Semiologi dalam film Telaah Pustaka

commit to user kekurangan Dana. Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang dimotori Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan sebagai media ekspresi kesenian. 42 Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri. Akan tetapi di sisi lain, di dunia internasional, film pendek Indonesia cukup mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang Istiabudi. 43

5.6 Semiologi dalam film

Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara verbal maupun non-verbal sehingga bersifat komunikatif, hal tersebut memunculkan suatu proses pemaknaan oleh penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan. Disamping itu, 42 Ibid 43 Ibid commit to user semiotika semiotics adalah salah satu dari ilmu yang beberapa ahli atau pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika hyper-semiotics. Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika ...pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta lie. 44 Semiologi adalah istilah untuk ilmu tentang tanda-tanda yang dikemukakan ahli linguistik dari Swiss, Ferdinand de Saussure. Perbedaan ilmu tentang tanda, semiotik, pertama kali dikembangkan oleh filosof Amerika yang bernama Charles sanders Pierce. Sifat alami tanda yaitu menunjuk suatu karakter yang mengandung makna tersembunyi yang akan diterjemahkan sebagi tanda. Sebuah tanda akan disebut demikian dalam kenyataannya, berdasarkan penerimaan sebuah penafsiran dimana berdasarkan pula ketentuan tanda lain dalam suatu obyek yang sama. Struktur tanda tidak hanya terbatas pada representasi yang digunakan untuk menjabarkan hubungan antara tanda dan obyek, tapi juga membangkitkan suatu keyakinan. 45 Semiotika adalah istilah yang saat ini secara umum digunakan untuk menunjukkan kedua sistem tersebut di atas. Keduanya menaruh perhatian mengenai bagaimana makna dibangkitkan didalam sebuah teks film, program 44 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra, 2003, hal. 43-44 45 Pretelli, Susan, Abaout a Master of Sign, Starting the Sign and it’s Masters. www.augustoponzio.com commit to user acara televisi, lagu, dan bentuk kebudayaan lainnya yang melibatkan komunikasi dan transfer informasi. Semiotika, atau dalam istilah barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity memaknai hal –hal things. Memaknai to sinify dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan to communicate. Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. 46 Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : nama sebutan, peran, fungsi, tujuan, dan keinginan. Obyek semiotika adalah teks. Teks dipahami bukan sebagai sesuatu yang dibaca saja tetapi juga semua hal yang memiliki kode-kode yang bisa dimaknai. Proses memaknai signifikasi teks, tidak hanya terbatas dalam bahasa saja, tetapi juga hal-hal lain. Barthes sendiri didalam bukunya yang berjudul mytologies, memperlakukan obyek-obyek studinya seperti margarin, sabun mandi sampul majalah, film charlie chaplin, dan novel seperti memperlakukan bahasa. 47 Pada dasarnya film harus dilihat sebagai salah satu bentuk komunikasi sehingga pemahaman makna dalam film dapat dilihat dalam konteks yang jauh lebih luas. Makna yang diperoleh dari film akan lebih lengkap jika dikaji dengan melibatkan keseluruhan unsur-unsur komunikator dan komunikan, komunikasi juga melibatkan kebudayaan yang ada disekitarnya. 46 Sobur, Alex, Drs, MSi, Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, cetakan ketiga 2006, Hal.15 47 Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Yayasan INDONESIATERA, Magelang, cetakan pertama, Februari 2001. Hal 54 commit to user Terlebih dari perkembangannya film telah mampu menjadi alat untuk refleksi dari masyarakat, dan tampaknya menjadi perspektif yang secara umum sebagaimana dikemukakan Garth Jowett: 48 “Its is more generally agree that mass media are capable of reflecting society because they are forced by their commercial nature to provide a level of content which will guarantee the widst possible audiens.“ Yaitu lebih mudah disepakati bahwa media massa yang diwakili oleh film, telah mampu merefleksikan masyarakat karena ia didesak oleh hakikat komersialnya untuk menyajikan isi yang tingkatnya akan menjamin kemungkinan audiens yang luas. Tetapi tidak hanya itu saja film ternyata juga memiliki banyak pesan didalamnya. Untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam film tersebut, maka dapat dilihat melalui kacamata semiotika. Dalam semiotika ada beberapa tahapan, tahap pertama adalah denotasi, makna denotasi merupakan makna harfiah dari suatu objek atau citra, yaitu apa yang tergambarkan pada objek atau citra tersebut. Bagi masyarakat yang memiliki kebudayaan yang sama, makna denotasi tidak akan berbeda secara signifikan. Sedangkan konotasi kadangkala dinamakan sebagi signifikasi tahap kedua yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda pertama dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai- nilai dari kebudayaannya, konotasi adalah suatu tanda yang berhubungan dengan satu atau lebih fungsi tanda, makna konotasi dapat bervariasi diantara satu orang dengan orang lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan diantara mereka, entah perbedaan usia, gender, kelas rasial dan sebagainya 49 . 