Status identitas diri remaja tunanetra non genetik.

(1)

STATUS IDENTITAS DIRI REMAJA TUNANETRA NON GENETIK

Studi Pada Mahasiswa Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Raysa Bestari Siniwi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk status identitas diri remaja tunanetra non genetik. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian analisis fenomenologi interpretatif. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi dengan keabsahan data triangulasi. Subjek penelitian berjumlah dua yang keduanya merupakan siswa SLB-A Yaketunis Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bentuk status identitas diri dari kedua subjek pada setiap domainnya. Subjek 1 memiliki status identitas moratorium pada domain relasi sosial, status identitas achievement pada domain prestasi, status identitas diffusion pada domain minat, status identitas foreclosure pada domain fisik dan spiritual. Subjek 2 memiliki status identitas moratorium pada domain relasi sosial, prestasi minat, dan fisik. Pada domain spiritual, subjek 2 memiliki status identitas achievement. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa adanya perbedaan bentuk status identitas diri berkaitan dengan bentuk dukungan sosial yang diterima oleh masing-masing subjek.


(2)

SELF IDENTITY STATUS OF NON-GENETICALLY BLIND ADOLESCENTS

Raysa Bestari Siniwi ABSTRACT

ABSTRACT

This research aimed to explore the form of self identity status of adolescent that blind caused non-genetically. Qualitative research was used with interpretative phenomenology analysis method. The data of this research were collected through interview and observation with data triangulate validity. The subjects were two adolescents that have been studying in Yaketunis Inclusive School of Yogyakarta. The result showed that there are different forms of self identity status among both subjects for every domain. The first subject had moratorium self-identity on social relation domain, achievement self-identity on achievement domain, diffusion self-identity on interest domain, and foreclosure self-identity on spiritual and physical domain. The second subject had moratorium self-identity on social relation domain, achievement, interest, and physical domain. Whereas, the spiritual domain of the second subject was achievement self-identity. The result also showed that there is different form of self-identity status related to social support that received by each of them.


(3)

HALAMAN JUDUL

STATUS IDENTITAS DIRI REMAJA TUNANETRA NON GENETIK SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Raysa Bestari Siniwi 119114076

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

iii


(6)

iv

HALAMAN MOTTO

HALAMAN MOTTO

Urip iku urup

Jer Basuki mawa beo

I can if I think I can

Tuhan mengerti yang anakNya perlukan


(7)

v

HALAMAN PERSEM BAHAN

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk :

Tuhan Yesus Kristus, atas kasih yang tak berkesudahan kepadaku

Papa dan Mama yang selalu mendukung dan mau menunggu dengan sabar

hingga karya ini selesai kubuat

dan


(8)

(9)

vii

ABST RAK

STATUS IDENTITAS DIRI REMAJA TUNANETRA NON GENETIK

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Raysa Bestari Siniwi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk status identitas diri remaja tunanetra non genetik. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian analisis fenomenologi interpretatif. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi dengan keabsahan data triangulasi. Subjek penelitian berjumlah dua yang keduanya merupakan siswa SLB-A Yaketunis Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bentuk status identitas diri dari kedua subjek pada setiap domainnya. Subjek 1 memiliki status identitas moratorium pada domain relasi sosial, status identitas achievement pada domain prestasi, status identitas diffusion pada domain minat, status identitas foreclosure pada domain fisik dan spiritual. Subjek 2 memiliki status identitas moratorium pada domain relasi sosial, prestasi minat, dan fisik. Pada domain spiritual, subjek 2 memiliki status identitas achievement. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa adanya perbedaan bentuk status identitas diri berkaitan dengan bentuk dukungan sosial yang diterima oleh masing-masing subjek.


(10)

viii

SELF IDENTITY STATUS OF NON-GENETICALLY BLIND ADOLESCENTS

Raysa Bestari Siniwi

ABST RACT

ABSTRACT

This research aimed to explore the form of self identity status of adolescent that blind caused non-genetically. Qualitative research was used with interpretative phenomenology analysis method. The data of this research were collected through interview and observation with data triangulate validity. The subjects were two adolescents that have been studying in Yaketunis Inclusive School of Yogyakarta. The result showed that there are different forms of self identity status among both subjects for every domain. The first subject had moratorium self-identity on social relation domain, achievement self-identity on achievement domain, diffusion self-identity on interest domain, and foreclosure self-identity on spiritual and physical domain. The second subject had moratorium self-identity on social relation domain, achievement, interest, and physical domain. Whereas, the spiritual domain of the second subject was achievement self-identity. The result also showed that there is different form of self-identity status related to social support that received by each of them.


(11)

ix


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan-Nya selama penulisan, pelaksanaan, hingga terselesaikannya skripsi ini. Pengerjaan skripsi ini juga tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, peneliti hendak mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala penyertaanNya yang berlimpah sehingga peneliti mampu menyusun skripsi ini sampai akhir.

2. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

3. Paulus Eddy Suhartanto M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

4. Sylvia Carolina MYM., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi peneliti yang telah membimbing, serta memberi kritik dan saran selama proses penulisan skripsi ini,

5. Dewi Soerna Anggraeni selaku DPA peneliti saat ini sekaligus sebagai mbak sepupu yang mendampingi peneliti bersama-sama memasuki Fakulas Psikologi Universitas Sanata Dharma (I love you mbak Ren),

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan banyak pelajaran, pengetahuan, dan pengalaman hidup selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,


(13)

xi

7. Staf Sekretariat Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu melancarkan proses pembelajaran selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

8. Pihak SLB-A Yaketunis Yogyakarta terutama kedua subjek peneliti atas kerja samanya dalam pengumpulan dan pengambilan data penelitian yang peneliti lakukan,

9. Kedua orang tua peneliti, Liliek Budiman dan Triratih Siniwi. Terimakasih atas doa, cinta, dukungan, semangat, dan kesabaran yang sudah Papa dan Mama berikan pada peneliti,

10.Kakak satu-satunya peneliti, Rekyan Budi Satwiko. Terimakasih sudah sering membuat mood peneliti seperti rollercoaster,

11.Benedicta Herlina Widiastuti, S. Psi atas saran-saran dan jawaban-jawabannya yang selalu memberikan pencerahan pada peneliti,

12.Geng ciwik-ciwik typolicious, Agnes Wijaya, Benedikta Elsa, Nidia Gabriela, Ela Widyaninta, Yunita Primaturini, Ghea Kuncahyani, Marius Angga, dan Martha Veronica. Terimakasih untuk penerimaan dan cinta kalian yang tulus. Terimakasih juga atas segala penguatan, teguran, ataupun omelan yang selalu kalian berikan untuk menyemangati peneliti menyelesaikan penelitian ini,

13.My Wonder Woman, teman semenjak awal Insadha sampai detik ini, Emilia

Jevina Lintang Puspita. Terimakasih atas segala cinta, dukungan, dan ketulusan yang selalu diberikan kepada peneliti, sekaligus Pandu W yang menjadi teman peneliti dalam perjuangan di dalam dunia perkuliahan,


(14)

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIA ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 7

C. TUJUAN PENELITIAN ... 7

D. MANFAAT PENELITIAN ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. IDENTITAS DIRI ... 9

1. Definisi Identitas Diri ... 9

2. Aspek-aspek pembentukan Identitas ... 10

3. Status Identitas ... 12

4. Domain Identitas Diri ... 14

B. TUNANETRA ... 16

1. Pengertian Tunanetra ... 16

2. Faktor - faktor Penyebab Ketunanetraan ... 17


(16)

xiv

C. REMAJA ... 18

1. Pengertian Remaja ... 18

2. Aspek-aspek masa Remaja ... 20

3. Tugas-tugas Perkembangan dalam Masa Remaja ... 24

D. REMAJA TUNANETRA ... 25

E. STATUS IDENTITAS DIRI PADA REMAJA TUNANETRA NON GENETIK ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 33

A. JENIS PENELITIAN ... 33

B. FOKUS PENELITIAN ... 35

C. METODE PENGAMBILAN DATA ... 35

1. Wawancara... 35

2. Observasi ... 40

D. Subjek Penelitian ... 41

E. Analisis Data ... 42

F. Kredibilitas Data ... 44

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN... 46

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 46

B. Hasil Penelitian ... 49

C. Pembahasan ... 83

A. KESIMPULAN ... 93

B. KELEMAHAN PENELITIAN ... 94

C. SARAN ... 94


(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Status Identitas Diri ... 13

Tabel 3.1 Panduan Wawancara ... 37

Tabel 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 48

Tabel 4.2 Demografi Subjek 1 ... 49

Tabel 4.3 Eksplorasi Remaja Tunanetra Non Genetik ... 52

Tabel 4.4 Komitmen Remaja Tunanetra Non Genetik ... 53

Tabel 4.5 Status Identitas Diri Remaja Tunanetra Non Genetik ... 64

Tabel 4.6 Demografi Subjek 2 ... 65

Tabel 4.7 Eksplorasi Remaja Tunanetra Non Genetik ... 67

Tabel 4.8 Komitmen Remaja Tunanetra Non Genetik ... 68

Tabel 4.9 Status Identitas Diri Remaja Tunanetra Non Genetik ... 78


(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent Subjek 1 ... 98

Lampiran 2. Informed Consent Subjek 2 ... 99

Lampiran 3. Contoh Analisis Subjek 1 ... 100

Lampiran 4. Guideline Wawancara Triangulasi Data ... 108

Lampiran 5 . Informed Consent Orangtua Subjek 1 (Triangulasi Data) ... 109

Lampiran 6 . Informed Consent Orangtua Subjek 2 (Triangulasi Data) ... 110


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap remaja pasti selalu berharap kehidupannya dapat dilalui dengan baik sesuai harapannya di masa yang akan datang. Namun sering kali harapan yang ada menjadi sirna karena terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak terduga dalam kehidupannya, misalnya kecelakaan, bencana alam, atau sakit penyakit yang menyebabkan remaja mengalami penurunan atau kehilangan fungsi pada anggota tubuhnya yang disebut disabilitas non genetik. Remaja yang sebelumnya mempunyai fisik yang normal, tentu kemudian akan menghadapi berbagai permasalahan yang harus dihadapi dan menyulitkan berkaitan dengan peristiwa yang mengakibatkan penurunan atau kehilangan fungsi tubuh permanen yang baru diperolehnya (Tarsidi, 2016). Berbagai kelainan pada kondisi fisiknya yang baru tersebut tentu saja mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilakunya sehari-hari. Keadaannya tentu akan berbeda jika dibanding dengan kondisi remaja normal pada umumnya yang membuat mereka dapat beraktivitas tanpa ada kendala yang mengganggu (Tentama, 2010). Salah satu disabilitas non genetik yang dialami remaja akibat kecelakaan atau sakit adalah tunanetra. Keadaan tunanetra non genetik berbeda dengan tunanetra genetik (dari lahir). Tunanetra genetik tidak mengalami fase kehilangan akan kemampuan penglihatan yang pernah dimiliki dan tidak merasa ada hal yang sangat berbeda dengan kondisi fisiknya sehingga tidak


(20)

memerlukan untuk beradaptasi dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari (Desmita, 2000).

