Isolasi dan identifikasi saponin pada kecambah kedelai [Glycine max L.].

(1)

INTISARI

Kedelai (Glycine max L.) selain dikonsumsi sebagai sayuran juga dapat digunakan sebagai tanaman obat karena memiliki kandungan kimia yang cukup bermanfaat. Salah satu senyawa kimia yang terkandung dalam kedelai adalah saponin, dimana secara umum kadar saponin meningkat bila kedelai dikecambahkan. Menurut golongannya, saponin terbagi dua yakni steroid dan triterpenoid. Saponin steroid berguna untuk pengembangan hormon kelamin dan kontrasepsi oral. Sedangkan saponin triterpenoid biasa digunakan sebagai ekspektoran, antiinflamasi, larvasida, serta dapat meningkatkan ekskresi kolesterol. Penentuan tipe saponin berguna untuk pemanfaatan selanjutnya dari tanaman yang mengandung tipe saponin tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tipe saponin yang terdapat dalam kecambah kedelai serta karakteristik saponin tersebut secara Kromatografi Lapis Tipis dan spektroskopi UV.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian non-eksperimental dengan cara analisis deskriptif komparatif. Uji saponin dilakukan dengan uji busa, reaksi Liebermann-Burchard, dan reaksi Salkowski. Selanjutnya saponin dihidrolisis. Isolasi dilakukan dengan KLT preparatif. KLT dan spektroskopi UV digunakan untuk karakterisasi, dan uji kemurnian menggunakan KLT multi-eluen. Sebagai pembanding digunakan Succus Liquiritae.

Berdasarkan hasil penelitian, kecambah kedelai mengandung saponin triterpenoid. Isolasi menggunakan KLT preparatif menghasilkan isolat murni berwarna biru-ungu hasil reaksi dengan penampak bercak anisaldehid-asam sulfat. Hasil spektroskopi UV menunjukkan puncak tunggal isolat saponin kecambah kedelai dengan serapan maksimum pada panjang gelombang 280,6 nm.

Kata kunci : saponin, triterpenoid, kecambah, Glycine max L., isolasi, identifikasi, KLT, KLTP, spektroskopi UV


(2)

ABSTRACT

Soybean (Glycine max L.) can be used as medicinal plants, in other side as vegetable because of its benefit constituents. One of the chemical substance in soybean is saponin, when commonly the saponin amount promotes up in the sprout-shape. Saponin are divided into two types, they are steroid and triterpenoid. Steroid saponins are useful for development of sex hormones and oral contraceptions. Meanwhile the triterpenoid saponins generally used for expectorant, antiinflamation, larvacides, and also can increase excretion of cholesterol. Knowing the type of saponin is very helpful for the next preparation of the plants that include the type of the saponin. The purposes of this research are to knowing the type of saponin of soybean sprouts and their characterization based on Thin Layer Chromatography and UV spectroscopy.

This was a non-experimental research using comparative descriptive analysis. Saponin was tested with foam test, Liebermann-Burchard reaction, and Salkowski reaction. Next, saponin was hydrolysed. The isolation was done through preparative TLC method. Characterization was use TLC and UV spectroscopy, and for purity test used multi-eluen TLC. Succus Liquiritae is used as standard.

Based on the research, indicate that soybean sprout contains triterpenoid saponins. Isolation result using TLC preparative give blue-violet pure isolate by reaction with anisaldehide-sulphuric acid. The result of UV spectroscopy showed only one peak with maximum absorbance on wave length about 280.6 nm.

Key words : saponin, triterpenoid, sprout, Glycine max L., isolation,

identification, TLC, PTLC, UV spectroscopy


(3)

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SAPONIN PADA KECAMBAH KEDELAI (Glycine max L.)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Yustina Sakundita Puspariani NIM : 038114014

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

A

A

p

p

a

a

k

k

a

a

h

h

s

s

u

u

k

k

s

s

e

e

s

s

i

i

t

t

u

u

?

?

S

Seerriinnggddaannbbaannyyaakktteerrttaawwaa M

Meennddaappaattkkaannrraassaahhoorrmmaattddaarriioorraannggppaannddaaiiddaannrraassaakkaassiihhddaarriioorraannggsseekkiittaarr M

Meerraaiihhppeenngghhaarrggaaaannkkrriittiikkuussyyaannggjjuujjuurr M

Meenngghhaarrggaaiikkeeiinnddaahhaann M

Meenneemmuukkaannssiiffaattbbaaiikkddaallaammddiirriioorraannggllaaiinn M

Meemmbbuuaattdduunniiaalleebbiihhbbaaiikk,,ddeennggaannsseeppeettaakkkkeebbuunn M

Meennggeettaahhuuiibbaahhwwaasseesseeoorraannggtteellaahhhhiidduupplleebbiihhmmuuddaahhkkaarreennaakkeebbeerraaddaaaannmmuu;; I

Ittuullaahhaarrttiissuukksseess..

                (Ralph Waldo Emerson) 

T

Tu

u

ga

g

as

s

d

di

i

h

ha

ad

da

ap

pa

an

n

k

ki

it

ta

a

t

ti

id

da

ak

k

p

pe

er

rn

na

ah

h

s

se

eb

be

es

sa

ar

r

k

ke

ek

ku

ua

at

ta

an

n

d

di

i

b

be

el

la

ak

ka

an

ng

g

k

ki

it

ta

a

      (Anonim) 

 

KKuuppeerrsseemmbbaahhkkaannkkaarryyaakkeecciilliinniiuunnttuukk::

M

Maammaa&&PPaappaatteerrcciinnttaa K

Kaakkaakkkkuutteerrssaayyaanngg O

Orraanngg--oorraannggyyaannggmmeennyyaayyaannggiikkuu d


(7)

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan pada Allah Bapa di Surga, karena atas berkat dan kekuatan yang diberikan-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi yang berjudul “Isolasi dan Identifikasi Saponin pada Kecambah Kedelai” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga penulis berkewajiban untuk menyampaikan terimakasih kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, pengarahan, pengetahuan dan kesabaran dalam membimbing selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt., selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji, memberikan saran dan masukan yang sangat berguna dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji, memberikan saran dan masukan yang sangat berguna dalam penyelesaian skripsi ini.

5. My beloved family, Papa dan Mama, serta Kakakku Petra Chanelia, atas

cinta, kasih sayang, pengorbanan, dukungan, dan doa yang tak pernah henti.


(9)

6. Mas-ku, Laurentius Dian ‘Ndolith’ Krislianto atas dukungan, perhatian, serta rasa sayang. Terima kasih untuk kebaikan hatimu mengantarku mencari kedelai dan selalu siap menjadi penolongku.

7. Sahabatku, Raya, atas dukungan dan persahabatan yang menyenangkan. Terima kasih juga dapat menjadi andalanku.

8. Teman seperjuanganku, Yohana, atas kerjasama dan suka duka selama penelitian di laboratorium, juga untuk printernya. Jangan menyerah, kawan!

9. Teman-teman d’Sindens : Moncee (terima kasih atas pengalaman-pengalaman seru di awal kuliah), Vera, Dita, Rosa, Ana, Sari, Tata, dan Angger. Dunia hiburan kelas A akan sepi tanpa kalian.

10.Mas Wagiran, Pak Mukmin, Mas Parlan, Mas Sigit, Pak Prapto, Mas Kunto dan Mas Iswandi yang selalu membantu kemudahan penelitian di laboratorium.

11.Teman-teman angkatan 2003, khususnya kelas A (khususnya lagi Shyu ‘Baby’, Andi ‘Papi’, dan Adi ‘Gondes’), sebagai supporting team, dan atas pelangi penuh warna selama belajar di Farmasi.

12.Semua pihak serta teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan, dan doanya selama ini. God bless you all!

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis dengan senang hati menerima segala saran maupun kritik yang bersifat membangun, dan yang dapat membantu skripsi ini


(10)

agar dapat menjadi lebih sempurna dan berguna. Akhir kata semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pembacanya dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kefarmasian.

Yogyakarta, Oktober 2007 Penulis


(11)

(12)

INTISARI

Kedelai (Glycine max L.) selain dikonsumsi sebagai sayuran juga dapat digunakan sebagai tanaman obat karena memiliki kandungan kimia yang cukup bermanfaat. Salah satu senyawa kimia yang terkandung dalam kedelai adalah saponin, dimana secara umum kadar saponin meningkat bila kedelai dikecambahkan. Menurut golongannya, saponin terbagi dua yakni steroid dan triterpenoid. Saponin steroid berguna untuk pengembangan hormon kelamin dan kontrasepsi oral. Sedangkan saponin triterpenoid biasa digunakan sebagai ekspektoran, antiinflamasi, larvasida, serta dapat meningkatkan ekskresi kolesterol. Penentuan tipe saponin berguna untuk pemanfaatan selanjutnya dari tanaman yang mengandung tipe saponin tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tipe saponin yang terdapat dalam kecambah kedelai serta karakteristik saponin tersebut secara Kromatografi Lapis Tipis dan spektroskopi UV.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian non-eksperimental dengan cara analisis deskriptif komparatif. Uji saponin dilakukan dengan uji busa, reaksi Liebermann-Burchard, dan reaksi Salkowski. Selanjutnya saponin dihidrolisis. Isolasi dilakukan dengan KLT preparatif. KLT dan spektroskopi UV digunakan untuk karakterisasi, dan uji kemurnian menggunakan KLT multi-eluen. Sebagai pembanding digunakan Succus Liquiritae.

Berdasarkan hasil penelitian, kecambah kedelai mengandung saponin triterpenoid. Isolasi menggunakan KLT preparatif menghasilkan isolat murni berwarna biru-ungu hasil reaksi dengan penampak bercak anisaldehid-asam sulfat. Hasil spektroskopi UV menunjukkan puncak tunggal isolat saponin kecambah kedelai dengan serapan maksimum pada panjang gelombang 280,6 nm.

Kata kunci : saponin, triterpenoid, kecambah, Glycine max L., isolasi, identifikasi, KLT, KLTP, spektroskopi UV


(13)

ABSTRACT

Soybean (Glycine max L.) can be used as medicinal plants, in other side as vegetable because of its benefit constituents. One of the chemical substance in soybean is saponin, when commonly the saponin amount promotes up in the sprout-shape. Saponin are divided into two types, they are steroid and triterpenoid. Steroid saponins are useful for development of sex hormones and oral contraceptions. Meanwhile the triterpenoid saponins generally used for expectorant, antiinflamation, larvacides, and also can increase excretion of cholesterol. Knowing the type of saponin is very helpful for the next preparation of the plants that include the type of the saponin. The purposes of this research are to knowing the type of saponin of soybean sprouts and their characterization based on Thin Layer Chromatography and UV spectroscopy.

This was a non-experimental research using comparative descriptive analysis. Saponin was tested with foam test, Liebermann-Burchard reaction, and Salkowski reaction. Next, saponin was hydrolysed. The isolation was done through preparative TLC method. Characterization was use TLC and UV spectroscopy, and for purity test used multi-eluen TLC. Succus Liquiritae is used as standard.

