Survei penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di wIlayah Kabupaten Kulon Progo

(1)

i

SURVEI PENYELENGGARAAN SEKOLAH DASAR INKLUSI DI WILAYAH KABUPATEN KULON PROGO

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh:

Rosita Cahayani Sabatiana NIM: 131134102

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan berkat dan kasih sepanjang hari, skripsi ini kupersembahkan kepada:

1. Orang tuaku, Bapak Subiyanto dan Ibu Sri Yani yang selalu memberikan doa, semangat, dan kasih sayang.

2. Kedua kakakku, Apri Wulandari dan Bambang Handono serta keponakanku Deo Christian Prihandono yang selalu memberikan doa, semangat, dan bantuan.

3. Sahabat-sahabatku seperjuangan skripsi Lela, Rinda, dan Yovita yang selalu memberi semangat.

4. Sahabatku sejak TK, Dhita Ruari yang selalu menghibur dan setia mendengarkan keluh kesahku.

5. Almamater Universitas Sanata Dharma tempat mengenyam ilmu pendidikan dan mengukir kenangan yang indah.


(5)

v

MOTTO

”Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh

menghina hikmat dan didikan.” (Amsal 1 : 7)

“Doa adalah kunci pembuka hari dan sekrup penutup malam.” (Mahatma Gandhi)

“Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis dan pada kematianmu semua orang

menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum.” (Mahatma Gandhi)


(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 7 Maret 2017 Peneliti


(7)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Rosita Cahayani Sabatiana

Nomor Mahasiswa : 131134102

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“SURVEI PENYELENGGARAAN SEKOLAH DASAR INKLUSI DI

WILAYAH KABUPATEN KULON PROGO”

Dengan demikian saya memberitahukan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikan ke dalam internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa meminta ijin dari saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 7 Maret 2017 Yang menyatakan


(8)

viii

ABSTRAK

SURVEI PENYELENGGARAAN SEKOLAH DASAR INKLUSI DI WILAYAH KABUPATEN KULON PROGO

Rosita Cahayani Sabatiana Universitas Sanata Dharma

2017

Sekolah dasar inklusi adalah sekolah dasar reguler yang menampung atau menerima anak tidak berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus menjadi siswanya. Peserta didik dengan beragam latar belakang belajar bersama dalam satu ruang kelas, mendapat layanan pendidikan yang layak dan memadai bagi perkembangan potensi setiap anak didik. Penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo merupakan wujud pelaksanaan kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat terutama anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah pedesaan, sehingga tidak harus bersekolah di sekolah luar biasa yang keberadaannya jauh di kota kabupaten.

Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo menetapkan 26 sekolah dasar inklusi yang tersebar di 12 kecamatan. Sekolah dasar reguler yang menyelenggarakan pendidikan inklusi harus menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusi yang meliputi penerimaan peserta didik baru, identifikasi anak, adaptasi kurikulum, merancang bahan ajar dan pembelajaran yang ramah, assesmen, pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, dan evaluasi pembelajaran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo sudah menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantatif non eksperimental dengan metode survey cross sectional. Data diperoleh dengan cara mengirim angket kepada 66 guru di 11 sekolah dasar inklusi. Guru yang bersedia mengisi angket dan mengirim kembali ada 65 orang. Hasil olah data menunjukkan bahwa 63,63% sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo sudah menerapkan prinsip-prinsip sekolah inklusi.


(9)

ix ABSTRACT

THE OPERATION OF INCLUSION ELEMNTARY SCHOOL IN KULON PROGO REGENCY

Rosita Cahayani Sabatiana Sanata Dharma University

2017

Inclusion elementary school is a regular elementary school which accommodate or accept both students with special needs and regular or normal students with various background learn together in a class, get education services properly edequately for every potential management. In Kulon Progo regency, this program is the government’s policy implementation to fulfill the needs of the community specially children in special needs who live in a village, so as they do not have to go far from their regency to attend the school.

The education board of Kulon Progo regency set 26 inclusion elementary school which distributed in 12 districts. The regular elementary school which conducted the inclusion education must apply the principle of inclusion education with covered the acceptance of new students, curriculum adaptation, friendly material and learning design, adaptable usage of learning media, and learning evaluation.

This research aimed to recognize how far the inclusion elementary school in Kulon Progo regency had applied the inclusion education principle. The research method that had been used in this research was Non-Experimental Quantitative Approach, with Sectional Cross Survey Method. The data were obtained by sending questionnaire to 66 teachers in 11 inclusion elementary schools. The teacher who were willing to fill the questionnaire were 65 person. From the data, there were 63,63% of inclusion elementary school in Kulon Progo regency had applied 8 principles of inclusion education.


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan dengan baik skripsi yang berjudul “Survei Penyelenggaraan Sekolah Dasar Inklusi di

Wilayah Kabupaten Kulon Progo”. Skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk kelulusan dalam memperoleh gelar sarjana. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Karena itu, dengan segenap hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Apri Damai Sagita Krissandi, S.S., M.Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S.Psi., M.Psi. selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dalam pengerjaan skripsi ini hingga selesai.

5. Ibu Laurensia Aptik Evanjeli, S.Psi., M.A. selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dalam pengerjaan skripsi ini hingga selesai.


(11)

xi

6. Kepala Sekolah Dasar Inklusi se-Kabupaten Kulon Progo yang telah mengijinkan penulis untuk mengadakan penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.

7. Guru Sekolah Dasar Inklusi se-Kabupaten Kulon Progo yang sudah membantu dan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

8. Kedua orang tuaku, Bapak Subiyanto dan Ibu Sri Yani yang selalu memberiku doa, semangat, bantuan dan kasih sayang sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

9. Kedua kakakku, Apri Wulandari dan Bambang Handono yang selalu memberiku doa, semangat, dan bantuan dalam mengerjakan skripsi. Serta keponakanku Deo Christian Prihandono yang selalu memberiku keceriaan. 10.Teman-teman payung yang banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Semoga skripsi ini berguna bagi pembaca sekaligus menjadi sumber belajar bagi peneliti lain yang memiliki tujuan memperkembangkan pendidikan inklusi.


(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 5

C. TUJUAN PENELITIAN ... 5

D. MANFAAT PENELITIAN ... 6

E. DEFINISI OPERASIONAL ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

A. KAJIAN TEORI ... 8

1. Pendidikan Inklusi ... 8

a. Pengertian Pendidikan Inklusi ... 8

b. Tujuan Pendidikan Inklusi ... 9

c. Karakteristik Pendidikan Inklusi ... 11

d. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi ... 12

2. Sekolah Dasar Inklusi ... 13

3. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi ... 17

a. Penerimaan Peserta Didik Baru yang Mengakomodasi Semua Anak ... 17

b. Identifikasi ... 19

c. Adaptasi Kurikulum ... 21

d. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran Yang Ramah Anak ... 23

e. Penataan Kelas Ramah Anak ... 24

f. Asesmen ... 26

g. Pengadaan dan Pemanfaatan Media Pembelajaran Adaptif ... 28

h. Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran ... 28


(13)

xiii

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ... 29

b. Jenis-Jenis Anak Berkebutuhan Khusus ... 30

B. PENELITIAN YANG RELEVAN ... 33

C. KERANGKA BERPIKIR ... 37

D. HIPOTESIS ... 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. JENIS PENELITIAN ... 40

B. SETTING PENELITIAN ... 41

1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

2. Subjek Penelitian ... 42

3. Objek Penelitian ... 42

C. POPULASI DAN SAMPEL ... 43

1. Populasi ... 43

2. Sampel ... 43

D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA ... 44

E. INSTRUMEN PENELITIAN ... 44

F. TEKNIK PENGUJIAN INSTRUMEN ... 47

1. Uji Validitas Instrumen ... 48

2. Uji Reliabilitas Instrumen ... 54

G. TEKNIK ANALISIS DATA ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

A. DESKRIPSI PENELITIAN ... 59

B. TINGKAT PENGEMBALIAN KUESIONER ... 60

C. HASIL PENELITIAN ... 60

D. PEMBAHASAN ... 93

1. Kesesuaian Penyelenggaraan Sekolah Dasar Inklusi di Wilayah Kabupaten Kulon Progo ... 93

2. Proses Penyelenggaraan Sekolah Dasar Inklusi di Wilayah Kabupaten Kulon Progo ... 98

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN ... 109

A. KESIMPULAN ... 109

B. KETERBATASAN PENELITIAN ... 112

C. SARAN ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 113

LAMPIRAN ... 115


(14)

xiv

DAFTAR BAGAN


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Kulon Progo ... 15 Tabel 2.2 Gejala-gejala yang dapat diamati dalam identifikasi ... 20 Tabel 3.1 Kisi-Kisi Kuesioner Terbuka tentang Penyelenggaraan

Sekolah Dasar Inklusi di Wilayah Kabupaten Kulon Progo ... 45 Tabel 3.2 Skala Likert ... 49 Tabel 3.3 Contoh Coding Data ... 56 Tabel 4.1 Hasil Pengumpulan Data Penyelenggaraan Sekolah Dasar

Inklusi di Kabupaten Kulon Progo ... 61 Tabel 4.2 Prinsip-prinsip Sekolah Inklusi yang Terlaksana


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Permohonan Izin Penelitian dari Sekretariat Daerah ... 1

Lampiran 2 Permohonan Izin Penelitian dari Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu ... 2

Lampiran 3 Validasi Dosen A ... 3

Lampiran 4 Validasi Dosen B ... 18

Lampiran 5 Kuesioner ... 34


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan zaman yang semakin lama semakin meningkat. Oleh karena itu, kebutuhan akan pendidikan dapat disebut sebagai hak dasar yang harus diberikan kepada semua anak Indonesia, tidak terkecuali bagi anak berkebutuhan khusus. Ilahi (2013: 17) menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan layanan pendidikan, tidak terkecuali warga negara yang memiliki kesulitan belajar, seperti kesulitan membaca (disleksia), kesulitan menulis (disgrafia), dan kesulitan menghitung (diskalkulia) maupun penyandang ketunaan, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras. Undang-undang tersebut menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak pada umumnya dalam pendidikan.