Berdasarkan data dari Kementrian Sosial (Kementriansosial.com, 2010) penyandang tunanetra pada penduduk dengan usia relatif muda yang diperoleh dari Hellen Keller Internasional cukup mengkhawatirkan. Dalam laporannya disebutkan bahwa hampir 10 juta balita mengalami avitominasis dan 10% dari 66 juta anak sekolah di Indonesia mengalami kelainan refraksi (rabun jauh). Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah penyandang tunanetra mendapat peringkat terbanyak di Indonesia.

Pertahunnya tak kurang dari 7 juta orang mengalami kebutaan atau permenitnya terdapat satu penduduk bumi menjadi buta dan perorang mengalami kebutaan perduabelas menit dan ironisnya, lagi-lagi wilayah dan negara miskinlah yang kebanyakan penduduknya mengalami kebutaan dan gangguan penglihatan, yaitu sekitar 90%. Dan jika kondisi ini dibiarkan tanpa aksi yang nyata maka WHO memperhitungkan pada tahun 2020 mendatang, kelak jumlah penduduk dunia yang buta akan mencapai 2 kali lipat, kira-kira 80–90 juta orang (Sumber data statistik : Laporan HU. Kompas edisi 2, 19, & 20 Oktober 2010).

Penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam menentukan kualitas hidup manusia. Penglihatan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam seluruh aspek kehidupan termasuk diantaranya pada proses pendidikan. Penglihatan juga merupakan jalur informasi utama. Indera penglihatan tersebut alah mata. Mata adalah indera yang dianggap memiliki


(21)

3

peranan yang sangat penting dibandingkan dengan indera lainnya karena selama mata terjaga maka dapat membantu kita untuk beraktivitas. Kemampuan penglihatan adalah hal yang sangat diperlukan dalam dunia sekolah, bekerja, maupun relasi sosial. Terganggunya indera penglihatan seseorang akan menyebabkan kehilangan fungsi kemampuan visualnya untuk merekam objek dan peristiwa fisik yang ada di lingkungan kita. Individu yang mengalami tunanetra menjasi lebih sulit menjalani kehidupan sesuai dengan keadaan lingkungan dan keinginan yang diharapkan (Depkes RI, 2009).

Ketidakmampuan penglihatan secara total atau mampu melihat tetapi terbatas yang dialami oleh tunanetra memiliki dampak secara jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek yang dirasakan oleh individu tunanetra adalah mengalami kesulitan dalam hal belajar, bekerja, ataupun melakukan kegiatan sehari-hari karena tidak memiliki kemampuan melihat (Desmita, 2000). Kesulitan-kesulitan yang didapatkan oleh individu yang mengalami tunanetra tersebut juga akan membawa dampak secara jangka panjang, antaralain adalah keterbatasan yang mereka alami untuk mencapai suatu prestasi secara akademis (Barraga, dalam Hadi, 2007:11) maupun non-akademis karena kesulitan dalam hal belajar dan berlatih, dan keterbatasan dalam memilih cita-cita atau pekerjaan yang diinginkan karena ada berbagai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan penglihatan (Tarsidi, 2016). Keterbatasan penglihatan memungkinkan individu yang mengalami tunanetra merasa tidak berharga dan memiliki konsep diri yang buruk sehingga dapat menyebabkan dirinya tidak memiliki konsep diri yang baik, sesuai dengan hasil


(22)

penelitian Wahyuni & Marettih (2012) yang menyatakan bahwa semakin positif citra tubuh yang dimiliki remaja, maka semakin positif pula identitas diri yang dimilikinya.

Adanya perasaan kehilangan kemampuan penglihatan yang remaja tunanetra non genetik rasakan akan membuat remaja menjadi susah menerima keadaan dirinya. Erikson (dalam Damayanti & Rostiana, 2003) mengungkapkan istilah non normative untuk kejadian yang datangnya tidak diduga dan diharapkan merupakan salah satu peristiwa yang dapat mendatangkan penderitaan pada individu. Dengan kata lain, remaja yang dahulu memiliki penglihatan yang normal dan sudah mengenal bahkan sudah merasa nyaman dengan keadaan dirinya, kini harus menerima kekurangan yang dimiliki dan harus beradaptasi dengan kesulitan yang dialami atas dampak dari kekurangan tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara awal di SLB-A Yaketunis Yogyakarta, kedua remaja tunanetra non genetik mengatakan bahwa merasakan perubahan-perubahan yang cukup drastis di dalam kehidupannya. Perubahan-perubahan-perubahan tersebut antara lain mencakup perubahan akan cita-cita yang mereka inginkan atau yang sedang mereka perjuangkan, perubahan sikap dari keluarga maupun sosial, perubahan dalam menjalani aktivitas sehari-hari, dan perubahan cara belajar di sekolah atau bahkan harus pindah ke sekolah inklusi karena keterbatasan kemampuan penglihatannya tersebut. Dari kedua interviewee juga menceritakan bahwa diri mereka mengalami stress dan perasaan tidak terima akan kondisi fisik yang mereka miliki.


(23)

5

Berdasarkan hasil wawancara juga menyatakan bahwa dirinya mengalami kebingungan akan dirinya karena harus kembali berusaha menyesuaikan diri di dalam lingkungan keluarga maupun sosial dengan kondisi baru yang mereka miliki. Dari pernyataan interviewee yang mengalami glukoma, ia menyatakan bahwa ia memerlukan waktu tiga tahun lamanya untuk menerima keadaan dirinya yang baru dan kembali memutuskan untuk melanjutkan sekolah. Hal ini tidak jauh berbeda dengan interviewee yang mengalami tunanetra akibat kecelakaan, ia menyatakan bahwa ia lebih baik berada di dalam rumah dibandingkan bersekolah di sekolah inklusi. Ia tidak melanjutkan sekolah selama dua tahun sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali bersekolah. Tertundanya masa sekolah tersebut berdampak hingga perencanaan masa depan mereka karena kesusahan yang mereka alami untuk menata kembali jenjang sekolah yang akan mereka dapatkan karena usia mereka sudah melampaui usia produktif sekolah.

Dengan keadaan fisik maupun psikis yang kini dimiliki oleh remaja tunanetra non genetik, remaja tunanetra non genetik tetap memiliki tugas perkembangan utamanya sebagai remaja, yaitu mencapai identitas diri. Remaja yang berhasil mencapai suatu identitas diri yang stabil, maka akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, memahami perbedaan dan persamaannya dengan oranglain, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, mampu mengantisipasi tantangan masa depan, serta mengenal perannya dalam masyarakat (Erikson, 1989).


(24)

Identitas diri pada seorang remaja menjadi suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa (Jones & Hartmann, 1988). Erikson juga berpendapat bahwa salah satu proses sentral pada remaja adalah pembentukkan identitas diri. Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh (Stuart & Sundeen, 1991). Erikson menjelaskan bahwa pada tahap remaja akan mengalami identitas versus kebingungan identitas. Menurut Erikson (dalam Kimmel & Weiner, 1995), jika seorang remaja belum mencapai identitas dirinya, maka ia akan mengalami kebingungan dalam menjalani kehidupan yang ia hadapi, entah dalam memilih dan menentukan masa depannya ataupun ketika menjalani hidup di dalam relasi sosialnya. Erikson juga mengatakan bahwa seorang remaja yang belum dapat melewati krisis identitas, dirinya akan merasa cemas akan kehidupan dan relasinya, tidak memiliki pandangan hidup kedepan dan cenderung tidak memiliki hubungan yang hangat dengan sosialnya.

Marcia (1994), meyakini bahwa teori perkembangan identitas Erikson mengandung empat status identitas, atau cara-cara untuk mengatasi krisis identitas. Krisis di definisikan sebagai suatu masa perkembangan identitas di mana remaja memilah-milah alternatif-alternatif yang tersedia dan berarti bagi dirinya. Banyak yang sering menggunakan istilah eksplorasi dibandingkan krisis. Komitmen adalah suatu bagian dari perkembangan identitas di mana remaja menunjukkan adanya suatu investasi pribadi pada apa yang akan mereka


(25)

7

lakukan. Eksplorasi dan komitmen ini yang akan digunakan remaja untuk mengklasifikasikan berdasarkan salah satu dari empat status identitas. Empat status identitas tersebut adalah identity diffusion yaitu remaja yang belum pernah mengalami krisis sehingga belum mengalami eksplorasi dan tidak mengarahkan diri untuk berkomitmen, identity foreclosure yaitu remaja telah membuat suatu komitmen namun tidak mengeksplorasi, identity moratorium yaitu remaja berada berada dalam krisis namun tidak berkomitmen, identity

achievement yaitu remaja telah melewati krisis/ mengeksplorasi diri dan telah

membuat komitmen.

Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui mengenai status identitas remaja tunanetra non genetik karena dengan mengetahui status identitas diri seorang remaja tunanetra non genetik, seorang remaja tunanetra non genetik dapat mengerti posisi dirinya dalam status tertentu sehingga dapat membantu dalam pencapaian identitas diri.

