276 Buku Guru Kelas XI SMASMK
killing penghilangan nyawa penuh belas kasih. Misalnya: dilakukan pada orang yang menderita sakit mengerikan, seperti anak-anak yang cacat parah.
- Voluntary euthanasia, berarti orang itu sendiri minta untuk mati. Beberapa orang
percaya bahwa pasien-pasien yang sekarat karena penyakit yang tak tersembuhkan dan menyebabkan penderitaan yang berat hendaknya diizinkan untuk meminta
dokter untuk membantunya mati. Mungkin mereka dapat menandatangani dokumen legal sebagai bukti permintaannya dan disaksikan oleh satu orang atau
lebih yang tidak mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk kemudian dokter menyediakan obat yang dapat mematikannya. Pandangan seperti ini
diajukan oleh masyarakat euthanasia sukarela.
b. Dilihat dari segi caranya - Euthanasia aktif: Mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana,
juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri. Dengan kata lain, euthanasia ini
menggunakan cara langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri. Ada juga meng-
gunakan cara sukarela tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang
dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya. Ada juga dengan cara langsung tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan
memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.
- Euthanasia pasif: Pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak
dimulai, atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya, karena pengobatan apa pun tidak berguna lagi. Cara ini termasuk tidak langsung dan tidak
sukarela: merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.
3. Bagaimana Pandangan Negara Indonesia tentang Euthanasia?
- Euthanasia tidak diperbolehkan mempercepet kematian secara aktif dan terencana, juga jika secara medis ia tidak lagi dapat disembuhkan dan juga kalau euthanasia
dilakukan atas permintaan pasien sendiri bdk. KUHP pasal 344. Seperti halnya dengan pengguguran, di sini ada pertimbangan moral yang jelas, juga dalam
proses kematian, manusia pun harus dihormati martabatnya. Semua sependapat, bahwa tidak seorang pun berhak mengakhiri hidup orang lain, walaupun dengan
rasa iba.
Diunduh dari
http:bse.kemdikbud.go.id
277 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
Langkah Kedua: Mendalami Pandangan Gereja tentang Bunuh Diri dan Euthanasia
1. Diskusi pandangan Gereja tentang bunuh diri
• Guru mengajak para peserta didik untuk berdiskusi, dengan pertanyaan-pertanyaan, sebagai berikut:
1. Apa yang kalian tahu tentang bunuh diri menurut ajaran Gereja? 2. Apa isi ajaran Gereja moral kristiani tentang bunuh diri ?
2. Penjelasan
• Guru memberi penjelasan, pandangan Gereja tentang bunuh diri:
Dalam Kitab Suci:
- Manusia hidup karena diciptakan dan dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan Ilahi, hidup itu suci. Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa
manusia yakni hidup biologisnya tidak boleh diremehkan. Hidup manusia mempunyai nilai yang istimewa karena sifatnya yang pribadi. Bagi manusia, hidup
biologis adalah ‘masa hidup’, dan tak ada sesuatu ‘yang dapat diberikan sebagai ganti nyawanya’ lih. Mrk 8: 37. Dengan usaha dan rasa, dengan kerja dan kasih,
orang mengisi masa hidupnya, dan bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia ‘boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya kehidupan’ lih. Mzm. 56: 14. Memang,
‘masa hidup kita hanya tujuh puluh tahun’ lih. Mzm. 90: 10 dan ‘di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap’ lih. Ibr. 14: 14. Namun, hidup fana
merupakan titik pangkal bagi kehidupan yang diharapkan di masa mendatang.
- Hidup fana menunjuk pada hidup dalam perjumpaan dengan Tuhan, sesudah hidup yang fana ini dilewati. Kesatuan dengan Allah dalam perjumpaan pribadi
memberikan kepada manusia suatu martabat yang membuat masa hidup sekarang ini sangat berharga dan suci. Hidup manusia di dunia ini sangat berharga. Oleh
sebab itu, manusia tidak boleh menghilangkan nyawanya sendiri, misalnya dengan melakukan bunuh diri. Hanya Tuhan yang boleh mengambil kembali hidup
manusia.
Katekismus Gereja Katolik.
Tentang “bunuh diri” secara khusus dibahas dalam bahasan Kehidupan dalam Kristus, seksi dua tentang Sepuluh Perintah Allah yang kelima.