Pada umumnya, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB jarang didirikan di daerah pedesaan atau daerah-daerah terpencil, tetapi didirikan di ibukota kabupaten (Ilahi, 2013 : 19). Padahal keberadaan anak berkebutuhan khusus dapat saja ada di daerah pedesaan atau daerah-daerah terpencil, jadi tidak selalu ada di ibukota kabupaten. Pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan untuk mempermudah anak berkebutuhan khusus


(18)

2

dalam memperoleh pendidikan yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Pada pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan inklusi didefinisikan sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan inklusi pada hakekatnya adalah sebuah filosofi pendidikan yang menghargai keberagaman, menghormati bahwa semua orang merupakan bagian yang berharga dari masyarakat dengan tanpa memandang perbedaan (Rosilawati, 2013: 9).

Melalui pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak reguler lainnya untuk mengoptimalkan segenap potensi dan keterampilan mereka dengan penuh kesungguhan (Ilahi, 2013: 27). Sekolah reguler yang sudah ditunjuk sebagai sekolah inklusi oleh pemerintah, harus mau dan mampu menerima anak berkebutuhan khusus dan anak tidak berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah tersebut. Sekolah dikatakan mampu karena bukan sekedar menerima peserta didik, namun juga dapat memfasilitasi serta memberikan kegiatan dan materi pelajaran yang tepat bagi anak berkebutuhan khusus tersebut.

Pendidikan khusus dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar dengan anak sebayanya di


(19)

sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Namun, penerimaan anak didik berkebutuhan khusus juga harus melihat kesiapan dari sekolah, terutama guru (Tiarni, 2013: 4). Guru-guru sekolah inklusi harus mempersiapkan diri dengan keberagaman karakteristik anak didiknya. Guru harus mampu mempersiapkan metode dan kegiatan pembelajaran yang cocok untuk menggali dan memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing anak didiknya yang beragam. Selain itu, kurikulum yang digunakan untuk mengajar anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak tidak berkebutuhan khusus sehingga guru harus mampu melakukan pengamatan dengan benar sehingga kurikulum yang diterapkan pada anak berkebutuhan khusus tepat. Jika memang guru tidak memiliki kompetensi untuk menerima anak berkebutuhan khusus dengan kasus berat, guru bisa saja hanya menerima anak berkebutuhan khusus dengan kasus yang ringan (Tiarni, 2013: 4).

Konsep pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang merepresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara (Ilahi, 2013: 23). Melalui pernyataan tersebut, sekolah yang sudah ditunjuk pemerintah sebagai sekolah inklusi harus mampu menerima seluruh anak, baik anak yang tidak berkebutuhan khusus maupun anak berkebutuhan khusus. Selain kesiapan guru-guru, sekolah inklusi juga harus menyediakan fasilitas yang memadai untuk seluruh anak didiknya, terutama anak berkebutuhan khusus. Fasilitas tersebut harus disesuaikan dengan kondisi anak didik. Misalnya, anak didik yang membutuhkan kursi roda untuk mobilisasi


(20)

disediakan jalan khusus yang bukan berupa tangga. Anak didik yang menyandang tunarungu harus mendapatkan pencahayaan yang cukup dalam proses pembelajaran agar dapat melihat gerak bibir dengan jelas, dan sebagainya. Selain kesiapan guru-guru dan fasilitas sekolah yang memadai, sekolah inklusi harus menerapkan prinsip-prinsip sekolah inklusi dalam penyelenggaraannya. Sekolah inklusi mempunyai prinsip-prinsip yang harus dipenuhi agar layak disebut sebagai sekolah inklusi, bukan sekedar menerima anak berkubutuhan khusus. Prinsip-prinsip tersebut disebut dengan Prinsip-prinsip-Prinsip-prinsip inklusi. Prinsip-Prinsip-prinsip inklusi memegang peranan penting untuk mengatur sekolah inklusi mulai dari manajemennya hingga pelaksanaan sekolah inklusi tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Tri Wahyu Setyaningsih (2016) mengenai evaluasi belajar yang digunakan oleh guru di sekolah dasar inklusi se-kota Yogyakarta. Evaluasi belajar hanya merupakan salah satu dari 8 prinsip penyelenggaraan sekolah inklusi. Dengan demikian, belum semua prinsip pendidikan inklusi terungkap penerapannya di sekolah dasar inklusi. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengungkap penerapan seluruh prinsip pendidikan inklusi di sekolah dasar.

Di wilayah Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta ada 26 sekolah dasar inklusi. Jumlah sekolah tersebut sudah cukup memadai untuk menyediakan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dalam satu kabupaten. Penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo belum diketahui apakah sudah menerapkan prinsip-prinsip inklusi atau belum. Peneliti ingin mengetahui penerapan prinsip-prinsip inklusi pada sekolah


(21)

dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo tersebut. Penelitian ini mengangkat judul Survei Penyelenggaraan Sekolah Dasar Inklusi di Wilayah Kabupaten Kulon Progo.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis menentukan rumusan masalah yang akan diteliti. Rumusan masalah tersebut adalah seperti berikut :

1. Seberapa besar sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo yang sesuai dengan prinsip sekolah inklusi?

2. Bagaimana penerapan setiap prinsip sekolah inklusi yang diselenggarakan oleh sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah, peneliti menentukan 2 tujuan penelitian. Tujuan penelitian tersebut adalah:

1. Mengetahui seberapa besar sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo yang sesuai dengan prinsip sekolah inklusi.

2. Mendeskripsikan penerapan setiap prinsip sekolah inklusi yang diselenggarakan oleh sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo.


(22)

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kajian prinsip dengan penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo tentang penyelenggaraan sekolah dasar inklusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip sekolah inklusi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Sekolah Dasar Inklusi

Sekolah mendapatkan data tentang penyelenggaraan sekolah dasar inklusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip sekolah inklusi.

b. Bagi Guru

Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi guru apakah penyelenggaraan sekolah inklusi berdasarkan prinsip-prinsip sekolah inklusi sudah praktis/aplikatif.

c. Bagi Peneliti

Peneliti dapat mendeskripsikan penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo sesuai dengan prinsip-prinsip sekolah inklusi dengan menggunakan penelitian kuantitatif.


(23)

E. DEFINISI OPERASIONAL

1. Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang diberikan kepada semua anak tanpa memandang latar belakang anak tersebut, baik anak tidak berkebutuhan khusus maupun anak berkebutuhan khusus dan mereka belajar dalam satu kelas reguler.

2. Sekolah Dasar Inklusi

Sekolah dasar inklusi adalah sekolah dasar reguler yang menampung atau menerima anak tidak berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas serta menyediakan suatu layanan pendidikan yang layak dan memadai bagi perkembangan potensi setiap anak didik.

3. Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya yang memerlukan bantuan khusus dalam belajar.


(24)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KAJIAN TEORI

1. Pendidikan Inklusi

Berikut ini akan dijelaskan kajian teori tentang pengertian pendidikan inklusi, tujuan pendidikan inklusi, karakteristik pendidikan inklusi, dan prinsip dasar pendidikan inklusi.

a. Pengertian Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberikan layanan kepada setiap anak tanpa terkecuali (Rosilawati, 2013: 9). Sedangkan menurut Ilahi (2013: 23), pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak karena keterbatasan fisik maupun mental. Pendidikan Inklusi memandang setiap anak merupakan manusia yang sederajat meskipun beragam. Oleh karena itu, semua anak memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan, baik anak yang tidak berkebutuhan khusus maupun anak berkebutuhan khusus. Dalam pendidikan inklusi, anak tidak berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus menerima pelajaran dalam satu kelas, namun cara pengajaran serta tingkat materi yang diberikan berbeda. Menurut Staub dan Peck (dalam Tarmansyah, 2007: 83), pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas.


