(5963 Kali)

(1)

KONTRIBUSI ORGANISASI SOSIAL

dalam

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

KEMENTERIAN SOSIAL RI

BADAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Editor

Abu Hanifah

Gunawan

Muhtar


(2)

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Gunawan, Muhtar

Kontribusi Organisosial dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial,- P3KS Press ---Jakarta 2010

vii + 93 halaman, 14.8 x 21cm ISBN 978 - 979 - 3579 - 57 - 3

Editor : Abu Hanifah

Penulis : 1. Gunawan

2. Muhtar

Tata letak : Ch. Umam

Perwajahan : Gunawan

Cetakan I : Tahun 2010

Penerbit : P3KS Press (Anggota IKAPI)

Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III , Jakarta - Timur

Sanksi Pelanggaran Pasal 44 :

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu atau memberi izin untuk

itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).


(3)

KATA PENGANTAR

Secara prinsip, terdapat tiga pilar dalam proses pembangunan, yakni: state, private sector, dan civil society. Indonesia, saat ini, dimana demokrasi telah menjadi pilihan bersama dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan/ kenegaraan sebagai koreksi atas sistem pada era sebelumnya, maka civil society (lembaga pelayanan kemanusiaan/Organisasi Sosial) mempunyai porsi yang sama besar dengan dua pilar lainnya.

Kenyataan menunjukkan, permasalahan sosial menonjol di Indonesia sebagai negara berkembang adalah kemiskinan penduduk. Kondisi empirik itu berimplikasi pada tingginya masalah keterlantaran (anak, lanjut usia), kecacatan, dan ketunaan, sebagai masalah konvensional, disamping masalah kontemporer seperti perdagangan manusia, tindak kekerasan, penyalahgunaan narkoba, HIV/AIDS, bencana (alam, sosial) dan lainnya.

Disadari, bahwa kemampuan pemerintah relatif terbatas dalam menangani permasalahan (kesejahteraan) sosial yang semakin kompoleks, sejalan dengan dinamika masyarakat Indonesia saat ini. Dalam kondisi demikian, civil society (lembaga pelayanan kemanusiaan/Organisasi Sosial) mempunyai peran yang sama besar dengan peran pemerintah. Namun demikian, untuk berperan yang sama besar dengan pemerintah tersebut, Organisasi Sosial, (masih) dalam kondisi keterbatasan, setidaknya terkait sarana-prasarana yang dimiliki, sumberdaya pengelola, profesionalisasi dan managemen pelayanannya.

Dalam kaitan permasalahan sosial tersebut, Kementerian Sosial sebagai intitusi pemerintah, mempunyai fungsi pembinaan terhadap lembaga-lembaga pelayanan kemanusiaan/Organisasi Sosial tersebut. Terkait pembinaan/ pemberdayaan itu, kondisi riil Organisasi Sosial termasuk kontribusinya sejauh


(4)

ini, penting untuk dipahami, sebagai titik tolak untuk memberdayakannya. Dalam konteks itu, penelitian ini dilakukan, hasilnya diharapkan menjadi input baik dalam penentuan kebijakan dan implementasi program direktorat terkait di lingkungan Kementerian Sosial tersebut.

"Tiada gading yang tak retak", hasil penelitian ini masih banyak kekurangan baik dalam proses penelitian maupun penyajian hasilnya. Oleh karenanya, saran perbaikan dari berbagai pihak menjadi penting untuk penyempurnaaanya. Akhirnya, kepada Tim peneliti dan semua pihak terkait dalam penelitian hingga tersusunnya hasil penelitian dalam bingkai buku ini kami sampaikan ucapan terima kasih.

Jakarta, November 2010 Kepala Puslitbang Kessos

Dr. Yusnar Yusuf, MS. NIP. 19550325 19703 1 001


(5)

ABSTRAK

Dalam kurun waktu satu dekade tahun 2001-2010, krisis moneter, krisis ekonomi global, dan berbagai bencana alam yang terjadi selama ini telah memicu bertambah luasnya permasalahan kesejahteraan sosial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Prinsip dasar dalam mengatasi masalah ini adalah kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat. Kontribusi organisasi dalam pembangunan kesejahteraan sosial di 6 kota besar merupakan salah satu upaya untuk mengidentifikasi kondisi organisasi sosial; kontribusi orsos dalam pembangunan kesejahteraan sosial; program yang dapat memberikan akselerasi kontribusi orsos dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Dari analisis deskriptif terhadap data yang dihimpun dengan wawancara, observasi dan diskusi kelompok terungkap bahwa eksistensi organisasi sosial di tengah masyarakat cukup besar. Sasaran pelayanan mulai dari anak usia balita sampai dengan orang tua (usia lanjut). Permaslahan sosial yang dijadikan konsentrasi antara lain: pelayanan anak terlantar dan berbagai permasalahannya, keluarga miskin, penyandang cacat, Korban NAPZA. Rumah tak layak huni meskipun masih terbaik. Realisasi kegiatan organisasi sosial telah mampu menjawab tuntutan kebijakan pemerintah, bahkan tuntutan agenda dunia. Keberadaan organisasi sosial di tengah masyarakat merupakan potensi besar dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial. Potensi ini tidak akan optimal jika kurang mendapatkan perhatian instansi sektoral yang berkaitan langsung dan ruang yang lebih luas dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial di Indonesia. Sebagai pilar partisipan, organisasi sosial dapat menjalin kemitraan dengan seluruh unit yang berada di Kementerian Sosial dan/atau instansi lain (baik pemerintah maupun swasta), dan dunia usaha yang mempunyai jangkauan program sampai ke tingkat kelurahan.


(6)

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

ABSTRAK... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR TABEL... viii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 4

C. Tujuan... 5

D. Metode Penelitian... 5

E. Pelaksana Penelitian... 8

BAB II : KAJIAN PUSTAKA... 9

1. Pembangunan Kesejahteraan Sosial... 9

2. Organisasi Sosial... 12

3. Kontribusi Organisasi Sosial... 21

BAB III : GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 25

A. Kota Palembang... 25

B. Kota Semarang... 29

C. Kota Surabaya... 32

D. Kota Samarinda... 33

E. Kota Manado... 34


(8)

BAB IV : KONTRIBUSI ORGANISASI SOSIAL DALAM

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL ... 41

A. Kondisi Organisasi Sosial... 42

B. Kontribusi Organisasi Sosial... 49

C. Akselerasi Pelayanan Organisasi Sosial... 75

BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 81

A. Kesimpulan... 81

B. Rekomendasi... 83

DAFTAR PUSTAKA... 85

BIODATA PENULIS... 87


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Peta Organisasi/Lembaga Lokal... 17

Gambar 2 :... 52

Gambar 3 : Anak Balita dalam Panti... 61

Gambar 4 : Lanjut Usia dalam Panti... 62

Gambar 5 : Dokumentasi Peneliti ... 62


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Pilar Partisipan... 3

Tabel 2 : Data dan Informasi yang dibutuhkan... 7

Tabel 3 : Jenis Pelayanan Sosial dan Organisasi... 61


(11)

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era industrialisasi dan globalisasi informatika telah mempercepat proses perubahan sosial. Dalam proses perubahan sosial yang begitu cepat, tuntutan kemampuan manusia (sumber daya manusia) untuk memperoleh kesejahteraan sosial semakin tinggi. Sementara untuk menghadapi tuntutan tersebut, masih banyak masyarakat yang dihadapkan pada permasalahan: krisis ekonomi yang berkepanjangan dan telah berdampak pada krisis sosial sehingga permasalahan sosial menjadi semakin kompleks baik jenis maupun latar belakangnya.

Konsekuensi logik dari kondisi ini adalah tergusurnya masyarakat yang kurang dan/atau tidak mampu dalam menghadapi perubahan tersebut. Tergusurnya masyarakat dalam proses perubahan tersebut tercermin dari (1) jumlah angka kemiskinan yang semakin besar sehingga tidak dapat mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan dan sumber kesejahteraan sosial secara memadai (2) meningkatnya kriminalitas (baik kuantitas maupun kualitas), (3) solidaritas (kebersamaan) masyarakat semakin melemah. Sebagai ilustrasi, besarnya permasalahan ini tercermin dari 2.250.152 anak telantar, 109.454 anak jalanan, 198.578 anak nakal, 1.644.002 lanjut usia terlantar, dan 1.544.184 penyandang cacat. Sedangkan pada tahun 2008, terdapat 80.260 orang penyalahgunaan napza dengan jumlah penderita ODHA sebanyak 11.483 orang. Penyandang masalah ketunaan sosial diketahui ada 123.887 (terdiri atas 63.661 tuna susila, 35.057 pengemis, dan 25.169 gelandangan (Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008).

Pendahuluan

Bab

I


(12)

Upaya penanganan permasalahan sosial, pada dasarnya tidak hanya sebatas tanggung jawab pemerintah tetapi tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat. Peran pemerintah lebih bersifat memfasilitasi tumbuh berkembangnya tanggung jawab (partisipasi) masyarakat1. Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini tercermin dalam salah satu klausul Undang-Undang R.I. Nomor 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial pada Bab VII pasal 38 dikemukakan: " Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial". Peran tersebut dapat dilakukan oleh perseorangan, keluarga, lembaga keagamaan, Organisasi sosial kemasyarakatan, Lembaga Swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha,lembaga kesejahteraan sosial, dan lembaga kesejahteraan sosial asing".

Dalam kerangka optimalisasi peran serta masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial, pemerintah cq. Kementerian Sosial telah memfasilitasi dengan berbagai kebijakan dan program untuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam bentuk pelatihan; pembentukan wadah-wadah partisipasi bagi masyarakat, serta sarana penunjang kegiatannya. Realisasi dari kebijakan ini telah terbentuk partisipan (baik secara individu maupun kelompok/kelembagaan) yang mempunyai konsentrasi kegiatan dalam usaha kesejahteraan sosial di lingkungan masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai pilar-pilar partisipan. Manifestasi dari pilar pilar partisipan dimaksud adalah:

1. Pekerja Sosial Masyarakat ((Keputusan Menteri Sosial R.I. Nomor 14/ HUK/KEP/II/1981)

1 Pelaksanaan kegiatan baik dalam bentuk pelayanan sosial maupun rehabilitasi sosial yang

dilaksanakan oleh masyarakat lebih dikenal dengan istilah berbasis masyarakat. Keberadaan mereka merupakan potensi sosial untuk mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat


(13)

2. Karang Taruna (Keputusan Menteri Sosial RI No 13/HUK/KEP/I/1981), 3. Organisasi Sosial/Lembaga Swadaya Masyarakat (Keputusan Menteri

Sosial R.I. Nomor 40/HUK/KEP/X/1980). 4. Taruna Siaga Bencana (TAGANA).

5. Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat (TKSM)

Menurut Catatan Pusat Data dan Informasi Departemen Sosial, jumlah pilar partisipan yang terbentuk di seluruh Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:

Idealnya, wadah yang telah terbentuk tersebut dapat berperan sebagai kontributor dalam penanganan permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang di masyarakat (baik dalam bentuk pemantauan perkembangan permasalahan sosial, pengumpulan sumber dan potensi, penyaluran bantuan dan penanganannya secara cepat dan efektif). Di sisi lain, pilar partisipan tersebut juga dapat berperan sebagai mitra kerja dalam penjangkauan pelayanan pemerintah Cq. Kementerian Sosial dalam pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Namun perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi (UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) berimplikasi pada perubahan aspek kelembagaan, program kerja, sumber daya manusia, ketersediaan dan kelengkapan sarana prasarana serta pembiayaan pembagunan kesejahteraan sosial dan perubahan dalam managemen (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan

Pusdatin, 2007

No Pilar Partisipan Jumlah

1 PSM/relawan 185.984

2 Karang Taruna 61.062

3 Organisasi Sosial 25.591

4 Tagana 19.180

5 WKSBM 67.301

Tabel 1 Jumlah Pilar Partisipan


(14)

pengendalian) yang berkaitan dengan pengembangan pilar partisipan tersebut. Kondisi ini tentunya akan berimplikasi pada eksistensi pilar-pilar partisipan masyarakat di pemerintah kota/kabupaten. Persoalannya adalah, apakah pilar-pilar partisipan masyarakat ini memperoleh legitimasi dari pemerintah daerah sehingga secara otomatis pembinaannya menjadi tanggung jawabnya. Bagaimana mekanisme pembinaannya? Apakah mereka masih menjalankan perannya sebagai partisipan dalam pembangunan bidang kesejahteraan sosial? Mengingat jenis pilar partisipan tersebut cukup banyak, maka penelitian ini lebih fokus pada salah satu pilar tersebut, yakni Organisasi sosial, khususnya Kontribusi Organisasi Sosial dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial2.

B. Permasalahan

Selama kurun waktu lebih dari satu dekade lebih telah teralokasi dana yang berasal dari APBN cukup besar untuk pengembangan Organisasi Sosial. Menurut catatan Direktorat Kelembagaan Ditjen Pemberdayaan Sosial: dari 34.587 organisasi sosial, telah diberdayakan 10.202 organisasi, sedangkan yang belum diberdayakan sampai saat ini sekitar 24.385 organisasi sosial. Dalam kerangka pengembangan organisasi sosial tersebut, jumlah SDM (tenaga pelaksana/pengurus organisasi dan tenaga pelayanan sosial) yang telah dilatih cukup banyak. Organisasi sosial juga telah didukung dengan berbagai fasilitas (sarana dan prasarana) untuk menunjang kegiatan pelayanan kepada masyarakat, bahkan organisasi juga difasilitasi dengan dana untuk pelayanan yang diberikan.

2 Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Sitepu dkk, pada tahun 2005. judul penelitian adalah Peran

organisasi sosial/LSM dalam pembangunan kesejahteraan sosial (studi kasus pada organisasi sosial lokal di Propinsi Papua, Maluku, NTT, Banten, NAD). Fokus penelitian: Organisasi sosial yang dijadikan sasaran penelitian lebih menekankan pada organisasi sosial lokal di tingkat Desa/kelurahan. Dalam konteks poenelitian WKSBM. Jika dicermati, antara organisasi sosial yang dijadikan sasaran program Departemen dengan WKSBM masih masuk dalam kerangka pengertian organisasi sosial yang telah tertuang dalam Surat Keputusan Menteri.


(15)

Dari segi jumlah (kuantitas), keberadaan Organisasi sosial di seluruh Indonesia merupakan potensi besar terutama untuk mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial yang ada di wilayahnya. Pertanyaannya adalah (1) bagaimana kondisi organisasi sosial yang selama ini telah difasilitasi oleh Kementerian Sosial; (2) bagaimana kontribusi orsos dalam pembangunan kesejahteraan sosial; (3) program apa yang dapat meningkatkan akselerasi kontribusi orsos dalam pembangunan kesejahteraan sosial.

C. Tujuan

Berdasar dari pertanyaan penelitian di atas maka tujuan yang hendak dicari jawabnya melalui penelitian ini adalah teridentifikasinya:

kondisi organisasi sosial yang selama ini telah difasilitasi oleh Kementerian Sosial;

kontribusi orsos dalam pembangunan kesejahteraan sosial;

program yang dapat memberikan akselerasi kontribusi orsos dalam pembangunan kesejahteraan sosial.

D. Metode Penelitian

Kontribusi organisasi sosial dalam pembangunan kesejahteraan sosial merupakan penelitian kasus di 6 kota yaitu Palembang, Semarang, Surabaya, Samarinda, Manado, dan Kupang. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas jumlah lembaga Organisasi Sosial yang ada di lima pulau besar Indonesia, yaitu: Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Nusa Tenggara, dan Pulau Sulawesi serta Papua. Sementara itu, dipilihnya wilayah perkotaan sebagai sasaran penelitian dengan pertimbangan permasalahan (sosial) di perkotaan lebih kompleks.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dilandasi oleh tujuan peneliti yaitu untuk memahami keberadaan ORSOS dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari


(16)

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Bogdan dan Taylor dalam Lexy J Moleong (1002:3). Metode yang digunakan adalah metode studi kasus, dengan tujuan dapat mengetahui gambaran secara akurat dan mendalam. Menurut Lofland dan Lofland dalam Lexy J Moleong (2002:112), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata atau informasi dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data primer/utama. Sedangkan sebagai pendukung atau data sekunder adalah dokumen-dokumen, tinjauan teoritis, serta lain sebagainya. Pemilihan sumber data dan informasi dilakukan dengan teknik purposive sampling (pengambilan sampel berdasarkan tujuan). Peneliti mengambil siapa saja yang dipandang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah pengurus Orsos, sasaran Pelayanan ORSOS, Tokoh masyarakat dan Instansi sektoral yang mempunyai komitmen terhadap keberadaan ORSOS. Pengumpulan data yang akan dilakukan adalah dengan teknik wawancara; observasi; diskusi kelompok terfokus; dan pencatatan data sekunder.

1. Dalam penggalian informasi ini teknik yang dipergunakan adalah wawancara semiterstruktur (in-depth interview) atau dikenal pula dengan Teknik wawancara dengan panduan (instrumen penelitian). Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik Esterberg dalam Sugiyono (2008:231) .

2. Observasi Terfokus yaitu suatu observasi yang telah dipersempit untuk difokuskan pada aspek tertentu. Observasi atau pengamatan secara umum berarti melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan Sugiyono (2008:231).

3. Studi Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental


(17)

dari seseorang. Dokumen tulisan misalnya, sejarah kehidupan, cerita, biografi, peraturan dan kebijakan. Sugiyono (2008:240).

4. FGD dilaksanakan untuk menggali informasi dari tokoh masyarakat tentang kontribusi ORSOS dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Dalam pelaksanaan FGD, peneliti berperan sebagai fasilitator dengan menggunakan panduan.

Issue Data/Informasi Sumber

informasi

Metode

Gambaran umum 

Lokasi Penelitian

Persebaran Orsos

Permasalahan Sosial

Potensi Sosial

 Statistik

 Dinas sosial

Dokumentasi

Kondisi Legitimasi Orsos  Pengurus Orsos Wawancara dan

Organisasi SDM Observasi

Sarana dan Prasarana  Kementerian Sektoral

Wawancara dan Dokumentasi

Profesionaliasi

pelayanan 

Instansi Sektoral Wawancara dan Dokumentasi Pendanaan Aksesibilitas Kemitran Kontribusi

Orsos 

Pelayanan yang

diberikan 

Pengurus Orsos Wawancara dan observasi

Metode  Instansi Sektoral Wawancara

Sumber dana  Tokoh Masyarakat

Wawancara

Permasalahan sosial dan potensi sosial 

Masyarakat Wawancara Pengembang

an Orsos 

Kebijakan

Pengembangan Orsos 

Pengurus Orsos Wawancara

Program Pengembangan

 Kementerian Sektoral

 Instansi Sektoral

Wawancara Tabel 2


(18)

Analisis data secara kualitatif menggunakan metode deskriptif. Menurut Hadari Nawawi (1983) analisis deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

E. Pelaksana Penelitian

Konsultan : DR. Oetami Dewi Bagus Aryo Ph.D Ketua Tim : Drs. Gunawan Sekretaris : Drs. Muhtar M.Si. Anggota : 1. Drs. Abu Hanifah

2. Dra. Nina Karinina 3. Moh Sabeni Aks. M.Si 4. Ayu Diah Amalia S.Sos 5. Rudi

6. Marulak Sitanggang 7. Wawan Iriawan Litkayasa 8. Toto Sugiarto


(19)

1. Pembangunan Kesejahteran Sosial

Secara harfiah, pembangunan dapat dipahami sebagai proses perubahan dari suatu kondisi tertentu menuju kondisi yang lebih baik. Dari pengertian ini, ada beberapa yang dapat dikemukakan, yakni (1) Kondisi, yakni kondisi yang dipahami sebagai kondisi ideal atau kondisi yang dicita-citakan dan (2) Upaya (aktivitas) perubahan dari kondisi tertentu ke kondisi yang lebih baik. Untuk mengetahui perubahan tersebut tentunya dibutuhkan tolok ukur, walaupun sampai saat ini tolok ukur yang paling banyak dipergunakan untuk melihat kondisi dimaksud adalah tolok ukur dari sudut ekonomi. Sebagai ilustrasi penggunaan Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).

Penggunaan tolok ukur ekonomi tersebut pada awalnya didasari dari pandangan para ekonom yang melihat realitas perbedaan tingkat pendapatan masyarakat yang mencolok di negara-negara maju (developed) dengan negara-negara miskin/tertinggal (lessdeveloped). Pertumbuhan ekonomi telah dijadikan prioritas utama, sehingga pembangunan seringkali dikonotasikan dengan ekonomi. Kalau orang menggunakan kata pembangunan tanpa diikuti dengan kata lain di belakangnya, maka selalu diinterpretasikan sebagai pembangunan ekonomi (Soetomo, 2009:400). Interpretasi pengertian pembangunan tersebut dipandang Migley (2005) sebagai konsep pembangunan telah terdistorsi. Artinya, keberhasilan pembangunan dapat dipahami sebagai kemajuan ekonomi. Berbagai kata yang mengikuti istilah pembanguan, tentunya akan berkaitan dengan tolok

Kajian Pustaka

Bab

II


(20)

ukur yang dijadikan patokan untuk melihat kondisi. Dalam konteks ini dapat dilihat dari berbagai istilah yang dipergunakan misalnya Pembanguan sosial, pembangunan masyarakat, pembanguan kesejahteraan sosial

Secara konseptual pembangunan kesejahtetaran sosial merupakan bagian dari pembangunan sosial yang memberi perhatian pada keseimbangan kehidupan manusia dalam memperbaiki atau menyempurnakan kondisi-kondisi sosialnya. Dalam kerangka memahami pengertian pembangunan kesejahteraan sosial dalam penelitian ini, tentunya dapat disimak dari beberapa pandangan sebagai berikut:

a. Roger (1964:8) mengemukakan Development is a type of social change in which ideas are introduced into a social system in order to produce higer percapita incomes and level of living throughtout more modern production methode and improved social organization. (Pembangunan merupakan suatu perubahan sosial di mana ide baru diperkenalkan kepada suatu sistem sosial untuk menghasilkan pendapatan perkapita yang lebih baik dan tingkat hidup yang lebih tinggi dengan menggunakan metode produksi yang lebih modern dan perbaikan organisasi sosial. b. Clark (1995) mengemukakan, bahwa pembangunan merupakan suatu

proses yang menjadikan masyarakat turut bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri dan menyadari bahwa mereka memiliki potensi. Yang perlu dilakukan membangun rasa kepercayaan dalam diri masyarakat, keterampilan-keterampilan, aset-aset kebebasan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

c. Rumusan pre-converence Working Party dari Internbational Conference of Social Work (WPICSW): dalam Soetomo (2006:312), Pembangunan Sosial diartikan sebagai aspek keseluruhan pembangunan yang berhubungan dengan relasi-relasi sosial, sistem-sistem sosial, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hal itu. Pembanguan memberi perhatian kepada keseimbangan kehidupan manusia dalam memperbaiki atau menyempurnakan kondisi.


(21)

d. Suharto, (2006: 4) mengemukakan, bahwa pembangunan kesejahteraan sosial adalah sebagai usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi berbagai bentuk intervensi dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial.

Pandangan Roger, Clark dan Suharto maupun WPICSW di atas (pengertian pembanguan, pembangunan sosial, dan pembangunan kesejahteraan sosial) pada prinsipnya adalah sama, yakni menekankan adanya perubahan kondisi. Kondisi dimaksud tidak hanya sebatas pada kondisi perekonomian. Dari aspek sosial Roger menekankan adanya perbaikan organisasi sosial. Clark memandang pentingnya kepercayaan dalam diri masyarakat, keterampilan-keterampilan, aset-aset kebebasan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. WPICSW pada aspek relasi-relasi sosial, sistem-sistem sosial, dan nilai-nilai. Suharto pada aspek intervensi dan pelayanan dan pemperkuat intitusi lokal yang ada.

Proses yang terjadi dalam pembangunan kesejahteraan sosial juga dapat dipahami dari suatu kondisi yang paling buruk sampai dengan kondisi ideal. Menurut Soetomo (2009:3) perubahan dari realita yang disebut masalah sosial yang merupakan kondisi yang tidak diharapkan (illfare), menuju kondisi masyaraat yang disebut ideal yang biasa disebut wellfare. Dalam praktek kehidupan masyarakat, kondisi wellfare tidak pernah menjadi realitas sehingga lebih tepat disebut sebagai idealisme.

Tolok ukur terhadap hasil yang dicapai dalam pembanguan juga dikemukakan oleh Migley (2005:3). Bagi sebagian orang, pembangunan berkonotasi sebagai sebuah proses perubahan ekonomi yang dibawa oleh proses industrialisasi. Istilah ini juga mengandung arti sebuah proses perubahan sosial yang dihasilkan dari urbanisasi, adopsi gaya hidup modern, dan perilaku masa kini. Istilah ini juga memiliki konotasi kesejahteraan yang menawarkan bahwa pembangunan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan level pendidikan mereka, memperbaiki kondisi permukiman dan kesehatan mereka. Secara instrumental Suharto (2006)


(22)

mengemukakan, bahwa secara prinsip tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, yang mencakup: a. peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial;

b. peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan;

c. penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibitas dan pilihan-pilihan kesempatan sesuai aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.

Berdasar dari uraian di atas, secara yang dimaksud pembangunan kesejahteraan sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya yang terencana untuk mewujudkan kondisi kesejahteraan sosial. Adapun upaya yang hendak dicapai oleh bangsa Indonesia sesuai dengan yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Bab I, Pasal 1 ayat 2 bahwa Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. 2. Organisasi Sosial

Organisasi sosial merupakan hasil interaksi sosial manusia sebagai makhluk sosial. Interaksi sosial dimaksud dapat berupa interaksi antar individu, antara individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok. Menurut Soekanto (1977) ada tiga bentuk (hasil dari proses) interaksi sosial yakni kerjasama (cooperation), persaingan (competetion) dan pertikaian (conflict). Dalam kerangka ini Cooperation didefinisikan sebagai jaringan interaksi untuk mencapai tujuan bersama, sehingga interaksi sosial yang


(23)

terjadi lebih bersifat konstruktif, untuk saling mempengaruhi, merubah atau memperbaiki, saling menunjang, meningkatkan dan/atau membantu dalam rangka pencapaian tujuan.

Istilah organisasi sosial yang ditemukan dalam kepustakaan ilmu sosial seperti sosiologi, filsafat sosial, dan antropologi meliputi berbagai definisi, baik oleh berbagai ahli pada abad lampau maupun saat ini. Antara lain dapat dikemukakan Auguste Comte ahli Filsafat terdahulu mendefinisikan organisasi sosial sebagai :"general agreement", and argued, with polemical intent, that government is powerless without its support. Dikatakannya "....the principle which lies at the heart of every scheme of social organization is the necessary participation of the collective political regime in the universal consencus of the body" (see The Positive Philosophy of Auguste Compte, trans.1893,rd edit., p.65). Selanjutnya, Herbert Spencer ahli sosiologi di dalam Principles of Sociology,vol. I, 1882, menggunakan istilah ini to refer to the interrelations (integration and differentiation) of economic, political and other division of society. Definisi dari Leonard Broom dan Philip Selznick (dalam buku Sociology: A text with Adapted Readings, 3rd edition, 1963) sebagai ahli sosiologi abad 20-an, mendefinisikan organisasi sosial sebagai " the patterned relations of individuals and groups" and identity it as one of the two basic sources of order in social life, the other being norms and values (Mitchel,G, Duncan,1975: 173). Demikian juga Ralph L. Beals dan Harry Hoijer ahli antropologi dari universitas California mendefinisikan organisasi sosial : " the ways of behaving and resultant organization of society relative to the maintenance of orderly relations between individuals and group within society and between a society or its segments and other society (Beal,R.L, et.al.,1954:227). Sementara itu, Kementerian Sosial Republik Indonesia dalam kepentingan teknis operasional pemberdayaan organisasi sosial yang hidup di masyarakat mendefinisikannya sebagai:"suatu perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan usaha


(24)

kesejahteraan sosial". Definisi tersebut tertuang di dalam Keputusan Menteri Sosial R.I. Nomor 40/ HUK/KEP/IX/1990. Selanjutnya, secara konseptual definisi inilah yang dijadikan acuan di dalam pembahasan hasil penelitian ini. Berdasarkan definisi tersebut, secara legalitas pemerintah membedakan Orsos menjadi dua macam, yaitu yang berbadan hukum dan yang tidak berbadan hukum. Selanjutnya, dalam bahasan tentang kontribusi Orsos dalam pembangunan kesejahteraan sosial digunakan definisi ini.

Uraian di atas mengindikasikan, bahwa konstruk interaksi sosial (cooperation) dalam perkembangan kehidupan dan penghidupan masyarakat telah membangun suatu ikatan diantara manusia. Menurut Sztompka (2007) ada empat jenis ikatan yang muncul dalam masyarakat yang saling berkaitan, tergantung pada jenis kesatuan yang dipersatukan oleh jaringan hubungan itu, yakni: ikatan (1) gagasan, (2) normatif, (3) tindakan, dan (4) perhatian. Jaringan hubungan gagasan (keyakinan, pendirian, dan pengertian) merupakan dimensi ideal dari kehidupan bersama, yakni "kesadaran sosialnya". Jaringan hubungan aturan (norma, nilai, ketentuan, dana cita-cita) merupakan dimensi normatif dari kehidupan bersama, yakni institusi sosialnya. Dimensi ideal dan dimensi normatif mempengaruhi apa yang secara tradisional dikenal sebagai kebudayaan. Jaringan hubungan tindakan merupakan dimensi interaksi dalam kehidupan bersama, yakni "organisasi sosial". Jaringan hubungan perhatian (peluang hidup, kesempatan, akses terhadap sumber daya) merupakan dimensi kesempatan kehidupan bersama, yakni "hirarki sosialnya". Dimensi interaksi dan kesempatan memperkuat ikatan sosial dalam arti sebenarnya. Keempat ikatan yang mencerminkan multidimensional kehidupan bersama disebut dengan istilah "socio cultural". Kehidupan sosial terjadi dalam hubungan socio-cultural akan dapat difahami jika kita menyadari dua hal. Pertama, proses di keempat tingkat itu tidak berlangsung secara terpisah satu sama lain. Yang terjadi malah sebaliknya. Proses di keempat tingkat itu saling berkaitan melalui berbagai ikatan. Kedua, kita harus menyadari bahwa hubungan sosio-kultural berperan pada tingkat: makro, mezzo, dan minkro. Konsep hubungan


(25)

sosio-kultural ini dapat diterapkan untuk semua skala fenomena sosial (sztompka, 2007: 9-11).

Berdasar dari uraian diatas dapat dikemukakan, bahwa dimensi ideal dan normatif secara tradisional disebut kebuadayaan. Sedangkan dimensi interaksi dan kesempatan memperkuat ikatan sosial. Dengan demikian kehidupan socio-cultural terdiri dari sistem sosial dan sitem budaya. Sistem sosial mencerminkan antara anggota-anggota kelompok, dan sistem budaya merupakan aturan dan norma yang mengatur prilaku ataupun tata cara anggota kelompok melaksanakan hubungan dalam kehidupan bersama.

Konsep social organization adalah derivatif dari konsep Social Structure yang diformulasikan oleh antropolog Inggris Radcliffr - Brown. Social Structure adalah aspek statis dari susunan hubungan sosial dalam sebuah masyarakat, maka social organization adalah aspek dinamisnya. Jika social structure terdiri atas status, maka social organization adalah terdiri atas rule. Jika dalam sosial struktur orang berbicara tentang pola perilaku yang ideal dan normatif, maka dalam social organization, orang berbicara tentang pola perilaku empiris dan situasional. Dalam dunia nyata yang dihadapi oleh para praktisi pembangunan adalah perilaku empiris dan situasional. Inilah yang disebut dengan perilaku aktor-aktor sosial. Karena itu dalam analisis pembangunan dengan menggunakan konsep social organization, pusat perhatian harus pada perilaku aktor-aktor sosial tersebut, Marzali (2005:27)

Para penulis yang terutama mengkaji tindakan sosial cenderung memusatkan perhatian pada organisasi sosial yang mendefinisikan peranan-peranan yang dimainkan oleh individu - individu dalam hubungan mereka satu sama lain. Para ahli yang lebih memperhatikan hubungan - hubungan formal antar orang orang cenderung memperhatikan pada struktur sosial yang mendefinisikan status status pelaku yang menjalankan peranan peranan tersebut. Pandangan Talcot Parson tentang hubungan antara organisasi sosial dan struktur sosial secara esensial sama dengan konsep Radcliffe Brown, tetapi sebagai tambahan Parson memasukkan sistem sosial


(26)

yang terdiri dari struktur sosial dan organisasi sosial. Parson membedakan empat tindakan dari sistem sosial, yaitu: nilai-nilai sosial, pola-pola institusional, kolektivitas (kelompok) yang terspesialisasi, dan peranan-peranan yang dijalankan oleh individu-individu dalam kolektivitas atau kelompok itu (Saifudin, 2005: 170-172).

Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa esensi organisasi sosial adalah adanya suatu perkumpulan yang diikat oleh (1) gagasan, (2) normatif, (3) tindakan, dan (4) perhatian. Telaahan tentang organisasi dapat dipilah atau dilihat dari beberapa aspek. Sebagai ilustrasi aspek-aspek dimaksud antara lain:

a. Herbert G. Hicks mengemukakan dua alasan memotivasi orang berorganisasi yakni, (a) alasan sosial (social reason), sebagai "zoon politicon" artinya makhluk yang hidup secara berkelompok, maka manusia akan merasa penting berorganisasi demi pergaulan maupun memenuhi kebutuhannya. Hal ini ditemui pada organisasi-organisasi yang memiliki sasaran intelektual, atau ekonomi; (b) alasan materi (material reason), melalui bantuan organisasi, manusia dapat melakukan tiga macam hal yang tidak mungkin dilakukannya sendiri, yaitu: (1) dapat memperbesar kemampuannya, (2) dapat menghemat waktu yang diperlukan untuk mencapai suatu sasaran, melalui bantuan sebuah organisasi, dan (3) dapat menarik manfaat dari pengetahuan generasi-generasi sebelumnya yang telah dihimpun. (http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_sosial) b. Menurut perkembangan organisasi, Korten (1990: 190-206) membagi

Organisasi ke dalam empat generasi: Generasi pertama, penyampaian pelayanan secara langsung untuk mengatasi kekurangan dan keterbatasan mendesak yang sedang dialami penduduk penerima bantuan, seperti kebutuhan pangan, pelayanan kesehatan...; Generasi kedua, membina kemampuan rakyat agar bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dengan lebih baik melalui tindakan lokal yang mandiri...; Generasi ketiga, ...mencari perubahan dalam pranata dan kebijakan khusus pada tingkat lokal, nasional, dan global...; Generasi keempat,...membantu


(27)

memungkinkan seluruh masyarakat LSM internasional untuk dengan efektif mendorong...pembangunan alternatif.

c. Pramono (2004) Organisasi dapat dipilah dalam tiga kategori, yaitu: (1) lembaga lokal yang bukan lembaga lokal, lebih menunjuk pada kumpulan nilai-nilai dan norma-norma yang ditemukan di tengah-tengah komunitas/ masyarakat; (2) lembaga lokal yang juga merupakan organisasi lokal, atau sebaliknya, yaitu berbagai organisasi yang sudah berkembang dan melembaga di tengah-tengah komunitas/masyarakat; dan (3) organisasi lokal yang bukan lembaga lokal, lebih menujuk pada berbagai organisasi formal yang ada di tengah-tengah komunitas/masyarakat, namun secara intrinsik masih belum diterima dan menjadi bagian dari prilaku komunitas/ masyarakat.

d. Uphoff (1986) dalam Pramono (2004) memetakan organisasi/lembaga lokal berdasarkan sektornya sebagaimana terlihat pada gambar berikut:

e. Dari segi pemanfaatan organisasi, Esman & Uphoff (1984) dalam Pramono (2004) mengemukakan, pemanfatan lembaga lokal dalam pembangunan akan diperoleh sejumlah efisiensi, karena lembaga lokal: (1) dapat membantu menyediakan informasi yang akurat dan representatif (accurat and representatif information) tentang kebutuhan, prioritas, dan kemampuan masyarakat serta umpan balik terhadap inisiatif dan pelayanan pemerintah; (2) dapat memfasilitasi kemampuan adaptasi

PUBLIC SECTOR VOLUNTARY SECTOR PRIVAT SECTOR Local Aadministration Local Governme nt Member Organizations

Cooperatives Service Organization s Private Bissinesses Bureaucratic Institutions Political Institutions Local Organizations

(based on the principle of membership direction and control; these can become institutions)

Profite Oriented Institutions

Gambar 1


(28)

program pembangunan (adaptation of program) terhadap variasi lingkungan fisik dan sosial yang beragam; (3) dapat membantu meningkatkan efisiensi program melalui kemampuan mengembangkan komunikasi kelompok (development of group communication); (4) dapat membantu meningkatkan efisiensi program melalui sumberdaya (resource mobilization) melalui kegiatan gotong royong; (5) melalui lembaga lokal, pengetahuan lokal (technical knowlidge) yang di dapat dari pengalaman kolektif yang panjang dapat diperoleh dan dimanfaatkan bagi efisiensi dan keberhasilan pembangunan; (6) pemanfaatan dan pemeliharaan fasilitas dan pelayanan (utilization and maintenance) pada umumnya juga dapat dilakukan dengan baik melalui keterlibatan lembaga lokal; dan (7) melalui lembaga lokal dapat dikembangkan partisipasi dan kerjasama masyarakat dalam pelaksanaan program yang melibatkan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi.

f. Tipe organisasi dari tujuan dan pendanaannya, Mahsum (2006) membagi dalam 4 kategori yakni:

1) Pure - Profit Organisation

Tujuan organisasi adalah menyediakan atau menjual barang dan atau jasa dengan maksud utama untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya sehingga bisa dinikmati oleh para pemilik. Sumber pendanaan organisasi ini berasal dari investor dan kreditor. 2) Quasi - Profit Organisation

Tujuan organisasi adalah menyediakan atau menjual barang dan atau jasa dengan maksud utama untuk memperoleh laba dan mencapai sasaran atau tujuan lainnya sebagaimana yang dikehendaki para pemilik. Sumber pendanaan organisasi ini berasal dari investor swasta, investor pemerintah, kreditor dan para anggota. 3) Quasi - Non Profit Organisation

Tujuan organisasi adalah menyediakan atau menjual barang dan atau jasa dengan maksud untuk melayani masyarakat dan


(29)

memperoleh keuntungan (surplus). Sumber pendanaan organisasi organisasi ini berasal dari investor pemerintah, investor swasta, kreditor

4) Pure - Non Profit Organisation

Tujuan organisasi adalah menyediakan atau menjual barang dan atau jasa dengan maksud melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumber pendanaan organisasi organisasi ini berasal dari pajak, retribusi, utang, obligasi, laga BUMN/BUMD, penjualan aset negara dan sebagainya.

g. Tipe organisasi ditinjau dari legalitasnya, Departemen sosial membagi dalam 2 kategori yakni: berbadan hukum dan Tidak berbadan hukum. Dalam KEPMENSOS RI No:40/HUK/KEP/IX/1980, organisasi sosial didefinisikan sebagai suatu perkumpulan sosial yang di bentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan usaha kesejahteraan sosial.

h. Secara teknis operasional, Kementerian Sosial membagi Orsos pada dua klasifikasi, yaitu berdasarkan wilayah kerja/jangkauan pelayanan dan berdasarkan tipologi. Berdasarkan wilayah kerja/jangkauan pelayanan, ada lima tingkat wilayah yaitu:"1) Orsos tingkat desa/kelurahan, yaitu Orsos dengan jangkauan pelayanannya mencakup satu desa/kelurahan; 2) Orsos tingkat kecamatan, dengan jangkauan pelayanan lebih dari satu kecamatan; 3) Orsos tingkat kabupaten, yaitu dengan jangkauan pelayanan mencakup lebih dari satu kecamatan dalam satu kabupaten/ kota;4) Orsos tingkat provinsi, dengan jangkauan pelayanan mencakup lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi; 5) Orsos tingkat regional, dengan pelayanan mencakup lebih dari satu provinsi namun belum mencapai setengah dari jumlah provinsi di Indonesia; 6) Orsos tingkat nasional, dengan jangkauan pelayanan mencakup lebih dari satu provinsi dan sudah mencapai setengah atau lebih dari jumlah provinsi di


(30)

Indonesia". Sementara itu, berdasarkan tipologi meliputi empat tipe yaitu: "1) Orsos tipe A yang dikategorikan "Mandiri", yaitu yang telah memenuhi standar kelembagaan dan pelayanan, tidak bergantung pada bantuan pemerintah, dapat dijadikan contoh. Demikian juga dari segi legalisasi; 2) Orsos tipe B yang dikatedorikan "Berkembang", adalah yang telah memenuhi sebagian besar standar kelembagaan dan pelayanan, memiliki potensi untuk dikembangkan; 3) Orsos tipe C yang dikategorikan "Tumbuh", yaitu yang telah memenuhi sebagian standar kelembagaan dan pelayanan, masih perlu pendampingan untuk pengembangannya; dan 4) Orsos tipe D yang dikategorikan "Embrio", yaitu yang belum memenuhi standar kelembagaan dan pelayanan, dan masih perlu bantuan untuk memenuhi standar minimal" (Anonim,2008: 6). Sementara itu, juga ditinjau dari segi legalitas, anggaran dasar dan menejemen, ditetapkan bahwa pada organisasi/yayasan sosial tipe "Mandiri":" anggaran dasar merupakan bagian dari akte pendirian disahkan oleh notaris dari Departemen Kehakiman; Mempunyai anggaran rumah tangga yang sudah disahkan oleh pengurus; Mempunyai legalisasi/tanda daftar Dari Sosial provinsi, Sospol, Dinas Sosial Kabupaten, Departemen Sosial, yang masih berlaku; Sudah mengikuti latihan menejemen tenaga pelaksana dan mempunyai program kerja yang jelas; Biaya operasional organisasi sudah tidak disubsidi pemerintah tetapi keseluruhan biaya operasional dalam 1 tahun sepenuhnya dari organisasi sosial yang bersangkutan." Tipe "Berkembang". " Anggaran dasar merupakan bagian dari akte pendiri yang disahkan oleh bada pengurus; Mempunyai legalisasi/Tanda daftar dari Dinas Sosial Provinsi, Sospol, Dinas Sosial Kabupaten, Departemen Sosial, tetapi sudah kadaluarsa; Sudah mengikuti latihan tenaga menejemen pelaksana dan mempunyai program kerja yang berkala; Biaya operasional organisasi dalam 1 tahun sepenuhnya dari orsos itu, tetapi masih disubsidi dari pemerintah." Tipe "Tumbuh"; "Anggaran dasar tidak merupakan bagian dari akte pendiri, tetapi sudah disahkan musyawarah pendiri; Mempunyai anggaran rumah


(31)

tangga tetapi struktur organisasi pengurus/ personalia belum lengkap; Mempunyai legalisasi/ Tanda daftar diri dari Dinas Sosial provinsi, Sospol, Dinas Sosial Kabupaten, Departemen Sosial, tetapi sedang dalam pengurusan; Sudah mengikuti latihan menejemen tenaga pelaksana, dan program kerjanya masih insidentil; Biaya operasional orsos dalam 1 tahun disubsidi pemerintah dan dari orsos itu sendiri, namun tidak mencukupi kebutuhan orsos" Orsos Tipe "Embrio": "Mempunyai anggaran dasar, tetapi belum disahkan oleh Musyawarah Pendiri; Tidak mempunyai anggaran rumah tangga; Tidak terdaftar di Dinas Sosial, Sospol, Depsos; Belum pernah mengikuti latihan menejemen tenaga pelaksana dan tidak mempunyai program kerja yang jelas."(Anonim,)

3. Kontribusi Organisasi Sosial

Istilah kontribusi berasal dari bahasa inggris "contribution". Secara harfiah, kontribusi dapat diterjemahkan sebagai bentuk sumbangan, dukungan. Kontribusi Orsos dapat dipahami sebagai sumbangan/dukungan yang diberikan oleh Orsos dalam menanggulangi berbagai permasalahan kesejahteraan sosial. Dalam kaitan dengan penelitian ini kontribusi dapat dipahami (dimanipulasi) sebagai wujud partisipasi dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Ada berbagai dukungan yang telah diberikan oleh masing-masing Orsos untuk berpartisipasi dalam upaya penanggulangan masalah kesejahteraan sosial seperti: pemikiran, kemampuan, tenaga, keahlian, material dan lain-lain. Berbagai dukungan tersebut merupakan modal utama bagi Orsos untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Menurut Undang-Undang Kesejahteraan Sosial nomor 11 tahun 2009, Penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah:"upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial". Sementara itu Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan upaya yang terencana


(32)

dan melembaga yang meliputi berbagai bentuk intervensi dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial serta memperkuat institusi sosial. Dengan demikian, proses pembangunan kesejahteran sosial pada hakekatnya adalah merubah suatu kondisi yang tidak baik menjadi suatu kondisi yang relatif baik; seperti peningkatan pendapatan masyarakat, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, perilaku, dan sebagainya. Berbagai cara untuk merubah kondisi seseorang warga masyarakat baik secara perorangan maupun secara kelompok di suatu tempat tertentu dilaksanakan dengan pelayanan sosial yang bentuknya berbagai macam sesuai dengan program yang ditentukan oleh masing-masing Orsos.

Dalam kerangka realisasi kegiatan pembangunan (untuk perubahan kondisi), pada dasarnya adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat. Peran pemerintah lebih bersifat memfasilitasi. Sedangkan pada tingkat masyarakat yang dibutuhkan adalah partisipasi. Artinya keberhasilan dari berbagai program yang ditujukan kepada masyarakat sangat ditentukan oleh keterlibatan masyarakat. Menurut Komisi Brundland dalam John Clark (1996), bahwa salah satu prasyarat utama terjadinya pembangunan berkelanjutan adalah menjamin efektifitas partisipasi dalam pengambilan keputusan. Hal ini mnunjukkan, bahwa partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan yang telah diprogramkan, tetapi lebih bersifat menyeluruh mulai dari penentuan/perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemanfaatan hasil suatu kegiatan.

Pengertian partisipasi dalam Davis Keith (1967) dikemukakan: participation is defined as mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responcibility in them. Dalam pengertian ini terdapat tiga unsur yang dapat dijadikan untuk melihat partisipasi yakni:


(33)

a. Keterlibatan mental dan emosi seseorang yang lebih dari pada sekedar keterlibatan fisik

b. Memotivasi orang-orang untuk mendukung situasi kelompoknya, dalam arti mereka menyumbangkan inisiatifnya untuk mencapai sasaran kelompok

c. Mendorong orang untuk merasa ikut serta bertanggung jawab atas aktivitas kelompok.

Partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan pada prinsipnya dapat dilihat dari aktivitas individu dan kelompok. Menurut Koencoroningrat (1984:79) partisipasi dapat digolongkan menjadi 2 tipe yang pada prinsipnya berbeda, yaitu (1) partisipasi dalam aktivitas-aktivitas bersama dalam proyek pembangunan yang khusus, dan (2) partisipasi sebagai individu diluar aktivitas bersama dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan (tipe pertama dari pendapat Koencoroningrat tersebut) dapat berkembang menjadi suatu kegiatan yang sifatnya berkelanjutan.

Secara instrumental Talizidu Ndraha (1990) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk partisipasi dapat dikelompokkan dalam 5 bentuk dukungan, yakni: 1) partisipasi buah pikiran, 2) partisipasi keterampilan. 3) partisipasi tenaga, 4) partisipasi harta benda, 5) partisipasi uang. Jika dipahami bahwa organisasi sosial merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial, maka kontribusi organisasi sosial dalam pembangunan masyarakat dapat di lihat dari 5 bentuk dukungan dimaksud. Terkait dengan pembangunan kesejahteraan sosial, maka yang kontribusi organisasi sosial dalam pengertian ini merupakan pengejawantahan dari bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial". Artinya organisasi sosial dapat mengambil salah satu bentuk pelayanan.


(34)

(35)

Penelitian tentang kontribusi organisasi sosial dalam pembangunan kesejahteraan sosial merupakan studi kasus yang dilaksanakan di enam (6) kota provinsi, yaitu: Palembang; Semarang; Surabaya; Banjarmasin; Manado; dan Kupang. Kontribusi organisasi sosial dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah partisipasi masyarakat melalui organisasi sosial dalam bentuk dukungan atau sumbangan pikiran, tenaga, keterampilan, harta benda, dan uang dalam upaya menanggulangi permasalahan sosial yang ada di daerahnya masing-masing.

Dalam kaitannya dengan diskripsi daerah penelitian akan dikemukakan secara garis besar mengenai kondisi daerah, permasalahan kesejahteraan sosial, potensi dan sumber kesejahteraan sosial, dan peran organisasi sosial dalam pembangunan kesejahteraan sosial pada masing-masing lokasi penelitian.

A. PALEMBANG - SUMATERA SELATAN

Kota Palembang merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Selatan adalah kota terbesar ke dua di Sumatera setelah Medan. Kota ini dahulu pernah menjadi pusat kerajaan Sriwijaya.Di bagian barat kota Palembang terdapat bukit Siguntang yang hingga sekarang masih dikeramatkan oleh banyak orang dan dianggap sebagai bekas pusat kesucian di masa lalu. Di bukit Siguntang ini ditemukan prasasti yang menyatakan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 682 Masehi, sehingga tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahirnya kota Palembang.

Gambaran Umum

Lokasi Penelitian

Bab

III


(36)

Luas wilayah kota Palembang adalah 102.47 Km2 dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut. Letak kota Palembang cukup strategis karena dilalui oleh jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antara daerah di pulau Sumatera. Disamping itu kota Palembang juga terdapat sungai Musi yang dilintasi jembatan Ampera yang berfungsi sebagai sarana transportasi dan perdagangan antar wilayah. Jumlah penduduk kota Palembang pada pertengahan tahun 2008 sebesar 1.417.047 jiwa, dengan rincian laki-laki sebanyak 697.681 jiwa dan perempuan 719.366 jiwa. Dengan demikian rasio penduduk menurut jenis kelamin sebesar 96.99 persen yang berarti jumlah penduduik laki-laki lebih kecil di bandingkan dengan jumlah penduduk perempuan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 19 Tahun 2007 tentang Pemekaran Kelurahan dan Peraturan Kota Palembang Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pemekaran Kecamatan Wilayah Administrasi Kota Palembang, maka terjadilah perubahan jumlah kecamatan dan kelurahan di kota Palembang. Saat ini di kota Palembang terdapat 16 kecamatan dan 107 kelurahan yang sebelumnya hanya 14 kecamatan dan 103 kelurahan. Dua kecamatan baru tersebut adalah Kecamatan Alang-Alang Lebar yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Sukarami, dan Kecamatan Sematang Borang yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Sako. Sementara empat (4) kelurahan yang baru adalah Kelurahan Jambe yang merupakan pemekaran dari Keluarahan Talang Betutu, Kelurahan Sukodadi yang merupakan pemekaran dari Kelurahan Alang-Alang Lebar, dan Keluarahan Sako Baru merupakan pemekaran dari Kelurahan Sako. Terakhir adalah Kelurahan Karya Mulya merupakan pemekaran dari Kelurahan Sukamulya.

Visi pembangunan kota Palembang 2008 - 2013 adalah " Palembang Kota Internasional, Sejahtera, dan Berbudaya". Visi tersebut memiliki makna bahwa pembangunan di kota Palembang memiliki cita-cita untuk mencapai terwujudnya kota Palembang sebagai salah satu kota Internasional yang senantiasa dinamis dalam merespon semua peluang dan tuntutan global,


(37)

disertai dengan kepedulian yang tinggi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berbudaya.

Dalam visi pembangunan kota Palembang terdapat tiga (3) kunci pokok, yakni: kota internasional; sejahtera; dan berbudaya. Kota internasional mengandung arti bahwa pembangunan kota Palembang bertujuan untuk senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, sehingga kota Palembang memiliki kualitas pelayanan yang berdaya saing internasional, baik dari segi sarana, prasarana, maupun sistem birokrasi serta aparaturnya. Sejahtera dimaksudkan bahwa pembangunan di kota Palembang bertujuan untuk mewujudkan kota yang aman, sentosa dan makmur dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dasar disemua lapisan masyarakat. Berbudaya mengandung arti bahwa pembangunan di kota Palembang akan tetap memperhatikan keberadaan dan keragaman budaya lokal, dalam bingkai dan tatanan masyarakat yang senantiasa di jiwai oleh nilai-nilai religius guna mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

Permasalahan kesejahteraan sosial di kota Palembang yang perlu mendapat perhatian baik pemerintah maupun masyarakat, antara lain : keluarga miskin; anak terlantar; anak nakal; anak jalanan; lanjut usia terlantar; tuna sosial ( gelandangan dan pengemis, pekerja sek komersial atau PSK/WTS) ; korban penyalahgunaan narkotika; HIV/AIDS ; Penderita Cacat; penderita penyakit kronis; wanita rawan sosial ekonomi; bekas narapidana; dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana alam. Untuk menanggulangi permasalahan sosial tersebut pemerintah dan masyarakat telah bekerjasama memanfaatkan potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang telah tersedia di kota Palembang.

Adapun potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang tersedia di kota Palembang antara lain potensi alam/pertanian, peternakan dan perikanan, serta tersedianya sumber kesejahteraan sosial antara lain para donatur, fasilitas dalam bentuk panti pemerintah dan swasta serta berbagai jenis organisasi sosial. Jumlah organisasi sosial di kota Palembang sebanyak


(38)

113 buah, yang sebagian besar masih termasuk tipe tumbuh dan berkembang, hanya sebesar 20 persen termasuk dalam kategori organisasi sosial maju, sedangkan organisasi sosial yang termasuk dalam kategori percontohan atau mandiri belum ada di kota Palembang.

Dilihat dari sisi legalitas bahwa organisasi sosial di kota Palembang semuanya telah berbadan hukum. Hal ini terbukti bahwa organisasi sosial tersebut telah memiliki akte notaris, terdaftar pada Kesbanglinmas, Dinas Sosial kota dan provinsi, dan legalitas dari Kementerian Hukum dan Perundang-Undangan.Ditinjau dari sisi manajerial bahwa semua organisasi sosial yang diteliti mempunyai struktur organisasi dan uraian tugas dari masing- masing pengurus.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kondisi organisasi sosial yang diteliti dapat dikemukakan bahwa kondisi fisik dari 30 organisasi sosial yang menjadi sasaran penelitian ini, pada umumnya relatif sedang dalam arti mempunyai bangunan untuk sekretariat, tempat pelayanan atau bimbingan. Ditinjau dari sisi pendanaan, secara umum organisasi sosial yang ada di kota Palembang masih memerlukan bantuan baik dari pemerintah maupun dunia usaha sebagai donatur, dalam arti bahwa organisasi sosial tersebut belum mempunyai bidang usaha/jasa yang menghasilkan dana untuk mendukung kegiatan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Oleh karena itu keberlangsungan pelayanan organisasi sosial dalam pembangunan kesejahteraan sosial di kota Palembang untuk sementara ini masih sangat tergantung dari perhatian pemerintah, dunia usaha, dan para donatur.

Peran organisasi sosial di kota Palembang secara kualitatif dapat dikemukakan bahwa pelayanan dan pemberdayaan yang dilakukan berhasil membantu peserta layanan, sehingga mereka dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Sebagai contoh misalnya anak yatim dan anak dari keluarga miskin yang diberi pelayanan dalam bentuk pendidikan, pelatihan keterampilan sehingga kemampuan mereka dapat meningkat. Bagi keluarga


(39)

miskin yang mendapat pelayanan dari organisasi sosial dapat mendirikan usaha kecil-kecilan yang dapat membantu ekonomi keluarga mereka, dan bagi lanjut usia terlantar yang mendapat pelayanan dari organisasi sosial dapat mencegah keterlantaran mereka dan kesehatan mereka terjaga dengan baik. Begitu pula halnya bagi para penyalahgunaan NAFZA dapat disadarkan secara perlahan untuk meninggalkan kebiasaan mereka menyalahgunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Hal-hal yang dikemukakan di atas merupakan gambaran umum atau diskripsi kota Palembang dalam kaitannya dengan peranserta/partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial.

B. SEMARANG - JAWA TENGAH

Semarang merupakan salah satu kota dan sekaligus berfungsi sebagai ibukota Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis Semarang terletak antara 6 derajat 50' - 7 derajat 10' lintang selatan dan garis 109 derajat 35' - 110 derajat 50' Bujur Timur, dengan batas-batas sebelah utara dengan laut Jawa, sebelah timur dengan Kabupaten Demak, sebelah barat dengan Kabupaten Kendal dan sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang. Suhu udara berkisar antara 20 - 30 derajat Celsius dan suhu rata-rata 27 derajat Celsius. Kota Semarang memiliki luas 373,70 km atau 37.366.836 Ha. Secara administratif terdiri dari 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan.

Penduduk sangat heterogen terdiri dari campuran beberapa etnis, Jawa, Cina, Arab dan keturunanya. Juga etnis lain dari beberapa daerah di Indonesia yang datang di Semarang untuk berusaha, menuntut ilmu maupun menetap selamanya di Semarang. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam, kemudian berikutnya adalah Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Mata pencaharian pendududuk beraneka ragam, terdiri dari pedagang, pegawai pemerintah, pekerja pabrik dan petani.

Kendati warganya sangat heterogen, namun kehidupan sosial masyarakat Kota Semarang sangat damai. Toleransi kehidupan umat


(40)

beragama sangat dijunjung tinggi. Inilah faktor yang sangat mendukung kondisi keamanan sehingga Semarang menjadi kota Indonesia yang sangat baik untuk pengembangan investasi dan bisnis.Sebagai kota Metropolitan dan ibu kota Propinsi Jawa Tengah, Semarang juga memiliki fasilitas yang sangat memadai. Disini terdapat fasilitas pelabuhan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan , fasilitas perbelanjaan ,kawasan bisnis dll.

Kota Semarang nampaknya akan terus berkembang, selain sebagai kota perdagangan juga menjadi kota jasa pariwisata. Oleh karena itu, di Semarang terus bertumbuhan hotel-hotel dari kelas melati hingga bintang. Perkembangan menjadi kota jasa itu akan ditunjang sarana transportasi udara dengan bandara Ahmad Yani yang ditingkatkan statusnya menjadi Bandara Internasional, maupun transportasi darat berupa Kereta Api (KA) dan bus dengan berbagai jurusan.

Dengan pelabuhannya yang terkenal sejak jaman Belanda, Semarang merupakan kota yang ideal sebagai gerbang masuk menuju kota-kota lain di Jawa Tengah. Berbagai kegiatan bongkar muat terjadi di pelabuhan Tanjung Emas Semarang untuk kemudian diangkut menuju kota-kota lain. Tak heran bila kemudian Semarang lebih dikenal sebagai Kota Transit daripada Kota Wisata. Padahal Semarang menyimpan begitu banyak keunikan yang bisa dinikmati dan obyek-obyek yang bisa dikunjungi. Sebagai Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah, Semarang merupakan pusat industri, perdagangan dan pemerintahan yang mengatur 34 kota dan kabupaten lainnya. Maka wajar bila kota ini memiliki berbagai fasilitas yang lebih baik dan lebih lengkap dibanding kota lainnya.

Dengan keunikan bentuk geologisnya yang jarang ditemui di kota-kota lain, Semarang seperti terbagi menjadi daerah dengan dua iklim, panas dan sejuk. Iklim yang panas terjadi karena kota berada dipesisir pantai Semarang yang merupakan dataran rendah. Iklim yang sejuk didapat karena sebagian Kota Semarang berada di lereng gunung Ungaran. Semarang selama ini dikenal sebagai kota industri dan bisnis. Tapi bukan berarti


(41)

Semarang tidak memiliki tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi. Ada bangunan bersejarah seperti Tugu Muda. Tugu ini dibangun sebagai monumen untuk mengenang heroisme pejuang Semarang melawan penjajah Jepang. Kemudian ada Gereja Blenduk yang merupakan peninggalan Belanda. Museum-museum seperti Museum Ronggowarsito, Museum Mandala Bakti, Museum Nyonya Meneer, Museum Jamu Jago dan Muri.

Selain bangunan kuno, Semarang juga memiliki tempat wisata bermain untuk anak-anak, Wonderia dan Istana Majapahit. Bagi yang gemar melihat keindahan alam, ada Goa Kreo, Agro Wisata Sodong, kampung Wisata Taman Lele. Saat ini di Semarang juga sedang dibangun Kebun Binatang yang lebih lengkap dan besar. Dan yang baru selesai direnovasi yaitu Klenteng Sam Poo Kong, bangunan ini sangat indah, karena merupakan perpaduan antara ornamen Cina yang sangat kental dipadu dengan bentuk atap yang mirip joglo. Untuk menunjang kebutuhan para wisatawan, Semarang juga sudah mempersiapkan hotel dari yang paling murah sampai hotel berbintang.Transportasi yang mudah dan nyaman, biro perjalanan yang siap memandu perjalanan para wisatawan. Kalau berkunjung ke Semarang, jangan lupa dengan makanan khasnya, bandeng presto dan wingko babat Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Sosial provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2009 di wilayah Kota Semarang terdapat 103 organisasi/ yayasan sosial yang melaksanakan pelayanan sosial kepada warga bermasalah sosial. Dari jumlah tersebut, berdasarkan klasifikasi yang dirumuskan oleh Kementerian Sosial ada tiga tipe,yaitu tipe A 4 buah, tipe B 15 buah, tipe C 45 buah dan tipe D 37 buah, dan tipe E 2 buah. Berbagai jenis pelayanan masalah sosial yang dilaksanakan meliputi pelayanan kepada : Lansia, anak terlantar, fakir miskin, korban narkotika, psikotik, penyandang cacat ( seperti cacat tubuh, tuna netra, tuna rungu, tuna wicara)(Anonim, 2009:1-9). Namun demikian, kiranya data tersebut dalam tahun 2010 ini ada perubahan yaitu ada beberapa organisasi sosial/yayasan sosial yang ternyata sudah tidak operasional lagi.


(42)

C. SURABAYA - JAWA TIMUR

Surabaya adalah kota yang mempunyai beberapa atribut seperti ibu kota provinsi Jawa Timur, Kota Pahlawan, kota metropolitan dan kota Industri. Sebagai kota metropolitan dan kota industri, Surabaya menjadi pusat kegiatan perekonomian di daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Sebagian besar penduduknya bergerak dalam bidang jasa, industri, dan perdagangan. Banyak perusahaan besar yang berkantor pusat di Surabaya, seperti PT Sampoerna Tbk, Maspion, Wing's Group, Unilever, dan PT PAL. Kawasan industri di Surabaya diantaranya Suraba Insustrial Estate Rungkut (SIER) dan Margomulyo.

Mayoritas penduduk di Surabaya adalah suku bangsa Jawa. Dibanding dengan masyarakat Jawa pada umumnya, Suku Jawa di Surabaya memiliki temperamen yang sedikit lebih keras dan egaliter. Salah satu penyebabnya adalah jauhnya Surabaya dari kraton yang dipandang sebagai pusat budaya Jawa. Surabaya juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk suku Madura, Tionghwa, dan Arab.

Sebagai pusat pendidikan, Surabaya juga menjadi tempat tinggal mahasiswa dari berbagai daerah dari seluruh Indonesia, bahkan di antara mereka juga membentuk wadah komunitas tersendiri. Sebagai pusat komersial regional, banyak warga asing (ekspatriat) yang tinggal di daerah Surabaya, terutama di daerah Surabaya Barat. Agama Islam adalah agama mayoritas penduduk Surabaya. Surabaya merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam yang paling awal di tanah Jawa. Masjid Ampel didirikan pada abad ke-15 oleh Sunan Ampel, salah satu pioner Wali songo. Agama lain yang dianut adalah Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Di Surabaya juga dijumpai penganut Islam Syiah dalam jumlah yang cukup signifikan. Walaupun Islam merupakan mayoritas di Surabaya kerukunan umat beragama saling menghormati, menghargai dan saling menolong untuk sesamanya cukuplah besar, niat masyarakat Surabaya dalam menjalankan Amal Ibadahnya. Tidak hanya itu saja banyaknya


(43)

yayasan-yayasan sosial yang berazaskan Agama juga banyak, mereka bekerja sama dalam kegiatan bhakti sosial. Bahkan ada satu wadah kerukunan umat beragama di Surabaya yang sering exist dalam menyikapi suatu problem sosial manusia agar tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang akan merusak persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia pada umumnya serta masyarakat Jawa Timur khususnya. Surabaya adalah rumah dari beberapa gereja besar Indonesia. Dan banyak sekte atau aliran gereja yang muncul di kota Surabaya D. SAMARINDA - KALIMANTAN TIMUR

Provinsi Kalimantan Timur termasuk iklim Tropika Humida dengan curah hujan berkisar antara 1500-4500 mm per tahun. Temperatur udara minimum rata-rata 21°C dan maksimum 34°C dengan perbedaan temperatur siang dan malam antara 5°-7°C.Temperatur minimum umumnya terjadi pada bulan Oktober sampai Januari, sedangkan temperatur maksimum terjadi antara bulan Juli sampai dengan Agustus.

