Pemberontakan Petani Banten 1888 Kajian Sejarah Sosial di Indonesia
78
lama.Pemberontakan petani Banten dianggap sebagai pemberontakan yang tidak besar.
Pada umumnya peranan kaum petani tidaklah sangat kuat dalam pemberontakan
Banten, mereka
hanyalah bersikap
pasif.Dalam pemberontakanya petani meberikan tekanan yang besar kepada susunan
lembaga-lembaga pemerintah pada umumnya dan kepada soal pembuatan undang-undang dan pelaksanaanya, dan jarang berbuat yang melampaui tingkat
struktur-struktur formal. Sejarah kaum petani di Indonesia dalam historiografi kolonial meperlihatkan sifat mereka yang datar dan seragam, namun ia
mengandung arus-arus yang mengalir terus-menerus sampai zaman modern. Selain dari pada itu masuknya kebudayaan Barat membawa perubahan
yang melahirkan golongan-golongan sosial baru dan menimbulkan re-stratifikasi dalam masyarakat Banten, serta adanya perbedaan segi sosio-ekonomis oleh
golongan-golongannya. Re-stratifikasi masyarakat Banten mengakibatkan kaum bangsawan, yakni aristokrasi tradisional menjadi miskin sehingga tidak lagi
mempunyai kekuatan politik. Dalam menghadapi disintegrasi sosial, kaum aristokrasi tradisional dan
kaum petani masih berpegang pada sistem tradisional. Dalam banyak hal mereka bekerja sama untuk melawan penetrasi sistem Barat. Berbeda dengan
kaum elit agama yang gerakan politiknya diperketat oleh Belanda membuat kaum elit agama mengalami perasaan tersingkirkan. Akhirnya kaum elit agama
bergabung dengan aristokasi tradisional dan para petani yang masih berpegang pada sistem tradisional. Munculnya golongan baru ini dapat diidentifikasikan
aristokrasi moderen yang terdiri dari pegawai negeri dan birokrat. Golongan ini mengajurkan pada mordenisasi akan tetapi golongan lama tetap berpegang pada
sistem tradisional. Akhirnya terjadi pertentangan antara golongan lama dan golongan baru.
Munculnya kekuatan Belanda dalam sistem politik Banten membuat situasi semakin tidak terkendali. Hal ini yang akan dibahas dalam Bab III. Seiring
dengan adanya
pemberontakan-pemberontakan yang
silih berganti.
Pemerintahan kolonial membentuk satu sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan yang tidak sah kepada rakyat. Setelah kaum bangsawan
mengalami kemerosotan dan kemiskinan membuat elit agama menjadi berperan penting dalam memberontak pemerintahan kolonial untuk tetap berpegang pada
79
tradisional. Pemimpin-pemimpin agama mengadakan mobilisasi kaum tani juga menunjukan kegiatan Agitasi terhadap elit baru dan penguasa-penguasa
kolonial. Mereka menggunakan gerakan-gerakan yang radikal dan milenari, akan tetapi elit baru justru ingin ikut arus mordenisasi yang diciptakan oleh
pemerintahan kolonial. Runtuhnya Kesultanan membuat Banten mengalami pergolakan sosial
yang sudah sangat parah. Ketidakadanya suatu kekuatan membuat sistem tatanan di Banten menjadi carut marut. Nilai-nilai tradisional selalu bertabrakan
dengan nilai-nilai moderen. Kekuatan pemerintah kolonial yang kuat di Banten tidak membuat rakyat hormat dan tunduk pada pemerintakan kolonial. Munculnya
tindakan-tindakan kriminal seperti; perampokan, pembegalan, pencurian serta tindakan-tindakan lain yang melanggar hukum membuat pejabat-pejabat lokal
tidak bisa menjaga dan mengatur keadaan di daerah-daerah pedesaan. kerusuhan-kerusuhan itu juga didukung oleh administrasi lokal yang memburuk,
ketidak berdayaan polisi serta adanya dukungan oleh rakyat jelata. Keadaan yang terjadi di Banten pada abad XIX tidak saja dianggap
sebagai pergolakan sosial yang mengubah tatanan kehidupan tetapi juga sebagai tempat munculnya kebangkitan agama. Bangkitnya kembali agama,
selama pertengahan abad XIX terjadi kenaikan jumlah orang yang naik haji. Karena adanya pencerahan dari orang-orang yang berdakwah di daerah-daerah,
munculnya tarekat-tarekat islam, dan berkembangnya pesantren. Gerakan- gerakan ini merupakan upaya untuk mendapatkan simpati serta dukungan dari
rakyat. Anggota-anggota tarekat inilah yang akan dijadikan sebagai kelompok revolusioner yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan kolonial.
Tahun 1880-an mulai bermunculannya semangat ikut fanatisme agama yang menunjukan sikap agresif terhadap orang-orang Belanda. Hal ini membuat
kekhawatiran Belanda terhadap fanatisme yang menggangap orang-orang Belanda sebagai orang kafir dan membuat Belanda tidak lagi percaya pada
pejabat-pejabat Bantan. Di dalam masyarakat Banten kyai memiliki pesona-pesona kewibawaan
serta menjadi pemimpin-pemimpin yang alami. Masyarakat Banten yang terkesima memberikan kehormatan, sumbanga, mendukung serta mematuhi
kiyai yang berjuang dengan tujuan yang suci, memberantas orang-orang kafir dan menginginkan sistem tatanan tradisional.
80
Dalam melakukan pemberontakan dilakukan persiapan-persiapan.. Setelah mendirikan pesantren, tarekat serta berdakwah-dakwah para ulama
mengobarkan konsep pemberontakan dengan perang jahil. Tarekat-tarekat dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan informasi-informasi rahasia dan
komunikasi antara komplotan-komplotannya tanpa di ketahui oleh pejabat- pejabat daerah. Tarekat juga digunakan sebagai tempat untuk berkumpul
melakukan zikir, sholat yang kemudian mempertemukan kiyai sebagai pemimpin dalam revolusioner. Mereka membahas tentang berbagai strategi-strategi
kampanye untuk memberontak pemerintah Belanda. Pemimpin-pemimpin gerakan revolusioner antara lain ; Haji Abdul Karim,
Haji Tubagus Ismail, Haji Wasid, serta masih banyak lagi yang lainnya. Pada tahun 1884 gagasan untuk memberontak pemerintah Belanda sudah matang,
para pemimpin-pemimpinnya sudah tidak sabar lagi untuk melancarkn aksinya tersebut. Para guru tarekat bertugas untuk mencari murit-muritnya untuk
dijadikan pengikut. Gerakan-gerakan ini selalu sibuk mengadakan perkumpulan- perkumpulan yang membahas tentang strategi pemberontakan. Kecemasan
pemerintah Belanda mulai timbul akibat tumbuh pesatnya gerkan yang menyatu dengan kehidupan agama rakyat.
Pemberontakan meletus pertama kali pada malam hari tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan pertama diadakan di Cilegon yang dipimpin oleh Haji
Tubagus Ismail dan pemimpin-pemimpin terkemuka lainnya. Pemberontakan di susul dengan serangan terhadap Serang. Cilegon merupakan tempat tinggal
pejabat-pejabat pamongpraja, Eropa dan pribumi yakni, asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan
garam dan pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial. Dalam pemberontakan ini terjadi banyak pertumpahan darah. Pemberontakan
berlangsung relati singkat, yaitu berakhir pada 30 Juli.