(25)

Memasuki tahun 1990an, dunia mulai menerapkan “sistem pendidikan inklusi”, sebuah sistem pendidikan yang menganggap setiap peserta didik adalah individu yang unik dan memberikan kepada setiap peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah terdekat dengan rumah tempat tinggal mereka (Rosilawati, 2013: 8). Sekolah reguler terdekat yang dipercaya sebagai sekolah dengan pendidikan inklusi bukan hanya sekedar mau menerima semua anak, terlebih anak berkebutuhan khusus. Sekolah tersebut harus mampu memberikan pengajaran dan fasilitas yang memadai untuk anak didiknya, terutama untuk anak berkebutuhan khusus.

Dari beberapa pengertian menurut para ahli di atas, pendidikan inklusi diartikan sebagai pendidikan yang diberikan kepada semua anak tanpa memandang latar belakang anak tersebut, baik anak tidak berkebutuhan khusus maupun anak berkebutuhan khusus yang belajar dalam satu kelas reguler.

b. Tujuan Pendidikan Inklusi

Ilahi (2013: 38) menjelaskan pendidikan inklusi ditujukan kepada semua kelompok yang terpinggirkan, tetapi kebijakan dan praktik inklusi anak berkebutuhan khusus telah menjadi perekat utama untuk mengembangkan pendidikan inklusi yang efektif, fleksibel, dan tanggap terhadap keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar. Sesungguhnya pendidikan inklusi bukan hanya ditujukan kepada anak yang tidak berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus tetapi kepada seluruh anak yang memiliki latar belakang yang berbeda, misalnya anak dengan perbedaan sosial kultural, anak yang memiliki perbedaaan


(26)

sosio-emosional, anak yang memiliki kelainan fungsi anggota tubuh, anak yang memiliki kelainan fungsi mental dan intelektual, dan sebagainya. Meskipun pendidikan inklusi ditujukan kepada seluruh anak yang memiliki latar belakang yang berbeda, namun pendidikan untuk anak tidak berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus menjadi perekat dalam praktik pendidikan inklusi.

Tiarni (2013: 4) menjelaskan pendidikan inklusi dimaksudkan sebagai sistem layanaan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Pendidikan inklusi bertujuan untuk melayani anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah layaknya anak-anak lain di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Anak berkebutuhan khusus tidak perlu bersekolah ke SLB yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya karena sebagian besar SLB berada di ibu kota kabupaten, sedangkan keberadaan anak kebutuhan khusus menyebar di seluruh daerah.

Pendidikan inklusi menempatkan semua anak, khususnya anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak-anak lain di dalam satu kelas. Sembodo (2008: 7) memaparkan, beberapa manfaat penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi anak-anak istimewa yang belajar bersama-sama dengan anak-anak lain diantaranya adalah:

1) Meningkatkan interaksi sosial.

2) Lebih banyak tingkah laku normal yang dapat dicontoh oleh mereka. 3) Meningkatkan perkembangan bahasa.


(27)

5) Perkembangan dan nilai guna pendidikan bergantung pada program dan intervensi yang dijalankan oleh guru.

Selanjutnya Rosilawati (2013: 10) juga menjelaskan manfaat dan sisi positif lain yang diperoleh dari adanya pendidikan inklusi diantaranya :

1) Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi tentang semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.

2) Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.

3) Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.

c. Karakteristik Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi pada hakikatnya bertujuan untuk berupaya memberikan peluang sebesar-besarnya kepada seluruh anak Indonesia untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang terbaik dan memadai demi kemajuan masa depan bangsa. Hal ini sesuai dengan yang tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 (dalam Ilahi, 2013: 42) yang menyatakan bahwa

“sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua

peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”.


(28)

Karakteristik pendidikan inklusi menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (dalam Ilahi, 2013: 44) memiliki empat karakteristik makna, antara lain : 1) Proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon

keragaman individu.

2) Mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar.

3) Anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi, dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya.

4) Diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

Menurut pernyataan-pernyataan yang sudah disampaikan di atas, karakteristik pendidikan inklusi merupakan upaya layanan pendidikan untuk seluruh anak Indonesia, terutama untuk anak-anak yang tergolong terpinggirkan, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar. Proses pendidikan tersebut dilakukan secara terus menerus untuk menemukan cara-cara merespon keragaman individu. Hambatan-hambatan yang dihadapi anak dalam belajar harus mendapat kepedulian untuk diruntuhkan.

d. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi

Prinsip dasar pendidikan inklusi sebagai sebuah paradigma pendidikan menekankan pada keterbukaan dan penghargaan terhadap anak berkebutuhan khusus (Ilahi 2013: 48). Pendidikan inklusi merupakan suatu pendidikan yang sangat menghargai pada keberagaman anak didik. Pendidikan inklusi menjamin


(29)

akses dan kualitas yang terintegrasi tanpa terkecuali, hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama-sama dengan anak tidak berkebutuhan khusus dalam satu kelas. Dokumen internasional sesuai pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi pada Pendidikan Kebutuhan Khusus (dalam Ilahi, 2013: 49) prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus adalah semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah tanpa memandang perbedaan latar belakang kehidupannya.

Florian (dalam Ilahi, 2013: 50) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi lahir atas dasar prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya diperuntukkan bagi semua siswa tanpa menghiraukan perbedaan yang ada, baik siswa dengan kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, perbedaan emosional, perbedaan kultural, maupun perbedaan bahasa. Pendidikan inklusi pada prinsipnya tidak hanya untuk anak tidak berkebutuhan saja tetapi untuk seluruh anak, misalnya anak berkebutuhan khusus, anak yang memiliki perbedaan sosial, anak yang memiliki perbedaan emosional, anak yang memiliki perbedaan kultural, dan sebagainya. Jadi, prinsip pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberikan peluang yang sama untuk setiap anak dalam mendapatkan layanan pendidikan yang memadai dan berkualitas.

2. Sekolah Dasar Inklusi

Sekolah dasar adalah jenjang pertama dari lembaga pendidikan formal di Indonesia. Lama pendidikan di sekolah dasar adalah 6 tahun, terdiri dari 6 kelas/tingkat. Ilahi (2013: 87) menjelaskan bahwa sekolah dasar inklusi adalah


(30)

sekolah dasar reguler yang menampung atau menerima anak tidak berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas serta menyediakan suatu layanan pendidikan yang layak dan memadai bagi perkembangan potensi setiap anak didik. Pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan (dalam Ilahi 2013: 83) menjelaskan bahwa sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusi dan mencapai pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan. Ilahi (2013: 87) menjelaskan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengakomodasikan dan mengintegrasikan anak tidak berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus dalam program yang sama.

Rosilawati (2013: 18) memaparkan bahwa sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar siswa-siswanya berhasil. Sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Sekolah inklusi merupakan tempat bagi setiap anak untuk dapat diterima menjadi bagian dari kelas, dapat mengakomodir dan merespon keberagaman melalui kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak dan bermitra dengan masyarakat. Kurikulum yang


(31)

digunakan dalam kelas inklusi berbeda-beda satu anak dengan anak lainnya, menyesuaikan kebutuhan anak.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa sekolah dasar inklusi adalah sekolah dasar reguler dengan pendidikan inklusi yang memberikan layanan pendidikan dan menerima semua anak tanpa memandang latar belakang setiap anak, baik anak yang tidak berkebutuhan khusus maupun anak berkebutuhan khusus.

Di Kabupaten Kulon Progo terdapat 26 sekolah dasar inklusi, selengkapnya seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Kulon Progo

No. Sekolah Dasar Inklusi Kecamatan

1. SD Negeri Gadingan Wates

2. SD Negeri 1 Glagah Temon

3. SD Negeri Bugel Panjatan

4. SD Negeri Butuh Lendah

5. SD Negeri Ngentakrejo Lendah

6. SD Negeri Kalimenur Sentolo

7. SD Negeri Kalikutuk Sentolo

8. SD Negeri Jlaban Sentolo

9. SD Negeri Srikayangan Sentolo

10. SD Negeri Pergiwatu Sentolo

11. SD Negeri Kaliagung Sentolo

12. SD Negeri Ngento Pengasih

13. SD Negeri 1 Ngulakan Pengasih


(32)

