Implikasi Pengelolaan HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari segi kebutuhan untuk budidaya udangikan, kandungan logam berat Pb yang diperbolehkan berada dalam perairan adalah sebesar 0-30 µgL Prihatman 2000. Berdasarkan penelitian Ghalib dkk. 2002 menyatakan bahwa keberadaan logam berat timbal sebanyak 50 µgL terjadi laju penurunan konsumsi oksigen sebesar 0,0959 µl O 2 mg berat basah jam pada perlakuan juvenil bandeng Chanos chanos sehingga akan mempengaruhi proses respirasi pada ikan yang dapat menyebabkan ikan lemas dan mati. Timbal dapat mempengaruhi kerja enzim-enzim atau fungsi protein, bahkan dapat menyebabkan kematian pada ikan dan organisme perairan lainya yaitu pada konsentrasi 50 µgL Hutagalung Razak 1981 dalam Syahminan 1996. Pb bersifat toksis terhadap biota laut, kadar Pb sebesar 100 – 200 µgL dapat menyebabkan keracunan pada jenis ikan tertentu dan pada kadar 188000 µgL dapat membunuh ikan-ikan. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan diketahui bahwa biota-biota perairan seperti krustakea akan mengalami kematian setelah 245 jam, bila pada badan perairan dimana biota itu berada terlarut Pb pada konsentrasi 2750-49000 µgL Lestari Edward 2004.

4.4 Implikasi Pengelolaan

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa daerah Blanakan yang menjadi tempat pengambilan sampel belum terjadi indikasi pencemaran pada perairan baik itu pada tambak, sungai, maupun muara. Namun, logam berat Cd, Cu, dan Pb merupakan bahan inorganik yang bersifat tidak dapat diurai oleh makhluk hidup sehingga akan terakumulasi didalam tubuh biota dan juga manusia yang mengkonsumsinya. Berdasarkan hasil penelitian logam berat Lampiran 4 Cd, Cu, dan Pb oleh Napitu 2011 pada biota ikan dan udang di empat stasiun penelitian perairan Blanakan yang sama daerahnya yaitu tambak, hulu, dan muara didapatkan nilai Cu sebesar 18-381 µgL dengan nilai terbesar terdapat pada udang di daerah muara. Nilai Cd berkisar dari 4-5 µgL, dan nilai Pb memiliki rentang nilai 5- 196,3 µgL yang mana nilai tertinggi terdapat pada udang di daerah muara. Dari data yang didapatkan oleh Napitu dan saya mengindikasikan bahwa nilai logam berat pada air lebih kecil dibandingkan pada biota,. Logam berat Cd, Cu, dan Pb merupakan logam berat yang bersifat non biodegradable sehingga akan terus terakumulasi dalam tubuh yang mengkonsumsinya yang disebut proses bioakumulasi. Semakin tinggi tingkat tropic level-nya maka semakin banyak pula logam berat tersebut yang terakumulasi. Ini yang disebut proses biomagnification atau bioamplification. Sebagai gambaran bila kandungan pencemar non biodegradable dalam air 0,003 µgL, maka di dalam plankton akan naik menjadi 40 µgL, kemudian di dalam tubuh ikan-ikan kecil yang memakan plankton menjadi 500 µgL, bila ikan-ikan kecil ini dimakan oleh ikan yang lebih besar maka kandungan pencemar dalam ikan besar ini menjadi 2000 µgL. Kemudian bila ikan-ikan besar ini dimakan oleh burung elang maka kandungan bahan pencemar di dalam tubuh burung elang tersebut menjadi 25000 µgL Wardhana 1995 dalam Gunawan Anwar 2008. Demikian juga sama halnya bila ikan tersebut dimakan oleh manusia, maka manusia yang menerima bahan pencemar tertinggi. Berdasarkan batasan dari Dirjen Perikanan Budidaya yang merujuk ke batasan dari Komisi Eropa, batasan maksimum residu yang dibolehkan Maximum Residual Limit MRL untuk jenis logam berat di dalam udang untuk Pb, dan Cd adalah 500 µgL sedangkan pada ikan adalah berturut-turut untuk Pb, dan Cd adalah 200 µgL, dan 50 µgL Putra dkk. 2008. Konsentrasi residu maksimum yang diizinkan bagi produk laut untuk kesehatan manusia adalah sebagai berikut, Pb 1500 µgL dan Cd 200 µgL, sedangkan Cu yang merupakan salah satu unsur essensial masing-masing adalah 10000 µgL FAO 1983 dalam Arifin 2011. Salah satu upaya mengurangi dampak dari pencemaran tersebut adalah melalui mekanisme penyaringan alami oleh komponen biotik ekosistem, terutama vegetasi mangrove. Hasil penelitian Gunawan Anwar 2008 membuktikan bahwa ekosistem mangrove mampu meredam pengaruh pencemaran perairan melalui proses asimilasi perairan. Hasil penelitian Gunawan dkk. 2007 menunjukkan bahwa pemanfaatan mangrove secara lestari melalui pola sylvofishery memberikan dampak ekologis yang baik. Bahkan dalam substrat tambak biasa mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri 16 kali lebih besar dibandingkan substrat mangrove dan 14 kali lebih Lampiran 5 besar dari tambak empang parit sylvofishery. Meskipun demikian, saat ini ekosistem mangrove di lokasi tersebut banyak ditebang sehingga tidak mampu menjalankan mekanisme alaminya menyaring pencemaran air. Adanya fakta bahwa tambak empang parit yang masih mempertahankan mangrovenya mengandung bahan pencemar lebih rendah daripada tambak yang sudah tidak ada mangrovenya merupakan indikasi bahwa mangrove memiliki peranan yang penting dalam menjaga kualitas habitat perairan. Hal ini seharusnya menjadi pembelajaran dan disebarluaskan kepada para petambak yang telah membabat mangrovenya agar mau menanaminya kembali. Pemahaman juga diberikan, bahwa kualitas produk perikanan akan sangat menentukan harga jual di pasar. Oleh karena itu kualitas habitat perairan dalam hal ini termasuk ekosistem mangrove perlu dijaga kelestariannya. Dengan demikian produk perikanan dari Indonesia diharapkan dapat diterima pasar, baik dalam maupun luar negeri. Untuk memulihkan kembali fungsi ekologis dan mengoptimalkannya dengan fungsi ekonomis maka perlu dilakukan restorasi atau rehabilitasi tambak empang parit. Dalam kegiatan restorasi ini, tidak saja dengan menanami kembali kawasan hutan mangrove yang gundul tetapi juga mengembalikan disain empang parit yang telah banyak diubah. Dengan komposisi dan disain lanskap sylvofishery secara menyeluruh sehingga memenuhi perbandingan 80 mangrove dan 20 tambak secara merata, maka diharapkan fungsi ekologis dan ekonomis secara berangsur akan kembali optimal. 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan