra lapangan dilakukan peneliti selama bulan April-Juli 2014.

2. Tahap pekerjaan lapangan

Tahap pekerjaan lapangan terkait dengan penelitian yang dilakukan di lapangan. Peneliti membaca dan memainkan karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).Dalam proses penggarapan, peneliti menemukan keunikan-keunikan dalam karya tersebut. Struktur musik The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) merupakan struktur yang memiliki perbedaan dengan karya-karya gitar klasik pada umumnya. Berawal dari kesulitan-kesulitan yang dialami sendiri oleh peneliti, maka dari itu peneliti melakukan wawancara dengan Iwan Tanzil selaku komposer The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).Selain itu, peneliti juga menempuh upaya konfirmasi ilmiah melalui penelusuran literatur buku dan referensi pendukung penelitian.

3. Tahap analisis data

Pada tahap ini, peneliti menganalisis atau memilih data yang diperlukan dan yang tidak diperlukan, kemudian dilakukan penyajian data serta penarikan kesimpulan.


(36)

23 4. Tahap evaluasi dan pelaporan

Pada tahap evaluasi dan pelaporan, peneliti melakukan konsultasi dan bimbingan dengan dosen pembimbing yang telah ditentukan.

C. Data Penelitian

Data dalam penelitian ini berupa teks partitur dari lagu The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karya Iwan Tanzil, ditambah dengan data-data pendukung berupa video pertunjukan untuk kepentingan audio visual, buku-buku, artikel dan wawancara dengan narasumber untuk kepentingan analisis, klasifikasi dan identifikasi tanda.

D. Instrumen Penelitian

Menurut Moleong (2000:19), dalam penelitian kualitatif peneliti sendiri atau bantuan orang lain adalah alat pengumpul data utama. Peneliti sebagai instrumen penelitian berfungsi dalam mengambil inisiatif yang berhubungan dengan penelitian.Inisiatif ini meliputi pencarian data, pembuatan pertanyaan untuk wawancara, dan sebagai pengolah data.Berdasarkan pengertian tersebut, maka instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri.

E. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akandigunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati, mendengarkan, dan memainkan The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karya Iwan Tanzil serta melakukan wawancara terhadap ahlidan beberapa pemain gitar yang pernah memainkan karya tersebut. Metode yang digunakan, yaitu:


(37)

24 1. Observasi

Observasi berperan serta atau partisipatif (participant observation).Sugiono (2010: 204) mengatakan bahwa dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Selain melakukan pengamatan, penelitian juga melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, sehingga data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan mengetahui makna dari setiap perilaku yang nampak.

Peneliti melakukan observasi, dengan cara berpartisipasi langsung baik sebagai penyaji maupun audience dalam beberapa pertunjukan musik yang menyajikan The Spirit of Kuda Lumping (in Trance). Selain observasi dalam pertunjukan musik, peneliti juga melakukan pengamatan terhadap teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).

2.Wawancara

Peneliti melakukan wawancara kepada bapak Iwan Tanzil pada bulan Mei 2014.Iwan Tanzil adalah komposer The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) itu sendiri.Peneliti mendapatkan informasi berupa latar belakang karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance). Selain itu, Iwan tanzil juga memberikan gambaran visual prihal karya tersebut yang erat kaitanya dengan kesenian kuda lumping.

Peneliti melakukan wawancara kepada bapak Bakti Setiaji, S.Pd pada bulan Desember 2014.Bakti Setiaji adalah komposer yang dalam kekaryaanya seringkali merepresentasikan unsur-unsur tradisi.Selain itu, Bakti Setiaji juga ahli


(38)

25

dalam analisis bentuk dan struktur musik.Peneliti mendapatkan informasi bahwa struktur music dalam karya ini terdiri dari pengulangan motif yang diperkembangkan.Selain itu narasumber menyatakan bahwa karakter iringan kuda lumping direpresentasikan dalam karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).

Peneliti melakukan wawancara dengan bapak Rahmat Raharjo, S.Sn pada bulan Maret 2015.Beliau adalah pemain gitar klasik yang pertama kali memainkan The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karya Iwan Tanzil. Peneliti mendapatkan informasi bahwa nara sumber (Rahmat Raharjo) adalah orang pertama yang membawakan karya tersebut. Selain itu narasumber melalui pengalaman empirisnya dalam penggarapan karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) memberikan petunjuk mengenai tanda-tanda musical yang memiliki kedekatan dengan iringan kuda lumping secara auditif.

3. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan untuk menunjang data hasil penelitian. Dokumentasi merupakan bahan tertulis atau film lain dari rekaman yang dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik (Moleong, 2000: 161). Dokumentasi yang dilakukan berupa partitur yang didapat dari Iwan Tanzil (komposer), rekaman video seorang mahasiswa Institut Seni IndonesiaYogyakarta (Edo Diaz);dan rekaman (audio) Rahmat Raharjo dalam memainkan The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karya Iwan Tanzil.


(39)

26 4. Studi kepustakaan

Peneliti melakukan studi pustaka yang bertujuan untuk melengkapi data penelitian melalui penelusuran literatur mengenai analisis bentuk struktur musik dan teori tentang tanda serta makna, baik berupa buku, jurnal, maupun artikel dari internet untuk mendapatkan data yang menunjang penelitian ini.

F. Teknik analisis data

Menurut Creswell (2010: 275), analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis, dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Selain itu, analisis data melibatkan pengumpulan data yang terbuka, didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan umum, dan analisis informasi dari para partisipan.Keterkaitan hal-hal tersebut berpengaruh pada tingkat pemahaman dan interpretasi. Seperti dijelaskan oleh Creswell (2010: 274) bahwa peneliti perlu mempersiapkan data tersebut untuk diteliti, melakukan analisis-analisis yang berbeda, memperdalam pemahaman terhadap data tersebut, menyajikan data, dan membuat interpretasi makna yang lebih luas terhadap data tersebut.

Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode penelitian deskriptif kualitatif.Jadi data yang telah didapatkan kemudian dianalisis dan dideskripsikan dengan kenyataan yang ada, tujuannya yaitu untuk mendeskripsikan makna The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).

Pertama, peneliti mencoba memahami dan menerjemahkan apa yang ada di dalam teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance)kedalam teknis permainan


(40)

27

gitar, kemudian menyajikannya dalam sebuah pementasan gitar klasik. Selain sebagai penyaji, peneliti juga terlibat dalam sebuah pementasan musik yang menyajikan repertoar The Spirit of Kuda Lumping (in Trance)sebagaiaudience. Langkah-langkah tersebut diambil agar peneliti mengalami keterlibatan langsung dalam proses penelitian.

Selanjutnya peneliti mengamati teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) dari segi bentuk dan struktur dengan acuan buku-buku analisis musik.Peneliti membagi berdasarkan pembagian terbesar dalam struktur musik yaitu periode sampai kepada pembagian frase dan motif. Langkah ini dilakukan agar sebuah teks musik menjadi jelas antara kalimat satu dengan kalimat yang lain serta untuk mengetahui apa saja yang terdapat pada teks tersebut. Seperti diketahui musik yang menggunakan lirik, musik instrumental atau musik tanpa lirik syair juga memiliki kalimat-kalimat di dalamnya. Kemudian pemilahan motif bertujuan untuk melihat sejauh mana motif-motif tersebut merepresentasikan kesenian kuda lumping.

Setelah melakukan analisis bentuk dan struktur dalam teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance), peneliti melakukan wawancara kepada tiga narasumber.Wawancara yang pertama, peneliti melakukan wawancara kepada bapak Iwan Tanzil pada bulan mei 2014. Iwan Tanzil adalah komposer The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) itu sendiri.Peneliti mendapatkan informasi berupa latar belakang karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance). Selain itu, Iwan tanzil juga memberikan gambaran visual prihal karya tersebut yang erat kaitanya dengan kesenian kuda lumping. Hasil wawancara menunjukan bahwa komposer


(41)

28

dengan latar belakang budayanya, ingin merepresentasikan kesenian kuda lumping dengan fenomena-ffenomena supranaturalnya.Iwan Tanzil mentransformasikan suasana misterius melalui tanda musikal yang menghasilkan Special effect.Wawancara yang kedua dilakukan kepada Bapak Bakti Setiaji, S.Pd. Beliau seorang komposer dan ahli dalam bidang analisis bentuk struktur musik.Dalam wawancara tersebut peneliti memperoleh informasi mengenai motif karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) yang berupa repetisi.Narasumber yang ketiga yaitu bapak Rahmat Raharjo, S.Sn.Peneliti mendapatkan informasi bahwa narasumber (Rahmat Raharjo) adalah orang pertama yang membawakan karya tersebut.Selain itu narasumber melalui pengalaman empirisnya dalam penggarapan karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) memberikan petunjuk mengenai tanda-tanda musical yang memiliki kedekatan dengan iringan kuda lumping secara auditif.