Kelembaban udara rata-rata mencapai 86 % dengan kecepatan angin rata-rata 5 knot perjam. Data curah hujan selama 5 tahun dari tahun 1994-1998 mencatat bahwa rata-rata curah hujan mencapai 2060,2 mm per tahun. Dengan luas wilayah 718 km², Samarinda terletak di wilayah Khatulistiwa dengan koordinat diantara 0°21'81"-1°09'16" LS dan 116°15'16"-117°24'16" BT.

Utara : Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara Selatan : Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara

Barat : Kecamatan Tenggarong seberang, Muara Badak Kabupaten Kutai

Timur : Kecamatan Muara Badak, Anggana dan Sanga-sanga Kabupaten Kutai

Kota Samarinda mempunyai permasalahan sosial cukup banyak. Berdasarkan data tahun 2007, jumlah penyandang masalah kesejahteraan


(44)

sosial (PMKS) di kota ini mencapai 84.732 orang, yang tersebar di enam wilayah kecamatan. PMKS yang paling banyak jumlahnya adalah kategori Keluarga Fakir Miskin, jumlahnya mencapai 47.568 unit keluarga.

Dalam kesempatan diskusi terfokus yang diikuti oleh berbagai pejabat dari instansi terkait, masalah-masalah sosial yang menonjol saat ini dilaporkan antara lain: konflik etnis, kemiskinan, narkoba, kenakalan remaja, gangguan jiwa, penyandang cacat fisik, prostitusi, anak jalanan, kekerasan dalam rumah tangga, masalah traficking.

Sementara itu, jumlah organisasi/yayasan sosial sebagai salah satu potensi sosial dan mitra kerja pemerintah dalam menangani permasalahan sosial berdasarkan data tahun 2009 yang menyelenggarakan penanganan masalah kesejahteraan sosial di Kota Samarinda sebanyak 114 Orsos/ yayasan (Anonim,2009). Apabila dibandingkan antara jumlah Orsos/yayasan sebagai mitra kerja pemerintah dalam penanggulangan masalah PMKS di kota ini, 1 : 743 orang. Dengan demikian, keadaan seperti ini dapat disimpulkan partisipasi masyarakat dalam upaya penanganan PMKS di Kota Samarinda perlu ditingkatkan. Dari segi partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial; yang dalam hal ini warga masyarakat yang tergabung di dalam suatu organisasi sosial (Orsos) sebagai mitra kerja pemerintah, perlu diketahui bagaimana keberadaannya serta apa saja yang telah dilakukan oleh masing-masing Orsos, baik yang telah mendapatkan fasilitas dari kementerian sosial maupun yang belum mendapatkannya. E. MANADO - SULAWESI UTARA

Manado adalah salah satu kota yang sekaligus berfungsi sebagai Pusat Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara. Secara geografis Manado terletak di ujung utara pulau Sulawesi pada posisi 124°40'-124°50' Bujur Timur dan 1°30'-1°40' Lintang Utara. Secara administratif, Kota Manado berbatasan dengan:


(45)

Sebelah selatan : Kabupaten Minahasa Sebelah Barat : Teluk Manado Sebelah Timur : Kabupaten Minahasa

Manado merupakan kota pantai (berada di tepi pantai memiliki garis pantai sepanjang 18,7 kilometer), namun sebagian besar wilayah daratan adalah kawasan berbukit dengan interval ketinggian dataran antara 0-40 % dengan puncak tertinggi di gunung Tumpa. Wilayah perairan Kota Manado meliputi pulau Bunaken, pulau Siladen dan pulau Manado Tua. Pulau Bunaken dan Siladen memiliki topografi yang bergelombang dengan puncak setinggi 200 meter. Sedangkan pulau Manado Tua adalah pulau gunung dengan ketinggian ± 750 meter. Luas wilayah daratan kota Manado adalah 15.726 hektar terbagi dalam 9 kecamatan (Bunaken Malalayang, Mapanget, Sario, Singkil, Tikala, Tuminting, Wanea, Wenang) dan 87 Kelurahan.

Masyarakat Kota Manado cukup heterogen. Mayoritas penduduk berasal dari suku Minahasa. Mongondo, Sangir, Gorontalo. Disamping itu ada beberapa beberapa suku yang berasal dari luar daerah tersebut, seperti: Arab, Tionghoa, Makasar, Jawa, Batak, Maluku. Agama yang dianut adalah Protestan, Islam, Hindu, Budha dan Konghucu. Mayoritas penduduk kota adalah pemeluk agama Kristen atau Katolik. Hal itu jelas dapat dilihat dari banyaknya gereja di seantero kota.

Ditengah masyarakat yang heterogen, terdapat nilai dalam berinteraksi antar anggota masyarakat yang sangat dijunjung tinggi yaitu Torang samua basudara yang secara harafiah dapat diterjemahkan "Kita semua bersaudara". Nilai inilah yang mendasari sikap hidup toleran, terbuka dan dinamis untuk menjaga kerukunan umat antara agama dan antar suku. Manado. Motto Sulawesi Utara adalah Si Tou Timou Tomou Tou, sebuah filsafat hidup masyarakat Minahasa yang dipopulerkan oleh Sam Ratulangi, yang berarti: "Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain" atau "Orang hidup untuk menghidupkan orang lain". Dalam ungkapan bahasa Manado seringkali dikatakan: "Baku beking pande", yang secara harafiah berarti


(46)

"Saling menambah pintar [orang lain]". Di Masyarakat Jawa, Motto seperti ini dikenal dengan istilah "nguwongake uwong"

Masyarakat Manado juga disebut dengan istilah "warga Kawanua". Walaupun secara khusus Kawanua diartikan kepada suku Minahasa, tetapi secara umum penduduk Manado dapat disebut juga sebagai warga Kawanua. Dalam bahasa daerah Minahasa, "Kawanua" sering diartikan sebagai penduduk negeri atau "wanua-wanua" yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata "Kawanua" diyakini berasal dari kata "Wanua". Kata "Wanua" dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata "Wanua" diartikan sebagai negeri atau desa.

Perekonomian kota Manado khususnya terdiri dari sektor perdagangan, perhotelan dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa. Pada tahun 1996 peran ketiga sektor utama ini dalam pembentukan PDRB adalah sejumlah 68,74%. Dalam kurun waktu 5 tahun, peran ketiga sektor ini cenderung semakin dominan, yang dilihat dari kontribusinya pada tahun 2000 yang meningkat menjadi 74,68%. Laju Inflasi kota Manado selama kurun waktu dua tahun terakhir (2000-2001) sangat berfluktuatif. F. KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

Kupang adalah ibukota propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara Geografis Terletak pada 10o36'14"-10o39'58" LS dan 123o32'23"-123o37'01"BT; Luas wilayah 180,27 Km2, dengan peruntukan Kawasan Industri 735,57 Ha, pemukiman 10.127,40 Ha, Jalur Hijau 5.090,05 Ha, perdagangan 219,70 Ha, pergudangan 112,50 Ha, pertambangan 480 Ha, pelabuhan laut/udara 670,1 Ha, pendidikan 275,67 Ha, pemerintahan/perkantoran 209,47 Ha, lain-lain 106,54 Ha; Batas Wilayah Utara berbatasan dengan Teluk Kupang, Timur berbatasan dengan Kab. Kupang, Barat berbatasan dengan Selat Semau dan Kab. Kupang, sedangkan Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kupang; Jumlah penduduk 286.299 orang; Wilayah Administrasi terdiri dari 4 kecamatan, dan 49 kelurahan.


(47)

Secara geografis, Kota Kupang memiliki posisi strategis sebagai pusat pemerintahan propinsi NTT dan sekaligus sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan kebupaten Kupang dan Rote Ndao dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan, serta sejumlah Kabupaten lainnya yang berbatasan langsung dengan Kota Kupang. Dari posisinya yang demikian, Kota Kupang sangat tinggi aksebilitasnya terhadap pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang berperan penting dalam era globalisasi, yakni Makassar di Utara, Surabaya di Barat dan Darwin ke Selatan.

Tantangan pembangunan Kota Kupang pada masa yang akan datang semakin kompleks, sehingga rumusan kebijakan dan strategi pembangunan tidak saja harus mempertimbangkan secara cermat situasi lokal dan arahan kebijakan tingkat propinsi maupun nasional yang secara umum mencermati pula peluang dan dampak percaturan geo-politik secara global. Khusus untuk kawasan Pasifik Selatan, pada era perdagangan bebas, akan merupakan lalu lintas perdagangan internasional yang paling ramai dimana Darwin (Australia) akan menjadi salah satu pintu gerbang perdagangan yang memainkan peran penghubung antara kawasan Barat Indonesia dengan negara-negara Pasifik Selatan termasuk Amerika Serikat. Selain itu, jalur ekonomi tradisional (Surabaya dan Makassar) akan tetap penting sehingga perlu menjadi acuan dalam pengembangan ekonomi daerah. Krisis mendalam hampir dalam setiap sendi kehidupan bangsa dan negara. Implikasinya adalah ketidak-pastian atau stagnasi /terhentinya pertumbuhan ekonomi yang dapat menimbulkan

Tantangan sekaligus peluang yang juga tidak kalah penting adalah kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat-daerah (UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004). Konsekuensinya, daerah harus mampu menggali sendiri sumber-sumber pembiayaan pembangunan yang berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus semakin ditingkatkan. Selain mempertimbangkan lingkungan strategis regional, nasional dan global seperti diuraikan diatas, berbagai program harus tetap


(48)

berpijak pada situasi lokal agar realistis dan sesuai dengan keadaan sosial budaya, kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang tersedia. Saat ini dan masa depan Kota Kupang menghadapi ancaman berupa ketidakcukupan air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Air tanah yang disedot oleh PDAM Kabupaten Kupang untuk melayani 22.157 pelanggan pertahun adalah 80.967.324 m2, penggunaan tangki 786.575 m3 pertahun, rumah tangga pengguna sumur 19.910. Air yang disedot tersebut sebagian besar adalah air dibawah tanah, sedangkan air permukaan yang dimanfaatkan PDAM Kabupaten Kupang relatif lebih kecil.

