Anak Jalanan KAJIAN TEORI
2. Kelompok Anak Jalanan Jalanan merupakan ruang publik dimana setiap orang bisa masuk dan
mengais rejeki disana sesuai dengan kemampuan kesempatan yang ada. Situasi sosial jalanan turut andil membentuk kelompok-kelompok anak jalanan. Himpunan
Mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota HIMMATA mengelompokkan anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu anak semi jalanan dan jalanan murni.
Anak semi jalanan diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan di jalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarga.
Sedangkan anak jalanan murni diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan menjalani kehidupannya di jalanan tanpa mempunyai hubungan keterikatan dengan
keluarga
23
. Sedangkan Tata Sudrajat, mengelompokkan anak jalanan menjadi 3
kelompok berdasarkan hubungan anak dengan orang tuanya, yaitu:
24
a. Anak yang putus hubungan dengan orangtuanya, tidak sekolah dan tinggal di
jalanan. Disebut anak yang hidup di jalanan atau children of the street. b.
Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orangtuanya, tidak sekolah, kembali ke orangtuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan
sekali. Disebut dengan anak yang bekerja di jalanan atau children on the street c.
Anak yang masih tinggal bersama orangtuanya. Setiap hari pulang ke rumah, masih sekolah atau putus sekolah. Disebut anak yang rentan menjadi anak jalanan
atau vulnerable to be street children. Pengelompokkan anak jalanan lebih rinci oleh Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia menjadi 3 kelompok, yaitu
25
23
Asmawi, “Menata Masa Depan Anak-Anak Jalanan”, Ummi, Majalah Islam Wanita September 2001, p. 28.
24
Tata Sudajat, “Pola Hubungan Sosial dan aktifitas Sosial Ekonomi Anak
jalanan”MakalahPKBI, 1999, p. 5.
25
Arum R Kusumanegara, „Hak-hak Anak dan Perlindungan Anak di Indonesia‟, MakalahYKAI dalamSeminar Problematika Anak Jalanan Dalam Menghadapi Millenium Ketiga,
Diselenggarakan Oleh Universitas Satya Negara, 10 Oktober 1998.
1. Anak–anak yang tidak berhubungan lagi dengan orangtuanya children of the
street. Mereka tinggal 24 jamdi jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarganya sudah terputus. Untuk
makan mereka harus melakukan pekerjaan seperti meminta mengemis, meminta pada teman-temannya, atau mencari makanan sisa yang telah dibuang
hoyen.Kelompok anak disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan,penolakan, penyiksaan, penindasan dan korban
perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali kerumah. Kehidupan jalanan dan solidaritas teman-temantelah menggantikan lembaga keluarga bagi
mereka.
2. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah yang
bekerja di jalanan atau disebut children on the street. Mereka juga disebut sebagai pekerja imigran kota yang pulang tidak teratur kepada orangtuanya. Mereka pada
umumnya bekerja dari pagi sampai sore hari. Tempat tinggal mereka mengontrak di lingkungan kumuh bersama saudara atau teman-teman. Ada juga yang tinggal
bersama keluarganya. Penyebab utama mereka menjadi anak jalanan adalah masalah ekonomi keluarga. Mereka harus membantu orangtua sekaligus
menghidupi dirinya sendiri. Secara umum mereka bekerja sebagai penyemir sepatu, pedagang asongan, penjual barang seperti makanan dan minuman ringan,
mainan, alat tulis, pengamen, ojek payung dan kuli. Modal kerja mereka peroleh sendiri dan dari orang lain bos.
3. Anak-anak yang masih berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal
dengan orangtuanya, beberapa jam dijalanan sebelum atau sesudah pulang sekolah. Motifikasi mereka ke jalan karena terbawa pengaruh teman, belajar
mandiri, membantu orangtua atau disuruh orangtua. Pekerjaan mereka yang paling menyolok adalah berjualan koran.
Lain halnya dengan Hadi Utomo
26
1999 yang menyebut 4 empat kelompok anak jalanan yakni:
1. Anak yang hidup dan mencari penghidupan di jalanan gelandangan. Mereka ini
pada umumnya jarang atau hampir tak pernah pulang ke keluarganya, atau memang sudah tidak memiliki hubungan dengan keluarganya.
2. Anak yang mencari penghidupan di jalanan tetapi mempunyai tempat tinggal
tetap seperti mengontrak atau ditampung oleh “majikan”. Di sini frekuensi anak jalanan pulang ke rumah orangtuanya per minggu, per bulan, per triwulan, dan
lain sebagainya. 3.
Anak yang mencari penghidupan di jalanan dan pulang ke rumah tiap hari. 4.
Anak Baru Gede ABG bermasalah. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan di atas dan beberapa hasil dari
penelitian, dan pendapat pakar serta lembaga swadaya masyarakat yang menangani kelompok-kelompok marjinal di perkotaan ternyata, faktor utama timbulnya anak-
anak jalanan adalah faktor ekonomi, dibarengi oleh faktor susulan seperti perceraian orangtua, kekerasan penyiksaan dari orang dewasa dan pengaruh teman-teman.
