commit to user hubungan antar tokoh, dalam film dan situasi yang digambarkan dalam
film merupakan bagian dari aspek sosial. 2. Aspek Sinematografi
Aspek sinematografi adalah segala hal yang menyangkut tata cara dan teknis pembuatan film. Bagaimana angle kamera dalam menangkap
obyek, besar kecilnya obyek yang tertangkap pada kamera shot distance, pencahayaan, setting dan efek-efek yang dihasilkan dari teknis-teknis
tersebut. Termasuk didalamnya adalah setting pengambilan gambar serta seluruh yang ada pada dunia rekaan tersebut.
5.5 Film Pendek
Film pendek merupakan primadona bagi para pembuat film indepeden. Selain dapat diraih dengan biaya yang relatif lebih murah dari film cerita panjang,
film pendek juga memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa. Meski tidak sedikit juga pembuat film yang hanya menganggapnya sebagai sebuah batu
loncatan menuju film cerita panjang.
Film pendek berhubungan dengan cerita yang pendek, tetapi bermakna besar, sebagaimana terjadi dalam dunia visual art, telah mengalami berbagai
eksplorasi dari bentuk dan kreasi yang menghasilkan style yang sangat khas. Karya Luis Bunuel, Maya Deren, dan karya-karya yang dibuat oleh Stan Brakhage
atau Andy Warhol telah lebih jauh memberi komentar dengan style MTV dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya dalam produksi film main-
stream. Pembuat film seperti Stan Brakhage yang tertarik dengan proses
commit to user menumpuk-numpuk gambar bukan menciptakan efek, melainkan banyak
mewujudkan nilai simbolik sebagaimana terjadi pada refleksi diri dan mewujudkan dengan peralatan untuk menjadi manipulasi kemudian disampaikan
dalam bahasa visual. Beberapa pembuat film pendek memosisikan diri sangat stylistic seperti halnya minimalis Andy Warhol. Sebenarnya posisi style-nya
sangat jelas sebagai lawan yang memosisikan isinya, bahwa pengalaman dari film-filmnya menjadi komentar dalam medium melebihi interpretasi atas
lingkungan atau dunia secara umum.
36
Film pendek pada hakikatnya bukanlah sebuah reduksi dari film cerita panjang, ataupun sekedar wahana pelatihan belaka. Film pendek memiliki
karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan film cerita panjang, bukan lebih sempit dalam pemaknaan, atau bukan lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia
sastra, seorang penulis cerpen yang baik belum tentu dapat menulis cerpen dengan baik; begitu juga sebaliknya, seorang penulis novel, belum tentu dapat memahami
cara penuturan simpleks dari sebuah cerpen. Alur cerita adalah cara yang bagus untuk
menciptakan pemahaman
bersama tentang
mengkomunikasikan pengalaman.
Secara teknis, film pendek merupakan film-film yang memiliki durasi dibawah 50 menit.
37
Meskipun banyak batasan lain yang muncul dari berbagai pihak lain di dunia, akan tetapi batasan teknis ini lebih banyak dipegang secara
konvensi. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi
36
Gotot Prakosa, Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Yayasan Layar Putih, 2001hal 25-26
37
Derek Hill, dalam Gotot Prakosa, Film Pinggiran : Antologi Film Pendek, Film Eksperimental, dan Film Dokumenter, FFTV IKJ YLP, 1997
commit to user para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi.
Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi
menarik justru ketika variasi-variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara pandang baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil
memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan sinema.
Istilah ‘independent film’ dan ‘independent filmmaker’ memang muncul pertama kali dan populer di Amerika sudah sejak jamannya Stanley Kubrick mulai
menyutradarai film. Definisi ‘independent film’ pun masih terus menjadi polemik besar diantara mereka masing-masing. Ada yang memberikan definisi yang sangat
bersudut-pandang industri, yaitu Gregory Goodell yang mengatakan:
“ … any film that is developed without ties to a major studio, regardless of where the subsequent production andor distribution financing comes from.”