15. SD Negeri Gunungdani Pengasih

16. SD Negeri Margosari Pengasih

17. SD Negeri Serang Pengasih

18. SD Negeri Kokap Kokap

19. SD Negeri Tanjungharjo Nanggulan

20. SD Negeri 1 Giripurwo Girimulyo

21. SD Negeri 2 Giripurwo Girimulyo

22. SD Negeri Mejing Kalibawang

23. SD Negeri 1 Samigaluh Samigaluh

24. SD Negeri 2 Sungapan Galur

25. SD Negeri Brosot Galur

26. SD Negeri 3 Brosot Galur

Pada tabel 2.1 dapat diketahui bahwa, di Kecamatan Wates terdapat 1 SD inklusi yaitu SD Negeri Gadingan. Di Kecamatan Temon ada 1 SD inklusi yaitu SD Negeri 1 Glagah. Di Kecamatan Panjatan ada SD inklusi yaitu SD Negeri Bugel. Di Kecamatan Lendah ada 2 SD inklusi yaitu SD Negeri Butuh dan SD Negeri Ngentakrejo. Di Kecamatan Sentolo ada 6 SD inklusi yaitu SD Negeri Kalimenur, SD Negeri Kalikutuk, SD Negeri Jlaban, SD Negeri Srikayangan, SD Negeri Pergiwatu, dan SD Negeri Kaliagung. Di Kecamatan Pengasih ada 6 SD inklusi yaitu SD Negeri Ngento, SD Negeri 1 Ngulakan, SD Negeri Widoro, SD Negeri Gunungdani, SD Negeri Margosari, dan SD Negeri Serang. Di Kecamatan Kokap ada 1 SD inklusi yaitu SD Negeri Kokap. Di Kecamatan Nanggulan ada 1 SD inklusif yaitu SD Negeri Tanjungharjo. Di Kecamatan Girimulyo ada 2 SD inklusi yaitu SD Negeri 1 Giripurwo dan SD Negeri 2 Giripurwo. Di Kecamatan


(33)

Kalibawang ada 1 SD inklusi yaitu SD Negeri Mejing. Di kecamatan Samigaluh ada 1 SD inklusi yaitu SD Negeri 1 Samigaluh. Sedangkan di Kecamatan Galur ada 3 SD inklusi yaitu SD Negeri 2 Sungapan, SD Negeri Brosot, dan SD Negeri 3 Brosot. Sekolah-sekolah tersebut telah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo sebagai sekolah dasar inklusi yang mampu memberikan pelayanan pendidikan bagi semua anak.

3. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

Berikut ini akan dibahas beberapa prinsip sekolah yang dapat mengakses seluruh anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Prinsip-prinsip tersebut adalah penerimaan peserta didik baru yang mengakomodasikan semua anak, identifikasi, adaptasi kurikulum (kurikulum fleksibel), merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak, penataan kelas yang ramah anak, asesmen, pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, serta penilaian dan evaluasi pembelajaran.

a. Penerimaan Peserta Didik Baru yang Mengakomodasikan Semua Anak

Tulkit RIP (dalam Kustawan 2013: 90) menjelaskan bahwa sekolah yang ramah terhadap anak merupakan sekolah di mana semua anak memiliki hak untuk belajar mengembangkan semua potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin dalam lingkungan yang nyaman dan terbuka. Sekolah menjadi “ramah” apabila mampu menciptakan ketertiban dan partisipasi semua pihak dalam pembelajaran dengan baik.


(34)

Penerimaan peserta didik baru di sekolah dasar pada setiap tahun pelajaran perlu mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah (Kustawan, 2013: 90). Sumber daya yang dimiliki sekolah antara lain: (1) sumberdaya pendidik dan tenaga kependidikan, (2) sumber daya sarana dan prasarana, dan (3) sumber daya biaya. Satuan pendidikan tersebut harus mengalokasikan kursi didik (kuota) paling sedikit 1 peserta didik yang berkebutuhan khusus dalam satu rombongan belajar yang akan diterima dan biasanya bekisar 1-3 peserta didik dalam satu kelas. Pengaturan ini dalam upaya memberikan layanan yang optimal sesuai dengan kekuatan sekolah dan dalam upaya pemerataan penyebaran peserta didik di wilayah/daerahnya masing-masing.

Dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru, sekolah membentuk panitia penerimaan peserta didik baru yang dilengkapi dengan pendidik (guru pendidik khusus dan/ atau konselor) yang sudah memahami tentang pendidikan inklusi dan keberagaman karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus. Bagi sekolah yang memiliki psikolog atau bekerjasama dengan psikolog, psikolog tersebut dapat ikut serta dalam kepanitiaan PPDB (Kustawan 2013: 91).

Kustawan (2013: 92) menjabarkan persyaratan penerimaan peserta didik baru bagi peserta didik berkebutuhan khusus perlu dituangkan pada pedoman penerimaan peserta didik baru, misalnya setiap calon peserta didik baru ketika mendaftar harus menyerahkan/melampirkan hasil pemeriksaan dokter umum/dokter spesialis untuk calon peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus. Sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusi menerima peserta didik berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki


(35)

sekolah dan mengalokasikan kursi/kuota untuk peserta didik berkebutuhan khusus.

b. Identifikasi

Identifikasi adalah upaya guru (pendidik) dan tenaga kependidikan lainnya untuk menemukan dan mengenali anak yang mengalami hambatan / kelainan / gangguan baik fisik, intelektual, mental, emosional, dan sosial dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khususnya (Kustawan 2013 : 93).

Dalam buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (Kustawan 2013 : 93), istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan asesmen dimaknai sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan / penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional) dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi.

Menurut buku Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif (dalam Kustawan 2013: 93), identifikasi dapat diartikan menemukenali. Identifikasi anak berkebutuhan khusus adalah suatu upaya menemukenali anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak berkelainan dengan gejala-gejala yang menyertainya.

Lerner (dalam Kustawan 2013: 95) menjelaskan bahwa identifikasi dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: penjaringan (sreening), pengalihtanganan


(36)

(referal), klasifikasi (classification), perencanaan pembelajaran (instructional planning), dan pemantauan kemajuan belajar (monitoring pupil progress).

Guru melaksanakan identifikasi berdasarkan gejal-gejala yang nampak atau yang dapat diamati/diobservasi seperti: gejala fisik, gejala perilaku dan gejala hasil belajar. Sasaran identifikasi bukan hanya anak yang sudah bersekolah atau anak yang mau masuk sekolah, namun juga dapat dilakukan pada anak yang belum bersekolah (di masyarakat) untuk kepentingan pendataan dan pemetaan.

Tabel 2.2 Gejala-gejala yang Dapat Diamati dalam Identifikasi

No Hambatan Gejala yang Dapat Diamati

1 Fisik 1.1. Gangguan penglihatan 1.2. Gangguan pendengaran 1.3. Gangguan bicara/wicara 1.4. Gangguan fungsi gerak 1.5. Gangguan fisik

1.6. dsb.

2 Perilaku 2.1 Emosi yang labil (emosional / temperamental) 2.2 Perilaku sosial yang tidak baik atau negatif (suka membolos, sering bertengkar, malas, dsb) 2.3 Perilaku sosial yang tidak sesuai dengan norma yang

berlaku di masyarakat.

3 Hasil Belajar 3.1 Prestasi belajar anak yang rendah 3.2 Prestasi belajar yang sesuai standar

3.3 Prestasi belajar yang tinggi (di atas standar)

Tujuan dilaksanakan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi atau data apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya.


(37)

Hasil identifikasi dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran yang disesuiakan dengan kebutuhan khususnya dan/atau untuk menyususn program dan pelaksanaan intervensi / penanganan / terapi berkaitan dengan hambatannya (Kustawan 2013: 94).

c. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)

Perencanaan pembelajaran dilakukan setelah informasi / data diperoleh. Perencanaan yang disusun harus memenuhi kebutuhan khusus yang dimiliki oleh anak dan berpusat pada anak, maka diharuskan memiliki kemampuan dan keberanian untuk melakukan penyesuaian terhadap kurikulum yang berlaku. Dengan kata lain, kurikulum yang digunakan haruslah kurikulum yang fleksibel yang dapat dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan anak, karena hambatan dan kemampuan yang dimilikinya bervariasi (Kustawan, 2013: 107).

Kurikulum umum yang diberlakukan untuk anak pada umumnya perlu diubah atau dimodifikasi untuk disesuaikan dengan kondisi anak berkebutuhan khusus merupakan prinsip pengembangan kurikulum fleksibel yang harus dijadikan acuan para guru bagi anak berkebutuhan khusus. Secara umum, ada empat komponen utama yang harus ada di dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi/materi, proses, dan evaluasi (Kustawan 2013: 108).

Penyesuaian kurikulum dengan kondisi anak berkebutuhan khusus terjadi pada komponen tujuan, materi, proses dan/atau penilaian. Penyesuaian ini tidak harus sama untuk semua materi dan tidak harus sama pada masing-masing komponen. Penyesuaian kurikulum fleksibel seyogyanya dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, guru kelas,


(38)

guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling (konselor), guru pembimbing khusus, orang tua, dan ahli (profesional) lainnya sesuai kebutuhan misalnya psikolog dan terapis (Kustawan 2013: 109).

