Pengaruh Ekologi terhadap Migrasi

94 satu-satunya kekuasaan yang sah. Posisi patih dalam hierarki kekuasaan tradisional adalah lebih sebagai abdi panembahan daripada birokrat, tetapi oleh Belanda kemudian posisi patih dibuat bebas dari kesewenang-wenangan kekuasaan panembahan. Di tingkat supradesa, keraton menduduki tempat yang khusus dalam organisasi negara.Keraton memiliki pegawai-pegawai dan personel-personel pengawas istana raja. Desa dalam jajaran organisasi negara ditetapkan sebagai teritorial terkecil dan merupakan unit deparmental.Desa merupakan sumber persediaan barang- barang dan jasa, pendapatan dan tenaga manusia, yang menyokong organisasi negara.Kepala-kepala desa mengorganisir upeti dan menyediakan tenaga kerja untuk otoritas supradesa, keduanya untuk tujuan umum dan personal. Dan lagi, ada sistem upeti dalam organisasi internal desa dengan pajak dan tenaga kerja di dalamnya Pada perkembangan selanjutnya, kelas-kelas pedagang inilah – kebanyakan Cina – yang berperan dalam mengikis sistem upeti.Para pedagang yang bertindak sebagai pachter penyewa dalam perpajakan di desa-desa apanage, membuat inti hubungan pembayar upeti menjadi tak terpakai.Kaum ningrat menjadi miskin dan terperangkap utang pada orang-orang Cina dan pedagang-pedagang pribumi.Kemudian akibat rembesan sistem pachter ini apakah kelas negara masih dominan dalam masyarakat diragukan.Keadaan yang demikian itu menyatakan secara tidak langsung bahwa kekurangan ekologis menghasilkan kegelisahan ekonomi yang memaksa pemilik tanah desa percaton menyewakan hak-hak perpajakan. Runtuhnya sistem upeti disebabkan oleh meresapnya pengaruh kapitalis yang hanya dapat ditandingi oleh masuknya kekuasaan kolonial ke dalam organisasi negara.Tuntutan Belanda berhubungan dengan sumber-sumber ekonomi yang mengakibatkan juga runtuhnya sistem upeti. Monopoli perdagangan garam, hak-hak pajak penangkapan ikan, dan peraturan-peratuan pajak pasar, misalnya, sangat mengurangi pendapatan istana dan pemilik peraturan-peraturan perpajakan sebelumnya. Tetapi akibat dari kekusaan kolonial terhadap sistem pajak hanya di pinggiran saja, tidak menembus intinya, yaknis sistem apanage dan jasa tenaga kerja. 95

5. Stratifikasi Sosial

Pengamat Madura abad XIX, Hageman JCz, melihat masyarakat Madura terpolarisasi menjadi werkezel pekerja dan leeglooper penganggur, budak dan tuan, atau produsen dan konsumen. Orang-orang Cina dan pedagang-pedagang laut termasuk kelas ketiga.Polarisasi itu cocok dengan hubungan perpajakan, yaitu antara kelas negara dan petani.Terlepas dari polarisasi ini, yang dapat disebut sebagai orang kebanyakan meliputi; pedagang, agamawan, dan petani. Stratifikasi sosial orang Madura juga dikenal lewat penggunaan bahasa.Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang kecil – orang kenek atau orang dumeh – sering kali pertama-tama dilawankan dengan kaum ningrat – sentana atau ario.Kategori kedua yang tidak termasuk orang-orang kecil adalah elit birokrat, yang tidak perlu memiliki gelar kebangsawanan, yaitu mantri.Kategori ketiga, kelas pengikut atau abdi, yang dianggap sebagai aparat negara atau istana.Kaum ningrat dan birokratlah yang membentuk kelas-kelas penguasa Madura datu kelas-kelas yang memerintah, dan keduanya bersama dengan kelas abdi, mendapat penghasilan dari negara.Adat kebiasaan yang berlaku pada kelas-kelas negara, sentana, mantri, dan abdi dapat diamati simbol status mereka masing-masing, seperti penggunaan payung, yang terlarang bagi orang kenek. Stratifikasi kelas dari kelas-kelas negara nampak pada perbedaan alokasi desa- desa percaton atau sawah percaton sistem percaton: ”pembayaran gaji dengan sawah” dan jasa pancen tenaga kerja.Seperti raja, kerabat-kerabat sentana mendapat bagian tanah dan tenaga kerja cukup besar.Dalam kelompok mantri hanya patih atau wedono yang mendapat jatah lebih besar, sedangkan mantri-mantri lainnya mendapat jatah kecil.Jika sentana dan mantri diberi desa- desa sebagai percaton, abdi atau pengikut diberi sawah atau tegal.Pendapatan sentana dan mantri berupa pajak-pajak pertanian, itulah penghasilan abdi. Kesejahteraan ini pada perkembangan selanjutnya mengalami kemerosotan.Bertambahnya keanggotaan sentana – karena poligami, kawin muda, dan tingkat produktivitas anak yang tinggi - dengan sumber-sumber ekonomi yang tidak cukup mendukungnya, mengakibatkan mereka menjadi miskin dan terbelit utang.Akhirnya jabatan itu dihapus dari kerajaan-kerajaan, dan berakhir dengan suatu kompensasi pemerintah yang tampak seperti berkah tersembunyi blessing in disguise.