B. RUMUSAN MASALAH

Apa status identitas diri remaja tunanetra non genetik?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari tahu status identitas diri remaja tunanetra non genetik.


(26)

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang status identitas diri seorang remaja tunanetra non genetik.

b. Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang pembentukan status identitas diri seorang remaja tunanetra non genetik sehingga dapat membantu dalam pencapaian identitas.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan sebagai arahan bagi remaja tunanetra non genetik dalam pembentukan status identitas. b. Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada orangtua

ataupun pihak sekolah dalam memberikan pendampingan kepada remaja tunanetra non genetik.


(27)

9 BAB II TINJAUAN PU STA KA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. IDENTITAS DIRI

1. Definisi Identitas Diri

Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh (Stuart & Sundeen, 1991). Menurut Erikson, Identitas vs Kebingungan Identitas adalah tahap kelima dalam delapan tahap siklus kehidupan. Pada tahap ini, remaja mulai menentukan siapakah mereka, apa keunikannya, mencari tahu siapa dirinya, bagaimana dirinya, dan kemana ia menuju dalam kehidupannya.

Selama masa remaja, pandangan-pandangan dunia menjadi penting bagi individu yang memasuki Psychological Moratorium, yaitu kesenjangan antara keamanan masa anak-anak dan otonomi masa dewasa. Namun, selama remaja mau aktif memilih pilihan-pilihan akan mencerminkan keinginan untuk meraih identitas yang bermakna dan berusaha menjadi diri sendiri yang sebenarnya, dibandingkan berusaha menutupi identitas dirinya agar dapat diterima sosial dan dapat mengikuti keinginan sosial.

Di dalam proses mengeksplorasi dan mencari identitas, remaja seringkali bereksperimen dengan berbagai peran. Remaja yang berhasil mengatasi dan menerima peran yang saling berkonflik satu sama lain ini


(28)

memiliki identifikasi penghayatan mengenai diri yang baru yang menyegarkan, dapat diterima dan memiliki sifat yang fleksibel dan adaptif, terbuka terhadap perubahan yang berlangsung di dalam masyarakat, dalam relasi dan karier (Adam, Gulotta & Montemayor, 1992). Keterbukaan ini menjamin adanya sejumlah reorganisasi identitas sepanjang kehidupan seseorang. Sementara remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas akan mengalami kebingungan identitas. Mereka akan cenderung menarik diri, mengisolasi diri dari sosial, atau membenamkan diri dalam dunia sosial, dan kehilangan identitasnya sendiri di dalam sosialnya. Erickson (Santrock, 2007).

Dapat disimpulkan bahwa identitas diri adalah suatu tugas perkembangan pada masa remaja untuk memiliki kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian sebagai suatu kesatuan yang utuh. Identitas diri penting untuk dicapai karena remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas untuk mencapai identitas diri cenderung menarik diri, mengisolasi diri dari sosial, atau membenamkan diri dalam dunia sosial, dan kehilangan identitasnya sendiri di dalam sosialnya.

2. Aspek-aspek pembentukan Identitas

Menurut Erikson (dalam Santrock, 2002), aspek-aspek dalam pembentukan identitas :


(29)

11

a. Eksplorasi

Eksplorasi adalah usaha untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait alternatif pilihan dalam rangka pembentukan identitas. Semakin banyak remaja menentukan alternatif pilihan dan mengetahui masing-masing kelebihan dan kekurangannya, maka tingkat eksplorasi semakin tinggi. Pada aspek ini, terdapat dua indikator yang menunjukkan adanya eksplorasi, yaitu :

1) Penguasaan Pengetahuan

Kemampuan untuk memahami berbagai alternatif pilihan. 2) Pertimbangan Alternatif

Usaha untuk membandingkan alternatif pilihan berdasarkan kelebihan dan kekurangannya.

b. Komitmen

Komitmen adalah sebagai sesuatu sikap yang cenderung menetap dan memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih dan diyakini sebagai paling baik dan berguna bagi masa depannya. Semakin banyak indikator yang muncul, maka tingkat komitmen remaja juga semakin tinggi. Indikator yang menunjukkan adanya komitmen yaitu :

1) Mengarahkan kegiatan

Usaha mengarahkan kegiatan yang sesuai dengan pilihan yang telah dipilihnya.


(30)

2) Identifikasi model

Usaha mengidentifikasi model yang dianggap sukses yang pilihan yang sama dengan dirinya.

3) Proyeksi ke masa depan

Kemampuan membuat gambaran dirinya di masa depan dengan pilihan yang dipilihnya.

4) Daya tahan terhadap goncangan

Daya tahan terhadap pilihan yang dipilihnya walaupun selama proses mengalami banyak tantangan.

3. Status Identitas

Status identitas merupakan istilah yang digunakan Marcia untuk kondisi perkembangan ego yang tergantung pada ada tidaknya krisis dan komitmen. Krisis adalah suatu periode perkembangan identitas bagi individu untuk berusaha melakukan eksplorasi terhadap berbagai alternatif untuk mengambil keputusan yang disadari berkaitan dengan pembentukan identitas (Papalia, 2008). Dan komitmen adalah sebagai suatu sikap yang cenderung menetap dan memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih dan diyakini sebagai paling baik dan berguna bagi masa depannya. Menurut James Marcia, teori perkembangan identitas dari Erickson dibagi menjadi 4 status identitas :


(31)

13

a. Identity Diffusion

Kondisi remaja yang belum pernah mengalami krisis sehingga belum pernah mengeksplorasi berbagai pilihan alternatif ataupun membuat komitmen apapun.

b. Identity Foreclosure

Kondisi remaja yang telah membuat komitmen namun tidak mengeksplorasi pilihan.

c. Identity Moratorium

Kondisi remaja yang sudah mengalami krisis dan mengeksplorasi pilihan alternatif dari krisis tersebut namun belum memiliki komitmen yang jelas terhadap pilihannya.

d. Identity Achievement

Kondisi remaja yang telah mengatasi krisis identitas sehingga mampu mengeksplorasi dan membuat komitmen akan pilihannya.

Tabel 2.1 Status Identi tas Diri

Tabel 2.1 Status Identitas Diri

Komitmen Tidak berkomitmen

Eksplorasi Identity Achievement Identity Moratorium


(32)

4. Domain Identitas Diri

Pembentukan identitas ini akan semakin mengalami perubahan dan terus berkembang karena eksplorasi dan komitmen akan semakin meningkat. Pembentukan identitas tidak hanya dilihat dari aspek dan indikator-indikatornya, tetapi tidak terlepas dari domain yang ada di masyarakat. Domain merupakan area yang mewakili tingkat eksplorasi dan komitmen pada identitas remaja.

Menurut Erikson (dalam Santrock, 2012), domain tersebut dilihat dari alternatif pilihan identitas yang dibagi dengan cakupan dari identitas terdiri dari :

a. Vokasional/ pekerjaan

Pilihan karir/ pekerjaan saat ini atau yang diingkan di masa depan. Pilihan-pilihan pekerjaan yang ditawarkan di masyarakat mampu mendukung remaja untuk mengeksplorasi diri.

b. Politis

Keyakinan yang terkait dengan sikap dan nilai politik yang dianut dan ideal bagi dirinya jika digunakan di masyarakat.

c. Spiritual

Sikap percaya pada kekuatan yang besar dan dapat menghubungkan dirinya dengan Tuhan (Hudori, 2008). Keyakinan dan sikap terhadap agama, praktik dan perilaku yang menunjukan moralnya (Upton, 2012).


(33)

15

d. Relasi

Hubungan dekat dengan teman sebaya, yang lebih tua, yang lebih muda dibandingkan dirinya. Relasi remaja identik dengan teman sebaya (Santrock, 2012). Teman sebaya memberikan pengaruh dalam kehidupan remaja seperti mengeksplorasi banyak hal baru.

e. Prestasi

Tingkat remaja termotivasi untuk berprestasi. Kebutuhan untuk diakui dan diterima sangat penting bagi remaja, sehingga mereka ingin menunjukkan eksistensinya dengan cara mencapai prestasi.

f. Seksual

Orientasi seksual remaja cenderung mengarah pada heteroseksual, homoseksual, atau biseksual. Domain ini terlihat ketika remaja lebih berorientasi dengan lawan jenisnya.

g. Minat

Aktivitas yang disukai remaja dan membuat mereka menemukan hal-hal baru.

h. Etnis/ budaya

Latarbelakang budaya yang dimiliki remaja. Domain ini nampak jelas pada remaja dengan budaya barat dibandingkan pada remaja dengan budaya timur karena adanya mayoritas dan minoritas dari etnis tertentu (Santrock, 2012).


(34)

i. Fisik

Remaja mulai memikirkan penampilan fisiknya untuk menunjang relasinya dengan oranglain atau untuk menarik simpati lawan jenis. Remaja yang memiliki gambaran ideal tentang dirinya sendiri sejauh mana perkembangan fisiknya saat ini.

j. Kepribadian

Karakteriktik-karakteristik individual yang menentukan pola tertentu seperti, pemalu, pemarah, ramah, pencemas dan sebagainya.

Identitas diri dapat disimpulkan sebagai suatu tugas perkembangan pada masa remaja untuk memiliki kesadaran diri. Aspek identitas diri yakni eksplorasi dan komitmen, ada dan tidaknya eksplorasi dan komitmen tersebut menentukan suatu status identitas diri dari empat status pada kesepuluh domain yang dimiliki oleh identitas diri.

B. TUNANETRA

1. Pengertian Tunanetra

Tunanetra adalah istilah yang digunakan tidak hanya untuk mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup, dimana indera tersebut berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari (Soemantri, 2006).


(35)

17

2. Faktor - faktor Penyebab Ketunanetraan

Menurut Soemantri (2006), ketunanetraan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

a. Faktor dari dalam (internal/ genetik). Faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Kemungkinan karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat dan sebagainya.

b. Faktor dari luar (eksternal/ non genetik). Faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya kecelakaan, terkena penyakit yang mengenai mata, pengaruh alat medis (tang) saat dilahirkan sehingga sistem persyarafan rusak, kurang gizi, terkena racun dan virus.