Based on the research, indicate that soybean sprout contains triterpenoid saponins. Isolation result using TLC preparative give blue-violet pure isolate by reaction with anisaldehide-sulphuric acid. The result of UV spectroscopy showed only one peak with maximum absorbance on wave length about 280.6 nm.

Key words : saponin, triterpenoid, sprout, Glycine max L., isolation, identification, TLC, PTLC, UV spectroscopy


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PRAKATA... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

INTISARI . ... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I . PENGANTAR... 1

A. Latar Belakang... 1

1. Permasalahan... 3

2. Keaslian penelitian... 3

3. Manfaat penelitian... 4

B. Tujuan Penelitian... 4

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 5

A. Kedelai... 5

1. Keterangan botani... 5


(15)

3. Deskripsi... 5

4. Khasiat dan kegunaan... 6

5. Kandungan kimia... 6

B. Penyarian... 6

C. Saponin... 9

D. Kecambah... 13

E. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)... 16

F. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP)... 19

G. Spektroskopi Ultra Violet (UV)... 21

H. Keterangan Empiris... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 25

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 25

B. Definisi Operasional... 25

C. Bahan dan Alat Penelitian... 26

D. Jalan Penelitian... 26

1. Identifikasi tanaman... 26

2. Pengumpulan bahan dan proses perkecambahan... 27

3. Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik... 27

4. Uji saponin... 27

5. Hidrolisis saponin kecambah kedelai dan Succus Liquiritae... 28

6. Ekstraksi saponin kecambah kedelai dan Succus Liquiritae... 28


(16)

7. Pemeriksaan pendahuluan saponin dengan KLT………. 29

8. Isolasi saponin dengan KLTP... 29

9. Uji kemurnian dengan KLT multi-eluen……….. 30

10. Spektroskopi Ultra Violet (UV)... 31

E. Tata Cara Analisis Hasil... 31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

A. Identifikasi tanaman... 33

B. Pengumpulan Bahan dan Proses Perkecambahan... 33

C. Pemeriksaan Organoleptik dan Makroskopik... 34

D. Uji Saponin... 35

E. Hidrolisis Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae... 38

F. Ekstraksi Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae... 40

G. Pemeriksaan Pendahuluan Saponin dengan KLT... 41

H. Isolasi Saponin dengan KLTP... 44

I. Uji Kemurnian dengan KLT multi-eluen... 47

J. Spektroskopi Ultra Violet (UV)... 54

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 58

A. Kesimpulan... 58

B. Saran... 58

DAFTAR PUSTAKA... 59

LAMPIRAN... 62


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel I . Hasil pemeriksaan organoleptik dan makroskopik terhadap

kecambah kedelai... 34 Tabel II . Hasil kromatogram KLT Pendahuluan ... 43 Tabel III . Hasil kromatogram uji kemurnian dengan KLT multi-eluen 48


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka steroid ... 10

Gambar 2. Kerangka triterpenoid, α-amirin, β-amirin, dan lupeol ... 12

Gambar 3. Bagan spektrofotometer UV berkas ganda ……….. 21

Gambar 4. Tingkat energi elektron molekul... 24

Gambar 5. Mekanisme terbentuknya buih ... 35

Gambar 6. Reaksi Liebermann-Burchard……….. 37

Gambar 7. Reaksi Salkowski ... 38

Gambar 8. Kerangka asam glisiretinat ... 40

Gambar 9. Mekanisme hidrolisis Succus Liquiritae dalam suasana asam ... 40

Gambar 10. Hasil kromatogram KLT Pendahuluan……… .. 42

Gambar 11. Hasil uji kemurnian isolat tahap pertama dengan fase gerak n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v)... 46

Gambar 12. Hasil kromatogram KLT multi-eluen dengan fase gerak kloroform : metanol (95 : 5 v/v)……… 49

Gambar 13. Hasil kromatogram KLT multi-eluen dengan fase gerak kloroform:metanol:air (64:50:10 v/v) .. 50

Gambar 14. Hasil kromatogram KLT multi-eluen dengan fase gerak n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v) ... 51

Gambar 15. Reaksi antara saponin triterpenoid dengan anisaldehid-asam sulfat ... 52


(19)

Gambar 16. Gugus kromofor asam glisiretinat……… 55 Gambar 17. Spektra saponin kecambah kedelai (sampel) ... 56 Gambar 18. Spektra saponin Succus Liquiritae (pembanding)... 56


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 . Surat keterangan determinasi... 62

Lampiran 2. Sertifikat analisis Succus Liquiritae……….. 64

Lampiran 3 . Foto tanaman kedelai... 65

Lampiran 4 . Foto biji kedelai dan kecambah kedelai ... 66

Lampiran 5 . Foto uji saponin dengan uji buih ... 67

Lampiran 6 . Foto uji saponin dengan reagen Liebermann-Burchard .. 68

Lampiran 7 . Foto reaksi Salkowski... 69

Lampiran 8 . Foto alat hidrolisa ... 70


(21)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Gaya hidup back to nature kian diminati sebagai bagian dari kesadaran untuk hidup sehat. Masyarakat memanfaatkan berbagai macam tanaman untuk kelangsungan hidupnya. Dalam hal ini, bukan saja tanaman pangan tetapi juga tanaman obat yang mengandung metabolit sekunder yang cukup bermanfaat dalam pengobatan. Tanaman obat merupakan tanaman yang dapat digunakan dalam pengobatan baik sebagai pemeliharaan kesehatan maupun untuk penyembuhan penyakit. Salah satu jenis tanaman obat adalah kedelai (Glycine max L.), walaupun selama ini masyarakat lebih mengenal kedelai sebagai sayuran dan bahan pangan, bukan sebagai tanaman obat.

Kedelai termasuk dalam jajaran bahan makanan yang ditargetkan sebagai sumber protein nabati untuk memerangi PMN (protein malnutrition) oleh WHO dan FAO. Kecambah kedelai adalah salah satu bentuk penggunaan kedelai, dimana biasa digunakan saat masih mentah maupun dimasak sebagai sayur. Hanya saja, lebih dianjurkan mengkonsumsi kecambah kedelai dalam keadaan mentah, misalnya dijadikan lalapan atau diminum sebagai jus, karena zat-zat bermanfaat yang dikandungnya masih utuh. Jika harus dimasak sebagai sayur, sebaiknya kecambah dimasukkan sesaat sebelum masakan matang. Selain dikonsumsi sebagai sayuran, ternyata kedelai juga dapat digunakan untuk pengobatan pada beberapa penyakit, seperti diabetes mellitus, reumatik, sakit ginjal (Arisandi dan Andriani, 2006).


(22)

Kedelai diperkirakan memiliki kandungan kimia berupa protein, lemak, karbohidrat, mineral (Na, K, Fe), vitamin A, vitamin B, saponin, isoflavonoid,

lesitin, glisinin peptida, dan fito-estrogen (Dora, 2005). Berdasarkan hal tersebut, kedelai memiliki dua fungsi yaitu selain

dikonsumsi sebagai sayuran ternyata dapat juga digunakan sebagai tanaman obat karena memiliki kandungan kimia yang cukup bermanfaat. Jika tanaman obat tersebut dapat dimakan sebagai sayuran sekaligus dapat mengobati penyakit seperti yang telah disebutkan diatas, tentu masyarakat akan merasa lebih diuntungkan.

Dalam setiap bagian tanaman pasti terdapat metabolit sekunder. Salah satu senyawa kimia yang termasuk dalam golongan metabolit sekunder yang terkandung di dalam kedelai adalah saponin. Menurut golongannya, saponin dapat dibedakan menjadi dua macam tipe yaitu tipe steroid dan triterpenoid (Evans, 2002). Penentuan tipe dari saponin ini berguna untuk pemanfaatan selanjutnya dari tanaman yang mengandung tipe saponin tersebut. Saponin steroid berguna untuk mendapatkan prekursor obat jenis kortison serta pengembangan hormon kelamin dan kontrasepsi oral (Evans, 2002). Sedangkan saponin triterpenoid biasa digunakan sebagai ekspektoran (obat batuk), antiinflamasi, larvasida serta dapat menurunkan kadar kolesterol. Menurut penelitian, pada anak ayam yang diberi 0,9% saponin triterpenoid dapat menurunkan konsumsi pakan, menurunkan berat badan, serta meningkatkan ekskresi kolesterol (Anonim, 2006).

Sebuah penelitian menyatakan bahwa ketika biji-bijian dikecambahkan, secara umum kadar saponin meningkat sekitar 450% (Wahyuni, 2006). Saponin


(23)

dalam kecambah mampu menurunkan kadar lemak LDL (Low Density

Lipoprotein) dalam tubuh, tanpa mengganggu lemak HDL (High Density

Lipoprotein). LDL bersifat atherogenik (dapat memicu atherosklerosis atau

pengerasan pembuluh darah akibat penimbunan lemak) sehingga disebut ’lemak jahat’, sedangkan HDL bersifat anti atherogenik, karena fungsinya mengangkut kolesterol kembali ke hati untuk dikatabolisme sehingga mengurangi simpanan kolesterol. Kadar lemak LDL normal yakni < 130 mg/dl, sedang kadar HDL yang baik adalah > 40 mg/dl (Soeharto, 2000).

Untuk lebih mendalami dan mengetahui tipe saponin yang terkandung di dalam kedelai, maka dilakukan penelitian mengenai isolasi dan identifikasi saponin pada kecambah kedelai (Glycine max L.) serta karakterisasi saponin tersebut secara kromatografi lapis tipis (KLT) dan spektrofotometri ultra violet (UV).

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, timbul permasalahan untuk diteliti, yaitu :

1. tipe saponin apakah yang terkandung dalam kecambah kedelai?

2. bagaimana ciri karakteristik saponin kecambah kedelai secara kromatografi lapis tipis (KLT) dan spektroskopi ultra violet (UV)?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang isolasi dan identifikasi saponin pada kecambah kedelai sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Penelitian sejenis yang


(24)

pernah dilakukan adalah isolasi dan identifikasi aglikon saponin pada buah lerak

(Sapindus rarak D.C.) oleh Yanuarsih (2001), isolasi dan identifikasi glikosida

saponin pada herba krokot (Portulaca oleracea L.) oleh Kristianti (2007).

3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan baru bagi perkembangan ilmu kefarmasian, kedokteran, maupun kesehatan pada umumnya. Hal tersebut dapat berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis.

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu kefarmasian khususnya tentang tipe saponin kecambah kedelai.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi mengenai kecambah kedelai berdasarkan aktivitas farmakologi golongan saponin yang terkandung dalam kecambah kedelai.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk lebih mendalami pengetahuan tentang kecambah kedelai.

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui tipe saponin kecambah kedelai dan karakteristik saponin kecambah kedelai secara kromatografi lapis tipis (KLT) dan spektroskopi ultra violet (UV).


(25)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Kedelai 1. Keterangan botani

Kedelai mempunyai nama ilmiah Glycine max L. dan termasuk dalam suku Leguminosae. Tanaman ini memiliki sinonim yakni, Glycine soja L. dan Soja max

Piper (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991 ; Thomas, 1992). 2. Nama Daerah

Di beberapa wilayah Indonesia, kedelai dikenal dengan berbagai nama, antara lain : dele, dangsul, dekeman (Jawa), kacang bulu, kacang rimang (Minangkabau), retak mejong (Lampung), kadhele (Madura), kacang jepun (Sunda) (Thomas,1992).

3. Deskripsi

Tumbuhan kedelai mempunyai habitus berupa semak, semusim, tinggi 20-60 cm. Batang bersegi, berkayu, berambut, bercabang, hijau keputih-putihan. Berdaun majemuk, menyirip ganjil, bulat telur, ujung tumpul, tepi rata, pangkal membulat, panjang 2-5 cm, lebar 2-4 cm, pertulangan menyirip, hijau. Bunganya majemuk, bentuk tandan, kelopak 5-7 mm, berambut, bertaju sempit, runcing, ungu. Buah berupa polong, bertangkai pendek, pipih, masih muda hijau setelah tua kuning kecoklatan. Biji berbentuk bulat telur, kuning keputih-putihan. Berakar tunggang, putih kekuningan (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).


(26)

4. Khasiat kegunaan

Biji kedelai berkhasiat untuk mencegah kanker, menurunkan tekanan darah tinggi, mencegah dan menurunkan kelebihan kolesterol dalam tubuh, antioksidan, dan mencegah osteoporosis (Dora, 2005).

5. Kandungan kimia

Kedelai mengandung protein, lemak, karbohidrat, mineral (Na, K, Fe), vitamin A, vitamin B, saponin, isoflavonoid, lesitin, glisinin peptida, dan fito-estrogen (Dora, 2005).

B. Penyarian 1. Cairan Pelarut

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih untuk melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung (Anonim, 2000).

Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah : (1) selektivitas

(2) kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut (3) ekonomis

(4) ramah lingkungan


(27)

2. Metode ekstraksi dan pemisahan

Dalam analisis fitokimia digunakan jaringan tumbuhan yang masih segar (Anonim, 1986). Untuk mendapatkan suatu zat dari bahan tanaman perlu dilakukan penyarian. Metode ekstraksi menggunakan pelarut dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu cara dingin dan cara panas.

(1) cara dingin a. maserasi

maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang terus-menerus. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

b. perkolasi

perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Prinsip perkolasi dengan cara serbuk simplisia ditempatkan dalam bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak)


(28)

terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Anonim, 1986 ; Anonim, 2000).

(2) cara panas a. refluks

refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarutnya terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

b. soxhlet

soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. digesti

digesti adalah maserasi kinetik pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40- 50 °C.

d. infus

infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu 900C selama 15 menit (Anonim, 1986).

e. dekok

dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Anonim, 2000).


(29)

C. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang dapat membentuk buih jika dikocok dalam air. Saponin juga mempunyai sifat hemolisis, dan jika diinjeksikan langsung ke dalam aliran darah akan sangat toksik, namun akan tidak berbahaya jika digunakan melalui mulut, karena itu saponin biasa dipakai untuk bahan tambahan dalam minuman non-alkohol/beverages (Evans, 2002). Saponin merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi, kemungkinan karena mempunyai sifat mengiritasi mucosa. Saponin dapat membentuk kompleks dengan asam empedu dan kolesterol (Nio, 1990). Pada pangan nabati, saponin memberikan rasa pahit. Saponin larut dalam etanol dan air tetapi tidak larut dalam eter (Robinson, 1991).

Saponin relatif merupakan senyawa yang stabil, tetapi lama-lama mungkin diubah sebagian ke dalam zat yang tidak aktif. Sarsaparilla yang disimpan selama 50 tahun tetap mempunyai aktivitas penuh seperti aktivitas permulaannya (Evans, 2002).

Saponin mempunyai berat molekul yang tinggi, dan isolasinya yang membutuhkan kemurnian, cukup sulit. Sebagai glikosida, saponin terhidrolisis oleh asam, memberikan aglikon (sapogenin) triterpenoid atau steroid, bermacam gula (glukosa, galaktosa, pentosa, atau metil pentosa) dan asam uronat (Evans, 2002).

Berdasarkan struktur sapogenin, dikenal dua macam saponin, yaitu steroid (biasanya tetrasiklik triterpenoid) dan tipe pentasiklik triterpenoid. Keduanya


(30)

mempunyai ikatan glikosida pada C-3 dan mempunyai asal-usul biogenesis melalui jalur asam mevalonat dan unit isoprenoid (Evans, 2002).

1. Saponin steroid

Saponin steroid lebih sedikit terdistribusi di alam dibandingkan tipe triterpenoid. Survey fitokimia menunjukkan bahwa saponin steroid terdapat dalam banyak tumbuhan monokotil, terutama Dioscoreaceae, Amaryllidaceae, dan Liliaceae. Pada dikotil terdapatnya diosgenin pada Leguminosae dan alkaloid steroida pada Solanum secara potensial sangat penting. Beberapa spesies Strophantus dan Digitalis mengandung saponin steroida disamping glikosida jantung (Evans, 2002).

OH H A B C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 25 26 O O 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 H R2 R1 D E

Gambar 1 : Kerangka steroid

Saponin steroid mempunyai pengaruh yang penting dikarenakan adanya hubungan dengan beberapa bahan seperti hormon seks, kortison, steroid diuretik, vitamin D, dan glikosida jantung. Beberapa saponin steroid digunakan sebagai senyawa awal untuk sintesis bahan-bahan tersebut (Evans, 2002). Saponin steroid yang penting adalah diosgenin yang terdapat pada akar Dioscorea (yam) dan secara komersial dipergunakan untuk sintesis steroid yang penting bagi


(31)

pengobatan medis (Mann, 1994). Solasodin (dari Solanum sp.) dan diosgenin biasa digunakan untuk obat kontrasepsi (Yuliani, 2001).

2. Saponin triterpenoid

Saponin triterpenoid jarang terdapat pada tumbuhan monokotil. Mereka banyak terdapat pada tumbuhan dikotil. Saponin triterpenoid sering dimanfaatkan sebagai ekspektoran karena dapat merangsang keluarnya sekret dari bronkial. Menurut beberapa penelitian, saponin triterpenoid mempunyai aktivitas antiinflamasi, larvasida, serta dapat meningkatkan eksekresi kolesterol (Anonim, 2006).

Menurut Harborne (1987), banyak triterpenoid dikenal dalam tumbuhan dan secara berkala senyawa baru ditemukan dan dicirikan. Sampai saat ini hanya beberapa saja yang diketahui tersebar luas. Senyawa tersebut adalah triterpena pentasiklik α-amirin dan β-amirin serta asam turunannya, yaitu asam ursolat dan asam oleanolat. Senyawa ini dan senyawa sekerabatnya terutama terdapat dalam lapisan malam daun dan dalam buah, seperti apel dan per, dan mungkin mereka berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba (Harborne, 1987).

Saponin triterpenoida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yang diwakili oleh α-amirin, β-amirin, dan lupeol.


(32)

OH COOH R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 11 12 13 14 15 16 1 7 1 8 19 20 2 1 2 2 23 24 25 26 27 28 29 30 (1) C H3

H3C

C H3

C H3 D

H3C C H3

C H3

C H3

C H3

C H3

C H3 H2C

1 3 1 4

1 7 1 9 2 0

E

(2) (3) (4)

Gambar 2 : Kerangka triterpenoid (1), α-amirin (2), β-amirin (3), dan Lupeol (4)

Adanya saponin dalam tanaman juga dapat ditunjukkan dengan beberapa cara antara lain:

a . indeks buih (foam index)

indeks buih menunjukkan angka pengenceran dari zat atau obat yang diperiksa yang akan memberikan suatu lapisan buih yang tingginya 1 cm sampai 10 cm, bila larutan digojok dalam gelas ukur selama 15 detik dan selanjutnya dibiarkan dulu selama 10 menit sebelum dilakukan pembacaan (Anonim, 1995a). b. haemolisa

campur bahan yang akan diperiksa dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 , panaskan, dinginkan, dan saring. Ambil filtrat campur dengan suspensi darah.


(33)

Diamkan selama 30 menit, terjadi haemolisa total berarti menunjukkan adanya saponin (Anonim, 1995a).

c. reaksi warna

reaksi warna dapat digunakan untuk menggolongkan saponin (sapogenin) yang digunakan untuk membuktikan identitas dari suatu obat, dan jika perlu untuk memonitor pada waktu pemisahan. Tidak ada reaksi warna yang secara spesifik untuk tiap jenis saponin. Reaksi berikut ini dapat digunakan yaitu:

1) dengan menggunakan asam asetat anhidrat dan asam sulfat (disebut reaksi Liebermannn-Burchard). Hasilnya ditunjukkan dengan adanya perubahan warna yang bergantung dari aglikonnya yaitu, merah muda sampai merah berarti termasuk golongan triterpenoid. Sedangkan jika warnanya biru hijau maka menunjukkan adanya senyawa golongan steroid (Bruneton,1999).

2) dengan menggunakan vanillin, anisaldehid, dan aldehid aromatik lainnya yang ditambah dengan asam mineral kuat. Senyawa yang mengandung saponin akan berwarna kuat, yang kemungkinan hasil reaksi antara aldehid dan aglikon (Bruneton,1999).

Uji saponin di atas juga ditunjang dengan cara kromatografi lapis tipis (KLT) atau pengukuran spektrum (Harborne, 1987).

D. Kecambah

Kecambah merupakan tumbuhan kecil yang baru tumbuh dari biji dan masih hidup dari persediaan makanan yang terdapat dalam biji (Tjitrosoepomo,


(34)

2003). Perkecambahan biji ditandai dengan pecahnya kulit biji dan munculnya calon tanaman baru.

Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan-perubahan morfologi, fisiologi, dan biokimia. Tahap-tahap perkecambahan meliputi :

1. tahap pertama dari perkecambahan benih dimulai dengan proses penyerapan air oleh benih, melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma.

2. tahap kedua dimulai dengan kegiatan-kegiatan sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi benih.

3. tahap ketiga merupakan tahap dimana terjadi penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak dan protein menjdi bentuk-bentuk yang melarut dan ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh.

4. tahap keempat adalah asimilasi dari bahan-bahan yang telah diuraikan tadi di daerah meristematik untuk menghasilkan energi bagi kegiatan pembentukan komponen dan petumbuhan sel-sel baru.

5. tahap kelima adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan pembagian sel-sel pada titik-titik tumbuh.

Sementara daun belum dapat berfungsi sebagai organ fotosintesa maka pertumbuhan kecambah sangat tergantung pada persediaan makanan yang ada dalam biji (Sutopo, 1985).


(35)

Kecambah memperlihatkan bagian-bagian seperti lembaga, karena memang kecambah berasal dari lembaga. Lembaga adalah calon tumbuhan baru, yang nantinya akan tumbuh menjadi tumbuhan baru, setelah biji memperoleh syarat-syarat yang diperlukan. Lembaga memperlihatkan ketiga bagian utama tubuh tumbuhan, yaitu:

a. akar lembaga atau calon akar (radicula / hipokotil) b. daun lembaga atau calon daun (cotyledon)

c. batang lembaga (cauliculus)

Batang lembaga beserta calon-calon daun merupakan bagian lembaga yang dinamakan pucuk lembaga / plumula (Sutopo, 1985 ; Tjitrosoepomo, 2003).