Arifin (dalam Ilahi, 2013: 169) memaparkan bahwa proses modifikasi tujuan disesuaikan dengan beberapa prinsip sekaligus cara yang harus diperhatikan guru, terutama bagi anak yang mengalami hambatan kecerdasan. Semakin berat tingkatan hambatan intelektual anak berkebutuhan khusus, maka akan semakin ekstrim sifat modifikasi yang dilakukan. Jika semakin ringan tingkatan hambatannya, maka semakin ringan pula kadar modifikasinya. Proses modifikasi tidak harus sama untuk semua mata pelajaran dan juga tidak harus sama pada masing-masing anak berkebutuhan khusus.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus adalah kurikulum sekolah reguler (SD/MI) yang dalam hal-hal tertentu dilakukan penyesuaian dan modifikasi sesuai dengan hambatan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Penyesuaian dan modifikasi tersebut meliputi penyesuain dan modifikasi cara, media, materi, dan penilaian pembelajaran. Hal lain yang juga perlu untuk diperhatikan adalah bahwa pemberian layanan khusus atau layanan kompensantoris bagi anak berkebutuhan khusus harus sesuai dengan hambatannya, misalnya untuk anak yang memiliki hambatan penglihatan perlu diberi orientasi dan mobilitas. Anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan pendengaran perlu diberi program khusus bina persepsi bunyi dan irama. Anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan kecerdasan perlu diberi program khusus bina diri. Anak berkebutuhan khusus


(39)

yang memiliki hambatan motorik dan gerak perlu diberi bina gerak. Anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan emosi dan perilaku perlu diberi program khusus bina pribadi dan sosial.

d. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran Yang Ramah Anak

Guru yang baik akan melakukan pembelajaran yang interaktif agar perhatian anak didiknya terpusat penuh kepada guru (Kustawan 2013 : 113). Guru juga harus menggunakan metode pembelajaran yang cocok bagi anak didiknya agar anak didiknya mampu berpartisipasi di dalam pelajaran. Maka dari itu, rencana kegiatan pembelajaran yang berisi metode dan bahan ajar yang dibuat harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak didik.

Jenis materi pelajaran yang digunakan oleh para guru dapat memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan akademis siswa-siswa penyandang disabilitas (Friend 2015: 266). Pemilihan bahan ajar ini dilakukan guru melalui identifikasi dan asesmen. Anak dilibatkan dalam rangka penyusunan bahan ajar yang akan diajarkan. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) fleksibel atau ramah anak secara garis besar terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari anak berkebutuhan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhannya atau hambatannya dalam rangka mencapai standar kompetensi yang ditentukan. Jenis materi fakta adalah nama-nama obyek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, dan sebagainya. Jenis materi konsep adalah pengertian, definisi, ciri khusus, komponen atau bagian suatu obyek. Jenis materi prinsip adalah dalil, rumus, adagium, postulat, teorema, atau hubungan antar konsep yang


(40)

menggambarkan “jika...maka...”. Jenis materi prosedur adalah materi yang berkenaan dengan langkah-langkah secara sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu tugas. Materi jenis sikap adalah materi yang berkenaan dengan sikap atau nilai, misalnya nilai kasih sayang, kejujuran, tolong menolong, semangat dan minat belajar, semangat bekerja, dan sebagainya.

Kustawan (2013: 115) menjelaskan bahwa bagi anak berkebutuhan khusus tertentu, misalnya anak yang memiliki gangguan dengan penglihatan, mengenal dan memahami fakta, konsep, prinsip, dan prosedur dalam pengetahuan, diperlukan penyesuaian cara, metode, pendekatan, dan penggunaan media pembelajaran yang disesuaikan dalam mengenal atau memahami memahami fakta, konsep, prinsip, dan prosedur tersebut. Suasana belajar yang efektif dan kondusif juga sangat penting untuk anak didik dalam memahami bahan ajar yang diberikan. Guru hendaknya selalu mengkondisikan suasana belajar yang kondusif dan efektif untuk anak didiknya.

e. Penataan Kelas Ramah Anak

Evertson & Weinstein (dalam Friend 2015: 288) menjabarkan bahwa pengelolaan ruang kelas mencakup semua hal yang dilakukan oleh para guru untuk mengoptimalkan proses belajar-mengajar yang efektif, mulai dari mengatur siswa-siswa, ruang, waktu, hingga materi. Kerr & Nelson (dalam Friend 2015: 288) menekankan bahwa cara penataan unsur-unsur fisik dalam suatu ruang kelas dapat berdampak pada proses belajar dan perilaku siswa di sejumlah area. Suatu ruang kelas disusun secara cermat akan dapat mengurangi tingkat kebisingan dan gangguan, meningkatkan tingkat dan kualitas interaksi siswa, serta menambah


(41)

persentase waktu yang dihabiskan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas akademis. Penataan unsur-unsur fisik ruang kelas dapat mempengaruhi kondisi dan suasana belajar bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus dan anak yang berkebutuhan khusus. Penataan unsur fisik mencakup penampilan ruang kelas dan pemanfaatan ruang kelas, yaitu meliputi area dinding, pencahayaan, area lantai serta ruang penyimpanan (Friend, 2015 : 288).

Friend (2015: 290) menjelaskan bahwa area dinding pada ruang kelas dapat dimanfaatkan untuk memasang hiasan atau dekorasi, menempel aturan kelas, menempelkan hasil pekerjaan siswa, dan sebagainya. Pencahayaan di ruang kelas juga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Pencahayaan dari jendela, pintu, maupun langit-langit dapat mempengaruhi anak didik yang berkebutuhan khusus. Misalnya anak yang menyandang tunarungu memerlukan cahaya yang cukup agar dapat membaca gerak bibir. Anak-anak yang memiliki keterbatasan visual juga memerlukan cahaya yang cukup ketika belajar, namun anak-anak yang memiliki kesulitan belajar atau gangguan emosi akan sensitif terhadap cahaya-cahaya tertentu. Maka dari itu, penataan cahaya-cahaya sangat penting untuk diperhatikan. Penataan ruang lantai, jenis dan penempatan perabotan yang digunakan juga perlu dipertimbangkan. Misalnya lantai yang tidak memiliki anti licin akan menyulitkan anak didik yang menggunakan kursi roda untuk berpindah tempat. Perabotan-perabotan yang diletakkan tidak teratur akan menyulitkan anak didik untuk mengakses jalan menuju ke papan tulis, terlebih anak yang menyandang tunanetra. Meja yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan menyulitkan anak yang duduk di kursi roda. Satu area tambahan dalam penataan


(42)

unsur fisik adalah ruang penyimpanan. Misalnya, anak yang mempunyai keterbatasan visual akan memerlukan tempat untuk menyimpan peralatan, seperti rekaman audio, buku-buku bercetak besar, buku braille, dan alat pembesar.

Pengelolaan ruang kelas juga mencakup pembagian kelompok anak didik, jumlah anak didik dalam setiap kelompok, dan jumlah kelompok di dalam kelas. Dalam pembagian kelompok, komposisi anak didik di dalam kelompok harus diperhatikan. Misalnya anak didik pandai satu kelompok dengan anak didik yang kurang pandai, jumlah wanita dan pria seimbang, dan lain-lain Kustawan, 2013: 115).

f. Asesmen

Asesmen didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi untuk memantau kemajuan dan mengambil keputusan pendidikan ketika diperlukan (Friend, 2012: 209). Beberapa upaya pengumpulan informasi yang paling umum adalah melalui tes terstandar yang telah diproduksi secara komersial, ujian pertanggungjawaban negara bagian dengan taruhan tinggi, dan berbagai tes informal yang diciptakan oleh guru yang bersangkutan. Para guru pendidikan umum berkontribusi dalam proses asesmen informasi pada enam ranah penting pengambilan keputusan berikut, yaitu screening, diagnosis, penempatan program, penempatan kurikulum, evaluasi pengajaran, dan evaluasi program.

1. Screening

Menurut (Friend (2015: 210) menjelaskan screening meliputi keputusan untuk menentukan proses kemajuan seorang peserta didik dianggap cukup berbeda dengan teman-teman sekelasnya sehingga patut untuk menerima


(43)

perubahan pengajaran, atau pada akhirnya asesmen yang lebih mendalam untuk menetapkan adanya kondisi disabilitas. Tiarni (2013: 22) menekankan bahwa screening dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan identifikasi anak berkebutuhan khusus

2. Diagnosis

Keputusan besar yang terkait dengan diagnosis menyangkut kelayakan atas layanan pendidikan khusus, pertimbangan berdasarkan ketentuan hukum bahwa peserta didik dianggap layak untuk dianggap menyandang disabilitas atau tidak (Friend 2015: 221).

3. Penempatan program

Friend (2015: 215) memaparkan bagian utama dari keputusan penempatan program berkenaan dengan ranah yang menjadi tempat berlangsungnya layanan pendidikan khusus yang diterima peserta didik, misalnya saja di ruang kelas pendidikan umum, ruang sumber, atau ruang kelas pendidikan khusus yang terpisah.

4. Penempatan kurikulum

Friend (2015: 216) menjabarkan penempatan kurikulum meliputi keputusan mengenai level mana yang akan dipilih untuk memulai pengajaran peserta didik. Informasi mengenai penempatan kurikulum tentu juga dapat dijadikan sebagai patokan pengukuran bagi para guru untuk mengetahui sejauh apa peserta didik penyandang disabilitas mengakses kurikulum pendidikan umum.


(44)

Friend (2015: 216) menjelaskan keputusan dalam evaluasi pengajaran meliputi keputusan untuk melanjutkan atau mengubah prosedur pengajaran yang telah diterapkan pada peserta didik.