Menurut Soekini & Suharto (1977) faktor-faktor ketunanetraan tidak jauh berbeda dengan yang telah dikemukakan oleh Soemantri (2006), faktor-faktor tersebut adalah faktor endogen dan faktor exogen. Faktor endogen yaitu faktor yang erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan ini, dapat dilihat pada sifat-sifat keturunan yang mempunyai hubungan pada garis lurus, silsilah dan hubungan sedarah.

3. Klasifikasi Tunanetra

Tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu (Soemantri, 2006) :


(36)

a. Buta (Total Blind)

Seseorang dapat dikatakan buta jika seseorang tersebut sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0). b. Low Vision

Dapat dikatakan low vision apabila masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21 atau jarak individu tersebut hanya mampu membaca headline atau judul pada surat kabar.

Dapat disimpulkan bahwa tunanetra adalah istilah yang digunakan tidak hanya untuk mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas. Tunanetra disebabkan oleh dua faktor yakni faktor genetik dan non genetik. Tunanetra juga terbagi menjadi dua jenis, yakni total

blind dan low vision.

C. REMAJA

1. Pengertian Remaja

Istilah remaja atau Adolesence berasal dari kata Latin, Adolescence (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Rice, 1996). Santrock (1996) mendefinisikan remaja sebagai tahap perkembangan dari transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa; secara biologis, kognitif, dan perubahan sosioemosional. Sedangkan menurut Hurlock (1996)


(37)

19

mendefinisikan remaja sebagai suatu tahap transisi ketika individu berubah secara fisik dan psikologis dari anak-anak menjadi dewasa.

Santrock (2002) mengemukakan pada umumnya masa remaja berawal pada usia 12 sampai 16 tahun dan berakhir pada usia 17 sampai 22 tahun. Masa remaja dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

a. Masa remaja awal (12-16 tahun) yang terjadi pada masa sekolah lanjutan tingkat pertama mencakup kebanyakan perubahan pubertas. b. Masa remaja akhir (17-21 tahun untuk wanita dan 18-22 tahun untuk

laki-laki). Pada masa ini seringkali lebih nyata mencakup minat pada karier, pacaran, dan eksplorasi identitas dibandingkan dengan masa remaja awal.

Selama masa remaja, transisi untuk keluar dari masa kanak-kanak, menawarkan peluang untuk tumbuh, bukan hanya dimensi fisik melainkan juga dalam kompetensi kognitif dan sosial. Sebagian besar anak remaja mengalami kesulitan dalam menangani begitu banyak perubahan yang terjadi dalam suatu waktu (Papalia, 2008).

Disimpulkan bahwa remaja merupakan suatu tahapan perkembangan dimana terjadi transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa; yang meliputi aspek fisiologis (perubahan biologis) dan psikologis (kognitif dan sosioemosional) sehingga sebagian besar anak remaja mengalami kesulitan dalam menangani begitu banyak perubahan yang terjadi dalam suatu waktu. Masa remaja dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir.


(38)

2. Aspek-aspek masa Remaja

Dalam memandang dampak masa pubertas, seorang anak remaja mengalami perubahan sosial, kognitif, dan perubahan fisik.

a. Perkembangan Fisik

Menarche adalah awal dari masa pubertas pada anak-anak

perempuan. Sedangkan pada anak-anak laki-laki, pubertas ditandai dengan tumbuhnya kumis dan mimpi basah. Pubertas adalah suatu periode di mana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja. Pada periode ini anak-anak perempuan juga mulai ada pertumbuhan secara fisik seperti pada melebarnya pinggul dan munculnya kumis pada anak-anak laki-laki. Selama masa pubertas, estradiol pada wanita akan semakin meningkat hingga dua kali lipat. Estradiol akan memacu perubahan hormonal pada anak-anak perempuan yang akan menyebabkan bertambah tinggi, menarche, tumbuh buah dada dan rambut kemaluan. Sedangkan, testosterone akan meningkat 8 kali lebih banyak pada anak laki-laki yang akan menyebabkan anak laki-laki semakin bertambah tinggi dan pertumbuhan penis, testis, dan rambut kemaluan.

Perubahan-perubahan yang sangat kompleks pada masa remaja ini akan mempengaruhi aspek-aspek psikologis seorang remaja. Suatu hal yang pasti tentang aspek-aspek psikologi dari perubahan fisik pada masa remaja adalah bahwa remaja disibukkan dengan tubuh mereka dan mengembangkan citra individual mengenai gambaran tubuh mereka.


(39)

21

Selain itu, banyaknya perubahan fisik pada masa ini menimbulkan dampak psikologis yang tidak diinginkan akan membuat mayoritas remaja lebih banyak memperhatikan penampilan mereka ketimbang aspek lain dalam diri mereka, dan banyak diantara mereka yang tidak suka melihat apa yang mereka lihat pada dirinya. Hanya sedikit remaja yang merasa puas dengan tubuhnya. Ketidakpuasan akan tubuhnya menjadi salah satu penyebab timbulnya konsep diri yang kurang baik dan kurangnya harga diri selama masa remaja.

Penampilan fisik seseorang dan identitas seksual merupakan ciri pribadi yang paling jelas dan paling mudah dikenali oleh oranglain dalam interaksi sosial. Kesadaran akan adanya reaksi sosial terhadap berbagai bentuk tubuh menyebabkan remaja semakin takut bentuk tubuhnya tidak sesuai dengan standart.

b. Perkembangan Kognitif

Kekuatan pemikiran remaja yang sedang berkembang membuka cakrawala kognitif dan cakrawala sosial yang baru. Pemikiran mereka semakin abstrak, logis, dan idealistis, lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran oranglain, dan apa yang oranglain pikirkan tentang diri mereka serta cenderung menginterpretasikan dan memantau dunia sosial.

Piaget yakin bahwa pemikiran operasional formal berlangsung antara usia 11 hingga 15 tahun. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar pemikiran. Sebaliknya,


(40)

mereka dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan, kemungkinan hipotesis, atau dalil-dalil dan penalaran yang benar-benar abstrak.

Selain abstrak, pemikiran remaja juga idealistis. Remaja mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan oranglain dan membandingkan diri mereka sendiri dan ornglain dengan standart-standart ideal. Selama masa remaja, pemikiran-pemikiran sering berupa fantasi yang mengarah ke masa depan. Pada saat yang sama, ketika remaja berpikir lebih abstrak dan idealistis, mereka juga berpikir lebih logis (Kuh, 1991). Remaja mulai berpikir dengan menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah-masalah dan menguji pemecahan-pemecahan masalah secara sistematis. Selain itu, pada saat remaja adalah masa dimana anak mulai mengambil keputusan sendiri.

Pemikiran remaja bersifat egosentris yakni memiliki dua bagian (David Elkind, 1976) yaitu, penonton khayalan dan dongeng pribadi. Penonton khayalan adalah keyakinan remaja bahwa oranglain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri. Dongeng pribadi adalah bagian dari egosentrisme remaja yang meliputi perasaan unik seorang anak remaja. Rasa unik pribadi remaja membuat mereka merasa bahwa tidak seorangpun dapat mengerti bagaimana perasaan mereka sebenarnya.

c. Perkembangan sosio emosional

Pada masa remaja, remaja mulai ingin melepaskan diri dari orangtua dan meminta otonomi bagi dirinya. Meningginya emosi remaja


(41)

23

karena berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian dari pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru.

Semakin meningginya emosi dan tekanan sosial dapat di reduksi dengan rasa nyaman yang diberikan lingkungan sosial kepada remaja. Selain itu, remaja yang memiliki relasi yang nyaman dan adanya kelekatan (attachment) dengan orangtuanya akan memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik.

Attatchment yang kokoh dengan orangtua dapat menyangga

remaja dari kecemasan dan potensi perasaan-perasaan depresi atau tekanan emosional yang berkaitan dengan transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Selain itu, attatchment yang kokoh dengan orangtua juga akan meningkatkan relasi teman sebaya yang kompeten dan relasi erat yang positif di luar keluarga.

Aspek pada masa remaja dapat disimpulkan bahwa masa remaja memiliki 3 aspek yakni perkembangan fisik dimana seorang remaja akan mengalami perubahan yang komplek seperti terjadinya pubertas yang mempengaruhi aspek psikologisnya, perkembangan kognitif dimana seorang remaja sudah mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran oranglain, apa yang oranglain pikirkan tentang diri sendiri karena diusia remaja seorang individu sudah memiliki pemikiran operasional formal, dan perkembangan sosio-emosional yakni berkaitan


(42)

dengan keinginan otonomi bagi dirinya sendiri da nada tidaknya kelekatan yang mempengaruhi perkembangannya.

3. Tugas-tugas Perkembangan dalam Masa Remaja

Hurlock (1996) menjabarkan beberapa tugas perkembangan yang dilewati remaja. Menurut Hurlock, semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan Desmita (2006) yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahap ini sangat menentukan perkembangan kepribadian masa dewasa.

Tugas perkembangan yang paling penting pada masa remaja, yaitu pencapaian identitas diri. Erikson menyatakan bahwa salah satu proses sentral pada remaja adalah pembentukan identitas diri. Apabila remaja tidak berhasil membentuk identitas dirinya, maka ia akan mengalami krisis identitas. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas akan mengalami kebingungan identitas yang dapat mengakibatkan individu menarik diri, memisahkan diri dari teman-teman sebaya dan keluarga, atau kehilangan identitas mereka dalam kelompok. Selain itu, Jones & Hartmann, 1988 dalam Desmita (2006) juga menyatakan bahwa pembentukan identitas selama masa remaja ini sangat penting karena memberikan suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa.


(43)

25

Dapat disimpulkan tugas perkembangan remaja yang paling penting pada masa remaja, yaitu pencapaian identitas diri. Dengan pencapaian identitas diri, remaja berusaha mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa karena pada tahap ini sangat menentukan perkembangan kepribadian pada masa dewasa.