Diunduh dari
http:bse.kemdikbud.go.id
278 Buku Guru Kelas XI SMASMK
- 2280“Tiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya. Allah memberikan hidup kepadanya. Allah ada dan tetap merupakan Tuhan kehidupan yang tertinggi. Kita
berkewajiban untuk berterima kasih karena itu dan mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi keselamatan jiwa kita. Kita hanya pengurus,
bukan pemilik kehidupan, dan Allah mempercayakan itu kepada kita. Kita tidak mempunyai kuasa apa pun atasnya”.
Gereja katolik tidak merestui bunuh diri. Alasan pertama yang sangat masuk akal adalah alasan adikodrati, dalam kaitannya manusia dengan penciptanya. Hidup yang
mengalir di diri kita ini bukanlah milik kita sendiri, tetapi hanya titipan dari Tuhan sang pencipta dan pemilik sejati. Oleh karenanya manusia, saya dan kamu, tidak
berhak membunuh atau bunuh diri. Bunuh diri sama beratnya dengan membunuh orang lain.
- 2281“Bunuh diri bertentangan dengan kecondongan kodrati manusia supaya memelihara dan mempertahankan kehidupan. Itu adalah pelanggaran berat
terhadap cinta diri yang benar. Bunuh diri juga melanggar cinta kepada sesama, karena merusak ikatan solidaritas dengan keluarga, dengan bangsa dan dengan
umat manusia, kepada siapa kita selalu mempunyai kewajiban. Akhirnya bunuh diri bertentangan dengan cinta kepada Allah yang hidup”
Alasan kedua bersifat: kodrati, alamiah, dan sosial. Bunuh diri melawan dorongan kodrat “mempertahankan hidup” dan melanggar hukum cinta kepada diri sendiri
dan sesama. Dorongan naluriah setiap orang adalah agar terus hidup dorongan ini asli, terbawa sejak lahir, ada pada setiap pribadi, ditanam oleh Tuhan sendiri. Orang
normal akan sekuat tenaga mempertahankan hidup. Sakit diobati, kalau ada bahaya menghindar atau membela diri. Maka bunuh diri jelas-jelas mengabaikan keinginan
itu. Secara sosial, juga sangat jelas. Bunuh diri mempunyai akibat lanjutan yang tidak baik bagi orang-orang lain di sekitarnya terutama keluarga. Ingatlah, keluarga selain
berduka juga akan menanggung malu.
- 2282 “Kalau bunuh diri dilakukan dengan tujuan untuk memakainya sebagai contoh -terutama bagi orang-orang muda- maka itu pun merupakan satu skandal
yang besar. Bantuan secara sukarela dalam hal bunuh diri, melawan hukum moral. Gangguan psikis yang berat, ketakutan besar atau kekhawatiran akan
suatu musibah, akan suatu kesusahan atau suatu penganiayaan, dapat mengurangi tanggung jawab pelaku bunuh diri”.
Bunuh diri dengan alasan yang sangat mulia sekalipun tidak dibenarkan. Di sini berlaku prinsip moral “tujuan tidak dapat menghalalkan cara”. Sebaik apapun tujuan
hidup manusia tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk mencapainya. Prinsip ini juga berlaku terhadap hidup manusia lain. Kita tidak boleh mempermainkan
hidup orang lain untuk tujuan kita semulia apapun. Kemudian ditegaskan juga, yang
Diunduh dari
http:bse.kemdikbud.go.id
279 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
membantu orang untuk bunuh diri juga ikut bersalah. Hal yang dapat dianggap meringankan “dosa” bunuh diri hanyalah beberapa kondisi nyata seperti: gangguan
psikis berat, ketakutan atau kekhawatiran besar, kesusahan atau penganiayaan serius.
- 2283 “Orang tidak boleh kehilangan harapan akan keselamatan abadi bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya. Dengan cara yang diketahui Allah, Ia masih
dapat memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat supaya diselamatkan. Gereja berdoa bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya”.
Walaupun demikian, kita tetap diajak mengimani 100 pada kerahiman Tuhan. Kita didorong untuk meyakini bahwa “rahmat-Nya tetap bekerja” sampai detik
terakhir hidup semua orang. Dengan cara-Nya sendiri, Tuhan pasti mendorong orang yang bunuh diri untuk bertobat, sampai detik dimana dia sudah tidak bisa
kembali lagi. Tuhan yang maharahim pasti akan menyelamatkan orang yang bertobat itu.
3. Diskusi pandangan Gereja tentang Euthanasia