48 Irawanto, Budi, Film,Ideologi, dan Militer, Hegemoni militer dalam sinema Ind, Media Pressindo, 1999, hal.13 49 Kris Budiman, Jejaring Tanda – Tanda Strukturalisme Dan Semiotik Dalam Kritik Kebudayaan, Indonesiatera, Magelang, hal 108-109 commit to user Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Di dalam mitos terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Namun mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Semiologi akan menghasilkan makna-makna yang berasal dari kajian elemen-elemen film yang luas dan beragam, sehingga dapat diperoleh makna yang meliputi berbagai dimensi. Semiologi memberikan pemahaman bahwa sebuah makna tidak dipahami secara pasif, tetapi secara aktif dalam proses interpretasi. Dan semiologi akan mengkaji simbol-simbol yang ada dalam film untuk direpresentasikandalam kehidupan nyata, sehingga dapat diperoleh makna tertentu Berikut adalah teori semiotika yang dikembangkan oleh mereka, yakni, Charles Alexander Peirce, Ferdinand de Saussure dan Roland Bhartes. a. Charles Alexander Peirce Semiotika komunikasi yang mempunyai jejaknya pada pemikiran Charles Sander Peirce menekankan “produksi tanda” secara secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir semiosis, akan tetapi tidak berarti mengabaikan sistem tanda. Peirce, yang merupakan ahli filsafat dan logika, mengungkapkan bahwa tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Pada teori semiotik yang dikembangkannya, commit to user Peirce memusatkan perhatian pada tanda pada umumnya. Sedangkan semiotik signifikasi berakar pada pemikiran bahasa Ferdinand de Saussure. Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. 50 Semiotika bagi Peirce adalah suatu tindakan action, pengaruh influence, atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda sign, objek object dan interpretan interpretant. Yang dimaksud dengan subjek pada semiotika Peirce bukan subjek manusia, tetapi tiga entitas semiotika yang sifatnya abstrak sebagaimana disebutkan di atas yang tidak dipengaruhi oleh kebiasaan berkomunikasi secara kongkret. Menurut Peirce, tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dapat berarti sesuatu bagi seseorang jika hubungan yang “berarti” ini diperantarai oleh interpretan. 51 Peirce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan penafsirnya unsur perantara adalah contoh dari Keketigaan. Peirce berusaha untuk menemukan struktur terner dimanapun mereka bisa terjadi. Keketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir gagasan yang membaca tanda sebagai bagi yang lain yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda bisa dikatakan oleh 50 Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba- Serbi Komunikasi Jakarta: Gramedia, 1992 hal. 2 51 Umberto Eco, Sebuah Pengantar Menuju Logika Kebudayaan dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba-Serbi Komunikasi Jakarta: Gramedia, 1992 hal.43 commit to user penafsir lainnya. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya induksi, deduksi, dan penangkapan hipotesis membentuk tiga jenis penafsir yang penting. Agar bisa ada sebagai suatu tanda, maka tanda tersebut harus ditafsirkan dan berarti harus memilik penafsir. Peirce mengungkapkan “Sign is something which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda sign atau representamen selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisgn, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisgn adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu-lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia. 52 Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon ikon, index indeks, dan symbol simbol. Ikon adalah tanda yang yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan 52 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006 hal. 41 commit to user yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi perjanjian masyarakat. Berdasarkan interpretant, tanda sign, representamen dibagi atas rheme, dicent sign, atau dicisign, dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki serangga, atau baru bangun, atau mengantuk. Dicentsign atau disign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan di pasang rambu lalu-lintas yang menyatakan bahwa disitu sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu. 53 b. Ferdinand de Saussure Sumbangan utama Saussure pada dunia semiologi adalah diperkenalkannya dua model analisis bahasa, yaitu analisis bahasa sebagai 53 Ibid, hal 42 commit to user sebuah sistem langue, dan bahasa sebagaimana ia digunakan secara nyata oleh individu-individu dalam berkomunikasi parole. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat individu. 54 Saussure membandingkan langue dengan sebuah kamus yang dibagikan pada setiap pemakai bahasa tertentu. Dalam berkomunikasi, seorang penutur seakan-akan mencari dalam kamus itu citra akustis yang sesuai dengan konsep yang ingin diungkapkannya. Lawan bicara memiliki kamus yang sama kalau tidak demikian, tidak mungkin terjadi komunikasi. Setelah menangkap rangkaian bunyi yang diucapkan penutur, ia mencari konsep dan citra akustis yang ditangkapnya agar dapat memecahkan kode- kode tersebut. Saussure membayangkan ”kamus” ini sebagai suatu kumpulan guratan ingatan dalam otak setiap pemakai bahasa tersebut. Adapun parole adalah penggunaan bahasa secara individual. Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur tertentu dari “kamus” tersebut. Secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi, tetapi juga sekaligus bergantung. Itu berarti bahwa tidak ada yang lebih utama. Di satu pihak sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan parole, di lain pihak pengungkapan parole serta pemahamannya hanya mungkin berdasarkan penelusuran langue sebagai sistem. 55 Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah living speech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya 54 Ibid, hal 50 55 Martin krampen, Ferdinand de Saussure Dan Perkembangan Semiologi dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba serbi komunikas Jakarta: Gramedia, 1992 hal.55 commit to user “tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka parole lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah kalimat. Kalau langue bersifat synchronic dalam arti tanda atau kode itu dianggap baku sehingga mudah disusun sebagai suatu sistem, maka parole boleh dianggap bersifat diachronic dalam arti sangat terikat oleh dimensi waktu pada saat terjadi pembicaraan. Dalam kerangka langue, Saussure menjelaskan “tanda” sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan yakni signifier penanda dan signified petanda. Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistam tanda sign. Tanda adalah kesatuan dari suatu penanda signifier dengan sebuah ide atau petanda signified. Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang mesti diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak bisa dilepaskan. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas”, kata Saussure. 56 Dalam melihat relasi petandaan ini, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial social convention, yang mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya. 56 Alex Sobur, Op. Cit, hal. 46 commit to user Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut signifikasi signification. Semiotika signifikasi, dengan demikian, adalah semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Meskipun demikian, signifikasi tidaklah sederhana sebagai relasi antara penanda dan petanda. Sesungguhnya ada beberapa tingkat relasi tertentu, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Kompleksitas relasi ini yang digambarkan oleh Roland Barthes lewat “tingkatan signifikasi” staggered systems, yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat. c. Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi saussurean. Minat utama Saussure adalah sistem linguistik, minat keduanya adalah cara sistem berealisasi dengan realitas yang diacunya, dan yang paling sulit dari semua itu adalah cara sistem berelasi dengan pembaca dan sosio-kulturnya. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk- bentuk kalimat menentukan makna; dia kurang tertarik terhadap kenyataan bahwa kalimat bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. 57 Dengan kata lain, dia tak sungguh-sungguh memperhitungkan makna sebagai proses negosiasi antara pembacapenulis dan teks. Dia menekankan 57 John Fiske, Op. Cit, hal. 117 commit to user pada teks, bukan cara tanda-tanda didalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, tidak juga tertarik pada cara konvensi di dalam teks berinteraksi dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. 58 Disinilah Bhartes mengambil peran untuk menyempurnakannya. Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi denotation dan konotasi connotation. Dalam pegertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”. Pada proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya meagacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. 59 Pada penelitian ini penulis menggunakan metode semiotika Roland Barthes karena dalam semiotika Roland Barthes terdapat dua tingkatan makna yaitu denotasi dan konotasi dimana di dalam tingkatan konotasi terdapat unsur mitos, 58 Ibid. hal. 118 59 Alex Sobur, Op. Cit. hal.70 commit to user dan semiotika Roland Barthes dianggap sebagai menyempurna semiotika Peirce dan Saussure.

5.7 Nilai-Nilai Kepahlawanan