Hasil analisis struktur musik dikorelasikan dengan presepsi-presepsi peneliti dan dilengkapi dengan hasil wawancara dengan ke-3 narasumber dan setelah mendapatkan hasil analisis dari teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) maka teks tersebut menjadi lebih mudah untuk diamati karena sudah terpilah dan menjadi bagian-bagian kecil berdasarkan jenisnya.Selanjutnya peneliti mengidentifikasi tanda-tanda yang terdapat dalam teks tersebut berdasarkan tipologi tanda dari Charles S Peirce, yang di dalamnya memuat identifikasi dan klasifikasi tanda. Langkah ini menghasilkan sebuah identifikasidan klasifikasi tanda dari teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance)menjadi tiga jenis yaitu ikon, indeks, dan simbol berdasarkan tipologi


(42)

29

tanda versi Charles S Peirce. Hasil identifikasi dan klasifikasi tanda kemudian dikonsultasikan dengan sesame peneliti.Peneliti memilih narasumber Birul walidaini, S.Pd yang juga pernah mengkaji karya musik dengan telaah semiotik pierceian. Narasumber memberikan informasi mengenai tanda-tanda yang belum disadari oleh peneliti.Langkah ini didukung dengan studi pustaka, dan langkah terakhir dalam teknik analisis data penelitian ini adalah memeriksa keabsahan atau validitas data.

G. Validitas Data

Teknik yang akan digunakan untuk memeriksa keabsahan data dalam penelitian ini yaitu melakukan tanya jawab dengan sesama peneliti yang juga telah melakukan penelitian dengan telaah semiotika (peer de briefing). Teknik ini merupakan satu dari berbagai teknik validitas data. Menurut Craswell (2010: 288), strategi ini melibatkan interpretasi lain selain interpretasi dari peneliti yang dapat menambah validitas atas hasil penelitian. Peneliti memilih teknik tanya jawab dengan sesama peneliti karena hasil penelitian dalam penelitian ini bisa dibagikan kepada peneliti lain dan mendapatkan tanggapan serta review dari sesama peneliti. Dalam validitas ini peneliti melakukan wawancara tanya jawab dengan Birul Walidaini, S.Pd. Beliau adalah seorang mahasiswa jurusan History of art di Universitas Calabria, Italia yang juga melakukan penelitian semiotika musik. Peneliti mempresentasikan hasil identifikasi, klasifikasi, dan pembahasan mengenai 3 tipe tanda. Selanjutnya, narasumber memberikan tanggapan dan


(43)

30

masukan mengenai tanda – tanda yang belum disadari oleh peneliti. Peneliti melakukan wawancara kepada narasumber pada bulan Mei 2015.


(44)

31 BAB IV

STRUKTUR, IDENTIFIKASI, DAN KLASIFIKASI TANDA PADA TEKS THE SPIRIT OF KUDA LUMPING (IN TRANCE)

A. Analisis Struktur Teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance)

The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) karya Iwan Tanzil merupakan karya untuk gitar klasik tunggal.Karya minimalis tersebut memiliki dua bagian. Pada bagian pertama komposer ingin merepresentasikan suasana awal pertunjukan kuda lumping sebelum terjadinya kesurupan(trance) dan bagian ke dua komposer merepresentasikan pertunjukan setelah terjadinya trance dimana tarian/gerakan pemain kuda lumping menjadi tidak teratur dan menjadi agresif bahkan membuat penonton menjadi takut/terpana. Pertunjukan berakhir dengan perginya roh dari tubuh pemain kuda lumping. Dalam proses penulisan lagu ini komponis lebih menekankan dan mementingkan aspek-aspek ritmis dalam gerakan-gerakan tarian daripada aspek musik dalam pertunjukan tersebut.

Hasil analisis struktur teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) menunjukan bahwa karya tersebut terdiri dari introduction, 20 periode, transisi, dan coda.Jumlah birama keseluruhan adalah 163.Periode dalam karya tersebut tidak hanya terdiri dari dua frase namun hasil analisis struktur teks menunjukan bahwa dalam beberapa periode terdapat tiga frase.


(45)

32 1. Introduction

Gambar 1: Introduction

Introduction dalam karya ini memenuhi 5 ruang birama (birama1-6).Rangkaian awal introduction ini dimulai pada birama gantung.Bagian introduction pada birama 1-6 merupakan rangkaian seperenambelasan yang diawali dengan hentakan kencang (forte) dengan nada E, dis, F, G,dan diakhiri dengan interval m5 (B dan F). Nada F dalam interval m5 merupakan artificial harmonic. Introduction berlanjut dengan pola iringan monotone yang sangat lembut (pp = pianissimo) dan dilanjutkan dengan perkembangan dinamika, ritmis dan melodi.


(46)

33

Gambar 2: Periode A

Periode A memenuhi 6 ruang birama (birama 7-12). Birama 7-10 merupakanfrase Tanya (a) dengan motif m1. Periode A diawali dengan pola iringan yang sama seperti bagiamintroduction. Pada birama ke 8 melodi dengan register bass masuk pada hitungan ke-2 dengan nada e, fis, gis dan ais. . Birama 11-12 merupakan frase jawab(a’) dengan motif m2.Pergerakan melodi pada frase jawab dimulai pada hitungan ke-3 pada birama 10 dengan nada b, ais, fis dan e.


(47)

34

Gambar 3: Periode A’

Periode A’ memenuhi 5 ruang birama (birama 13-17). Birama 13-14 merupakan frase tanya(a’)dengan motif m3. Melodi bergerak dalam register bass dengan nada ais, b, d, dan e . Birama 15-17 merupakan frase jawab (a’’)dengan motif m4 .frase jawab (a’’)dipertegas dengan pemerkecilan nilai nada (duminuation of the value) pada birama 16 hitungan terakhir dengan motif m5. Frase jawab(a’’) tampak lebih panjang dari frase tanya(a’) karena, pada anak kalimat tersebut cadence diperpanjang dengan pengolahan dan pengembangan motif.


(48)

35 4. Periode B

Gambar 4: Periode B

Periode B (birama 18-30) merupakan periode terakhir dari bagian pertama karya The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).Frase Tanya (b) pada birama 18-20 memiliki dua motif m6 dan m7. Ritmis pada motif m6 dan m7 masih sama dengan motif utama.Frase jawab(y) pada birama 21-30 memiliki 4 motif m8, m9, m10 ,dan m11. Motif m10 dan m11 merupakan pemerkecilan nada (duminuation of the value) dari motif sebelumnya.Birama 26 -29 merupakan perpanjangan dari anak kalimat concequence dan sebagai transisi menuju bagian ke 2. Pada birama 27-30


(49)

36

terdapat trill yang memiliki peran sebagai jembatan menuju periode/bagian yang dua.

5. Periode C

Gambar 5: Periode C

Periode C (Birama 31-35) merupakan periode pertama bagian ke-2 dengan sukat 8/8.Frasa Tanya (c) pada birama 31-32 memiliki 4 motif n, n1, n2, dan n3. Motif n dan n2 merupakan motif yang sama dengan gerakan melodi ordinario dan motif n1 dan n3 merupakan motif yang sama dengan nada-nada bass etouffe. Frasa jawab (c’) pada birama 33-35 merupakan perkembangan dari frase tanya(c) dari nada dan ritmisnya. Frasa jawab (c’) memiliki 4 motif n4, n5, n6, dan n7.Motif n7 sedikit lebih panjang dari motif-motif lainya karena, motif m7 merupakan salah satu motif yang memiliki fungsi mengantarkan pergerakan melodi kedalamperiode, dinamika dan suasana yang baru.


(50)

37 6. Periode D

Gambar 6: Periode D

Periode D (birama 36-41) memiliki 3 anak kalimat dengan 7 motif didalamnya.Frasa Tanya (d)pada birama 36-37 meliputi motif o, m12, dan o1.Frase jawab (d’) memiliki dua motif m13 dan o2.Motif m15 dengan melodi as, g, d, dan es memiliki pola iringan dengan aksen disetiap hitungan (down beat).Periode D berakhir pada frase jawab(d’’)pada birama 40-41 dengan motif m14 dan m15. Motif m15 merupakan perkembanga motif m dengan teknik hammering on dan perkembangan teknik yang muncul menjadikan motif m15 terkesan lebih perkusif.


(51)

38 7. Periode E

Gambar 7: Periode E

Periode E (birama 42-47) terdiri dari 3 anak kalimat dan 6 motif. Dilihat dari pola ritmisnya, periode E menampilkan iringan seperti periode-periode yang lain. Namun, jika dilihat dari pola pergerakan nadanya, periode E merupakan rangkaian nada yang bersifat monotone.Frase tanya (e)terdapat pada birama 42-43 dengan motif p dan p1. Rangkaian nada monotone diakhiri dengan triol.Frase jawab(e’) terdapat pada birama 44-45 dengn motif p2 dan p3 yang sama dengan anak kalimat sebelumnya. Periode E ditutup dengan frasa jawab(e’’) yang terdapat pada birama 46-47 dan memiliki motif p4 dan p5.Motif p5 memiliki fungsi


(52)

39

sebagai penutup periode E dan sebagai peralihan masuk periode baru yang tampak pada rangkaian melodi dua ketukan terakhir.

