Dalam cerita Pulau Si Kantan ini memperlihatkan kemiskinan yang dimiliki oleh keluarga si Kantan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Megheka tinggal di sabuah gubuk kocil yang sudah gheot. Ayak si Kantan, udah lama maninggal dunia. Sojak ika, amak si Kantanlah yang haghus bakoghja koghas untuk
mamonuhi kabutuhan hidup magheka. Si Kantan seoghang anak yang tampan, ghajin dan tokun bakoghja. Satiap haghi ia mambantu amaknya mancaghi kayu bakagh di hutan
untok dijual ka pasagh”.
4.2.4 Adat Istiadat
Dalam cerita rakyat Pulau Si Kantan ini menyebutkan adat istiadat dari segi bahasa yang dimiliki masyarakat Labuhan Bilik.
Ridwan dalam Tantawi, 2011: 9 mengatakan bahwa : “Kebudayaan merupakan segala daya upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup,
baik kebutuhan lahir maupun batin. Untuk membina dan pengembangan kebudayaan, bahasa merupakan hal yang sangat penting oleh sebab itu, ada beberapa fungsi bahasa
dalam kebudayaan. Yaitu, Sarana pengembangan kebudayaan, sarana pembinaan kebudayaan dan sarana pemelihara dan penerus kebudayaan”.
1. Bahasa Dalam cerita Pulau Si Kantan ini, bahasa yang digunakan oleh penduduk begitu tampak
jelas, dengan menggunakan bahasa daerah Melayu Labuhan Bilik. Hal ini dapat dilihat pada kutipan cerita berikut :
“Tanpa baghpikir panjang, bonda panjang yang taghbungkus kain ika segogha dibukanya. Taghnyata bonda ika sabuah tungkat omas yang baghhiaskan paghmata. Tengoklah,
Mak Bondaka botul-botul hebat. “Bonagh, Anakku Baghangkali Tuhan ingin mangubah nasib kita ka yang udah lama mandaghita ka.” Setolah ika, mereka pun pulang dengan
mambawa tungkat omas ika. Sesampenya di gubuk, sang amak menghendaki agagh bonda ika dijual sijo.
Hasilnya akan digunakan untok mamboli ghumah baghu dan untok kabutuhan sahaghi- haghi.”
Universitas Sumatera Utara
“Tapi, Mak Siapa na sanggup memboli bonda yang sangat bahaghga ka?” tanya si Kantan. “Botul jua katamu, Nak Panduduk desa ka ghata-ghata hanya patani biasa ja,
pandapatannyapun pas-pasan sijo. Bagaimana kalo ko jual sijo kapulo lain?” usul amak si Kantan.”
Bahasa yang digunakan penduduk juga dapat terlihat pada kutipan cerita berikut : “Woiiii, mogah kali kapal enen Tapi, siapa ja pamiliknya?” kata seorang panduduk
panasaran. “Oiii, tengok enen” seru panduduk lainnya sambil menunjuk ka arah saoghang jantan gagah baghsama seoghang wanita cantik baghdighi di anjungan kapal.
“Indak ja jantan enen si Kantan?” tanya saoghang panduduk mangonali si Kantan. “Osahmu enen si Kantan, lajang na tinggal di gubok di topi sungai enen”, kata seoghang
panduduk yang juga mangonal si Kantan”.
4.2.5 Kasih Sayang