Syarat biji dapat berkecambah bila biji berada dalam keadaaan yang memenuhi syarat perkecambahan, meliputi kadar air, suhu, cahaya, dan oksigen (Tjitrosoepomo, 2003). Suhu optimal untuk perkecambahan antara 10-30°C. Oksigen diperlukan untuk respirasi yang merupakan reaksi pembongkaran atau pemecahan cadangan makanan. Sedang cahaya diperlukan selama berlangsungnya perkecambahan. Namun demikian biji dapat berkecambah dengan baik dengan atau tanpa cahaya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih :

a. faktor dalam, antara lain : tingkat kemasakan benih, ukuran benih, dormansi.

b. faktor luar, antara lain : air, temperatur, oksigen, cahaya, dan medium. Kandungan zat gizi pada biji sebelum dikecambahkan berada dalam bentuk tidak aktif (terikat). Setelah perkecambahan, bentuk tersebut diaktifkan.


(36)

Peningkatan zat-zat gizi pada kecambah mulai tampak sekitar 24-48 jam saat perkecambahan (Rukmana, 1997).

Pada saat perkecambahan, terjadi hidrolisis karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna, selain itu juga terjadi peningkatan jumlah protein, sedangkan kadar lemaknya mengalami penurunan. Ketika biji-bijian dikecambahkan, secara umum kadar saponinnya meningkat 450%, bahkan meningkatkan jumlah vitamin A sebanyak 300 % (Wahyuni, 2006). Menurut Arisandi dan Andriani (2006), kandungan gizi yang terdapat pada 100 g biji kedelai yakni protein (34,9 g), kalori (331 kal), lemak (18,1 g), hidrat arang (34,8 g), kalsium (227 mg), saponin (200 mg), fosfor (585 mg), vitamin A (110 SI), dan vitamin B1 (1,07 mg).

E. Kromatografi Lapis Tipis

KLT merupakan metode pemisahan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorbsi atau partisi oleh fase diam di bawah pergerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur. Pemilihan pelarut pengembangan atau pelarut pengembangan campur sangat dipengaruhi oleh macam dan polaritas zat-zat kimia yang dipisahkan (Mulja dan Suharman, 1995).

Menurut Gritter, Bobbitt, dan Schwarting (1991), pada hakikatnya KLT melibatkan dua peubah: sifat fase diam, dan sifat fase gerak atau campuran pelarut pengembang. Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penjerap atau berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair.


(37)

Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penjerap pada KLT, tetapi yang paling umum dipakai adalah sebagai berikut :

a. silika gel (asam silikat)

silika gel merupakan penjerap yang paling banyak dipakai dalam KLT. Sebagian besar silika gel bersifat sedikit asam, maka asam sering agak mudah dipisahkan, jadi meminimumkan reaksi asam-basa antara penjerap dan senyawa yang dipisahkan.

b. alumina

berbeda dengan silika gel, alumina bersifat sedikit basa dan sering dipakai untuk pemisahan basa. Cara ini juga meminimumkan reaksi asam-basa.

c. kiselgur dan selulosa

kiselgur dan selulosa merupakan bahan penyangga lapisan zat cair yang dipakai dalam sistem kromatografi cair-cair. Kromatografi jenis ini selalu dipakai untuk pemisahan senyawa polar seperti asam amino, karbohidrat, nukleotida, dan berbagai senyawa hidrofil alam lainnya.

Lapisan penjerap sering mengandung indikator fluoresensi yang ditambahkan untuk membantu penampakan bercak tidak berwarna pada lapisan yang telah dikembangkan. Indikator fluoresensi adalah senyawa yang memancarkan sinar tampak jika disinari dengan sinar berpanjang gelombang lain, biasanya sinar ultraviolet. Dan biasanya penjerap yang dicampur dengan indikator fluoresensi diberi tanda F, misalnya silica gel GF. Jika senyawa pada bercak yang ditampakkan mengandung ikatan rangkap terkonjugasi atau cincin aromatis, maka sinar UV yang mengeksitasi tidak dapat mencapai indikator fluoresensi sehingga


(38)

tidak ada cahaya yang dipancarkan. Dengan demikian hasilnya ialah bercak gelap dengan latar belakang yang bersinar. Cara ini sangat peka dan tidak merusak senyawa yang ditampakkan. Indikator fluoresensi yang paling sering digunakan adalah sulfida anorganik, yang dapat memancarkan cahaya jika disinari pada 254 nm (Gritter, 1985).

Menurut Mulja dan Suharman (1995), pada sistem KLT dikenal istilah kecepatan rambat suatu senyawa dan diberi simbol Rf. Harga Rf ini ditentukan oleh jarak rambat senyawa dari titik awal dan jarak rambat pelarut dari titik awal, ditulis dengan rumus :

Rf =

Angka Rf berkisar antara 0,00 – 1,00 dan hanya dapat ditentukan dengan dua desimal. HRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berkisar antara 0 – 100 (Harborne, 1987 ; Stahl, 1973).

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan bercak dalam KLT yang juga mempengaruhi harga Rf adalah struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penjerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan kerataan dari lapisan penjerap, derajat kemurnian fase gerak, derajat kejenuhan uap dalam bejana pengembangan, jumlah cuplikan yang digunakan, suhu, kesetimbangan antara atmosfer dalam bejana jenuh dengan uap pelarut (Sastrohamidjojo, 2002).

Densitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan noda pada KLT. Interaksi radiasi elektromagnetik dengan noda pada KLT yang ditentukan adalah absorpsi, transmisi, pantulan pendar fluor atau pemadaman pendar fluor dari


(39)

radiasi semula. Densitometri lebih dititikberatkan untuk analisis kuantitatif analit-analit dengan kadar sangat kecil yang perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu dengan KLT. Prinsip analisis kuantitatif dengan metode densitometri hampir sama dengan metode spektrofotometri penentuan kadar analit yang dikorelasikan dengan area noda pada KLT akan lebih terjamin kesahihannya dibanding metode KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) atau KGC (Kromatografi Gas Cair), sebab area noda kromatogram diukur pada posisi diam (Mulja dan Suharman, 1995).

F. KLT Preparatif

KLT preparatif adalah salah satu metode yang paling mudah dan murah yang digunakan untuk isolasi komponen suatu senyawa. Tetapi membutuhkan kerja yang lebih intensif dan tiap-tiap fraksi yang diperoleh hanya dalam jumlah kecil. Sebenarnya prinsip dasar KLTP sama dengan KLT pada umumnya. Tetapi ada perbedaan yang paling mendasar yaitu tentang ukuran ketebalan penjerap dan metode penotolannya. Pada KLTP, cuplikan yang akan dipisahkan ditotolkan berupa garis lurus mendatar pada salah satu sisi pelat lapisan besar dan dikembangkan secara tegak lurus pada garis cuplikan sehingga campuran akan terpisah menjadi beberapa pita. Pita akan nampak dengan cara yang tidak merusak jika senyawa itu berwarna. Setelah itu penjerap yang mengandung pita dikerok dari pelat kaca. Kemudian cuplikan dielusi dari penjerap dengan pelarut polar. Cara ini berguna untuk memisahkan campuran reaksi sehingga diperoleh senyawa murni (Gritter, 1991).


(40)

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memeriksa pengaruh ketebalan penjerap terhadap kualitas pemisahan tetapi ketebalan yang paling sering dipakai adalah 0,5 – 2 mm. Ukuran pelat kromatografi biasanya 20 x 20 cm atau 20 x40 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran pelat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dipisahkan dengan KLTP. Penjerap yang paling umum ialah silika gel dan dipakai untuk pemisahan campuran senyawa lipofil maupun campuran senyawa hidrofil.

Keefisienan pemisahan dapat ditingkatkan dengan cara pengembangan berulang. Jika pemisahan secara KLTP telah dicapai, pelat dikeringkan dan kemudian dimasukkan lagi ke dalam bejana. Bergantung pada Rf pita, proses ini dapat diulang beberapa kali, walaupun ada kerugian waktu.

Kebanyakan penjerap KLTP mengandung indikator fluoresensi yang membantu kedudukan pita yang terpisah sepanjang senyawa yang dipisahkan menyerap sinar UV. Untuk senyawa yang tidak menyerap sinar UV, ada beberapa pilihan:

a) menyemprot dengan air,

b) menutup pelat dengan sepotong kaca menyemprot salah satu sisi dengan pereaksi semprot,

c) menambahkan senyawa pembanding (Hostettmann, 1995).

Pita yang kedudukannya telah diketahui dikerok dari pelat dengan spatula atau pengerok berbentuk tabung yang disambungkan ke pengumpul vakum. Cara terakhir tidak dapat dilakukan untuk senyawa peka karena penjerap yang mengandung senyawa yang sudah murni terus menerus terkena aliran udara dan


(41)

resiko otooksidasi selalu ada. Kemudian senyawa harus diekstraksi dari penjerap dengan pelarut sekitar 5 ml untuk 1 g penjerap. Harus diperhatikan bahwa makin lama senyawa berkontak dengan penjerap makin besar kemungkinan penguraian (Hostettmann, 1995).

G. Spektroskopi Ultra Violet (UV)

Spektroskopi ultra violet merupakan salah satu dari metode analisis yang digolongkan dalam metode spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik UV dekat (190-380 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995). Pada umumnya konfigurasi dasar setiap spektrofotometer UV berupa susunan peralatan optik yang terkonstruksi dengan susunan tertentu (gambar 3).

Gambar 3 : Bagan spektrofotometer UV berkas ganda (Skoog, et al, 1998)

Dasar dari metode ini adalah interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan atom, molekul atau ion. Dalam praktek spektrofotometri UV untuk sebagian besar dibatasi pada sistem terkonjugasi (Mulja dan Suharman, 1995).

Analisis kuantitatif spektroskopik berdasarkan hubungan antara jumlah cahaya yang diabsorpsi dan konsentrasi senyawa pengabsorpsi. Banyaknya cahaya


(42)

yang diserap pada frekuensi atau panjang gelombang tertentu sesuai dengan jumlah molekul yang ada. Hal ini menentukan banyaknya intensitas serapan yang dinyatakan sebagai transmitan (T), didefinisikan sebagai berikut:

T =

Io I

= 10-ε.b.c………. (1)

dimana Io adalah intensitas dari energi pancaran yang mengenai cuplikan, I adalah

intensitas pancaran yang keluar dari cuplikan, c adalah konsentrasi, εadalah daya serap molar dan b adalah panjang sel.

Rumusan tersebut disempurnakan dalam Hukum Lambert-Beer yang menyatakan hubungan antara transmisi dengan tebal cuplikan dan konsentrasi bahan penyerap. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai:

A = log

T 1

= a.b.c ………... (2)

Keterangan:

T = persen transmitan a = daya serap (L/g.cm) c = kadar zat (g/L) b = panjang sel (cm)

A = serapan ( Anonim, 1995b).