3. Ciri-Ciri Psikologis Anak-Anak Jalanan Ciri-ciri psikologis anak jalanan Muis, 2010 diantaranya :
a. Mobilitas tinggi
b. Acuh tak acuh
c. Penuh curiga
d. Sangat sensitif
e. Berwatak keras
f. Kreatif
g. Semangat hidup tinggi
h. Berani menanggung resiko
26
Prasadja, Heru dan Agustian, Murniati.Op.cit hal. 8-9
i. Mandiri
27
Sedangkan ciri-ciri psikologis dari anak jalanan lainnya. Saparinah Saidli
28
, mengemukakan sebagai berikut:
Pertama
, anak-anak ini lekas tersinggung perasaannya. Digoda oleh temannya sendiri menyebabkan mereka sangat marah dan emosional, sering beraksi diluar
dugaan dan secara proporsional jauh melebihi penyebab kemarahan mereka.
Kedua ,anak-anak ini lekas putus asa dan cepat murung, kemudian nekad tanpa
dipengaruhi secara mudah oleh orang lain yang ingin membantunya.
Ketiga , tidak berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya, mereka
menginginkan kasih sayang. Hanya karena mereka tidak pernah atau hampir tidak mempunyai pengalaman yang nyata mengenai kasih sayang ini, maka mereka
menjadi „liar‟, atau tidak merasa terikat dengan siapa pun atau aturan-aturan yang berlaku umum. Namun dengan caranya tersendiri, mereka dapat menunjukkan
rasa keterikatannya pada orang lain yang mereka senangi. Contohnya mereka membantu dalam hal-hal yang kecil-kecil disuruh dan untuk menunjukkan rasa
terima kasihnya mereka menyimpan sesuatu yang khusus. Misalnya gelas yang telah dicuci bersih dengan sabun cuci piring untuk dipakai ibu tersebut bila
datang; sesuatu diluar dugaan ibu yang bersangkutan.
Keempat ,anak-
anak biasanya tidak mau „tatap muka‟, dalam arti bila mereka diajak bicara, tidak mau melihat orang secara terbuka.
Kelima
,sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak mereka sangat stabil. Tetapi keadaan mereka sulit berubah meskipun telah bertambah
umur, atau meskipun mereka telah diberi pengalaman yang lebih positif umpamanya dengan memiliki ketrampilan khusus agar dapat memperoleh
pekerjaan yang nyata. Ternyata pada awalnya mereka antusias, tetapi kerap kali cepat muncul sifat lain seperti malas, kemudian sering bolos. Keadaan ini
27
httpdigilib.unimus.ac.idfilesdisk1134jtptunimus-gdl-ayusetyori-6659-3-.pdf. diakses pada hari Jum’at Mey
Pkl . WIB
28
Saparinah Sadli, “Perilaku Gelandangan dan penanggulanginya”, Gelandangan
Pandangan Ilmuwan Sosial, Jakarta:LP3ES,1986,p.34.
menyebabkan mereka seringkali tidak dapat bertahan dalam suatu pekerjaan yang menuntut disiplin tertentu dalam pola tingkah lakunya.
Keenam, mereka memiliki suatu ketrampilan, namun ketrampilan ini tidak selalu
sesuai bila diukur dengan ukuran normatif kita. Contohnya anak yang terampil memotong daging, tetapi cara memotongnya yang berlaku umum.
Saparinah Sadli
mengatakan bahwa ciri-ciri anak gelandangan jalanan yang kemudian di atas tidak didasarkan pada suatu studi yang sistematis, namun kalau
diadakan studi lanjutan ciri-ciri tersebut mungkin ditemukan dengan jumlah dan intensitas dan kombinasi yang berbeda-beda.
ISCA International Save the Children Alliance telah mengelompokkan berbagai hak anak yang ada dalam konvensi ke dalam empat kategori besar, yakni:
29
1. Hak atas kelangsungan hidup,
2. Hak atas perlindungan,
3. Hak untuk bertumbuh dan berkembang, serta
4. Hak berpartisipasi.
Upaya agar semua anak menerima seluruh haknya adalah tanggungjawab semua pihak baik keluarga, masyarakat, maupun negara.
Dalam upaya memberi perlindungan terhadap hak-hak anak terutama hak untuk hidup, berkembang, untuk memperoleh perlindungan, dan untuk didengar
pendapatnya, PBB menyelenggarakan pertemuan Puncak dunia tentang Anak World Summit Meeting On Children pada tahun 1990 yang dihadiri oleh Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan. Para Kepala Negara dan Pemerintahan bersepakat bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan anak perlu tindakan politik pada tingkat tinggi. Mereka
pada sepakat untuk memberikan prioritas tinggi pada hak anak Indonesia telah meratifikasi hasil Konvensi itu Indonesia terikat pada hak-hak anak dan berkewajiban
melaksanakan hak-hak anak tersebut.
29
Prasadja, Heru dan Agustian, Murniati. Op.Cit. hal. 52
Konvensi tersebut sekaligus menjadi komitmen pemerintah dalam menjamin kelangsungan hidup anak, terutama anak-anak jalanan. Konvensi hak-hak anak-anak
terdiri dari 45 pasal dan cakupannya dikelompokkan dalam kategori-kategori berikut: 1.
Hak-hak untuk melangsungkan hidup survival right termasuk didalamnya adalah hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sebaik-baiknya sehingga
terhindar dari berbagai penyakit yang mematikan. 2.
Hak-hak untuk berkembang development right, termasuk didalamnya pemberian gizi, pendidikan dan olah sosial budaya yang memungkinkan anak berkembang
sebagai manusia dewasa beridentitas dan bermartabat. 3.
Hak-hak untuk perlindungan protection right dari segala macam diskriminasi dan kekerasan,baik karena warna kulit, ideology, politik, agama, maupun status
fisik misalnya cacat. 4.
Hak-hak untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan hidup participation right.