Analisis Export Competitiveness Index

86 Krisis global yang terjadi pada kuartal ke 3 tahun 2008 membawa dampak pada ekspor karet alam Indonesia. Hal ini terlihat dari penurunan indeks RCA yang terjadi pada tahun 2009, di mana pada tahun ini indeks RCA karet alam Indonesia menurun drastis dari 35,37 pada tahun 2008 menjadi hanya sebesar 30 pada tahun 2009. Indeks ini kembali berada di bawah indeks Thailand yang pada saat yang sama memiliki nilai sebesar 30,44. Penurunan nilai ini terjadi karena akibat dari penurunan kuantitas ekspor karet alam berdasarkan kesepakatan dari ITRC yang merupakan gabungan tiga eksportir terbesar karet alam, di mana persentase penurunan kuantitas ekspor Indonesia pada kuartal pertama tahun 2009 yang lebih besar dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Jika dilihat dari pembagian penurunan kuantitas ekspor karet alam, Indonesia pada kesepakatan ini mengalami penurunan mencapai 6, sementara Thailand 5 dan Malaysia 3 dari total kuantitas ekspor tahun sebelumnya AntaraNews diolah, 2008. Sementara jika dilihat dari pertumbuhan kuantitas ekspor karet alam Indonesia, maka pada tahun tersebut, total penurunan terjadi hingga 13,3 dari tahun 2008, sementara Thailand mengalami penurunan total sebesar 3,2 dari tahun sebelumnya International Trade Statistic diolah, 2010.

8.2. Analisis Export Competitiveness Index

Analisis Export Competitiveness Index dalam penelitian ini digunakan untuk melihat apakah negara-negara eksportir karet alam dunia memiliki keunggulan kompetitif dan daya saing yang cukup kuat terhadap komoditas karet alam. Nilai yang diperoleh menggambarkan kecenderungan trend pertumbuhan 87 yang meningkat atau menurun. Gambar 9 memperlihatkan hasil perhitungan nilai ECI untuk negara eksportir utama karet alam. Sumber: International Trade Statistics diolah, 2010 Gambar 9. Hasil Perhitungan ECI Negara Eksportir Karet Alam Export Competitiveness Index merupakan suatu indeks yang menggambarkan keunggulan kompetitif suatu komoditi pada suatu negara dibandingkan dengan negara pesaingnya. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terhadap komoditi karet alam pada tiga negara eksportir terbesar dunia, diperoleh bahwa pada periode 2002-2008, ECI Thailand memiliki nilai kurang dari 1. Hal ini mengindikasi bahwa komoditi karet alam Thailand mengalami penurunan pangsa pasar atau trend daya saing yang semakin melemah di pasar internasional. Penurunan daya saing ini bisa jadi disebabkan karena pertumbuhan ekspor karet alam Thailand yang masih dibawah pertumbuhan ekspor karet alam dunia, sehingga nilai yang diperoleh menjadi lebih kecil. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir ini, Thailand lebih memfokuskan diri pada peralihan penanaman tanaman karet menjadi kelapa sawit, tanaman buah, dan kayu. Pengembangan karet secara substansial juga telah digerakkan di wilayah-wilayah 0,8 0,85 0,9 0,95 1 1,05 1,1 1,15 1,2 2000 2002 2004 2006 2008 2010 EC I Tahun ECI Thailand ECI Indonesia ECI Malaysia 88 timur laut, tetapi pengembangan tersebut masih berjalan lambat Dongguan Wanlixing Rubber, 2010. Indonesia pada periode yang sama jika dibandingkan dengan negara eksportir lain memiliki nilai ECI yang lebih dari satu. Hal tersebut berarti bahwa komoditi karet alam Indonesia mengalami trend daya saing yang meningkat. Peningkatan tersebut seiring dengan usaha pemerintah Indonesia dalam hal perbaikan kinerja ekspor karet alam di pasaran dunia dengan pengadaan revitalisasi dan peremajaan pohon karet yang telah tua dan tidak produktif lagi. Selain itu, potensi lahan yang masih cukup luas memungkinkan bagi Indonesia untuk meningkatkan luas areal tanamnya, sehingga produksi masih memiliki potensi untuk ditingkatkan. Perkembangan dalam keunggulan kompetitif karet alam Indonesia semakin mengalami trend pertumbuhan yang menurun sejak tahun 2007. Bahkan pada tahun 2009, nilai ECI Indonesia sudah berada di bawah 1, yang berarti trend daya saing karet alam Indonesia mengalami penurunan daya saing. Hal ini dapat diindikasi sebagai akibat dari jatuhnya harga karet alam di pasar internasional karena krisis gobal yang mengakibatkan penurunan terhadap permintaan karet dunia. Berbeda dengan Indonesia, Thailand justru mengalami trend daya saing yang meningkat sejak tahun 2005. Hal ini dapat terlihat dari nilai ECI Thailand yang berada di atas 1 pada tahun 2009. Hal demikian terjadi karena pada tahun 2009 tersebut, Indonesia mengalami penurunan nilai ekspor karet alam hingga 46,45, sementara Thailand mengalami penurunan nilai ekspor sebesar 35,79. Penurunan yang terjadi pada pertumbuhan karet alam dunia 43,54 yang lebih 89 kecil dibanding penurunan yang terjadi pada pertumbuhan nilai ekspor karet alam Indonesia juga turut berpengaruh terhadap perhitungan nilai ECI yang dilakukan. Sementara itu, tidak jauh berbeda dengan Thailand, Malaysia juga memiliki nilai ECI kurang dari satu. Hal ini mengindikasi adanya penurunan pangsa pasar atau daya saing yang semakin melemah. Penyebab penurunan daya saing Malaysia ini karena saat ini, selain sebagai eksportir terbesar dunia, Malaysia juga bertindak sebagai importir terbesar terhadap komoditas karet alam. Sejauh ini, Malaysia lebih fokus terhadap ekspor barang olah karet dengan pengembangan industri produk karet yang semakin meningkat, dibanding dengan ekspor karet mentah, karena nilainya yang juga jauh lebih tinggi. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2001 mencatat bahwa perkembangan ekspor karet alam Malaysia diperkirakan akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumberdaya lahan dan tingginya upah pekerja, di samping perubahan orientasi ke arah industri hilir. Kondisi ini jelas berbeda dengan Indonesia dan Thailand yang masih memiiki potensi pengembangan karena adanya ketersediaan lahan dan dukungan biaya produksi yang lebih rendah Dradjat, 2003. 90

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1.