8. Periode F

Gambar 8: Periode F

Periode F (birama 48-51) terdiri dari 2 anak kalimat dan 4 motif.Sifat monotone dari periode sebelumnya masih dipertahankan, sedangkan ritmis dan rangkaian nada mengalami perubahan yang cukup berbeda, sehingga dalam periode ini, ketegangan musikal mengalami peningkatan.Frase tanya (f) terdapat pada birama 48-49 dengan motif q dan q1. Frase jawab (f’) terdapat pada birama


(53)

40

50 dan 51 dengan motif q2 dan q3.Jenis motif pada periode ini adalah motif birama karena, satu motif memenuhi satu ruang birama.

9. Periode E’

Gambar 9: Periode E’

Periode E’’ (birama 52-55) terdiri dari 2 anak kalimat dan 4 motif. Periode ini merupakan perkembangan dari periode sebelumnya dimana aspek ritmis mengalami sedikit perubagan.Frase tanya (e’’) terdapat pada birama 52-53 dengan motif p6 dan p7. Motif p dikembangkan dengan aksen dan penambahan beberapa nada jembatan.Frase jawab (e’’’) terdapat pada birama 54-55 dengan motif p8 dan p9.Motif pada periode G merupakan jenis motif birama karena motif memenuhi satu ruang birama.


(54)

41 10.Periode G

Gambar 10: Periode G

Periode F (birama 56-59) terdiri dari 2 anak kalimat dan 4 motif. Frase tanya(g)terdapat pada birama 56-57 dengan motif r dan r1. Pada Akhir motif r1 ritmis dikembangkan dengan nada-nada jembatan, sehingga pada motif tersebut terkesan lebih “padat”.Frase jawab(g’)terdapat pada birama 58-59 dengan motif r2 dan r3.Motif dikembangkan dengan pola bass yang berbeda dari anak kalimat sebelumnya.Motif r2 dan r3 merupakan bentuk pengulangan motif secara harifiah.


(55)

42 11.Periode H

Gambar 11: Periode H

Periode H (birama 60-63) terdiri dari 4 motif dan2 anak kalimat.Teknik artificial harmonic mendominasi periode ini dan menjadikan periode H terkesan kontras secara dinamika.Frase Tanya (h) terdapat pada birama 60-61 dengan motif s dan s1. Melodi berada pada hitungan up beat dengan teknik artificial harmonic. Frase jawab (h’) terdapat pada birama 62-63 dengan motif s2 dan s3.Dua motif tersebut merupakan pengolahan motif pengulangan secara harafiah.


(56)

43 12.Transisi

Gambar 12: Transisi

Transisi (birama 66-70) merupakan jembatan menuju periode berikutnya.Ritme dan melodi pada bagian transisi ini sangat kontras dengan periode H dan terdiri dari 5 motif transisi.Pada bagian transisi, sukat yang semula 4/4 berubah menjadi 2/4 disertai dengan pengulangan-pengulangan motif yang bersifat monotone.


(57)

44

Gambar 13: Periode I

Periode I (birama 71-82) terdiri dari 9 motif dan2 anak kalimat.Pada periode ini, suasana yang dihasilkan sangat kontras karena sukat yang mengalami pergantian dan teknik yang digunakan juga mendukung perubahan suasana tersebut.Motif-motif pada periode ini merupakan rangkaian repetisi dan berakhir dengan cadenza.Cadenza terdiri dari rangkaian arpeggio.Frase tanya(i) terdapat pada birama 71-74 dengan motif t, t1, t2, t3, dan t4. Motif diolah dengan pengulangan harafiah dan menjadikan periode ini terkesan statis.Frase jawab (i’) terdapat pada birama 75-82 dengan motif t5, t6, t7, dan t8.Motif pada anak kalimat i’ juga merupakan pengolahan motif dengan pengulangan harafiah.