Harga ε didefinisikan sebagai daya serap molar. Harga ε adalah karakteristik untuk molekul atau ion penyerap dalam pelarut tertentu, pada panjang gelombang tertentu dan tidak bergantung pada konsentrasi dan panjang gelombang lintasan radiasi (Sastrohamidjojo, 2001).

ε =


(43)

Bila diketahui konsentrasi (c) larutan dalam gram per liter (g/L), maka persamaan Lambert-Beer dapat ditulis menjadi,

A = A(1%,1cm).b.c ……… (3) A adalah serapan; A(1%,1cm) adalah serapan jenis dari larutan 1% zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm; b adalah panjang sel dalam cm; dan c adalah kadar dalam g/L zat (Anonim, 1995b).

Suatu molekul dapat menyerap radiasi elektromagnetik bila mempunyai kromofor yakni gugus penyerap dalam molekul. Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom yaitu gugus fungsional yang tidak menyerap radiasi namun bila terikat bersama kromofor dapat meningkatkan penyerapan oleh kromofor atau merubah panjang gelombang serapan dan intensitas ketika bergabung dengan kromofor, misal –OCH3, -Cl, -OH dan –NH3 (Christian, 2004).

Pergeseran serapan ada 4 macam yaitu pergeseran batokromik, pergeseran hipsokromik, hiperkromik, dan hipokromik. Pergeseran batokromik adalah pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih panjang disebabkan substitusi atau pengaruh pelarut. Pergeseran hipsokromik adalah pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih pendek disebabkan substitusi atau pengaruh pelarut, misalnya dari pelarut nonpolar ke pelarut polar (Sastrohamidjojo, 2001). Efek hiperkromik adalah kenaikan intensitas serapan. Efek hipokromik adalah penurunan intensitas serapan (Connors, 1982).

Transisi elektronik senyawa organik yang dapat terjadi yaitu transisi dari orbital σ→σ*, π→π*, n→σ*, n→π* yang ditunjukkan oleh gambar berikut:


(44)

Gambar 4 : Tingkat energi elektron molekul (Skoog, et al, 1998)

1. transisi elektron n→ π*, meliputi transisi elektron-elektron heteroatom tak berikatan ke orbital antibonding π* seperti N, S, O, dan Halogen. Serapan ini terjadi pada panjang gelombang yang panjang dan intensitasnya rendah

2. transisi elektron n→ σ*. Senyawa-senyawa jenuh yang mengandung heteroatom memiliki elektron-elektron nonbonding, disamping elektron σ, yang dapat dipromosikan pada panjang gelombang yang pendek, ke keadaan antibonding σ*. Transisi ini terjadi pada panjang gelombang di bawah 200 nm. 3. transisi elektron π→π*, terjadi pada elektron di orbital π, yaitu pada ikatan rangkap dua dan rangkap tiga. Eksitasi ini paling mudah terbaca dan bertanggung jawab terhadap spektra elektronik dalam daerah UV dan tampak 4. transisi elektron σ→ σ*, terjadi pada elektron yang mempunyai ikatan tunggal kovalen. Tingkat energi yang dibutuhkan untuk eksitasi ini sangat besar dan absorpsi elektron σ untuk bertransisi yaitu pada panjang gelombang sekitar 150 nm (Christian, 2004 ; Sastrohamidjojo, 2001).

H. KETERANGAN EMPIRIS

Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui tipe saponin pada kecambah kedelai beserta karakternya secara KLT dan spektroskopi UV.


(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian non-eksperimental, karena di dalam penelitian ini tidak dilakukan manipulasi atau intervensi terhadap subjek uji.

B. Definisi Operasional

1. Identifikasi organoleptik dan makroskopik adalah cara untuk menentukan ciri khas simplisia yang dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap rasa, warna, bau, dan bentuk dari kecambah kedelai.

2. Uji buih adalah cara untuk mengetahui adanya saponin dengan menggojok ekstrak air dari kecambah kedelai dalam tabung reaksi sampai terbentuk busa yang mantap selama 10 menit.

3. Isolasi saponin kecambah kedelai adalah proses pengambilan saponin dari kecambah kedelai dengan cara kromarografi lapis tipis preparatif.

4. Karakteristik saponin kecambah kedelai secara KLT adalah hasil KLT yang didapatkan berupa warna bercak dan Rf saponin kecambah kedelai.

5. Karakteristik saponin kecambah kedelai secara spektroskopi UV adalah hasil spekra isolat saponin kecambah kedelai berupa serapan maksimum pada panjang gelombang tertentu.


(46)

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian

a. bahan utama : kecambah kedelai varietas Galunggung yang bijinya diambil dari Balai Pengembangan dan Promosi Agribisnis Perbenihan Tanaman Pangan, Gunungkidul, Yogyakarta.

b. bahan kimia yang digunakan, kecuali disebut lain, berderajat pro analisis, yaitu: aquadestilata (diambil dari Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi USD), asam asetat anhidrida, asam sulfat, asam klorida, kloroform, metanol, n-butanol, etanol, natrium sulfat anhidrat, silika gel GF254, anisaldehid, Succus Liquiritae sebagai pembanding yang diambil dari Laboratorium Farmasetika Fakultas Farmasi USD (asal BRATACO/pharmaceutical grade).

2. Alat Penelitian

Bakul bambu, neraca analitik (Metler Toledo), kompor, alat hidrolisis / pendingin balik, magnetic stirrer, oven, penangas air, atomizer, mikropipet,

sinterred glass, lampu UV 254 nm, alat untuk fotografi, spektrofotometer

UV-Vis Lambda 20 (Perkin Elmer) dan kuvet (Quartz), serta peralatan gelas (pipet, tabung reaksi, Erlenmeyer, corong pisah, gelas Baker, dan lain-lain).

D. Jalan Penelitian 1. Identifikasi Tanaman

Identifikasi tanaman dilakukan di Balai Pengembangan dan Promosi Agribisnis Perbenihan Tanaman Pangan di Gunung Kidul, Yogyakarta untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan untuk penelitian ini adalah benar.


(47)

2. Pengumpulan Bahan dan Proses Perkecambahan

Pengumpulan biji kedelai dilakukan dan diambil dari Balai Pengembangan dan Promosi Agribisnis Perbenihan Tanaman Pangan di Gunung Kidul, Yogyakarta. Kedelai yang digunakan adalah kedelai varietas Galunggung. Biji dipilih yang baik untuk dikecambahkan

Proses pembuatan kecambah kedelai adalah dengan merendam biji kedelai dalam air secukupnya selama satu malam. Simpan biji kedelai di tempat yang gelap dan lembab dengan menggunakan bakul dari bambu. Usahakan biji tetap dalam keadaan lembab dengan menyiraminya setiap 5 jam sekali. Biji mulai berkecambah setelah 24 jam, dan kecambah siap dipakai setelah 3 hari (Adisarwanto, 2005).

3. Pemeriksaan Organoleptik dan Makroskopik

Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap rasa, warna, bau, dan bentuk kecambah kedelai.

4. Uji Saponin a. Uji buih

Sebanyak 1 g kecambah yang akan diperiksa dihancurkan kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Terbentuk buih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit (Anonim, 1995)

b. Reaksi Liebermann – Burchard

Sejumlah 1 g bahan dipanasi dengan 1 ml asam asetat anhidrida, dinginkan, lalu ditetesi dengan asam sulfat pekat 2 tetes. Jika mengandung


(48)

senyawa steroid akan terbentuk warna hijau biru, atau akan terbentuk warna merah muda sampai merah jika mengandung senyawa triterpenoid (Bruneton, 1999).

c. Reaksi Salkowski

Sebanyak 1 g kecambah kedelai utuh dan kecambah kedelai yang telah dihancurkan, secara terpisah ditambah kloroform, kemudian ditambahkan 1 ml asam sulfat pekat. Apabila terbentuk warna kuning yang lama-kelamaan berubah menjadi merah tua membuktikan adanya senyawa triterpenoid (Paech and Tracey, 1955).

5. Hidrolisis Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae

Sejumlah 8 g kecambah kedelai dan 5 g Succus Liquiritae dihidrolisis secara terpisah dengan 50 ml HCl 1 M selama 2 jam dengan menggunakan pendingin balik kemudian didinginkan (Harborne, 1987).

6. Ekstraksi Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae

Hidrolisat yang diperoleh dituang ke dalam Erlenmeyer bertutup, ditambahkan kloroform 30 ml dan diaduk menggunakan magnetic stirrer

selama 30 menit. Fase kloroform yang terbentuk dipisahkan dengan corong pisah, larutan fase air asam diekstraksi ulang dengan kloroform sebanyak 3 kali. Fase kloroform yang diperoleh ditambah dengan natrium sulfat anhidrat lalu disaring. Filtrat yang diperoleh diuapkan di atas penangas air. Hasil yang diperoleh adalah fraksi kloroform kecambah kedelai dan Succus Liquiritae


(49)

7. Pemeriksaan Pendahuluan Saponin dengan Kromatografi Lapis Tipis Pemisahan dengan metode KLT ini menggunakan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak kloroform-metanol (95:5 v/v). Pada titik pertama lempeng ditotolkan fraksi kloroform pembanding Succus Liquiritae sebanyak 5 µl dan pada titik kedua ditotolkan fraksi kloroform kecambah kedelai sebanyak 10 µl. Jarak penotolan 1,5 cm dari tepi bawah lempeng dengan jarak pengembangan 10 cm. Setelah eluasi mencapai batas tersebut, lempeng diangkat dan dikeringkan, kemudian dimasukkan kembali dalam bejana. Pengembangan berulang dilakukan 2x. Setelah 2x pengembangan, lempeng dikeringkan, lalu diamati di bawah lampu UV 254 nm. Selanjutnya disemprot dengan pereaksi anisaldehida-asam sulfat LP, dipanaskan pada suhu 110°C selama 5-10 menit lalu diamati dengan sinar tampak.

8. Isolasi Saponin dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Isolasi atau pemisahan dari senyawa-senyawa lain dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif. Fase diam yang digunakan adalah silika gel GF254 pada lempeng berukuran 20x20 dengan ketebalan 0,5 mm dan fase geraknya adalah kloroform:metanol (95:5 v/v).

Pada lempeng dilakukan penotolan 10 µl fraksi kloroform berbentuk pita, kemudian dikembangkan dengan fase gerak. Setelah pemisahan KLTP dicapai, pelat dikeringkan kemudian dimasukkan lagi ke dalam bejana. Pengembangan berulang dilakukan sebanyak 2x.

Setelah pelat dikeringkan, pita yang menunjukkan hasil Rf yang sama dengan KLT pendahuluan dikerok dan dikumpulkan, kemudian disari dengan


(50)

cara kerokan dimasukkan ke dalam sinterred glass lalu ditambah kloroform 5 x 20 ml, lalu disaring. Cairan hasil penyaringan diuapkan di atas penangas air sampai kering.

Filtrat hasil penguapan diencerkan dengan kloroform kemudian dilakukan kembali isolasi dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif. Fase diam yang digunakan adalah silika gel GF254 pada lempeng berukuran 20x20 dengan ketebalan 0,5 mm dan fase geraknya adalah n butanol:etanol:air (7:2:5 v/v). Pada lempeng dilakukan penotolan 10 µl fraksi kloroform berbentuk pita, kemudian dikembangkan dengan fase gerak.

Setelah pelat dikeringkan, pita yang menunjukkan hasil Rf yang sama dengan KLT pendahuluan dikerok dan dikumpulkan, kemudian disari dengan cara kerokan dimasukkan ke dalam sinterred glass lalu ditambah kloroform 5 x 20 ml, dan disaring. Cairan hasil penyaringan diuapkan di atas penangas air sampai kering. Filtrat ini disebut isolat saponin kecambah kedelai dan Succus

Liquiritae.

9. Uji Kemurnian dengan KLT Multi-eluen

Pemisahan dengan metode KLT multi eluen ini menggunakan fase diam silika gel GF254 dan 3 komposisi fase gerak, yaitu :

1. kloroform:metanol (95:5 v/v),

2. kloroform:metanol:air (64:50:10 v/v), dan

3. n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v) (Stahl, 1973 ; Wagner, 1999 ; Gasparic, 1978).


(51)

Pada titik pertama lempeng ditotolkan pembanding dan pada titik kedua ditotolkan isolat saponin kecambah kedelai. Kedua cuplikan ditotolkan dengan jumlah yang sama yaitu 10 µl dengan jarak penotolan 1,5 cm dari tepi bawah lempeng. Selanjutnya lempeng dielusi dengan fase gerak dengan batas elusi 10 cm. Setelah eluasi mencapai batas tersebut, lempeng diangkat dan dikeringkan di udara selama 10 menit, lalu diamati dengan sinar tampak, di bawah lampu UV 254 nm. Selanjutnya disemprot dengan pereaksi anisaldehida-asam sulfat LP, dipanaskan pada suhu 110°C selama 5-10 menit lalu diamati dengan sinar tampak.

10. Spektroskopi Ultra Violet (UV)

Isolat yang berisi saponin kecambah kedelai diencerkan dengan etanol, larutan ini kemudian dibaca serapannya dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 220-350 nm.

E. Tata Cara Analisis Hasil

Data yang telah diperoleh berupa data kualitatif dan akan dipaparkan secara deskriptif komparatif, yakni dengan menggambarkan secara apa adanya hasil yang diperoleh dan dibandingkan dengan standar/pembanding yang sesuai.

Analisis kandungan kimia kecambah kedelai, dalam hal ini untuk mengetahui golongan saponin dilakukan dengan cara uji pendahuluan yang berupa uji buih dan reaksi warna (reaksi Liebermann-Burchard dan reaksi Salkowski). Selain itu untuk analisis golongan saponin pada kecambah kedelai dilakukan juga KLT, dengan cara membandingkan warna bercak dan Rf dari ekstrak kecambah


(52)

kedelai dan ekstrak Succus Liquiritae (yang digunakan sebagai pembanding) secara kualitatif.

Isolasi saponin kecambah kedelai dilakukan dengan metode KLT preparatif, sedangkan uji kemurnian isolat dengan menggunakan metode KLT multi-eluen. Analisis hasil KLT multi-eluen dilihat dari kromatogramnya yang hanya menghasilkan satu bercak. Untuk menambah data dilakukan juga analisis secara kualitatif dengan menggunakan spektrofotometri UV untuk melihat identitas dari isolat.


(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Tanaman

Berdasarkan hasil identifikasi tanaman yang dilakukan di Balai Pengembangan dan Promosi Agribisnis Perbenihan Tanaman Pangan, Gunung Kidul, Yogyakarta, maka dapat diperoleh kepastian bahwa tumbuhan yang diidentifikasi adalah Glycine max L. (Lampiran 1)

B. Pengumpulan Bahan dan Proses Perkecambahan

Bahan yang digunakan adalah biji kedelai yang diambil dari Balai Pengembangan dan Promosi Agribisnis Perbenihan Tanaman Pangan di daerah Gading, Gunung Kidul, Yogyakarta.

Untuk membuat kecambah tidak dikhususkan menggunakan varietas tertentu. Maka dalam penelitian ini digunakan biji kedelai varietas Galunggung dengan alasan biji kedelai varietas ini lebih besar dari biji kedelai varietas lain, sehingga diharapkan saponin yang terkandung lebih banyak.

Proses pembuatan kecambah dilakukan dengam menggunakan biji kedelai yang baik, artinya biji tidak busuk dan berbentuk baik. Biji kemudian dicuci bersih dan direndam dalam air secukupnya selama 1 malam. Proses perendaman ini bertujuan supaya biji menarik air dan kulit bijinya melunak, sehingga dapat berkecambah. Setelah perendaman selama 1 malam, biji disebar di atas daun pisang yang diletakkan dalam wadah bambu atau tampah dan ditutup dengan daun


(54)

pisang, kemudian disimpan dalam ruang gelap. Biji disebar supaya semua biji mendapat udara, dan disimpan dalam ruang gelap agar biji dapat berkecambah dengan baik. Biji kedelai disiram air tiap 5 jam sekali dengan alasan supaya biji tetap dalam lingkungan yang lembab, sebab jika terlalu sering disiram biji akan terlalu basah sehingga busuk dan tidak dapat berkecambah. Biji kedelai mulai berkecambah setelah 1 hari, dan kecambah dapat digunakan setelah 3 hari.

C. Pemeriksaan Organoleptik dan Makroskopik

Pemeriksaan oganoleptik dan makroskopik kecambah kedelai dilakukan untuk mengetahui ciri-ciri dari kecambah kedelai berdasarkan pengamatan terhadap bentuk, rasa, warna, dan bau dari kecambah kedelai (Tabel I).

Tabel I : Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik terhadap kecambah kedelai

Pemeriksaan Kecambah kedelai

Rasa Tawar, agak pahit

Warna Putih kekuningan

Bau Langu

Bentuk Radikel berwarna putih dengan panjang ± 4 cm ; kotiledon berwarna kekuningan dengan bentuk cembung pada satu sisi dan rata pada sisi lain, jumlah dua, dan duduk berhadapan pada sisi yang rata ; ruas batang lembaga di atas kotiledon

(internodium epicotylum)

Kecambah yang digunakan pada penelitian ini dipilih yang baik. Sebelumnya, kulit biji dibersihkan. Tidak ada definisi spesifik mengenai kecambah yang baik, karena itu pada penelitian ini kecambah yang dipilih adalah yang segar/tidak layu, kotiledon tidak rusak, utuh, tidak lembek, serta tidak ada noda.


(55)

D. Uji Saponin 1. Uji buih

Pemeriksaan uji saponin secara sederhana dilakukan terhadap kecambah kedelai yang telah dihancurkan. Hasil uji buih pada awal menit pertama timbul buih dengan tinggi lebih kurang 1,5 cm dan setelah dibiarkan 10 menit, buih tetap ada dengan tinggi yang sama. Hasil yang diperoleh sesuai dengan ketentuan (Anonim, 1995). Ini menunjukkan bahwa kecambah kedelai mengandung saponin. Buih dapat terbentuk karena saponin mempunyai sifat dapat menurunkan tegangan permukaan air. Seperti sabun, saponin mempunyai molekul besar yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik. Dalam air, molekul saponin mensejajarkan diri secara vertikal pada permukaannya, dengan gugus lipofilik menjauhi air (gambar 4).

OH COO H R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 2 0 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 3 0

O H H

g u gu s h id ro filik

g ug u s lip o

filik

gu gus hid ro filik

O H H

Gambar 5 : Mekanisme terbentuknya buih

Adsorpsi molekul saponin pada permukaan air dapat mengakibatkan penurunan tegangan permukaan air yang dapat menimbulkan buih. Buih merupakan suatu struktur yang relatif stabil yang terdiri dari kantong-kantong udara terbungkus


(56)

dalam lapisan tipis cairan, dispersi gas dalam cairan yang distabilkan oleh suatu zat penurun tegangan permukaan, dalam hal ini adalah molekul saponin.

2. Reaksi Liebermann-Burchard

Uji reaksi ini dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya senyawa triterpenoid atau steroid dalam kecambah kedelai karena reaksi ini positif dengan kebanyakan triterpenoid dan steroid. Setelah kecambah kedelai dihancurkan kemudian dipanaskan dengan asam asetat anhidrat, lalu ditambah asam sulfat pekat yang berfungsi sebagai katalis menghasilkan warna merah ungu (gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa kecambah kedelai mengandung triterpenoid. Substitusi H pada gugus hidroksi dari glikosida saponin triterpenoid dengan gugus CH3COO- tersebut menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk melakukan transisi elektron ke tingkat eksitasi menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, panjang gelombang menjadi lebih panjang dan intensitas warna meningkat.


(57)

OH COO H R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

(C H3 C O )2O

COO H R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

CH3C OO

+ CH3COOH

Asam asetat anhidrat +

Glikosida saponin triterpenoid

Glikosida saponin triterpenoid

H2SO4

(warna merah ungu)

Gambar 6: Reaksi saponin triterpenoid dengan reagen Liebermann-Burchard 3. Reaksi Salkowski

Reaksi ini untuk mempertegas bahwa senyawa yang terdapat dalam kecambah kedelai adalah triterpenoid. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil positif adanya warna kuning kecoklatan yang lama-kelamaan berubah menjadi merah tua setelah ditambah asam sulfat pekat. Kloroform digunakan sebagai pelarut, karena saponin yang terdapat dalam kecambah kedelai larut dalam kloroform. Sedangkan asam sulfat pekat yang ditambahkan digunakan sebagai oksidator. Dari warna yang terbentuk kecambah kedelai mengandung saponin triterpenoid (gambar 6).


(58)

Deprotonisasi H pada glikosida saponin triterpenoid kemungkinan menyebabkan perpanjangan gugus kromofor sehingga intensitas warna yang terjadi meningkat.

OH COO H R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

+ H2SO4

-H+ COO H R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 O

Glikosida saponin triterpenoid

Glikosida saponin triterpenoid

(warna merah tua)

Gambar 7 : Reaksi Salkowski

E. Hidrolisis Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae Untuk mendapatkan saponin dari kecambah kedelai dan Succus Liquiritae, maka dilakukan hidrolisis, karena dengan hidrolisis saponin dapat terurai menjadi bagian-bagiannya yaitu glikon dan aglikon. Saponin terhidrolisis dalam suasana asam, maka untuk menghidrolisis saponin dalam kecambah kedelai dan Succus

Liquiritae digunakan asam klorida 0,1 M untuk memberi suasana asam. Hidrolisis

dilakukan selama 2 jam menggunakan alat pendingin balik. Untuk mengetahui bahwa hidrolisis sudah terjadi dapat diketahui dari perubahan warna yang terjadi.


(59)

Kecambah kedelai yang berwarna kekuningan setelah hidrolisis berubah menjadi coklat. Namun untuk lebih memastikan terjadinya hidrolisis, maka dapat dilakukan perbandingan KLT sebelum dan sesudah hidrolisis. Biasanya harga Rf suatu senyawa setelah dihidrolisis akan lebih rendah. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan telah terjadinya hidrolisis saponin pada kecambah kedelai dan Succus Liquiritae.