Remaja disimpulkan menjadi suatu tahapan perkembangan dimana terjadi transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa; yang meliputi aspek fisiologis (perubahan biologis) dan psikologis (kognitif dan sosioemosional) sehingga sebagian besar anak remaja mengalami kesulitan dalam menangani begitu banyak perubahan yang terjadi dalam suatu waktu. Masa remaja dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Tugas perkembangan remaja yang paling penting pada masa remaja, yaitu pencapaian identitas diri. Dengan pencapaian identitas diri, remaja berusaha mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa

D. REMAJA TUNANETRA

Semua manusia pasti menginginkan fisik yang sempurna dan memiliki diri idealnya masing-masing, tidak terkecuali para remaja. Bahkan, pada masa remaja, keindahan fisik sangatlah penting karena pada masa ini para remaja sedang mencoba mengenalkan diri pada sosial. Semua remaja mencoba segala cara agar dirinya dapat diterima dengan baik oleh lingkungan sosial. Namun, pada kenyataannya tidak semua hal yang remaja inginkan berjalan dengan


(44)

lancar. Kecelakaan dapat terjadi kapan saja, dimana saja, bahkan kepada siapa saja. Kecelakaan dapat menyebabkan banyak sekali dampak, salah satunya adalah mengalami tunanetra. Individu yang mengalami tunanetra akan memilik perbedaan dari apa yang dinilai mengenai dirinya. Mereka memiliki stigma atau pandangan-pandangan tidak produktif, tidak sempurna dan tidak berguna. Identitas yang dimiliki remaja karena disabilitasnya dapat mengganggu integritasnya (Burns, 1993).

Pernyataan diatas didukung dengan hasil wawancara dari beberapa remaja tunanetra non genetik. Pada wawancara tersebut, mereka menyatakan bahwa mereka merasa kaget dan butuh waktu yang cukup lama untuk menerima keadaan baru yang ada pada dirinya. Hal tersebut akan lebih berat dan dapat menjadi masa yang rentan bagi remaja karena pada masa remaja mereka harus mulai berani mengalami adaptasi dengan lingkungan sosialnya dan mulai berani mencari identitas dirinya dengan keadaan tunanetra yang dialaminya.

Sama seperti remaja yang tidak mengalami tunanetra, remaja tunanetra mengharapkan sedapat mungkin kepastian mengenai masa depannya. Tetapi kesempatan itu menjadi sempit dan terbatas karena adanya keadaan baru yang harus remaja tunanetra dan sosialnya terima. Apabila remaja tunanetra berusaha mengatur kembali persepsi dirinya, remaja tunanetra akan harus menghadapi terlebih dahulu ketidakpastian yang didapatkannya dari statusnya sebagai penyandang disabilitas. Remaja tunanetra akan berusaha menunjukkan pada dirinya dan oranglain tanda-tanda kemajuan dan perbaikan fungsinya, dan mungkin ia tidak dapat melihat keadaan negatif dari kondisinya, tetapi ada


(45)

27

sebagian remaja tunanetra yang tidak melakukan apa-apa dan selalu menyalahkan keadaan dan kekurangan yang terjadi pada dirinya dan mengalami keterpurukan karena persepsi yang dimilikinya. Hal tersebut sebagian besar tergantung pada bagaimana persepsinya pada masa lalu, dan membuat penilaian bahwa tidak mempunyai masa depan karena disabilitas yang dimilikinya (Martaniah, 2006).

E. STATUS IDENTITAS DIRI PADA REMAJA TUNANETRA NON GENETIK

Seorang remaja memasuki masa remaja berarti akan melewati suatu periode transisi, dimana secara fisik maupun psikologis individu akan berubah dari seorang anak menjadi orang dewasa. Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja ini adalah menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif untuk mempersiapkan karir ekonomi (Hurlock, 1980).

Pada masa remaja, remaja sedang mencoba mengenalkan diri pada sosial. Semua remaja mencoba segala cara agar dirinya dapat diterima dengan baik oleh lingkungan sosial. Namun, pada kenyataannya tidak semua hal yang remaja inginkan berjalan dengan lancar. Peristiwa-peristiwa tidak terduga seperti kecelakaan dan sakit dapat terjadi kapan saja, dimana saja, bahkan kepada siapa saja. Salah satu dampak kecelakaan dan sakit adalah mengalami tunanetra.

Seorang remaja tunanetra akibat kecelakaan atau sakit dapat kita sebut dengan remaja tunanetra non genetik, mengalami kehidupan yang baru akibat


(46)

dari perubahan fisik yang dialami. Perubahan fisik tersebut dapat mengakibatkan seorang remaja tunanetra non genetik tersebut mengalami kebingungan identitas dirinya karena ia harus memulai kembali mengenali dan menerima fisiknya yang berbeda dengan yang mereka harapkan (Wahyuni & Marettih, 2012). Selain itu, seorang remaja tunanetra non genetik juga harus memulai menata kembali kehidupan sosialnya termasuk dalam pencapaian dan perencanaan dalam masa depannya.

Pada keadaan tersebut, seorang remaja tunanetra non genetik memiliki berbagai macam pilihan untuk menghadapi kehidupannya. Selama remaja mau aktif memilih pilihan-pilihan akan mencerminkan keinginan untuk meraih identitas yang bermakna dan berusaha menjadi diri sendiri yang sebenarnya, dibandingkan berusaha menutupi identitas dirinya agar dapat diterima sosial dan dapat mengikuti keinginan sosial. Remaja yang berhasil mengatasi dan menerima peran yang saling berkonflik satu sama lain ini memiliki identifikasi penghayatan mengenai diri yang baru, dapat diterima dan memiliki sifat yang fleksibel dan adaptif, terbuka terhadap perubahan yang berlangsung di dalam masyarakat, dalam relasi dan karier (Adam, Gulotta & Montemayor, 1992). Sementara remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas akanmengalami kebingungan identitas. Mereka akan cenderung menarik diri, mengisolasi diri dari sosial, atau membenamkan diri dalam dunia sosial, dan kehilangan identitasnya sendiri di dalam sosialnya. Erickson (Santrock, 2007).


(47)

29

F. GAMBARAN UMUM SLB-A YAKETUNIS

1. Letak dan Keadaan Geografis SLB-A YAKETUNIS

SLB-A YAKETUNIS terletak di kota Yogyakarta bagian selatan, yaitu di Dukuh Danunegaran, Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Sekolah ini beralamat di Jl. Parangtritis No.46 Yogyakarta. Adapun batas-batas lokasinya adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : berbatasan dengan jalan kampung Danunegaran b. Sebelah Timur : berbatasan dengan Agung Star Guest House

c. Sebelah Selatan : berbatasan dengan SD Muhammadiyah Danunegaran d. Sebalah Barat : berbatasan dengan rumah penduduk.

SLB-A YAKETUNIS berjarak sekitar 50m dari jalan raya Parangtritis. Sekolah ini dipagari dengan dinding-dinding tinggi dari rumah para penduduk dan bangunan yang ada di sekitarnya. Lingkungan sekolah tidak terlalu bising dan nyaman untuk kegiatan belajar mengajar.

2. Sejarah Berdiri dan Perkembangan SLB-A YAKETUNIS

Sejarah berdirinya SLB-A YAKETUNIS erat kaitannya dengan sejarah YAKETUNIS. Berdirinya YAKETUNIS merupakan ide dari seorang tunanetra bernama Supardi Abdusomat. Beliau mendatangi Bapak H. Moch Solichin dan sharing mengenai bagaimana caranya mengangkat harkat martabat warga tunanetra. Akhirnya disepakati untuk mendirikan yayasan yang diberi nama Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam


(48)

(YAKETUNIS) Yogyakarta pada tanggal 12 Mei 1664 dengan alamat di Jl. Mangkubumi No. 38 Yogyakarta.

Sebagai yayasan pertama yang menyantuni para tunanetra, YAKETUNIS juga menjadi penerbit Al-Qur’an Braille pertama kali di

Indonesia, bahkan tersebar hingga Asia Tenggara. Namun seiring dengan perkembangannya, YAKETUNIS tidak mencetak Al-Qur’an braille lagi

dikarenakan sudah ada lembaga lain yang khusus mencetak Al-Qur’an

Braille/ Wiyataguna (Handayani, 2012).

3. Dasar dan Tujuan Pendidikan SLB-A YAKETUNIS

a. Visi Sekolah

“Terwujudnya peserta didik SLB-A YAKETUNIS yang sehat,

berprestasi dan unggul serta terciptanya Lulusan yang mandiri, kreatif berkualitas IPTEK berdasarkan IMTAQ.”

b. Misi Sekolah

i. Menumbuhkembangkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan budaya bangsa sehingga terbangun siswa yang kompeten dan berakhlak mulia.

ii. Melaksanakan pembelajaran inovatif, menyenangkan dan bimbingan secara efektif sehingga setiap siswa berkembang secara optimal, sesuai dengan potensi yang dimiliki.

iii. Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengenali potensi dirinya, sehingga dapat berkembang secara optimal.


(49)

31

iv. Menumbuhkembangkan semangat keunggulan secara intensif kepada seluruh warga sekolah.

v. Meningkatkan harkat, martabat dan citra anak berkebutuhan khusus.

4. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut:

a. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlaq mulia, serta ketrampilan untu hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

b. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlaq mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri mengikuti pendidikan lebih lanjut.

5. Metode Pengajaran

Metode pengajaran pada SLB-A Yaketunis mengutamakan pembelajaran berdasarkan akhlak mulia dan kesopansantunan. Media pembelajaran yang digunakan adalah buku dengan huruf braille. Tidak hanya kegiatan belajar mengajar di kelas, siswa juga diwajibkan untuk mengikuti ekstrakulikuler membaca tulis Al-Quran dan beberapa kegiatan untuk memperdalam agama Islam. Di dalam asramanya, siswa juga diajarkan untuk hidup mandiri dan belajar untuk membagi waktu dalam


(50)

sekolah, ektrakulikuler, dan melakukan kebutuhan sehari-hari seperti mencuci, membersihkan kamar tidur, dan mengerjakan tugas sekolah.