Gambaran tentang kondisi lokal Kota Kupang antara lain penduduk produktif hanya 82.669 orang atau 31,19 persen dari total penduduk 265.050 orang, dengan rata-rata pendapatan penduduk produktif adalah sebesar Rp. 565.656,50 perbulan. Hal ini dibuktikan dengan besarnya jumlah rumah tangga miskin yakni 23.720 rumah tangga dari total 58.787 rumah tangga yang terbesar di Kota Kupang. Jumlah keluarga miskin tersebut berimplikasi pada akses pelayanan kesehatan dan pendidikan di Kota Kupang menjadi sangat kompleks karena tingginya biaya untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Tercatat 30 persen ibu melahirkan memilih dukun dan famili sebagai penolong persalinan, sedangkan akses masyarakat ke lembaga pendidikan formal setingkat SD s/d SMU mutu kelulusannya sangat memprihatinkan. Tahun Ajaran 2005 - 2006, nilai tertingginya 9 - 10, sekalipun menggunakan paket soal dengan tingkat kesulitan tipe c. Selama ini Kota Kupang menempati posisi I diantara 16 Kabupaten/Kota se-NTT, kini bergeser menjadi milik Sumba Timur dan Manggarai.

Selain situasi lokal Kota Kupang yang dideskripsikan diatas, tercatat juga beberapa masalah telah berkembang dan harus dapat perhatian, antara lain:

a. Kualitas Sumber Daya Manusia yang belum terkonsolidasi secara baik. b. Potensi ekonomi daerah belum dikelola secara optimal.


(49)

c. Pertumbuhan ekonomi belum berkembang optimal dan tidak selaras dengan potensi ekonomi masyarakat.

d. Tidak konsistennya pemanfaatan ruang Kota Kupang dengan arah kebijakan penataan ruang Kota.

e. Sering terjadinya gesekan-gesekan dalam relasi sosial yang potensial terhadap konflik sosial.


(50)

(51)

Dalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial (pembangunan sebagai sebuah upaya), upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial telah dirumuskan oleh Negara Kesatuan Repunlik Indonesia, yakni termaktub dalam UU No. 11 2009 BAB I pasal 1 ayat (2) yakni Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Jika dipahami, bahwa yang tertulis dalam Peraturan perundangan tersebut adalah pembangunan kesejahteraan sosial yang diselenggarakan oleh negara maka kontribusi organisasi sosial dalam pembangunan kesejahteran sosial dapat dilihat dari implementasi kebijakan tersebut dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat melalui organisasi sosial. Besar - kecilnya kontribusi tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi (kemampuan) organisasi tersebut. Artinya organisasi sosial dapat mengambil salah satu bentuk pelayanan kesejahteraan sosial dan atau beberapa kegiatan pelayanan lainnya.

Sebagai proses, sejak pembentukan organisasi sosial sampai dengan operasionalisasi kegiatan organisasi, pada prinsipnya menunjukkan organisasi telah memberikan kontribusi. Artinya, dukungan pikiran, tenaga, dana, harta benda, keterampilan pengurus telah mulai tercurah sejak pembentukan organisasi. Sesuai dengan tujuan yang hendak dicari dari penelitian ini maka beberapa aspek yang dijadikan pokok bahasan adalah (1) Kondisi Organisasi Sosial; (2) kontribusi orsos dalam pembangunan

Kontribusi Organisasi Sosial Dalam

Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Bab

IV


(52)

kesejahteraan sosial; (3) program yang dapat memberikan akselerasi kontribusi orsos dalam pembangunan kesejahteraan sosial.

A. Kondisi Organisasi Sosial

Analisis terhadap kondisi organisasi sosial akan ditinjau dari beberapa aspek yang berkaitan dengan kondisi internal organisasi. Kondisi internal organisasi tersebut tentunya mempunyai keterkaitan dengan ruang gerak organisasi dalam aktivitas pelayanan dan keberlanjutan pelayanan yang diberikan. Aspek yang berkaitan dengan kondisi internal dimaksud antara lain (1) legitimasi organisasi; (2) Sumber daya manusia (3) Sarana dan Prasarana

1. Legitimasi organisasi

Dalam kerangka penyelenggaraan kegiatan bagi setiap organisasi pada dasarnya tidak terlepas dari legitimasi (keberadaan) di suatu tempat. Pengertian tentang legitimasi, pada dasarnya tidak hanya sebatas pada perijinan dari pemerinah setempat tetapi termasuk di dalamnya adalah legitimasi di tengah masyarakat. Legalitas organisasi seringkali dijadikan sebagai salah satu syarat untuk mengakses program dari beberapa lembaga baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Dalam kerangka legitimasi, organisasi sosial harus mengeluarkan dana untuk (perijinan) mulai dari akta notaris sampai dengan pengesahannya di Kementerian Kumham. Padahal jelas bahwa organisasi tersebut secara nyata ingin berpartisipasi dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Di beberapa kalangan menyebut bahwa pengesahan organisasi dari lembaga yang berkomitmen merupakan sebuah konsekuensi logik (tuntutan) dari donatur baik yang berasal dari pemerintah maupun donatur asing.

Berdasar data dan informasi yang terhimpun dari beberapa organisasi sosial yang dijumpai dari penelitian ini, umumnya telah memiliki landasan kepastian hukum (perijinan) dalam penyelenggaraan kegiatan sosial, perijinan dari instansi Sosial (khususnya Dinas Sosial), namun tidak


(1)

sebagai peneliti. Kini, Peneliti Muda bidang kesejahteraan sosial. Topik-topik penelitian yang pernah dilakukan antara lain: Pemberdayaan Masyarakat, Permasalahan Sosial HIV/AIDS, Permasalahan Pekerja Migran (di negara tujuan Singapura & Malaysia), Permasalahan Daerah Perbatasan Antar Negara (Miangas), Permasalahan Daerah Tertinggal/ Terpencil (Sukabumi), dan sebagainya.

Hingga saat ini aktif sebagai editor majalah Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial.


(2)

Index

A

Advokasi 75

Agama 29, 32, 33, 35, 50, 52, 63, 64, 75, 77, 78, 84 Akselerasi 5, 42, 75, 79

Alang-Alang 26, 69, 71 Amanah 51, 52, 65, 81

Anak jalanan 1, 27, 34, 63, 68, 71 Anak nakal 1, 27

Anak terlantar 31, 56, 63, 82 Anak terlantar 27, 57, 61, 66 Auguste Comte 13

B

Berkembang 3, 17, 20, 23, 28, 30, 39, 55, 61 Biro Sosial 78

BK3S 77, 82, 83

D

Dinas Sosial 20, 21, 28, 31, 42, 55, 58, 77, 78, 84, 85 Dunia usaha 28, 65, 69, 72, 83

Durasi 43, 53

E

Embrio 20, 21, 46, 55, 52

F

Fakir miskin 31, 34, 62, 66 fasilitasi 75, 78, 82 FGD 7, 55, 58


(3)

G

gelandangan 1, 27, 82 globalisasi 1, 37 Gotong Royong 18, 50

Gross National Product (GNP) 9

H

HDI 9

Human Development Index 9 Human Poverty Index 9 Humanity 45, 57, 63

I

Institusi sosial 11, 22

J

Jaminan sosial 12, 21, 23, 41, 61

Jawa 5, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 78, 85

K

K3S 82, 83

Kalimantan 5, 33, 78, 78 Karang Taruna 3, 77 Kawanua 36

keluarga miskin 27, 28, 38, 56, 62, 63, 71, 74 Kementerian Sosial 2, 3, 5, 13, 19, 31, 34, 58, 83 kemitraan 59, 83

kepedulian 27, 51, 53, 57, 83 kiprah 53, 57, 74, 75, 81

kontribusi 4, 5, 7, 14, 21, 23, 25, 41, 42, 49, 53, 61, 69, 82, 84 Kupang 5, 25, 36, 37, 38, 39, 55

L

lanjut usia terlantar 1, 27, 29, 71 legitimasi 4, 42, 44, 53, 75 Lembaga Donor Asing 84


(4)

lembaga lokal 17, 18, 45, 61 Lembaga Swadaya Masyarakat 2, 3 luar negeri 67, 84

M

Manado 5, 25, 34, 35, 36, 53, 55, 69 mandiri 16, 20,, 28, 47, 55, 60, 66, 67, 68 Metode 5, 6, 8, 10, 77, 85

Midgley 85

motivasi 48, 49, 50, 73

N

nilai 10, 11, 14, 16, 17, 27, 35, 38, 39, 48, 50, 51, 52, 53 norma 14, 15, 17

O

Observasi 6, 70 ODHA 1 Oikumene 55

Organisasi sosial 4, 5, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 19, 23, 25, 27, 28, 29, 31, 34, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 53, 54, 55, 56, 58, 59, 61, 63, 65, 66, 69, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 81, 82, 83

Ootonomi 37, 75, 77, 78

P

PALEMBANG 25

Palembang 5, 25, 26, 27, 28, 29, 64 Partisipasi masyarakat 13, 19, 23, 25, 29, 34 PAUD 63, 65

Pekerja sek komersial 27 Pekerja Sosial Masyarakat 2

pelayanan sosial 2, 4, 11, 12, 21, 22, 23, 31, 41, 47, 56, 65, 71 pembangunan kesejahteraan sosial 2, 4, 5, 7, 10, 11, 12, 14, 21, 23, 25,

28, 29, 34, 41, 42, 49, 53, 61, 74, 81, 82, 86 Pembangunan Sosial 10, 85


(5)

pemberdayaan masyarakat 60 Pendidikan anak usia dini 63 pengemis 1, 27, 68 penyalahgunaan napza 1 penyandang cacat 1, 31, 34, 82 perlindungan sosial 12, 21, 23, 41

permasalahan kesejahteraan sosial 3, 5, 21, 25, 27, 67, 83

permasalahan sosial 1, 2, 3, 25, 27, 33, 34, 51, 53, 56, 57, 61, 63, 74, 82, 83

Physical Quality of Life 9 pilar-pilar partisipan 2, 4 psikotik 31, 82

PSK 27, 75

pulau 5, 26, 34, 35

R

Regulasi 75

Rehabilitasi sosial 2, 12, 21, 23, 41, 63

S

Sam 9, 31

Samarinda 5, 33, 34, 55, 77, 78 sarana prasarana 3, 76

Semarang 5, 25, 29, 30, 31, 53, 64, 85 Sulawesi 5, 34, 35

Sumatera 5, 25, 26

Ssumber daya manusia 1, 3, 39, 42, 47, 48, 75, 76 Surabaya 5, 25, 32, 33, 37, 53, 64, 69, 71, 77

T

Taruna Siaga Bencana 3

Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat 3 Torang 35, 55


(6)

U

UEP 70

Undang-Undang Kesejahteraan Sosial 21

usaha kesejahteraan sosial 2, 13, 19, 43, 53, 59, 72, 81, 82, 83

W

wanita rawan sosial ekonomi 27 WKSBM 4

WRSE 82 WTS 27

Y