Pembanding yang digunakan dalam penelitian ini adalah Succus Liquiritae. Serbuk Succus Liquiritae diperlakukan sama dengan sampel kecambah kedelai.

Succus Liquiritae merupakan ekstrak kering akar segar Glycyrrhiza glabra L.

yang mengandung saponin glisirisin. Saponin glisirisin dari Succus Liquiritae

terhidrolisis dalam suasana asam menghasilkan aglikon asam β-glisiretinat yang merupakan derivat triterpen pentasiklik dengan tipe β-amirin dan glikon berupa 2 mol asam glukoronat (Anonim, 1995b ; Robbers, et al, 1996 ; Stahl, 1973). Saponin dari Succus Liquiritae inilah yang digunakan sebagai pembanding terhadap saponin kecambah kedelai karena menurut uji pendahuluan dengan reaksi Lieberman-Burchard dan reaksi Salkowski, kecambah kedelai mengandung senyawa saponin triterpenoid. Dengan alasan ini, Succus Liquiritae digunakan sebagai pembanding untuk melihat apakah saponin kecambah kedelai mempunyai tipe yang sama dengan dari Succus Liquiritae.


(60)

H O

H

C O O H

O

Gambar 8 : Kerangka asam glisiretinat

O OH OH COOH OH H O H O OH O OH COOH COOH H+

Kalor H O

H

C O O H

O

glisirisin (asam glisirizinat) asam glisiretinat

+

O OH COOH OH OH H O H O OH OH COOH 2 mol asam glukoronat

Gambar 9 : Mekanisme hidrolisis Succus Liquiritae dalam suasana asam

F. Ekstraksi Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae Hidrolisat yang diperoleh dari hidrolisis didinginkan untuk selanjutnya diekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan penyari kloroform sebanyak 3 x 30 ml


(61)

dengan alasan agar semua hasil hidrolisis tersari oleh kloroform. Pemakaian kloroform dipilih karena saponin larut dengan baik dalam pelarut non polar, selain itu karena kloroform tidak campur dengan air dan mudah diuapkan.

Setelah penyarian dengan kloroform, fraksi kloroform kecambah kedelai

dan Succus Liquiritae yang terkumpul ditambahkan natrium sulfat anhidrat,

diaduk, kemudian disaring. Tujuan penambahan natrium sulfat anhidrat adalah untuk menarik sisa-sisa air yang kemungkinan masih ada di dalam ekstrak. Kemudian filtrat diuapkan di atas penangas air untuk dilakukan pemeriksaan berikutnya.

G. Pemeriksaan Pendahuluan Saponin dengan KLT

Pemeriksaan pendahuluan dengan KLT dimaksudkan untuk membandingkan adanya saponin yang sama antara fraksi kloroform kecambah kedelai dan pembanding fraksi kloroform Succus Liquiritae. Fase diam yang digunakan adalah silika gel GF254 dan fase gerak kloroform:metanol (95:5 v/v). Silica gel GF254 merupakan silica gel yang mengandung perekat CaSO4 dan indikator fluoresensi, sehingga jika dideteksi pada UV 254 nm silica gel akan berfluoresensi sedangkan bercaknya akan memadamkan fluoresensi. Fase gerak yang digunakan bersifat non polar sehingga sistem KLT ini merupakan kromatografi fase normal. Saponin setelah proses hidrolisis cenderung bersifat non polar, sehingga dengan fase gerak yang digunakan juga bersifat non polar diharapkan saponin terelusi dengan baik. Fraksi kloroform kecambah kedelai dan

Succus Liquiritae masing ditotolkan 10 µl dengan menggunakan mikropipet


(62)

(1) (2) Gambar 10 : KLT pendahuluan

Keterangan :

A = fraksi kloroform Succus Liquiritae (pembanding) B = fraksi kloroform kecambah kedelai (sampel) Deteksi:

(1) Dilihat dibawah sinar UV 254 nm

(2) Deteksi dengan anisaldehid-asam sulfat, dipanaskan 110°C selama 5-10 menit, dilihat dengan sinar tampak

Fase diam : silika gel GF254

Fase gerak : kloroform:metanol (95:5 v/v) Jarak pengembangan : 10 cm


(63)

Tabel II : Hasil kromatogram KLT pendahuluan dengan menggunakan fase diam silica gel GF254 dan fase gerak kloroform:metanol (95:5 v/v)

Nama bercak

Nomor bercak

Rf UV 254 nm Anisaldehid-asam sulfat

A 1

2 3 4 5 6 0,25 0,32 0,38 0,49 0,65 0,92 Ungu Ungu Ungu Ungu Ungu Ungu Kuning Kuning Coklat pucat Biru-ungu - Coklat tua

B 1

2 3 4 5 6 0,19 0,34 0,50 0,65 0,81 0,95 Ungu Ungu Ungu - Ungu Ungu - Coklat pucat Biru-ungu Coklat - Coklat tua Keterangan :

A = fraksi kloroform Succus Liquiritae (pembanding) B = fraksi kloroform kecambah kedelai (sampel) Deteksi : (1) Dilihat dibawah sinar UV 254 nm

(2) Pereaksi anisaldehid-asam sulfat, dipanaskan 110°C selama 5-10 menit

Dari hasil kromatogram yang menghasilkan banyak bercak tersebut terdapat beberapa bercak yang mempunyai Rf dan warna yang sama. Bercak tersebut adalah A4 dengan Rf 0,49 dan B3 dengan Rf 0,50 yang berwarna biru– ungu, serta bercak A6 dengan Rf 0,92 dan B6 dengan Rf 0,95 dengan warna coklat tua. Menurut Stahl (1985), bercak asam glisiretinat yang merupakan saponin golongan triterpenoid berwarna biru-ungu dengan hRf sekitar 20-30 pada fase diam silica gel GF254 asam (yang dibuat dengan asam o-fosfat 0,25 % sebagai pengganti air) dan fase gerak kloroform:metanol (95 : 5 v/v), pengembangan 2x suhu percobaan 20°C, dan deteksi dengan anisaldehid-asam sulfat (dipanaskan selama 5 menit pada suhu 105°C). Maka kedua bercak A4 dan B3 yang mendekati referensi inilah yang selanjutnya akan diisolasi. Perbedaan Rf yang terjadi antara


(64)

penelitian dengan literatur mungkin karena fase diam yang dipakai berbeda, juga kondisi percobaan yang berbeda karena pada penelitian suhu yang dipakai adalah suhu ruangan (± 25-27°C), sehingga memungkinkan terjadinya Rf lebih tinggi. Selain itu dari hasil penelitian sebelumnya tentang saponin, menyatakan bahwa hRf saponin triterpenoid golongan β-amirin sekitar 55 dengan warna kebiruan setelah dideteksi dengan anisaldehid-asam sulfat (Yanuarsih, 2001).

H. Isolasi Saponin dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif Isolasi dengan kromatografi lapis tipis preparatif dilakukan untuk memperoleh isolat yang mengandung saponin yang dimaksud. Fase diam yang digunakan adalah silika gel GF254 pada plate kaca 20 x 20 cm. Fase gerak yang digunakan pada tahap pertama adalah kloroform:metanol (95:5 v/v) karena pada KLT pendahuluan menghasilkan pemisahan yang cukup baik. Setelah pengembangan berulang sebanyak 2x, hasil eluasi yang menunjukkan Rf yang sama dengan KLT pendahuluan kemudian dikerok dengan hati-hati menggunakan spatula dan dikumpulkan. Pengembangan berulang dimaksudkan untuk mencapai keefisienan pemisahan, karena semakin banyak dilakukan pengembangan berulang, pemisahan senyawa semakin baik. Dalam penelitian ini, 2x pengembangan sudah menghasilkan pemisahan yang cukup baik karena bercak yang didapat terlihat jelas dan tidak terlalu dekat satu sama lain, sehingga lebih mudah untuk dikerok. Hasil kerokan kemudian disaring dengan kloroform menggunakan sinterred glass lalu diuapkan. Jumlah fase diam yang digunakan pada isolasi ini sejumlah 5 plate dengan maksud agar isolat yang didapat lebih banyak. Jumlah kloroform yang digunakan untuk menyari adalah 5 x 20 ml


(65)

berdasarkan alasan bahwa untuk menyaring menggunakan sinterred glass hasil kerokan harus benar-benar terendam oleh pelarut, dan dilakukan minimal 3x sehingga penyaringan dilakukan sebanyak 5x.

Isolat tahap pertama yang didapatkan kemudian diisolasi kembali dengan metode yang sama. Fase diam yang digunakan sama dengan sebelumnya, namun fase gerak yang dipakai adalah n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v) alasannya karena ternyata setelah isolat tahap pertama diuji kemurniannya dengan fase gerak tersebut, masih bisa terpisahkan menjadi 2 bercak dengan Rf sekitar 0,8 berwarna biru ungu dan Rf sekitar 0,88 berwarna coklat (gambar 10). Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena kekuatan pemisahan fase gerak ini paling baik. Dengan begitu maka akan timbul pertanyaan mengapa pada KLT pendahuluan, fase gerak ini tidak digunakan. Hal tersebut karena pada KLT pendahuluan, yang ditotolkan adalah ekstrak kloroform kecambah kedelai dan Succus Liquiritae yang pekat, sehingga fase gerak ini malah tidak cukup baik memisahkan.


(66)

Gambar 11 : Uji kemurnian isolat tahap pertama dengan fase gerak n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v) Keterangan :

A = isolat saponin kecambah kedelai (sampel)

B = isolat saponin gabungan (Succus Liquiritae dan kecambah kedelai) C = isolat saponin Succus Liquiritae (pembanding)

Deteksi : anisaldehid-asam sulfat, dipanaskan 110°C selama 5-10 menit, dilihat dengan sinar tampak

Fase diam : silika gel GF254 Jarak pengembangan : 10 cm


(67)

Pada isolasi tahap yang kedua, langkah yang digunakan sama seperti isolasi tahap pertama, hanya saja tidak dilakukan pengembangan berulang, karena fase gerak ini sudah memisahkan dengan baik dengan satu kali eluasi. Bercak yang diisolasi adalah bercak dengan Rf sekitar 0,8 (bercak yang bawah) karena bercak tersebut pada KLT uji kemurnian isolat tahap pertama menghasilkan warna biru ungu (sesuai literatur). Sehingga akhirnya didapatkan isolat yang murni yang berisi saponin kecambah kedelai dan Succus Liquiritae yang dimaksud.

I. Uji Kemurnian dengan KLT Multi-eluen

Isolat saponin yang didapat kemudian diuji kemurniannya dengan KLT multi-eluen (Gambar 10, 11, dan 12). Fase gerak yang digunakan berbeda-beda dengan maksud untuk melihat apakah isolat tersebut benar-benar murni, karena jika isolat tersebut merupakan 1 senyawa murni maka hanya memberi satu bercak saja untuk setiap fase gerak yang berbeda. Fase gerak yang dipakai dalam uji kemurnian ini adalah kloroform:metanol (95:5 v/v), kloroform:metanol:air (64:50:10 v/v) dan n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v). Adapun alasan digunakan 3 fase gerak karena untuk uji kemurnian dengan KLT multi-eluen paling sedikit dipakai 3 fase gerak yang berbeda. Fase gerak-fase gerak yang dipilih berdasarkan tingkat kepolarannya sehingga dapat diketahui benar kemurniannya. Fase gerak kloroform:metanol (95:5 v/v) bersifat non polar, sedang kloroform:metanol:air (64:50:10 v/v) dan n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v) bersifat semi polar.