38
Definisi bersudut pandang industri seperti yang disebutkan Goodell dan tentu saja banyak praktisi perfilman Hollywood lainnya terasa begitu ‘sempit’
untuk dapat menggambarkan apa yang disebut sebagai film independen secara universal. Untuk konteks Amerika Serikat khususnya Hollywood mungkin
definisi ini sah-sah saja, mengingat begitu mapannya industri perfilman di sana. Jadi, dalam konteks mereka, semua film yang diproduksi diluar studio-studio
milik Disney, MGM, Paramount, Sony, 20th Century-Fox, Universal dan Warner Bros. adalah film independen. Definisi ini begitu dikotomis dan tentu saja praktis.
Akan tetapi dari sudut pandang metodologi ilmiah, jelas penarikan definisi ini
38
Gregory Goodell, Independent Feature Film Production : A Complete Guide from Concept Through Distribution, St. Martin’s Griffin; Rev Upd Su edition, 1998
commit to user tidak bijaksana. Ada juga yang memberikan batasan yang sangat teknis, seperti
Moran Willis yang menyatakan bahwa:
“Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor… Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia
amatir home video, 8mm, 16mm, 70mm melawan profesional 35mm. Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan
produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara masal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan
konvensional, generik dan residual. Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik,
indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan kecenderungan umum.” Moran Willis,….
39
Definisi bersifat teknis ini ternyata juga bernuansa politis. Hal tersebut mengingatkan kita akan timbulnya gerakan Avant-garde Cinema di Perancis dan
gerakan The New German Cinema di Jerman beberapa dekade sebelumnya. Definisi bernuansa politis semacam ini juga dianut oleh Planet Indie Festival di
Kanada yang menyatakan dasar filosofis mereka:
“Film independen, yang terpenting dan yang paling harus diutamakan adalah film yang tidak melibatkan peran pemerintah didalamnya.”
40
Dalam sejarah film dunia, istilah ‘film pendek’ mulai populer sejak dekade 50-an. Alur perkembangan terbesar film pendek memang dimulai dari Jerman dan
Perancis; para penggagas Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean Mitry di Perancis. Di kota Oberhausen sendiri, kemudian muncul Oberhausen
Kurzfilmtage yang saat ini merupakan festival film pendek tertua di dunia; sementara saingannya adalah Festival du Court Metrage de Clermont-Ferrand
yang diadakan tiap tahun di Paris. Sejak gerakan-gerakan ini muncul, film pendek telah mendapatkan tempatnya di pemirsa film Eropa. Festival-festival film pendek
39
http:www.konfiden.or.idvideotexpagesvtex_makalah03.php , diakses pada tanggal 8Juni
2010
40
Ibid
commit to user menjadi ajang eksibisi utama yang selalu sarat pengunjung, apalagi kemudian
didukung dengan banyak munculnya cinema house bervolume kecil untuk dapat menonton karya-karya film pendek di hampir setiap sudut kota di Eropa.
41
Hubungan internasional mulai terbangun, diantaranya dengan para filmmaker Eropa terutama dengan Festival Film Pendek Oberhausen, ketika untuk
pertama kalinya film pendek Indonesia berbicara di muka dunia di tahun 1984. Keadaan ini memancing munculnya Forum Film Pendek di Jakarta, yang
berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai kampus untuk secara intensif membangun networking yang baik di kalangan
pemerhati film. Akan tetapi, Forum Film Pendek hanya bertahan dua tahun saja
Di Indonesia, film pendek sampai saat ini selalu menjadi pihak marjinal, dari sudut pandang pemirsa karena tidak mendapatkan media distribusi dan
eksibisi yang pantas seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra. Film pendek memiliki sejarahnya sendiri yang sering terlupakan. Film pendek Indonesia secara
praktis mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak munculnya pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para film-enthusiasts pada era 70-an
dapat dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta
mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya mulai 1974, dimana format film yang diterima oleh festival tersebut hanyalah seluloid 8mm. Akan tetapi sangat
disayangkan kemudian Festival Film Mini ini berhenti pada tahun 1981 karena
41
Ibid
commit to user kekurangan Dana. Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang dimotori
Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan
sebagai media ekspresi kesenian.
42
Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke
pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri. Akan tetapi di sisi lain, di dunia internasional, film pendek Indonesia cukup
mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan
Nanang Istiabudi.
43
5.6 Semiologi dalam film