(58)

45

Gambar 14: Periode J

Periode J (birama 83-89) terdiri dari 7 motif dan2 anak kalimat.Pada periode ini aksen ditonjolkan dengan teknik hammering on, sehingga pada periode ini terkesan perkusif.Frase tanya(j) terdapat pada birama 83 -85 dengan motif u, u1 dan u2. Frase jawab (j)terdapat pada birama 86-89 dengan motif v, v1, v2, dan v3.Motif v1 dan v3 dikembangkan dengan ritme triol dan terkesan perkusif.Ritme dan teknik yang digunakan pada periode ini member kesan perkusif yang dinamis.

15. Periode J’

Gambar 15: Periode J’

Periode J’ (birama 90-94) merupakan pengulangan dari periode J yang mengalami sedikit pengembangan diakhir motifnya. Frase tanya (j’) terdapat pada birama 90-92 dengan motif v4, v5, dan v6. Motif masih sama dengan periode sebelumnya tanpa ada perubahan dinamika, ekspresi dan melodi. Frase jawab (j’’) terdapat pada birama 93-94 dengan motif v6, v7, dan v8.


(59)

46 16. Periode H’

Gambar 16: Periode H’

Periode H’ (birama 95-108) terdiri dari 14 motif dan2 anak kalimat.Frase jawab memiliki birama lebih banyak daripada frase jawab karena, didalam frase jawab terdapat cadence yang diperpanjang.Frase tanya (h’) terdapat pada birama 95-98 dengan motif s4, s5, s6, dan s7. Motif ini terkesan perkusif karena terdapat penekanan-penekanan/aksen pada nada tertentu.Frase jawab(H’’) terdapat pada birama 99- 108.Cadence dikembangkan dengan pengulangan harafiah danmemiliki fungsi sebagai pengantar/jembatan memasuki periode baru.


(60)

47 17.Periode K

Gambar 17: Periode K

Periode K (birama 109-120) terdiri dari 11 motif dan2 anak kalimat.Frase tanya (k)terdapat pada birama109-113 dengan motif w, w1, w2, w3, dan x. Hampir semua motif bersifat monotone. Frase jawab (k’) terdapat pada birama 114-120 dengan motif w4, w5, w6, w7, s8, dan s9.Motif w7, s8 dan s9 merupakan perpanjangan cadence.


(61)

48 18. Periode K’

Gambar 18: Periode K’

Periode K’ (birama 121-128) terdiri dari 6 motif dan2 anak kalimat.Periode ini merupakan perkembangan dari periode K dengan beberapa perubahan dan pengolahan motif.Perkembangan tampak pada penggunaan teknik golpe dengan pola iringan yang sama dengan periode K. Frase Tanya (k’) terdapat pada birama 121-124 dengan motif x1, x2, x3, dan x4. Motif ini menekankan unsur ritmis dan bersifat monotone.Frase jawab (K’’) terdapat pada birama 125-128 dengan motif x5 dan x6. Ritmis pada frase jawab masih sama dengan frase sebelumnya. Perbedaan terletak pada motif yang lebih panjang serta adanya penggunaan teknik golpe pada motif tersebut.


(62)

49 19.Periode L

Gambar 19: Periode L

Periode L (birama 129-144) terdiri dari 9 motif dan2 anak kalimat.Periode ini merupakan suatu perkembangan berupa peralihan fungsi melodi (pada periode sebelimnya) yang menjadi iringan.Frase tanya (l) terdapat pada birama 129-136 dengan motif y, y1, y2, y3, y4, y5, y6, dan y7. Frase jawab (L’) terdapat pada birama 137-144 dengan motif y8, y9, y10, y11, y12, y13, y14, dan y15.Akhir


(63)

50

anak kalimat ini diperkembangkan dengan pengulangan-pengulangan yang secara konvensional disebut dengan cadence yang diperpanjang.

20.Periode H’’

Gambar 20: Periode H’’

Periode H” (birama 145-148) terdiri dari 2 anak kalimat dan 4 motif.Pada periode ini artificial harmonic merupakan unsur yang banyak digunakan.Frase tanya(h’’’) terdapat pada birama 145-146 dengan motif s dan s1. Melodi berada pada hitungan up beat dengan teknik artificial harmonic. Concequence(h’’’) terdapat pada birama 147-148 dengan motif s2 dan s3. Dua motif tersebut merupakan pengolahan motif dengan pengulangan secara harafiah.


(64)

51 21.Periode M

Gambar 21: Periode M

Periode M (149-154) terdiri dari 6 motif dan2 anak kalimat.Pada periode ini terdapat teknik yang beragam (artificial harmonic, slur, hammering on). Frase tanya (m) terdapat pada birama 149-152 dengan motif z, z1, z2, dan z3. Pola ritmis tiap motif merupakan pengulangan secara harafiah namun, bass pada setiap birama berpindah dari E ke F. Frase jawab (m’) terdapat pada birama 153-154 dengan motif z4 dan z5.