(68)

Tabel III : Uji kemurnian isolat saponin dengan beberapa fase gerak

Fase gerak

Nomor bercak

Rf UV

254 nm

Anisaldehid-asam sulfat A 0,45 Ungu Biru-ungu Kloroform:metanol

(95:5 v/v) B 0,46 Ungu Biru-ungu

A 0,93 Ungu Biru-ungu Klorofrom:metanol:air

(64:50:10 v/v) B 0,94 Ungu Biru-ungu A 0,78 Ungu Biru-ungu n-butanol:etanol:air

(7:2:5 v/v) B 0,81 Ungu Biru-ungu

Keterangan :

A = isolat Succus Liquiritae (pembanding) B = isolat kecambah kedelai (sampel)

Deteksi : (1) Dilihat dibawah sinar UV 254 nm


(69)

(1) (2) Gambar 12 : Uji kemurnian dengan KLT multi-eluen

dengan fase gerak kloroform:metanol (95:5 v/v) Keterangan :

A = isolat saponin Succus Liquiritae (pembanding) B = isolat saponin kecambah kedelai (sampel) Deteksi:

(1) Dilihat dibawah sinar UV 254 nm

(2) Deteksi dengan anisaldehid-asam sulfat, dipanaskan 110°C selama 5-10 menit, dilihat dengan sinar tampak

Fase diam : silika gel GF254 Jarak pengembangan : 10 cm


(70)

(1) (2)

Gambar 13 : Uji kemurnian dengan KLT multi-eluen dengan fase gerak kloroform:metanol:air (64:5:10 v/v) Keterangan :

A = isolat saponin Succus Liquiritae (pembanding) B = isolat saponin kecambah kedelai (sampel) Deteksi:

(1) Dilihat dibawah sinar UV 254 nm

(2) Deteksi dengan anisaldehid-asam sulfat, dipanaskan 110°C selama 5-10 menit, dilihat dengan sinar tampak

Fase diam : silika gel GF254 Jarak pengembangan : 10 cm


(71)

(1) (2) Gambar 14 : Uji kemurnian dengan KLT multi-eluen

dengan fase gerak n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v) Keterangan :

A = isolat saponin Succus Liquiritae (pembanding) B = isolat saponin kecambah kedelai (sampel) Deteksi:

(1) Dilihat dibawah sinar UV 254 nm

(2) Deteksi dengan anisaldehid-asam sulfat, dipanaskan 110°C selama 5-10 menit, dilihat dengan sinar tampak

Fase diam : silika gel GF254 Jarak pengembangan : 10 cm


(72)

Dari hasil deteksi menggunakan sinar UV 254 nm menunjukkan adanya peredaman bercak yang berwarna ungu dengan latar berfluoresensi hijau. Hal ini dikarenakan senyawa saponin mempunyai gugus kromofor yang menyerap sinar UV dan tidak memantulkannya kembali, sehingga terjadi peredaman. Bercak saponin kecambah kedelai dan Succus Liquiritae setelah disemprot dengan pereaksi anisaldehid-asam sulfat tampak menimbulkan bercak berwarna biru-ungu (gambar 14). Deteksi menggunakan anisaldehid-asam sulfat ini untuk mengetahui bercak saponin dan bercak lain sehingga diketahui kemurniannya. Adanya penambahan panjang gugus kromofor menyebabkan serapan bercak senyawa berada pada panjang gelombang yang lebih panjang sehingga intensitas warna juga meningkat dan terlihat pada sinar tampak.

H2SO4 H + + HSO4

-COOH

OH

O

H

+

H+

OCH3

C

O H


(73)

C

+

COOH OH O H OCH3 HO H COOH O H C OH O H H -H+

H3CO

COOH O H C OH O H [O] H3CO

+

H2

COOH O H C O O H3CO

(warna biru-ungu)

Gambar 15 : Mekanisme reaksi saponin triterpenoid dengan penampak bercak anisaldehid-asam sulfat


(74)

Isolat yang didapat murni karena dari kedua cuplikan sampel dan pembanding hanya memberikan satu bercak untuk pada tiap komposisi fase gerak yang berbeda. Bercak tunggal dengan Rf yang hampir mirip yaitu 0,46 untuk isolat saponin kecambah kedelai dan 0,45 untuk Succus Liquiritae diperoleh dari KLT dengan fase gerak kloroform:metanol (95:5 v/v). Dari KLT dengan fase gerak kloroform:metanol:air (64:50:10 v/v), didapatkan bercak dengan Rf 0,94 untuk kecambah kedelai dan 0,93 untuk Succus Liquiritae. Untuk KLT dengan komposisi fase gerak n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v), memberikan bercak dengan Rf 0,81 untuk kecambah kedelai dan 0,78 untuk Succus Liquiritae. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel kecambah kedelai mengandung senyawa yang sama dengan yang dikandung pembanding Succus Liquiritae, yakni saponin golongan triterpenoid. Selain harga Rf dan warna yang mirip, persamaan tersebut juga didukung dengan KLT dengan totolan gabungan dari sampel dan pembanding yang menghasilkan bercak yang sama (gambar 10).

J. Spektroskopi Ultra Violet (UV)

Untuk mendapatkan karakterisik saponin kecambah kedelai dilakukan pemeriksaan dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 220-350 nm. Panjang gelombang tersebut dipilih karena senyawa yang diukur tidak berwarna. Pelarut yang dipakai yaitu etanol, dengan alasan etanol tidak mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi, dapat melarutkan saponin dengan baik, merupakan pelarut umum yang dipakai untuk spektroskopi, dan mempunyai derajat kemurnian yang tinggi.


(75)

Walaupun pada tahap awal penelitian pelarut yang digunakan adalah kloroform, namun karena UV cut-off (penggal UV) dari kloroform tinggi yakni, 245 nm, maka akan mengganggu pengukuran serapan senyawa saponin kecambah kedelai dan Succus Liquiritae yang ternyata menyerap di panjang gelombang 280 nm, sehingga bentuk spektra yang dihasilkan tidak begitu baik. Karena itu digunakan etanol yang mempunyai UV cut-off di 210 nm, sehingga bisa didapat spektra yang baik.

Saponin pada Succus Liquiritae dapat dideteksi dengan UV karena mempunyai kromofor sederhana (ditunjukkan dengan garis merah). Transisi elektron yang terjadi menurut struktur asam glisiretinat tersebut adalah n→ π*, π→π*

, dan σ→σ*

O

HO

H3C CH3

CH3

CH3 H3C COOH

Gambar 16 : Gugus kromofor asam glisiretinat

Menurut hasil KLT, saponin kecambah kedelai mempunyai tipe yang sama dengan saponin Succus Liquiritae, maka kemungkinan saponin kecambah kedelai juga mempunyai gugus kromofor sehingga dapat diperiksa dengan spektroskopi UV.


(76)

Gambar 17: Spektra saponin kecambah kedelai (sampel)


(77)

Dari spektra pada gambar 15 dan 16, saponin kecambah kedelai menunjukkan puncak tunggal pada panjang gelombang 280,6 nm, sedangkan

Succus Liquiritae sebagai pembanding menunjukkan puncak tunggal pada

panjang gelombang 280,5 nm. Hasil tersebut dapat dikatakan sama karena hanya berbeda 0,1 nm, padahal menurut Farmakope Indonesia edisi IV, range perbedaan yang diperbolehkan adalah 2 nm. Selain itu bentuk spektra kedua senyawa mirip, yakni bentuk puncak tunggal saponin kecambah kedelai mulai dari 243,5 nm kemudian membentuk puncak pada 280,6 nm lalu menurun kembali ; bentuk puncak tunggal saponin Succus Liquiritae mulai dari 242,9 nm kemudian membentuk puncak pada 280,5 nm lalu menurun kembali. Hal ini menunjukkan bahwa saponin yang terkandung dalam kecambah kedelai sama dengan saponin dalam Succus Liquiritae, yakni saponin tipe triterpenoid.


(78)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Tipe saponin pada kecambah kedelai adalah tipe triterpenoid.

2. Karakter saponin kecambah ke delai secara KLT menghasilkan bercak berwarna biru-ungu dengan :

a. Rf 0,46 pada fase gerak kloroform:metanol (95:5 v/v)

b. Rf 0,94 pada fase gerak kloroform:metanol:air (64:50:10 v/v)

c. Rf 0,81 pada fase gerak n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v) ; fase diam silica gel GF254

Secara spektroskopi UV, saponin kecambah kedelai mempunyai karakter memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 280,6 nm.

B. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk identifikasi senyawa dan elusidasi struktur saponin kecambah kedelai dengan menggunakan spektroskopi IR dan NMR.

2. Perlu dilakukan penelitian mengenai saponin pada kecambah kedelai secara kuantitatif.

3. Perlu dilakukan uji KLT sebelum dan setelah hidrolisis untuk lebih memastikan bahwa proses hidrolisis telah terjadi.

4. Perlu dilakukan identifikasi gula (glikon) dari saponin kecambah kedelai, dengan cara melakukan uji KLT dari fase air-asam setelah proses ekstraksi.


(1)

Lampiran 5 : Uji saponin dengan uji buih

A B

A : uji buih pada awal menit B : uji buih setelah 10 menit


(2)

A B

Keterangan :

i yang dihaluskan dan dipanaskan dengan asam asetat

a idrat fat pekat

: kecambah kedelai yang dihaluskan dan dipanaskan dengan asam asetat anhidrat setelah penambahan asam sulfat pekat

A : kecambah kedela

nh sebelum penambahan asam sul B


(3)

ampiran 7 : Reaksi Salkowski

: kecambah utuh dalam kloroform setelah penambahan asam sulfat pekat : kecambah yang telah dihancurkan dalam kloroform setelah penambahan asam

sulfat pekat L

A B Keterangan :

A B


(4)

(5)

ampiran 9 : Alat menyaring isolat L


(6)

ogyakarta, 1 Juni

TK di

emudian menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Tarakanita Bumijo ogyakarta selama 6 tahun dan tamat pada tahun 1997. Pada tahun 1997 pula, enulis melanjutkan studi di SLTP 8 Yogyakarta selama 3 tahun. Kemudian penulis memasuki SMU Stella Duce Yogyakarta pada tahun 2000 untuk menempuh pendidikan SMU dan tama pada tahun 2003. Penulis selanjutnya meneruskan studinya di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma pada tahun 2003.

Nama lengkap penulis adalah Yustina Sakundita Puspariani. Penulis dilahirkan di Y

1985, dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Yustinus Bambang Purwanto dan Ch.Sri Hari Ujiningtyas. Penulis menempuh pendidikan TK Tarakanita Bumijo, Yogyakarta pada tahun 1989, k

Y p

I t