6. Evaluasi program

Friend (2015: 217) menjelaskan keputusan evaluasi program meliputi keputusan untuk menghentikan, melanjutkan, atau memodifikasi program pendidikan khusus seorang siswa.

g. Pengadaan dan Pemanfaatan Media Pembelajaran Adaptif

Kustawan (2013: 117) mendeskripsikan media pembelajaran adaptif bagi anak berkebutuhan khusus hakekatnya adalah media yang dirancang, dibuat, dipilih dan digunakan dalam pembelajaran sehingga dapat bermanfaat atau berguna dan cocok dalam kegiatan pembelajaran. Pemilihan media pembelajaran disesuaikan dengantujuan, kebutuhan, materi, kemampuan, dan karakteristik anak akan sangat menunjang efisiensi dan efektivitas proses dan hasil pembelajaran.

h. Penilaian dan evaluasi pembelajaran

Kustawan (2013: 124) memaparkan evaluasi merupakan proses yang penting dalam bidang pengambilan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan dan menganalisis informasi tersebut agar diperoleh data yang tepat yang akan digunakan pengambilan keputusan dalam memilih di antara beberapa alternatif. Adapun karakteristik evaluasi adalah: (1) mengidentifikasi aspek-aspek yang akan dievaluasi, (2) memfasilitasi pertimbangan-pertimbangan, (3) menyediakan informasi yang berguna, (4) melaporkan penyimpangan / kelemahan untuk memperoleh remediasi dari yang dapat diukur saat itu juga.


(45)

4. Anak Berkebutuhan Khusus

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Tiarni (2013 : 3) menjelaskan bahwa dalam profil pendidikan inklusi di Indonesia yang dikeluarkan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa tahun 2010, yang disebut sebagai anak berkebutuhan khusus adalah:

1. Anak yang karena internalnya mengalami kecacatan/kelainan (disability) membutuhkan layanan pendidikan khusus, seperti: tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras, berkesulitan belajar, autis, memiliki gangguan motorik, anak berbakat dan berkecerdasan istimewa, tuna ganda, memiliki kelainan lainnya.

2. Anak yang karena kondisi eksternalnya mengalami hambatan dalam belajar sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus seperti anak-anak dalam faktor gender, suku asli, pekerja anak, anak yang terinfeksi HIV/AIDS, anak pekerja migran, anak korban bencana alam, rural (termasuk juga rural exodus), anak di daerah terpencil atau pulau terpencil, anak suku minoritas, anak jalanan, anak yang tersangkut kasus hukum, dan lain-lain.

Mulyono (dalam Ilahi, 2013: 137) menjabarkan bahwa anak berkebutuhan khusus dapat dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat atau yang menyandang ketunaan, dan juga anak potensial dan berbakat. Sunanto (dalam Ilahi, 2013: 137) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus bukan berarti hendak menggantikan anak penyandang cacat atau anak luar biasa, melainkan memiliki pandangan yang lebih luas dan positif bagi anak dengan keberagaman yang berbeda. Anak berkebutuhan khusus bukan hanya anak yang memiliki


(46)

keterbatasan fisik maupun keterbatasan fungsi anggota tubuh, melainkan setiap anak yang memiliki potensi dan bakat yang memiliki hambatan dalam belajar dan memerlukan bantuan secara khusus.

Heward (dalam Rosilawati 2013: 1) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya secara serius dan menetap. Ilahi (2013: 139) memaparkan bahwa konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen). Kebutuhan permanen adalah kebutuhan yang menetap dan tidak mungkin hilang, sedangkan kebutuhan temporer adalah adalah kebutuhan yang sifatnya sementara. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda pada anak pada umumnya yang memerlukan bantuan khusus dalam belajar. Anak berkebutuhan khusus digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang disebabkan pengaruh internal (permanen) dan anak berkebutuhan khusus yang disebabkan oleh faktor eksternal (temporer).

b. Jenis-Jenis Anak Berkebutuhan Khusus

Ilahi (2013: 139) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, misalnya anak yang mengalami kejadian pemaksaan secara terus menerus sehingga memungkinkan anak tidak dapat belajar dengan tenang. Sementara Hurlock


(47)

(dalam Ilahi 2013: 140) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen) adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan perkembangan karena kecacatan atau bawaan sejak lahir, misalnya tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita, lamban belajar, dan kelainan lainnya.

Tiarni (2013: 24) menjelaskan bahwa dalam panduan penganganan anak berkebutuhan khusus bagi pendamping orang tua, keluarga, dan masyarakat, membagi menjadi 12 macam, antara lain:

1. Anak disabilitas penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan berupa kebutaan menyeluruh (total) atau sebagian (lowvision). 2. Anak disabilitas pendengaran adalah anak yang mengalami gangguan

pendengaran, baik sebagian maupun menyeluruh, dan biasanya memiliki hambatan dalam berbahasa dan bicara.

3. Anak disabilitas intelektual adalah anak yang memiliki inteligensi yang signifikan berada dibawah rata-rata anak seusianya dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku, yang muncul dalam masa perkembangan.

4. Anak disabilitas fisik adalah anak yang mengalami gangguan gerak akibat kelumpuhan, tidak lengkap anggota badan, kelainan bentuk, dan fungsi tubuh atau anggota gerak.

5. Anak disabilitas sosial adalah anak yang memiliki masalah atau hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial, serta berperilaku menyimpang.


(48)

6. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD) adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan, yang ditandai dengan sekumpulan masalah berupa gangguan pengendalian diri, masalah rentang atensi atau perhatian, hiperativitas, dan impulsivitas, yang menyebabkan kesulitan berperilaku, berpikir, dan mengendalikan emosi.

7. Anak dengan gangguan spektrum autisma atau autism spectrum disorders (ASD) adalah anak yang mengalami gangguan dalam tiga area dengan tingkatan berbeda-beda, yaitu kemampuan komunikasi dan interaksi sosial, serta pola-pola perilaku yang repititif dan stereotipi.

8. Anak dengan gangguan ganda adalah anak yang memiliki dua atau lebih gangguan sehingga diperlukan pendampingan, layanan, pendidikan khusus, dan alat bantu pelajar yang khusus.

9. Anak lambat belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit dibawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan mental. Mereka butuh waktu lamadan berulang-ulang dan untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik.

10.Anak dengan kesulitan belajar khusus atau specific learning disabilities adalah anak yang mengalami hambatan atau penyimpangan pada satu atau lebih proses psikologis dasar berupa ketidakmampuan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan berhitung.

11.Anak dengan gangguan kemampuan komunikasi adalah anak yang mengalami penyimpangan dalam bidang perkembangan bahasa wicara, suara,


(49)

irama, dan kelancaran dari usia rata-rata yang disebabkan oleh faktor fisik, psikologis dan lingkungan, baik reseptif maupun ekspresif.

12.Anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah anak yang memiliki skor inteligensi yang tinggi (gifted), atau mereka yang unggul dalam bidang-bidang khusus (talented) seperti musik seni, olah raga, dan kepemimpinan.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang pertama dilakukan oleh Dewi Asiyah pada tahun 2015. Judul penelitiannya adalah Dampak Pola Pembelajaran Sekolah Inklusi Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Pada penelitian yang ditulis oleh peneliti mengatakan bahwa metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data seperti observasi, dokumentasi, dan angket. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk membuktikan bagaimana dampak dari pola pembelajaran yang diterapkan di sekolah Inklusi Sada Ibu Cirebon terhadap anak berkebutuhan khusus, untuk menjelaskan bagaimana pola pembelajaran di Sekolah Dasar Sada Ibu serta menggambarkan respon peserta didik dan orang tua terhadap pola pembelajaran yang diterapkan di Sekolah Dasar Sada Ibu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perkembangan anak berkebutuhan khusus dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang baik dilihat dari segi akademik, maupun sosial kognitif, afektif, dan psikomotorik yang tertera dalam program pembelajaran individual (PPI) masing-masing siswa.


(50)

Penelitian yang kedua dilakukan oleh Ery Wati pada tahun 2014. Judul penelitiannya adalah Manajemen Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 32 Kota Banda Aceh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data meliputi: observasi, wawancara, dan dokumentasi. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui program pendidikan inklusi, implementasi manajemen pendidikan inklusi dan kendala yang dihadapi dalam implementasi manajemen pendidikan inklusi di SD Negeri 32 Kota Banda Aceh. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (1) Program kepala sekolah dalam melaksanakan pendidikan inklusi diimplementasikan dalam pemberian pelatihan kepada guru-guru, penerimaan peserta didik anak berkebutuhan khusus, memodifikasi kurikulum serta mengupayakan sarana dan prasarana sekolah sesuai dengan kebutuhan peserta didik; (2) Implementasi dari manajemen pendidikan inklusi dapat dilihat dari jumlah siswa berkebutuhan khusus pada tahun ajaran 2009/2010 berjumlah 19 orang, mempunya 1 (satu) tenaga guru pendamping khusus, serta kurikulum yang sudah dimodifikasi menurut kebutuhan peserta didik; (3) Kendala dari program pendidikan inklusi adalah pembiayaan pendidikan, sarana dan prasarana belum memadai serta kurangnya tenaga guru pendamping khusus.

Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Prastiyono pada tahun 2013. Judul penelitiannya adalah Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif. Di penelitian yang ditulis oleh peneliti mengatakan bahwa metode yang digunakan adalah kualitatif. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui implentasi kebijakan pendidikan inklusi pada Sekolah Galuh Handayani Surabaya; (2) Untuk


(51)

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pendidikan inklusif dalam mewujudkan mutu pendidikan pada Sekolah Galuh Handayani Surabaya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (1) Implementasi kebijakan pendidikan inklusi di sekolah Galuh Handayani belum optimal atau masih belum sesuai harapan masyarakat; (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan implementasi kebijakan pendidikan inklusi di Sekolah Galuh Handayani Surabaya sangat dipengaruhi oleh faktor komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.

Ketiga penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Penelitian pertama menyatakan hasil perkembangan anak berkebutuhan khusus yang baik setelah bersekolah di sekolah inklusi, dalam lingkup satu sekolah. Penelitian kedua menjelaskan tentang implementasi manajemen sekolah inklusi dalam lingkup satu sekolah. Sedangkan penelitian ketiga menyatakan bahwa yang mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan implementasi kebijakan pendidikan inklusi dalam lingkup satu sekolah sangat dipengaruhi oleh faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyelenggaraan sekolah dasar inklusi. Penelitian ini memiliki kekhasan dibandingkan penelitian terdahulu yaitu memberikan gambaran tentang kesesuaian penyelenggaraan sekolah dasar inklusi dengan prinsip-prinsip sekolah inklusi dalam lingkup yang lebih luas, yaitu wilayah kabupaten. Literatur map penelitian yang relevan dapat dilihat sebagai berikut:


(52)

Gambar 2.1 Penelitian yang Relevan Dewi Asiyah “Dampak Pola Pembelajaran Sekolah Inklusi Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus” Ery Wati “Manajemen Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 32 Kota Banda Aceh” Prastiyono “Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif”

Pentingnya manajemen dalam penyelenggaraan sekolah inklusif bagi perkembangan anak didik.

Pentingnya manajemen kepala sekolah yang baik mewujudkan sekolah inklusif yang baik pula.

Pentingnya faktor komunikasi,

sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan pendidikan inklusif.

Rosita Cahayani Sabatiana

“Survei

Penyelenggaraan Sekolah Dasar Inklusi di Wilayah Kabupaten Kulon Progo”


(53)

C. Kerangka Berpikir

Di wilayah Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta ada 26 sekolah dasar inklusi. Sekolah dasar inklusi tersebut keberadaannya tersebar pada 12 kecamatan yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Sebagaian wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah pegunungan, hanya sebagian kecil yang merupakan daerah dataran rendah. Perbedaan keadaan wilayah itu tentu berpengaruh pada kemudahan sekolah-sekolah tersebut dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Ilahi (2013: 87) menjelaskan bahwa sekolah dasar inklusi adalah sekolah dasar reguler yang menampung atau menerima anak tidak berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas serta menyediakan suatu layanan pendidikan yang layak dan memadai bagi perkembangan potensi setiap anak didik. Sekolah dasar inklusi yang berada di kota kabupaten dan wilayah kecamatan dataran rendah tentu lebih mudah untuk memenuhi prinsip-prinsip sekolah dasar inklusi dalam memberikan layanan pendidikan. Sebaliknya, penyelenggaraan sekolah dasar inklusi yang berada di daerah pegunungan tentu tidak semudah dibandingkan dengan penyelenggaraan sekolah dasar inklusi yang berada di daerah kota atau daerah dataran rendah.

Kustawan (2013: 60) menjelaskan bahwa kepala sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah inklusi harus memahami atau menguasai filosofi dan konsep pendidikan inklusi yang diyakini dan harus berani menjamin dan mempertanggungjawabkan tugas mulianya atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan yang dapat mengakomodasi semua anak ketika dalam pelaksanaannya ada tantangan atau permasalahan. Keberhasilan dalam mewujudkan sekolah dasar


(54)

inklusi sangat dipengaruhi oleh manajemen penyelenggaraannya. Manajemen penyelenggaraan sekolah dasar inklusi yang baik harus memenuhi prinsip-prinsip sekolah dasar inklusi serta filosofi dan konsep pendidikan inklusi. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan survey kepada guru-guru di sekolah dasar inklusi yang ada di wilayah Kabupaten Kulon Progo untuk mengetahui kesesuaian prinsip-prinsip pendidikan inklusi serta filosofi dan konsep pendidikan inklusi dengan penyelenggaraan sekolah dasar inklusi

Peneliti berusaha agar melalui penelitian ini dapat diungkap keadaan yang senyatanya tentang penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi kepada semua pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan sekolah dasar inklusi agar memahami prinsip-prinsip sekolah dasar inklusi dan bersemangat dalam mengimplementasikannya. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengambil judul “Survei Penyelenggaraan Sekolah Dasar Inklusi di Wilayah Kabupaten

Kulon Progo”.

D.Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah, maka peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Sebesar 50% sekolah dasar inklusi memenuhi prinsip-prinsip inklusi.

2. Proses penyelenggaraan inklusi mencakup penerimaan peserta didik baru yang mengakomodasikan semua anak, identifikasi, adaptasi kurikulum (kurikulum fleksibel), merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang


(55)

ramah anak, penataan kelas yang ramah anak, asesmen, pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, dan penilaian dan evaluasi pembelajaran.


(56)

40

BAB III

METODE PENELITIAN

Bagian metode penelitian ini membahas tentang jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, validitas dan reliabilitas, dan teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif non eksperimental dengan metode survei cross sectional. Poin pertama pada penelitian kuantitatif adalah menjelaskan fenomena atau gejala untuk mencari penjelasan akan sesuatu dari masalah yang dihadapi yang memerlukan kejelasan dan menggambarkan keingintahuan dan keinginan untuk mendapatkan pemahaman akan kondisi atau kejadian (Suharsaputra, 2014: 50).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei. Penelitian survei sering kali digunakan dalam ilmu sosial untuk membantu melakukan pengamatan terhadap suatu fenomena sosial (Morissan, 2014: 165). Effendi dan Tukiran (2012: 3) menjelaskan bahwa penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Metode penelitian survei ini digunakan peneliti untuk mengetahui penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo melalui alat pengumpul data berupa kuesioner terbuka. Penelitian dengan cross sectional adalah penelitian yang dilakukan dalam waktu tertentu dan tidak akan dilakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk


(57)

diperbandingkan (Prasetyo dan Jannah, 2005: 45). Maksud dan tujuan penelitian ini adalah ingin menjelaskan fenomena atau gejala untuk mencari kejelasan sesuatu dengan mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Penelitian ini dilakukan dalam sekali waktu.

B. Setting Penelitian

1. Tempat dan Waktu Penelitian a. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo. Pemilihan sekolah dasar tersebut berdasarkan data daftar nama sekolah dasar inklusi yang didapat peneliti dari Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo. Sekolah dasar yang dinyatakan sebagai sekolah dasar inklusi telah mendapat Surat Keputusan (SK) dari Dinas Pendidikan.

Penelitian dilakukan di 11 sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo. Alasan peneliti memilih sekolah-sekolah tersebut sebagai tempat penelitian karena mendapat izin oleh kepala sekolah untuk melakukan penelitian.

b. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2016 hingga bulan Februari 2017. Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penentuan judul skripsi yang dilakukan pada bulan Agustus 2016. Penyusunan instrumen kuesioner dilakukan dari bulan Agustus hingga November 2016. Pada akhir bulan November 2016, peneliti membuat surat pengantar validasi instrumen kuesioner. Pada awal bulan Desember 2016, peneliti membuat proposal penelitian


(58)

sebagai syarat meminta surat izin kepada pemerintah daerah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui kantor Biro Administrasi Pembangunan untuk melakukan penelitian di Kabupaten Kulon Progo. Setelah mendapatkan surat izin dari pemerintah daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, surat izin tersebut dibawa peneliti ke kantor Perizinan Terpadu Kabupaten Kulon Progo sebagai syarat untuk mendapatkan surat izin penelitian di Kabupaten Kulon Progo. Pada awal bulan Januari, peneliti mengantarkan tembusan surat izin ke sejumlah kantor terkait, yaitu: (1) Kantor Bupati Kabupaten Kulon Progo, (2) Kantor Bappeda Kabupaten Kulon Progo, (3) Kantor Kesbangpol Kabupaten Kulon Progo, (4) Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo, (5) Kantor UPTD PAUD dan DIKDAS Kecamatan Temon, (6)Kantor UPTD PAUD dan DIKDAS Kecamatan Panjatan, (7) Kantor UPTD PAUD dan DIKDAS Kecamatan Galur, (8) Kantor UPTD PAUD dan DIKDAS Kecamatan Lendah, (9) Kantor UPTD PAUD dan DIKDAS Kecamatan Wates, (10) Kantor UPTD PAUD dan DIKDAS Kecamatan Pengasih, dan (11) sekolah dasar inklusi. Pengambilan data dilaksanakan pada pertengahan bulan Januari hingga akhir bulan Januari 2017. Setelah mendapatkan data, peneliti mengolah data tersebut dari akhir bulan Januari hingga awal Februari 2017.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah guru kelas 1 hingga kelas 6 sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo.

3. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah pengelenggaraan sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo.


(59)

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajarai dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012: 80). Populasi dalam penelitian ini adalah semua guru kelas pada 26 sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2012: 81). Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili) (Sugiyono, 2015: 118). Peneliti menetapkan teknik sampling yang disebut Simple Random Sampling, yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata pada populasi itu (Sugiyono, 2015: 120). Peneliti memilih cara tersebut karena anggota populasinya homogen, yaitu sekolah dasar negeri yang ditetapkan sebagai sekolah dasar inklusi. Sekolah-sekolah tersebut sumber daya dan manajemennya relatif sama, karena kepala sekolah dan guru-gurunya diangkat oleh pemerintah, sarana dan prasarananya berasal dari pemerintah, dan sumber dananya juga dari pemerintah. Melalui teknik sampling tersebut, peneliti menetapkan 11 sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo sebagai sampel.


(60)

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang ditempuh dan alat-alat yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data (Darmawan, 2013: 159). Sugiyono (2012: 224) menjelaskan bahwa teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah berupa kuesioner terbuka. Kuesioner merupakan daftar tertulis pertanyaan yang harus dijawab oleh responden (Widi, 2010: 243). Kuesioner terbuka berupa pertanyaan-pertanyaan bebas yang memberi kebebasan pula kepada responden untuk menjawabnya (Darmawan, 2013: 159). Kuesioner terbuka dijawab oleh responden yaitu guru kelas 1 hingga guru kelas 6 sekolah dasar inklusi. Kuesioner yang harus dijawab oleh responden berkaitan dengan penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo yang mencakup prinsi-prinsip sekolah inklusi. Jangka waktu pengisian kuesioner menurut kesepakatan peneliti dengan pihak sekolah dasar inklusi.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat bagi peneliti yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi yang relevan dengan permasalahan penelitian (Indrawan dan Yaniawati, 2014: 112). Penelitian ini menggunakan alat ukur


(61)

berupa kuesioner terbuka. Kuesioner terbuka ini digunakan untuk mengetahui penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo. Kuesioner terbuka ini diisi oleh guru kelas 1 hingga guru kelas 6 sekolah dasar inklusi yang merupakan sampel penelitian dalam penelitian ini. Kuesioner terbuka yang harus diisi memuat pertanyaan-pertanyaan yang dibuat berdasarkan indikator-indikator yang dikembangkan dari prinsip-prinsip sekolah inklusi. Kustawan (2013: 59-132) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip sekolah inklusi ada 8 yang meliputi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mengakomodasikan semua anak, identifikasi, adaptasi Kurikulum (Kurikulum fleksibel), merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak, penataan kelas yang ramah anak, asessmen, pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, dan penilaian dan evaluasi pembelajaran. Indikator-indikator dalam instrumen diturunkan dari 8 prinsip tersebut. Kisi-kisi kuesioner yang digunakan oleh peneliti seperti yang tercantum pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1 Kisi-kisi Kuesioner Terbuka Tentang Penyelenggaraan Sekolah

Dasar Inklusi di Wilayah Kabupaten Kulon Progo

No. Prinsip Indikator No. Item

1 Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang

mengakomodasikan semua anak

Menerima semua tipe anak berkebutuhan khusus

1, 2, 3, 4, 5 Mengukur sumber daya

pendidikan dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah

6, 7, 8


(62)

prasarana

Merencanakan sumber daya biaya

12, 13, 14, 15 2 Identifikasi Mengidentifikasi tipe anak

berkebutuhan khusus

16, 17, 18, 19 3 Adaptasi Kurikulum

(Kurikulum fleksibel)

Menyusun Kurikulum 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29

4 Merancang bahan ajar

dan kegiatan

pembelajaran yang ramah anak

Menyusun perencanaan pembelajaran bagi siswa

30, 31, 32, 33 Menentukan bahan ajar yang

terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

34, 35, 36, 37, 38

5 Penataan kelas yang ramah anak

Mengelola kelas untuk mengoptimalkan proses belajar mengajar

39, 40, 41, 42, 43, 44, 45 Mengarahkan pengelompokan

siswa untuk pengajaran di ruang kelas

46, 47, 48, 49, 50

6 Asessmen Upaya pengumpulan informasi untuk memantau kemajuan pendidikan

51, 52, 53, 54, 55

Melakukan penyaringan atau screening

56, 57, 58, 59, 60

Melakukan diagnosis menyangkut kelayakan atas layanan pendidikan khusus

61, 62, 63, 64

Melakukan penempatan

program pada anak

berkebutuhan khusus

65, 66, 67

Melakukan penempatan kurikulum untuk memulai pengajaran siswa

68, 69

Melakukan evaluasi pengajaran untuk anak berkebutuhan


(63)

khusus

Melakukan evaluasi program pada anak berkebutuhan khusus

74, 75, 76, 77

7 Pengadaan dan

pemanfaatan media pembelajaran adaptif

Memahami pentingnya Media Pembelajaran Adaptif sebagai sarana dalam pembelajaran

78, 79, 80, 81, 82, 83

8 Penilaian dan evaluasi pembelajaran

Menentukan KKM 84, 85, 86, 87

Menjelaskan karakteristik evaluasi

88, 89, 90, 91, 92

Menunjukkan kegunaan kegiatan evaluasi

93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100

Pada tabel 3.1 terdapat 8 aspek model penyelenggaraan sekolah dasar inklusi yang diturunkan menjadi indikator. Indikator yang sudah diperoleh digunakan untuk membuat pertanyaan-pertanyaan yang berfungsi untuk menggali informasi-informasi dari responden sebagai data. Setelah peneliti menyelesaikan instrumen kuesioner, peneliti melakukan validasi instrumen kuesioner kepada validator. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan intrumen kuesioner menurut para ahli sebelum disebarkan kepada responden.

F. Teknik Pengujian Instrumen

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian harus melalui pengujian validitas dan reliabilitas. Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua hal yaitu validitas isi dan validitas konstruk. Kedua validitas dan reliabilitas akan dikenakan dalam instrumen penelitian.


(64)

1. Uji Validitas Instrumen

Arikunto (dalam Taniredja dan Mustafidah, 2011: 42) menjelaskan bahwa validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesasihan suatu instrumen. Secara mendasar, validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen yang bersangkutan mampu mengukur apa yang akan diukur. Suatu instrumen yang valid atau sah mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah.

a. Validitas Isi

Validitas isi merupakan pengukuran kualitas ketepatan instrumen dalam memberi cakupan isi yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian sebagaimana telah dipandu dalam operasional variabel (Indrawan dan Yaniawati, 2014: 124). Validitas isi diberikan oleh para ahli yang bidang keahliannya berhubungan dengan penelitian ini. Peneliti dalam hal ini memberikan rentan skor atas komentar para ahli menjadi data interval. Skala penilaian terhadap lembar kuesioner dengan bentuk pertanyaan terbuka mengenai penyelenggaraan sekolah dasar inklusi meliputi: sangat baik (4), baik (3), cukup (2), tidak baik (1). Untuk menyusun tabel klasifikasi, dicari skor tertinggi, skor terendah, jumlah kelas, dan jarak interval.

Skor Tertinggi (ideal) = 4 (sangat baik) Skor Terendah = 1 (sangat tidak baik)

Jumlah kelas = 4 (sangat tidak baik sampai sangat baik) Jarak interval = (4-1)/3 = 1


(1)

74

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

75

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

76

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

77

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

78

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

116

BIOGRAFI PENULIS

Rosita Cahayani Sabatiana anak kedua dari dua

bersaudara, lahir di Yogyakarta pada tanggal 16 Juli 1995 dari pasangan Subiyanto dan Sri Yani. Peneliti telah menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 2001 di TK Seruni III Palihan. Peneliti menempuh jenjang pendidikan Sekolah Dasar di SD BOPKRI Palihan dan dinyatakan lulus pada tahun 2007. Jenjang Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 2010 di SMP Negeri Temon I. Tahun 2013 peneliti dinyatakan lulus dari Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri Wates 2. Pada tahun 2013 peneliti menempuh pendidikan tinggi dengan mengambil Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama menempuh bangku perkuliahan, peneliti mengikuti berbagai kegiatan untuk mengembangkan soft skill. Tahun 2013 peneliti mengikuti kegiatan Inisiasi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma atau INFISA. Pada tahun 2014, peneliti mengikuti Pelatihan Pengembangan Kepribadian Mahasiswa I dan II. Peneliti telah mengikuti Kursus Mahir Dasar (KMD) Pramuka pada tahun yang sama. Peneliti juga telah lulus mengikuti tes penguasaan Bahasa Inggris Aktif.