(65)

52 22.Coda

Gambar 22: Coda

Coda diawali dengan pengulangan beberapa motif yang terdapat pada intro (birama 155-163). Pada birama 158-161 teknik yang digunakan menyebabkan peningkatan ketegangan musikal sehingga ketegangan pada codaterkesan klimaks dan pada birama 163 nada-nada yang terbentuk sama dengan nada jembatan penghubung introduction periode A. Perbedaan tampak pada penambahan artificial harmonic yang menimbulkan kesan selesai.


(66)

53 B. Identifikasi dan Klasifikasi Tanda

Identifikasi dan klasifikasi tanda pada penelitian ini dilakukan dengan mengadaptasi jenis-jenis tanda berdasarkan hubungan objek dengan tanda yang dikemukakan oleh Peirce. Pada teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) setelah dianalisis struktur musiknya dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan beberapa jenis tanda dalam struktur teks sebagai unit analisis yang diteliti.Hasil identifikasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1: Identifikasi dan klasifikasi tanda pada teks The Spirit Kuda Lumping (inTrance)

Jenis

Tanda Penjelasan Unit Analisis

Ikon (icon)

Tanda dirancang untuk merepresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan, contoh: Peta, potret, dll

1. Penggunaan tanda kunci

2. Penggunaangolpe


(67)

54

4. Penggunaan double staff

Indeks (index)

Adanya kedekatan eksistensi antara tanda dengan objek atau adanya hubungan sebab akibat, contohnya sebuah tiang penunjuk jalan, ada asap maka ada api.

1. The Spirit of Kuda Lumping (in Trance) 2. Nama komposer (Iwan

Tanzil)

3. Tahun kelahiran komposer (1963)

4. Penggunaan notasi yang tidak dibunyikan

5. Penggunaan nada ke-2

6. Penggunaan tanda senar dan jari


(68)

55

7. Penggunaan hammering on

Simbol (symbol)

Hubungan ini bersifat konvensional dalam artian adanya persetujuan tertentu antara para pemakai tanda. Contohnya adalah bahasa, bendera.

1. Penggunaan teknik pengulangan/repetisi 2. Penggunaan kadens 3. Penggunaan tanda-tanda

ekspresi (misterioso, molto ritmico, tranquillo, agiato, scuro, meno mosso)

4. Penggunaan tanda tempo

1. Makna Tanda-tanda Tipe Ikon

Dari identifikasi dan klasifikasi pada tabel di atas, ditemukan beberapa tanda tipe ikon pada teks The Spirit of Kuda Lumping (in Trance).Tanda-tanda bersama maknanya dijelaskan melalui tabel 2. Tabel ini diadaptasi dari segitiga elemen makna Peirce.

Tabel 2:Makna Tanda – Tanda Tipe Ikon

No Tanda Objek Interpretant

1. Penggunaan tanda kunci Sama dengan tanda

Tanda kunci yang dipakai untuk alat musik gitar.


(69)

56

.2. Penggunaan tanda Golpe Sama dengan tanda

Golpe dalam bahasa indonesia memiliki arti pukulan. Secara khusus, golpe merupakan teknik tangan kanan dimana tangan kanan memukul body gitar. 3. Penggunaan tanda Tambora Sama dengan

tanda

Kata Tambora berasal dari alat musik tambor (perkusi) yang dibunyikan dengan cara dipukul. Teknik tambora pada gitar merupakan teknik tangan kanan dimana tangan kanan memukul senar gitar. 4. Penggunaan Double Staff Sama dengan

tanda

Double staff pada partitur gitar pada umumnya memiliki petunjuk agar pemain memilih salah satu staff untuk dimainkan (secondatura)

Tanda ikon nomor satu terdapat tanda kunci G. Berdasarkan hubungan tanda dan objek pada tanda tipe ikon maka tanda dan objek yang dirujuk itu sama melalui simulasi. Interpretan mengacu pada range nada terendah dan tertinggi gitar yang hanya bisa disimulasikan dengan tanda kunci G.


(1)

  

ét.

3

ord. tranquillo

 

III

p 0

i

p 3 0

i

3 2

molto ritmico

1 4 0

3

 0 4 0 4 0 4 0 4 3

0 4

 

0

2

 4 0 3

 0 4 0 4 0 4 0 0 4 0 0 4 0 3

 0 4 4

3

0

  

 4

3

 0 4 4 3

0 4

  2

4 1

3  4 3

p p 3

p p

 

2

  

i

 m i

ma

3 

i ma i sul pont. 4

sub. 1

0 0

 

4

3

agitato

2 1 1 2

4

2 0

sul tasto

4

3

scuro 2

1 1

1 4

1 1

1

                              

        

    

   

   

 

 

             

 

       

       

     

    

    

         

 

 

       

      

    

 

    

        

    

       

 

    

         

    

                 

                

     

 

    

                        

  

    

 

          

     

                  

  

            




(2)

 

0

III

1

5

4

5

2

art. harm.

4

1 15 - i a

3

12

4

15

3

12 122

3

12

4

15

 

5

18

simile

3 17 - i a

3

2

12

4 3 2

 

4 3 2



4

5

19 - i a

m i m 2 1

(*4)

5

p

3

i





  





4

3

5

p i





p







4

gliss.

4 0 1

III

2 4 1

2 0 1 2 0 1 2

 2 0 4

5

2

5 m0 p m p

 

m p m p simile m p

0 a m

0 i

     

   

            

   

          

              

 

    

              

   

       

               

  

   

               

   

    

   

 

    

   

 

             

  

                  

 

         

         

         

 

 

 

 

 

 

 

 

   

   


(3)

 

m p a

0 m

0

i m p a

0 m

0

i m p i m

0 0 a

4

VII

4

4

1 

Golpe

(*5)

 2

4 0 0 4

4

0 0

5

2

4

4 p m

0 0

i p i m

 

VII

4

4

1 0 0

5

2

0 2

  

2 4 i

0 a m

0

i a

5 0 0

 0 p

ét.

6

2 4 1

ord.

5 0 0 0

p ét.

4 2 1

ord.

 

 

 

2

i a m i

5

1 2 0 0

1

4

3 0 0

 

3

l.v.

i a m a

1 a

 3

art. harm.

2

12 - i a

 3

12 - i a

    

2

12 - i a

1

4

3

  4

 

 

2

4

4

0

I

3 

art. harm.

2

13 - i a

 1 

    

2

    

 

     

     

        

 

 

                                           

  

  

   

   

  

   

   

  

           

   

 

  

    

               

  

     

  

  

   

   

  

       

           

           

 

      

           

   

 

      

    

 


(4)

 

4

0

VII

5

0 p

ét.

2 4 1

ord.

5 p

ét.

2 4 1

 

ord.

5

0

2 0  0    

4

4

2

5

0 a

2 m

a

   0

   0 1

2 4

ét.

1 p

2 p i

4 p

p i

VII ord.

4

6

0

1

0

4 0

0 0

4 2

I sul ponticello

 

loco

sub.

4 0 0 0 0 4

ét.

2 4

2 4

 

p

ord. (*6) ét.

 

ord. 4

6

2 0

5

2

5

1 0 

2

6

2 2

dolce 4



        

  

 

  

    

          

   

       

       

           

        

 

 

 

 

 

              

                 

     

           

 

         

 

   

           

      

       

 

              

 

       

        

              

            


(5)

Meno mosso

 

I

2

4 4

2 3

4

 1 2 0

rall. molto

1 2 0 1

4

a tempo

6

2 2 1

2

0 4

6

3

VI

0 4

 

I

2 4 3 4

4 1

3

 

5

4

III

0

4

2

3 2

 

3

3

simile

4 3 2

 

3

4

art. harm.

2

4

4

3

0

   

   

        

                     

            

  

      

    

    

  

        

                       

    

    

     

    

     

              

       

   

            

       

              

       

   

      

    


(6)

    

poco a poco

   

 

accel.

       

       

a tempo 1

p m i

  4

5

2

4

  (*7)

r. h.

quasi al niente p

6

i

4

m

3

i

4

p

5

i

4

m

3

i

4

p

6

i

4

m

3

i

4

p

5

i

4

m

3

i

4

simile

6

4 3 4 5 4

3 4

6

4 3 4 5 4

3 4

  

l. h.

III

4 1

                             

  6

4 3 4 5 4

3 4

6

4 3 4 5 4

3 4

6

4 3 4 5 4

3

4 2

ordinario

 4

1 IV

1

2

harm.

                         Duration ca. 6'40''

           

                   

  

          

 

    

 

         

  

  

       

                   

     

        

         

        

   



                                

     

     

      