(51)

33 BAB III METO DO LOG I PENELITIAN

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang paling sesuai dengan penelitian yang pemaparan mengenai gambaran identitas serta faktor yang melatarbelakanginya tersebut untuk menggali penghayatan subjek dalam kehidupannya, mendapatkan pemahaman mendalam dan khusus atas suatu fenomena, serta untuk memahami manusia dalam segala kompleksitasnya sebagai mahluk yang subjektif (Poerwandari, 2005).

Penelitian kualitatif adalah metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna dari individu atau sekelompok individu yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (Creswell, 2010). Secara umum, penelitian kualitatif lebih mengandalkan data berupa ungkapan subjek penelitian untuk mengeksplorasi fenomena atau permasalahan pokok yang terdapat dalam sebuah penelitian (Supratiknya, 2015). Menurut Moleong (2005) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan secara holistik. Deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, digunakan pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Metodologi penelitian kualitatif dalam ilmu psikologi akan membatasi bahasan mengenai bagaimana perilaku manusia muncul dalam berbagai konteks


(52)

atau apa yang mendasarinya, dan mengapa perilaku tersebut muncul. Dengan mengetahui bagaimana, apa, dan mengapa dari kontruk psikologi yang diteliti, maka manusia akan dapat mencari benang merah antara satu konstruk dengan konstruk lainnya, mampu menganalisis serta menyintesis serangkaian perilaku manusia, serta mampu melakukan prediksi mengenai perilaku apa yang akan dimunculkan kemudian. Tujuan dari penelitian kualitatif dalam ranah psikologi adalah untuk memberikan gambaran atau potret yang sebenarnya dari sebuah kejadian atau pengalaman individu apa adanya, dalam wilayah dan setting sosio-kultural subjek penelitian (Herdiansyah, 2015).

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode fenomenologi. Secara umum, penelitian psikologi fenomenologi bertujuan untuk mengklarifikasi situasi yang dialami dalam kehidupan seorang seseorang sehari-hari. Polkinghorne (1989) mendefinisikan fenomenologi, yaitu suatu studi untuk memberikan gambaran tentang suatu arti dari pengalaman-pengalaman beberapa individu mengenai suatu konsep tertentu. Fenomenologi tidak berusaha untuk mereduksi suatu fenomena dalam angka yang sederhana di bawah variabel-variabel yang teridentifikasi dan mengontrol konteks di mana fenomena tersebut hendak diteliti (Smith, 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran status identitas diri remaja tunanetra non genetik. Peneliti ingin menggali mengenai ekplorasi diri dan komitmen yang dilakukan subjek terkait dengan kehidupannya sehari-hari agar dapat mendapatkan identitas diri subjek, sehingga peneliti memilih menggunakan pilihan kualitatif karena tujuan penelitian kualitatif


(53)

35

fenomenologi sesuai dengan tujuan penelitian yang dirancang oleh peneliti yakni metode yang tepat untuk mendapatkan gambaran identitas serta faktor yang melatarbelakanginya tersebut untuk menggali penghayatan subjek dalam kehidupannya, memberikan gambaran tentang suatu arti dari pengalaman-pengalaman beberapa individu mengenai suatu konsep tertentu, mengeksplorasi dan memahami makna dari individu, mendapatkan pemahaman mendalam dan khusus atas suatu fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek.

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini berfokus pada status identitas remaja tunanetra non genetik pada domain relasi sosial, prestasi, minat, fisik, dan spiritual. Status identitas diteliti dengan melihat dari keadaan dan sikap dalam menghadapi krisis/eksplorasi dan komitmen.

C. METODE PENGAMBILAN DATA

Metode pengambilan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah

1. Wawancara

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara. Wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2005). Menurut Moleong (2005), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Definisi menurut Gorden (dalam Herdiansyah, 2009),


(54)

wawancara dapat diartikan percakapan antara dua orang yang salah satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan oleh peneliti untuk lebih memahami dan memperoleh pengetahuan tentang makna subjektif yang dipahami individu mengenai topik penelitian (Herdiansyah, 2009).

Disimpulkan bahwa wawancara adalah percakapan dan tanya jawab antara dua orang yang salah satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan tertentu. Wawancara kualitatif adalah metode untuk memahami dan memperoleh pengetahuan tentang makna subjektif yang dipahami individu mengenai topik penelitian.

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan Analisis Fenomenologi Interpretasi (AFI), sehingga teknik wawancara yang paling baik adalah dengan melakukan wawancara semi terstruktur. Wawancara jenis ini memungkinkan peneliti dan partisipan melakukan dialog, dan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya dapat dimodifikasi menurut respon partisipan. Dengan demikian, peneliti dapat menyelidiki lebih jauh wilayah-wilayah yang menarik dan penting yang mucul. Wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam oleh peneliti dengan mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan mendalam (Smith, 2009). Smith (2009), juga menyimpulkan bahwa wawancara semi terstruktur mampu memfasilitasi hubungan baik/ empati, memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal cakupan wilayah wawancara, dan memungkinkan


(55)

37

wawancara masuk ke wilayah-wilayah yang benar-benar baru, dan cenderung menghasilkan data yang lebih kaya.

Berikut tabel panduan wawancara penelitian :

Tabel 3.1 Panduan Wawancara

Tabel 3.1 Panduan Wawancara

No Aspek yang diungkap Deskripsi

1 Identitas Subjek Identitas diri

Nama, usia, jenis kelamin, dan latar belakang

2 Status Identitas Diri a. Relasi sosial (Hubungan dekat dengan teman sebaya, yang lebih tua, yang lebih muda dibandingkan dirinya)

Upaya dalam menjalin dan memilih pertemanan yang dipilih.

Hubungan dengan sosial,

bagaimana sikap menyelesaikan masalah dengan sosial, bagaimana mempertahankan relasi sosial, relasi romantis dan pandangan kedepan mengenai pasangan, usaha


(56)

yang dilakukan untuk mencapai relasi yang diinginkan.

b. Prestasi (Tingkat remaja termotivasi untuk berprestasi. Kebutuhan untuk diakui dan diterima)

Usaha dalam mencari informasi kesempatan berprestasi, menggali informasi mengenai prestasi yang diperjuangkan, memahami apa

yang disukai dan yang

diperjuangkan, usaha mencapai prestasi dan mempertahankan prestasi, usaha dalam menghadapi kegagalan, memiliki pandangan kedepan mengenai prestasi yang diperjuangkan.

c. Minat (Aktivitas yang disukai remaja dan membuat mereka menemukan hal-hal baru)

Usaha dalam menggali informasi mengenai minat yang disukai,


(57)

39

mempertahankan minat yang dimiliki, usaha dalam menghadapi kegagalan, memiliki pandangan kedepan mengenai minat yang disukai.

d. Fisik (Gambaran ideal tentang dirinya sendiri sejauh mana perkembangan fisiknya saat ini)

Memahami tentang keadaan

fisiknya, memahami penyebab yang terjadi pada dirinya, usaha untuk mencapai kesehatan untuk diri sendiri, usaha untuk menjaga kesehatan,usaha mempertahankan diri ketika mendapat masalah mengenai fisiknya, memiliki pandangan masa depan dengan keadaan fisik yang dimiliki

e. Spiritual (Sikap percaya pada kekuatan yang besar dan dapat menghubungkan dirinya dengan Tuhan)


(58)

Mengenali dan memahami

keyakinan yang dimiliki,

memahami mengapa memilih

keyakinan tersebut, usaha dalam menjalani keyakinan yang dimiliki, usaha mempertahankan keyakinan yang dimiliki, sikap dalam mempertahankan keyakinannya.

Panduan pertanyaan yang peneliti rancang sebagai pedoman dalam mengambil data dari subjek. Pernyataan tersebut bersifat fleksibel dengan arti bahwa pertanyaan tersebut dapat berubah ketika proses wawancara namun tetap sesuai dengan topik yang diteliti. Pertanyaan tersebut dapat berubah dikarenakan peneliti akan menyesuaikan dengan keadaan atau kondisi jawaban yang subjek berikan.

2. Observasi

Peneliti juga melakukan observasi selama wawancara berlangsung dengan melihat reaksi subjek dalam memberikan jawaban serta komunikasi non-verbal yang menyertai subjek ketika memberikan jawaban. Selain itu, observasi juga dilakukan untuk melihat kehidupan subjek sehari-hari. Observasi adalah metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan mendetail terhadap objek observasi. Menurut


(59)

41

Matthew dan Ross (2010), observasi adalah metode pengumpulan data melalui indera manusia. Definisi menurut Creswell (2008), observasi adalah sebuah proses penggalian data yang dilakukan langsung oleh peneliti dengan cara melakukan pengamatan mendetail terhadap manusia sebagai objek observasi dan lingkungannya dalam kancah riset.

D. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, subjek yang dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni remaja tunanetra non genetik. Subjek penelitian ini adalah remaja tunanetra non genetik di Yogyakarta yang bersekolah dan tinggal di SLB-A Yaketunis Yogyakarta. Peneliti memilih subjek penelitian yang mengalami tunanetra diatas usia 7 tahun atau pada usia sekolah. Pemilihan usia ini berdasarkan pada kemampuan pikiran yang dimiliki. Menurut Piaget, anak-anak usia sekolah memiliki pemikiran operasional konkrit, yaitu aktivitas mental yang difokuskan pada pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa nyata. Sehingga peneliti berpendapat bahwa apabila anak kehilangan penglihatan pada usia tersebut, mereka sudah sanggup menata dan menceritakan kembali pengalaman-pengalaman di dalam kehidupannya (Desmita, 2008).

Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang. Peneliti awalnya memiliki tiga subjek, namun pada pertengahan proses pengambilan data, ada satu subjek memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya dan memilih pulang kampung di daerah Kendal, Semarang, Jawa Tengah karena alasan


(60)

keadaan keluarga. Peneliti tidak melanjutkan proses pengambilan data karena subjek tidak mau melanjutkannya lagi.

