commit to user significance of denotation meaning in those scenes. Secondly, the analysis
discovered the connotation. Myth appeared on this step. The researcher concluded that the value of heroism in this movie was
shown by attitude and action of the characters. The values are Bravery, Believe in our own strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity. This
film could send various messages or symbols that show heroism value. Keywords: symbols, values, semiotics,
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik
atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di duina para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film
sinema adalah Cinemathographie yang bearasal dari Cinema + tho = phythos cahaya + graphie = graph tulisan = gambar = citra, jadi pengertiannya adalah
melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus yang biasa kita sebut dengan kamera.
commit to user Garin Nugroho menyebutkan “film sebagai penemuan komunal dari
penemuan-penemuan sebelumnya fotografi, perekaman gambar, perekaman suara, dll, dan ia tumbuh seiring pencapaian penemuan-penemuan selanjutnya.
Film juga merupakan hasil peleburan sekaligus persitegangan hakikat seni dan media komunikasi massa”.
1
Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah suatu cara untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin
dikomunikasikan kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi massa. Dalam film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung
unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada akhirnya mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit.
Menurut David Bardwell, cara bertutur ini adalah penghadiran kembali kenyataan, dengan makna yang lebih luas.
2
Sebagi gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Ketika film ditemukan, orang datang berbondong – bondong
ke gedung bioskop hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan kembali sama persis dengan realitas yang terjadi di depan matanya sendiri. Maka
ketika film diputar di bioskop, sebenarnya tidak akan pernah ada perhatian bersama yang tuntas tentang kenyataan apa adanya yang diungkapkan kembali
dalam sebuah film. Dengan begini, kita sampai pada kenyataan lain. Sebuah film mungkin saja merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara
sinematografis dalam batas – batas tertentu, namun film tidak pernah sahih
1
Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995 hal 77
2
David Bardwell, Narration in The Fiction Film, Wisconsin : The University of Wisconsin Press, 1985. hal xi
commit to user sebagai representasi kenyataan apa adanya itu sendiri karena yang berlangsung
hanyalah subjek yang beradu dengan subjek.
3
Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi
dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung
pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan
dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya.
Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat
dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak
mendapatkannya dalam film.
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun
1991 jumlah produksi hanya 25 judul film padahal rata-rata produksi film nasional sekitar 70 - 100 film per tahun. Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh
seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh
3
Seno Gumira Ajidarma, Layar kata. Bentang. Yogyakarta : 2004 hal 34
commit to user kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan
dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masing- masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan
tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional
setelah bioskop. Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah
satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi
untuk berkembang.
Setelah lebih dari sepuluh tahun perfilman Indonesia mengalami mati suri sejak mengalami krisis hebat tahun 1991 akibat semakin populernya televisi yang
menawarkan tayangan sinetron, film Indonesia mulai bangkit setelah munculnya film “Petualangan Sherina” dan “Ada Apa Dengan Cinta AADC” pada tahun
2002 yang mendapat apresiasi besar dari masyarakat. Kondisi tersebut menunjukkan kehausan masyarakat akan tontonan yang berkualitas dan
menghibur, dan film adalah jawabannya. Keunggulan lain dari film adalah karena penayangannya yang sekali habis cerita sampai selesai dan bukan cerita
bersambung. Itulah alas an masyarakat memilih film.
Film merupakan salah satu media yang berperan penting dalam menanamkan pesan-pesan yang baik bagi generasi penerus bangsa agar tidak
menjadi bangsa yang hilang ingatan terhadap sejarah bangsa. Film lebih dari sekedar hiburan. Seperti apa yang diungkapkan oleh seorang kritikus film, Eric
commit to user Sasono, dalam tulisannya “Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik
Sosial?” yang dimuat pada KOMPAS Edisi Minggu 17 Juli 2005. Eric menyatakan bahwa film adalah media yang ampuh untuk melancarkan kritik
sosial. Film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, karena film adalah media komunikasi. Dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan
Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa film:
“…bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat,
sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai
masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.
4
Salah satu fungsi film memang sebagai kritik sosial, seperti film Gie dimana Mira Lesmana dan Riri Riza ingin menyalurkan kegelisahannya melalui
film ini. Selain itu bahkan film dapat dijadikan alat legitimasi
5
, seperti ketika
zaman orde barunya Soeharto dengan film Jnaur Kuning, Serangan Fajar dan Enam Jam di Jogya sampai Pengkhianatan G-30 SPKI. Dengan segala potensi
yang dimilikinya, maka sangat disayangkan apabila film yang sangat ampuh dalam mempengaruhi seseorang itu hanya dijadikan alat untuk legitimasi
kekuasaan atau kepentingan komersil belaka. James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa
dilihat dalam tiga kategori. Sebagai Cinema dilihat dari segi estetika dan sinematografi, Film hubungannya dengan hal di luar film, seperti sosial dan
politik, dan Movies sebagai barang dagangan. Film sebagai “Film” adalah
4
Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005
5
Tabloid Berita Mingguan Adil, No. 12 Tahun ke-67, 23-29 Desember 1998
commit to user fungsi kritik sosial, sementara kita masih sering menduelkan antara Cinema art
film dengan Movies film komersil.
6
Jelas bahwa film adalah media yang tepat untuk mengedukasi masyarakat, terutama akan pentingnya nasionalisme, karena jiwa nasionalisme di kalangan
generasi muda sekarang telah memudar. Bahkan film yang paling menghibur sekalipun, seperti film-film laris dari Hollywood, punya pesan-pesan kuat yang
pengaruhnya lebih kuat dari film-film propaganda Rusia. Seperti yang pernah ditulis oleh Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia bahwa menonton film
Hollywood, kita terbius dengan layar peraknya, dan tak terasa pikiran kita dimasuki propaganda mereka, misalnya kekerasan dan seks bebas saat kita
mnikmatinya. Sementara itu, menonton film yang dianggap bagus dan sarat dengan nilai-nilai, biasanya bikin ngantuk.
7
Dalam suatu kesempatan, Usmar berdialog dengan Presiden Soekarno dan meminta pendapat tentang gaya propaganda film yang sesuai dengan revolusi
Indonesia, apakah gaya Rusia yang kurang menghibur namun padat dengan misi ataukah Hollywood yang punya pesan yang longgar tapi sangat diminati, dan
propagandanya masuk secara halus. Bung Karno saat itu mengatakan yakni, ambil jalan tengah, yaitu menghibur tapi kaya akan pesan, seperti neo-realisme
Italia.
8
Neorealisme yang diperkenalkan pertamakali pada 1942-1943 oleh kritikus Antinion Pietrangeli dan Umberto Barbaro berfokus pada manusia dan
memihak pada kemanusiaan. Ciri pokoknya terlihat pada penggambaran yang
6
Ibid, Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005
7
Ibid.
8
Ibid.
commit to user langsung, sederhana, dan alamiah mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat
kelas bawah dengan infrastruktur utamanya bukanlah kapital, teknologi, atau hal lain yang berada di awang-awang, melainkan lebih bertumpu pada wilayah dalam
penciptanya, seperti kepekaaan sosial, empati, nalar, intelektualitas, dan sebagainya.
9
Genre neorealisme ini kini diadopsi oleh para sineas Iran. Hasilnya adalah sebuah film sarat makna, tapi juga “sehat” dalam hal akidah dan nilai-nilai
keislaman, serta bermutu dalam segi sinematografi dan isi cerita yang universal dan karenanya bias diterima oleh pihak internasional.
Film yang baik adalah film yang diniatkan untuk penyampaian pesan- pesan lewat cerita-cerita yang diambil dari cerita kehidupan nyata. Selain itu, film
juga mampu membuat kita memahami pandangan dunia dari perdaban lain, atau kehidupan dan problematika kemanusiaan. Film bisa membuat kita mengetahui
budaya negara lain. Film juga bisa menjadi refleksi atas kenyataan. Banyak teori menyatakan bahwa film menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya.
Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer menyatakan,
“film suatu bangsa, mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistic lainnya”
10
Keresahan para pelaku film atas komersialisasi karya film dan film sebagai kendaraan propaganda politik pemerintah juga menjadi salah satu isu
utama yang menginspirasi mereka untuk melahirkan gerakan ini. Film pendek sendiri telah dikenal sebagaian masyarakat Indonesia jauh sebelumnya melalui
film-film “Gelora Pembangunan” pada era Soekarno. Film-film tersebut
9
Totot Indrarto, Neorealisme Siapa Takut, Kompas, 4 November, 2001
10
Sigfried Kracauer, From Caligari to Hitler : A Psychological History of the German Film, New Jersey, Princeton University Press, 1974, hal. 6
commit to user diputarkan di kampong-kampung atau bioskop sebelum film utama diputar. Pun
ini berlanjut pada era pemerintahan Soeharto yang memiliki program pemutaranfilm melalui Departemen Penerangan dengan misi memutarkan film-
film yang kebanyakan film pendek propaganda pemerintah dengan ideology pembangunannya.
Salah satu film yang mengangkat wacana nilai-nilai kepahlwanan adalah Harap Tenang, Ada Ujian. Film ini diproduksi tahun 2006 oleh Fourcolours Film
dari Jogja yang bekerja sama dengan Freemovie dan disutradarai oleh Ifa Isfansyah. Film berdurasi 15 menit ini sebenarnya mengangkat tema cerita yang
cukup berat, namun sang sutradara menceritakannya dengan sangat ringan. Dengan berlatar belakang kota Jogjakarta yang pada tanggal 27 mei 2006 pada
jam 05.55 pagi dikejutkan oleh gempa dengan kekuatan 5,9 SR yang menewaskan lebih dari 6.000 orang. Hari itu adalah sepuluh hari sebelum ujian
akhir nasional untuk murid sekolah dasar dan empat belas hari sebelum piala dunia 2006. Cerita difokuskan pada anak kecil korban gempa bumi Yogyakarta,
yang akan menjalani ujian sejarah. Pada saat bersamaan, dating sukarelawan Jepang ke daerahnya untuk member bantuan. Anak itu mengira kalau sukarelawan
Jepang itu hendak kembali menjajah Indonesia, seperti yang dibacanya dalam buku sejarah. Maka dengan segala cara anak ingusan itu mencoba untuk
menghalau para sukarelawan Jepang. Film ini merupakan film independent atau film pendek yang notabene
diproduksi dengan budget terbatas. Film pendek merupakan film yang durasinya pendek, tetapi dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya harus bisa
commit to user lebih selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap
‘shot’ akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnnya. Dengan berlatar kejadian gempa di Jogjakarta, dan alur cerita yang
sangat ringan, film ini nampaknya sarat dengan pesab yang mengandung nilai- nilai kepahlawanan. “Harap Tenang Ada Ujian”, produksi Fourolours juga
berhasil menembus festival bertaraf internasioanl dan meraih penghargaan sebagai film pendek terbaik. Hal inilah yang menjadi alasan penulis memilihnya untuk
diteliti. Dalam studi pesan terdapat beberapa macam metode penelitian salah
satunya adalah metode semiotik. Sebagai bentuk pesan film ini terdiri dari berbagai tanda dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna. Proses
pemaknaan simbol-simbol dan tanda-tanda tersebut tentu saja sangat tergantung dari referensi dan kemampuan pikir masing-masing individu. Oleh karena itu
dalam hal ini analisis semiotik sangat berperan. Dengan semiotik tanda-tanda dan simbol-simbol dianalisa dengan kaidah-kaidah berdasarkan pengkodean yang
berlaku, dengan demikian proses intrepertasi akan menemukan sebuah “kebenaran makna” dalam masyarakat, semiotik akan menemukan makna yang hakiki, makna
yang terselubung dalam sebuah pesan film. Oleh karena itu penulis ingin melakukan kajian semiotik mengenai bagaimanakah perfilman Indonesia
menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan dalam film yang mereka buat.
2. Rumusan Masalah