E. Analisis Data

Metode analisis data penelitian analisis fenomenologis interpretatif. Tujuan dari analisis fenomenologis interpretatif (AFI) adalah hendak mengungkapkan secara detail bagaimana partisipan memaknai dunia personal dan sosialnya (Smith, 2009). Smith juga menjelaskan bahwa sasaran utama penelitian AFI adalah makna berbagai pengalaman, peristiwa, dan status yang dimiliki oleh partisipan. Pendekatan ini berusaha mengeksplorasi pengalaman personal seorang individu tentang objek atau peristiwa. Para partisipan berusaha memahami dunianya dan peneliti berusaha memahami usaha-usaha partisipan dalam memahami dunianya tersebut. AFI memiliki ketertarikan mengkaji mengenai bagaimana orang memikirkan apa yang sedang terjadi pada diri mereka. AFI merupakan pendekatan yang cocok ketika seorang berusaha mengetahui bagaimana individu mempersepsi situasi-situasi tertentu yang dihadapinya, serta bagaimana mereka membuat pemahaman terhadap dunia personal dan sosialnya (Smith, 2009).

Tahapan pertama kali yang dilakukan dalam menganalisis data adalah dengan mereduksi data. Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu


(61)

43

bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data. Inti reduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan yang akan dianalisis (Herdiansyah, 2015).

Setelah melakukan reduksi data, analisis data dilakukan sesuai dengan tahapan yang dijelaskan oleh Smith, 2008 yaitu :

1. Reading and re-reading

Membaca dan membaca kembali data yang telah dikumpulan dan mencoba posisikan diri sebagai subjek penelitian kemudian memulai analisis data setelah memperoleh pemahaman.

2. Initial noting

Analisis tahap awal untuk menguji konten dari kata, kalimat dan bahasa dalam hasil wawancara. Mencatat hal yang penting dan memberikan komentar eksploratori.

3. Developing emergent themes

Analisis komentar eksploratori untuk mengedentifikasi munculnya tema-tema termasuk untuk memfokuskan sehingga sebagian transkrip menjadi jelas.

4. Searching for connection across emergent themes

Analisis antar tema-tema yang saling memiliki kesesuaian. Di dalam proses analisis memungkinkan mengabaikan atau membuat tema yang tidak dipakai.


(62)

5. Moving the next cases

Mengulang proses yang sama pada kasus atau transkrip lainnya.

6. Looking for patterns across cases

Mencari pola yang muncul antar kasus dan kemudian mencari hubungan antar temanya.

F. Kredibilitas Data

Konsep validitas dalam penelitian kualitatif yang sering digunakan adalah kredibilitas. Kredibilitas menjadi suatu hal yang penting ketika mempertanyakan kualitas hasil suatu penelitian kualitatif. Suatu hasil penelitian kualitatif dikatakan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi terletak pada keberhasilan studi tersebut mencapai tujuannya mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Afiyanti, 2008). Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan peneliti untuk memperoleh kredibilitas, keabsahan data yang tinggi adalah menggunakan triangulasi data.

Dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004). Mentriangulasi sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah


(63)

45

sumber data atau perspektif dari partisipan akan menambah validitas penelitian. (Creswell, 2009).

Denzin (dalam Moloeng, 2004), membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber. Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton, 1987).


(64)

46

BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Penelitian dan Perijinan

Pada penelitian ini, subjek yang peneliti pilih adalah tunanetra non genetik berusia remaja, yakni usia 12–22 tahun. Peneliti memilih subjek yang bersekolah di SLB-A Yaketunis di Jalan Parangtritis Yogyakarta. A Yaketunis adalah sekolah luar biasa khusus untuk tunantera. SLB-A Yaketunis ini memiliki jenjang pendidikan dari SDLB hingga MTSLB. SLB-A Yaketunis juga memiliki asrama untuk para pelajar hingga mahasiswa tunanetra dari berbagai daerah yang sedang bersekolah di Yogyakarta. Asrama Yaketunis terbagi menjadi dua, yakni asrama putra dan putri yang terletak di antara gedung SDLB dan MTSLB Yaketunis.

Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin kepada Kepala Yayasan Yaketunis agar mendapatkan izin penelitian di SLB-A Yaketunis. Pengajuan izin diajukan pada bulan September 2015. Setelah mendapatkan izin, peneliti melakukan pendekatan/ rapport dengan subjek pertama dan membuat jadwal untuk pengambilan data. Rapport dilakukan agar terjalin kedekatan dan terbentuk rasa percaya antara subjek dengan peneliti sehingga subjek dapat memberikan informasi secara nyaman dan terbuka.


(65)

47

Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang. Hal ini dikarenakan peneliti hanya menemukan dua orang yang memenuhi kriteria penelitian di Yogyakarta. Kedua subjek tersebut merupakan siswa MTSLB Yaketunis Yogyakarta dan tinggal di asrama. Peneliti awalnya memiliki tiga subjek, namun pada pertengahan proses pengambilan data, ada satu subjek memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya dan memilih pulang kampung di daerah Kendal, Semarang, Jawa Tengah karena alasan keadaan keluarga. Peneliti tidak melanjutkan proses pengambilan data karena subjek tidak mau melanjutkannya lagi.

Untuk subjek pertama, proses rapport dilaksanakan tanggal 12 September 2015 di ruang kepala Yayasan. Dan subjek kedua dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober di halaman SLB-A Yaketunis. Dalam proses ini, peneliti bertanya jawab seputar kegiatan subjek dan pengalaman-pengalaman subjek. Proses wawancara selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati bersama.

Pada proses wawancara, peneliti menggunakan guideline interview. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara semi terstruktur agar peneliti dapat menggali informasi secara lebih dalam. Peneliti juga menyiapkan alat rekam untuk membantu proses pengumpulan data wawancara. Pada awal wawancara, peneliti membacakan inform consent sebagai tanda bahwa subjek bersedia untuk memberikan pernyataan selama proses pengambilan data dengan alat perekam dan pernyataan peneliti bahwa hanya menggunakan data untuk keperluan penelitian dan menjaga kerahasian.


(66)

2. Pelaksanaan Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian

Tabel 4.1 Waktu dan Tem pat Penelitian

Tabel 4.1

Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan Subjek 1 (IA) Subjek 2 (IR)

Waktu Tempat Waktu Tempat

Wawancara Subjek 15 September 2015 29 Oktober 2015 11 Februari 2016 Asrama Yaketunis Ruang kelas MTs Yaketunis Ruang kelas MTs Yaketunis 21 November 2015 25 November 2015 Ruang Kelas MTs Yaketunis Perpus-takaan Yaketunis Triangulasi data (significant others) 31 Oktober 2015 Halaman asrama Yaketunis 19 Desember 2015 Perpustaka an Yaketunis


(67)

49

B. Hasil Penelitian

1. Latar Belakang Subjek 1 a. Data Demografi

Tabel 4.2 Dem ografi Subj ek 1

Tabel 4.2 Demografi Subjek 1

No. Keterangan Subjek 1

1 Nama Inisial A

2 Jenis Kelamin Perempuan

3 Usia 13 tahun

4 Anak ke- 2 dari 2

bersaudara

5 Jumlah Saudara 1

6 Pendidikan MTs

7 Pendidikan orangtua Ayah : SMA

Ibu : SMA

b. Profil Subjek 1

Subjek merupakan anak kedua dari dua bersaudara, ia memiliki kakak laki-laki. Semenjak kecil hingga usia 12 tahun, subjek tinggal bersama keluarganya yakni Bapak, Ibu, dan kakak laki-lakinya. Subjek memiliki jarak usia yang cukup jauh dengan kakaknya, yakni 10 tahun. Saat ini, kakak subjek sudah bekerja di sebuah perusahaan di Cilacap. Ayah subjek bekerja sebagai karyawan Pertamina di Purwokerto, dan


(68)

ibu subjek adalah ibu rumah tangga. Di dalam keluarga, subjek memiliki hubungan terdekat dengan ibu. Bagi subjek, ibu adalah sesorang yang selalu menemaninya dalam segala keadaan. Subjek mengatakan bahwa ia tidak dapat lepas dengan ibu karena semenjak kecil sudah terbiasa selalu dengan ibu. Subjek juga mengatakan bahwa memiliki kedekatan dengan kakak. Bagi subjek, kakak adalah seorang yang ia sayangi dan selalu melindunginya, tetapi semenjak kakak subjek bekerja, subjek mulai jarang bercerita dengan kakaknya. Namun berbeda dengan ayah, subjek sering tidak cocok jika bercerita dengan ayah subjek terlebih mengenai masalah pribadi karena merasa tidak nyambung jika berkeluh kesah dengan ayah.

Subjek tidak memiliki masalah di dalam keluarganya, bahkan ia merasa sangat diterima dan didukung oleh keluarga inti maupun keluarga besarnya. Kini usia subjek adalah 13 tahun, subjek adalah seorang remaja tunanetra non genetik yang bersekolah di MTs Yaketunis Yogyakarta semenjak kelulusan SD di Purwokerto. Ketunanetraan subjek termasuk kategori total blind. Ketunanetraan mata sebelah kiri subjek diakibatkan oleh Glukoma yang diderita ketika kelas 4 SD dan sebelah kanan oleh virus Tokso yang mengenainya pada saat kelas 6 SD. Subjek pernah menjalani pengangkatan mata dan pemasangan mata palsu untuk mata sebelah kirinya.

Subjek memiliki relasi yang cukup baik dalam dunia pertemanannya. Subjek menceritakan bahwa ada beberapa teman


(69)

51

rumahnya yang sering datang kerumahnya untuk mengajak subjek bermain bersama. Teman-teman sekolah subjek juga bersikap baik dengan dirinya bahkan subjek dapat membantu teman-temannya dalam belajar. Tetapi, ada perubahan sikap dari teman-teman rumah dan sekolah setelah subjek mengalami tunanetra. Teman rumah subjek menjadi sering membohongi dan menertawakan subjek ketika mereka sedang bersama. Teman sekolah subjek menjauhi subjek karena subjek sering meminta pertolongan ketika jam pelajaran maupun jam istirahat. Bahkan ada pula teman subjek yang mengejek, meremehkan, dan memperalat subjek demi kepentingan prestasinya. Subjek tidak membiarkan teman-temannya memperlakukan dirinya dengan semena-mena. Subjek kerap menegur dan membela diri dengan keadaan dirinya sekarang, namun subjek tidak pernah memiliki dendam dengan teman-temannya.

Subjek memandang bahwa dirinya merupakan seorang yang pemalu dan tidak dapat banyak berkata-kata dengan orang baru. Dengan sifat pemalunya, subjek menganggap bahwa dirinya payah dan perlu memperbaiki diri. Selain itu, subjek juga menyadari bahwa dirinya belum dapat mandiri dan belum dapat menjadi seorang tunanetra yang sudah dengan percaya diri melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Subjek adalah seorang penurut dengan sosok yang lebih tua dari dirinya. Subjek menyatakan bahwa ia mau melakukan segala sesuatu jika memang sudah diamanatkan untuk dirinya. Subjek juga


(70)

mempercayai bahwa yang dikatakan orangtuanya adalah sesuatu yang baik dan harus dipatuhi.

c. Analisis Data Penelitian

1) Eksplorasi Remaja Tunanetra Non Genetik Subjek 1

Tabel 4.3 E ksp lorasi Rem aj a Tunanetra Non Genetik

Tabel 4.3

Eksplorasi Remaja Tunanetra Non Genetik

Domain Tema Eksplorasi

Relasi Sosial

Mengeksplorasi relasi sosial

(line: 1276-1296 ; 1485-1494 ; 1276-1296) Prestasi Mengeksplorasi prestasi

(line: 196-203 ; 218-226 ; 312-320 ; 196-203 ; 218-226 ; 312-320 )

Minat Tidak mengeksplorasi minat

(line: 43-61 ; 55-73 ; 161-163 ; 43-61 ; 55-73 ; 161-163) Fisik Tidak mengeksplorasi fisik

(line: 468-471 ; 720-727 ; 735-737 ; 743-761 ; 827-840 ; 968-984 ; 1438-1446 ; 468-471 ; 720-727 ; 735-737 ; 743-761 ; 827-840 ; 968-984)

Spiritual Tidak mengeksplorasi spiritual (line: 1657-1663 ; 1657-1663)


(1)

334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354

kan yang paling sakit jadi ya sudahlah. Sampai sekarang tu dari sardjito masih telpon A disuruh dibawa kesana bapak A sudah gak mau. A di sini malah udah gak mau memikirkan harus berobat begini, saya udah bilang, A ini udah di jogja udah dekat. Alah enggak lah aku udah capek aku minum-minum obat terus gak ada perubahannya gak ada yang semakin sembuh, udahlah mama gak usah mikirin inilah aku mau fokus ke sekolah aja. Saya juga bingung, yang mau berobat juga dia, saya lakoni seminggu sekali mb kesini, sedangkan BPJS aja gak pernah saya pake pake umum saya kalo berobat karena beda, dari obat juga udah beda soalnya pernah satu kali waktu mau ganti mata yang satu itu kata dokter bilang, kan sayang daripada itu pake BPJS aja. Saya udah coba ngantri kesana-kemari eee harus minta tandatangan berulang-ulang karena saya dari cilacap pindah ke rumah sakit jogja dari persyaratannya harus lengkap gini-gini-gini. Sampe sini antri BPJS terus mau ketemu sama dokter BPJS dulu, dah, dokter saya mau ketemu, saya mau ganti asesoris aja ini saya mau ketemu sama dokter. Oh dokternya kesininya nanti siang, jamnya gak tau jam berapa. Ini aku dari pagi

baginya, selain itu ayah A juga sudah tidak mau membawa A ke sardjito karena belum menjamin kesembuhan.

Akhirnya A memilih

untuk tidak

memikirkan

pengobatan dan fokus ke sekolah saja, sementara ibu A bingung karena A yang mau berobat saja tidak mau (326-341)

A lebi memilih untuk fokus prestasi

dibandingkan kesembuhan (326-341)


(2)

355 356 357 358 359 360 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375

sampe jam 2 belum juga kedokternya, udahlah aku cabut aja, saya mau pake umum, ini saya kan jauh nunggu dokter gak tau jam berapa. Ooyayaya bu temui dokter ini aja yang biasa bikin asesoris, terus saya temuin langsung saya bayar cash, gak lama kemudian langsung dipasang saya pulang. Itu kan langsung perpanjang kan lama banget. Yang dulu operasi itu aja 15 juta saya jual motor daripada saya pake BPJS. Itu pake uang sendiri, BPJS dikoar-koar anu tapi nyatanya malah… obat juga beda mb, ibu bpjs atau umum, bpjs disebelah sana bu, apoteknya aja udah berbeda. Perlakukan BPJS sama umum aja juga beda mb. Kalau umum langsung digarap. Saya teliti untungnya. Diteliti yang ketemu dokter itu siapa, yang mana dokternya.

Gimana sih bu ceritanya waktu yang dioperasi itu? Itu kan demam tinggi ada cairan dibola mata, demam tinggi dibawa ke rumah sakit gak mau, kan A paling takut sama rumah sakit apa lagi sama infus, saya rangkul udah panas banget badan saya triak-triak gak mau waktu itu Cuma berdua sama mamasnya waktu masih sekolah kemarin itu. Bapaknya lagi kerja, bapaknya bilang udah


(3)

376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396

dibawa aja ke rumah sakit. Enggak enggak teriak itu, masnya lari beli kompres demam itu pake kacu juga gak mau turun-turun. Begitu paginya, gak bisa tidur tapi kok matanya merah saya kedokter anak dikasih obat aja gak ada perubahan panas turun terus panas lagi. Terus matanya semakin merah, coba aja ke dokter spesialis mata, sampe di sana dokternya bilang, bu ini anak ibu tekanan bola matanya tinggi banget sampe 3 kali lipat, ini langsung aja mondok, nah itu kan opname, terus akhirnya mondok tapi gak ada perubahan terus pulang tapi pusing tak kasih obat yang manggis itu pusingnya agak ilang. Terus aku bawa lagi ke dokternya diperiksa lagi, dokternya gak bilang kalau itu glukoma, dikasih obat teteskan tapi kok gak ada perubahan. Terus anak ini tu udah infeksi terus tekanan bola matanya tinggi terus gimana dokter, dokternya bilang kasih obat ini bu kalau gak itu satu minggu kesini lagi. Itu infeksi apa?

Gak tau itu dari pusing terus cairannya banyak terus langsung banyak cairannya jadi kayak besar tu lho mb. Terus gak itu, A juga bilang ini kok sembuh-sembuh


(4)

397 398 399 400 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 415 416 417

merah terus. Lha gimana, kalau misalnya diangkat A mau enggak? Trus dia jawab gakpapalah daripada mataku merah terus begini.

Apa alasannya A?

Ya pokoknya gak maulah, gak mau keliatan matanya kan yang satu merah terus yang item-itemnya kayak nyala gitu. Ada cairannya di dalam itu. Dokternya bilang pas balik lagi kesana, ini bu kayaknya kalau ini diangkat nanti dikasih asesoris, tapi kalau mau dibiarin juga gakpapa tapi sering pusing kata A seperti itu.

Tapi A paham kalau dioperasi itu berarti memang sudah tidak bisa melihat?

Sudah, sudah tau orang waktu itu dia memang sudah tidak bisa melihat jadi diambilpun sama juga seperti itu. Waktu diambil itu, di paha kan dioperasi juga kan itu soalnya matanya diambil semua dikerok bukan hanya kayak katarak saja. Terus udahlah semuanya udah menerima tu lho. Dah ikhlas udah diambil udah. Harus lepas jahitan juga sampai teriak-teriak waktu itu.

Itu semua keinginannya A?


(5)

418 419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 438

nyuruh takutnya gak mau kan. Apa lagi kalau di angkat kayak gitu kan. Terus dia jadi enggak malu. (A datang menghampiri ibunya lalu kembali pergi)

Ini sekarang emang paling deket bertiga ini ya bu? Iya ini ada yang sama-sama Cilacap sekamar juga. Waktu dulu itu pernah mencoba alternatif?

Saya kayaknya enggak, enggak nyoba di situ, karena dulu pernah pengalaman Bapak itu juga saya kurang begitu percaya lagipula sekarang banyak alternatif yang kasih tetesin segala macem ntar malah bisa bengkak gak karuan kan.enggak, selama sakit itu cuma ke dokter aja udah. Terus ceritanya bagaimana sampai mata yang satunya juga terkena?

Ya itu kan abis ganti itu, asesoris itu, saya ganti. Sebelum puasa ke sini. Satunya masih sehat, karena masih sehat saya minta sekalian lah dok mata yang satunya diperiksa sekalian. Oya masih sehat ini kata dokternya A juga masih bisa baca yang jarak jauh. Udahlah satu jangan sakit, iyalah dok saya bilang gitu. Udah pulang. Nah abis lebaran kalau gak salah lebaran itu bulan Juni. Bulan Agustus, ma aku mau les ternyata itu dia udah sakit udah sekitar dua

Orangtua A

menyerahkan

keputusan operasi kepada A karena takut A tidak mau dan malu (416-419)

A tidak

menceritakan kepada

Orangtua A takut mengambil

keputusan untuk sakit A (416-419)

Kurang peduli akan fisik anak (416-419)

Pola Asuh Tingkat keterbukaan alternatif (416-419)


(6)

439 440 441 442 443 444 445

minggu tapi gak ngomong ke saya karena takut kalau saya masih inget sama yang kemarin satunya. Saya kan masih trauma, jadi kalau bilang ada yang sakit gitu kan mesti langsung kaget langsung gimana gitu. Dia pulang sekolah, saya dilalah seharian (A kembali menghampiri ibunya dan mulai merengek. Interview berakhir karena A merengek meminta waktu untuk makan diluar bersama ibunya sebelum ibunya kembali ke Cilacap)

ibunya karena takut ibunya trauma akan kejadian mata yang lalu karena ibu A akan menjadi kaget dan khawatir akan A (436-441)

A tidak mau membuat ibunya khawatir dan menjadi susah (436-441)

A menghindari masalah baru (436-441)