Mekanisme tata pelaksanaan bioremediasi dalam kegiatan hulu minyak bumi di Indonesia

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh : Ayyida Sabila NIM : 1110048000035

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H / 2014 M


(2)

(3)

ii

Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum dengan Konsentrasi Hukum Bisnis.

PANITIA UJIAN

Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H. ( ... ) NIP. 195003061976031001

Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( ... ) NIP. 196509081995031001

Pembimbing : Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, S.H.,M.H. ( ... ) NIP. 195912311986091003

Penguji I : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H. ( ...,.... ) NIP. 195003061976031001

Penguji II : Elviza Fauzia, M.H. ( ... )

Jakarta, 07 Mei 2014 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. H. JM. Muslimin, M.A


(4)

iii

satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 7 Mei 2014


(5)

iv

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M x + 71 halaman+ 2 halaman daftar pustaka + halaman lampiran.

Penelitian ini dilakukan karena adanya permasalahan atas ketidakpastian dalam hukum lingkungan dengan hukum pertambangan yang terkandung didalamnya kewenangan Pemerintah dan kewenangan Perusahaan dalam melakukan pengolahan limbah bahan beracun dan berbahaya salah satunya kegiatan bioremediasi pasca operasional eksploitasi dan eksplotasi pertambangan minyak bumi. KKKS merupakan induk kontrak untuk investor dalam maupun luar negeri dari kegiatan pertambangan usaha hulu mengatur pula production sharing contract (kontrak bagi hasil) bahwa perusahaan yang melakukan kegiatan usaha hulu wajib untuk melakukan pemulihan wilayah sementara Undang-Undang mengatur lain. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepastian hukum yang mengatur jelas mengenai kegiatan Bioremediasi dan pihak yang berwenang melaksanakannya. Metode penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian normatif. Penelitian hukum normatif sendiri memiliki beberapa pendekatan diantaranya pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bahan hukum primer berupa UU No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, UU No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta KepMen Lingkungan Hidup No.128 Tahun 2003, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier.

Hasil penelitian menunjukan bahwa perusahaan pertambangan yang telah melakukan kegiatan usaha hulu memiliki tanggung jawab untuk mengolah limbah bahan beracun dan berbahaya diantaranya kegiatan bioremediasi yang dihasilkan selama produksi minyak bumi berlangsung dan pemerintah dalam bentuk SKK Migas dan BP Migas memiliki tanggung jawab untuk mengawasi seluruh kegiatan yang dilakukan perusahaan pertambangan dan mengganti biaya produksi hingga pemulihan dengan biaya pengembalian atau cost recovery.


(6)

(7)

vi

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik materiil maupun immaterial, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. JM. Muslimin, M.A. beserta seluruh jajaran dekanat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta;

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH. MA dan Drs. Abu Thamrin, SH. M.Hum selaku ketua dan Sektretaris Program Studi Ilmu Hukum;

3. Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, SH. MH selaku pembimbing skripsi Penulis; terimakasih atas tambahan referensi buku bacaan serta semua kritik dan saran yang membangun Penulis dalam menyelesaikan skripsinya;

4. Kedua orang tua Penulis, Ayah Dimas dan Ibu Nurul Fajri Chikmawati yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, dukungan langsung maupun tidak langsung serta doa yang tulus sehingga skripsi ini dapat selesai; 5. Kakak dan Adik Penulis, Zahra Nailatul Huda dan Silmi Hanifah yang sudah

memberikan semangat kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, terimakasih juga kepada satu-satunya keponakanku Jasmine Aulia Kusuma. 6. Teman-teman seperjuangan dalam perkumpulan Dergamor, Kaka Defi

Satiatika, Kaka Siti Annisa Sa’aridah, Ajeng Kumalasari, Hopsah Varah Dini,

Nazia Tunnisa Alham dan M. Rizky yang selalu memberi saran dan contoh pendidikan sosial yang menarik sejak semester pertama hingga semester akhir. Terima kasih atas kekompakan kalian yang mendukung satu dengan lainnya untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman belajar bersama yang tidak pernah letih mengajari, Atiek


(8)

vii

9. Seluruh teman-teman KKN Agoritma 2013, Ahmad Hidayah, Brian A.Bahri, M. Rizky, Novian D.Cahyo, Choir Al-ayubi, Ade A.Mulyana , Eka Rahmania, Himatulmilah, Octaviani, Fida dan Tika.

10.Seluruh keluarga besar kosan Griya Aini terutama para pengganti pengawas layaknya orangtua yaitu Mbak Ar, Mbak Fat, Mbak Sule dan Mbak Nawati. 11.Seluruh teman SMA yang masih setia mendukung, Putri Maharani, Dinny

Gamalasari, Rachma Annisa, Mila Prawitasari dan Titi Tri Hastuti.

12.Bapak Zainudin Arifin dari PT.Citra Wahana Jaya yang telah memberikan waktunya sebagai salah satu nara sumber.

13.Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik materiil maupun immaterial, Penulis memanjatkan doa semoga Allah memberikan balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya.

Jakarta, April 2014 Ayyida Sabila


(9)

viii

LEMBAR PERNYATAAN ………... iii

ABSTRAK ………... iv

KATA PENGANTAR ………... vi

DAFTAR ISI ………... viii

DAFTAR LAMPIRAN ………... x

BAB I : PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Identifikasi Masalah ………... 6

C. Batasan dan Rumusan Masalah ……….. 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 7

E. Tinjauan (Review) Terdahulu ………... 8

F. Kerangka Teori dan Asas ………... 10

G. Kerangka Konseptual ………... 15

H. Metode Penelitian ………... 17

I. Sistematika Penulisan ………... 19

BAB II : TINJAUAN UMUM……….. 21

A. Pengertian Bioremediasi ………...… 21

B. Tujuan Kegiatan Bioremediasi ………...… 24

C. Bentuk Perjanjian Pertambangan di Indonesia ………... 25

D. Kedudukan Badan Pelaksana dalam Kegiatan Usaha Hulu ……... 27

BAB III : PENGATURAN TATA PELAKSANAAN KEGIATAN BIOREMEDIASI DI INDONESIA……… 29

A. KKKS ………...… 29

B. Pancasila dan UUD 1945 ………...… 31

C. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 ………... 32


(10)

ix

BAB IV : ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN BIOREMEDIASI DALAM KEGIATAN HULU MINYAK BUMI DI INDONESIA……… 54

A. Mekanisme Tata Pelaksanaan Bioremediasi dalam Kegiatan Hulu Minyak Bumi di Indonesia ………... 54 B. Hubungan Hukum Pemerintah dan Perusahaan dalam Kegiatan

Bioremediasi ………... 58 C. Analisis Kasus ………... 64 D. Hukum Lingkungan Menurut Sudut Pandang Hukum Islam ……... 68

BAB V : PENUTUP……….. 69

A. Kesimpulan ………..… 69


(11)

x

2. Kerangka Dasar Kontrak Kerjasama Operasi (KSO) Pertamina EP 3. Persyaratan Mitra – Information Summary dari Pertamina EP


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki keaneka ragaman dalam berbagai bentuk, seperti keaneka ragaman budaya dan latar belakang kehidupan sosialnya, serta keaneka ragaman sumberdaya alam. Berbagai macam sumberdaya alam yang terhampar di atas daratan dan lautan serta sumberdaya alam yang terkandung di perut bumi hingga di dasar samudera. Sumberdaya alam yang beraneka ragam ini merupakan karunia Allah SWT yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian Negara memiliki kewenangan secara konstitusional untuk mengelola sumberdaya alam yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kewenangan ini selanjutnya diamanatkan kepada Pemerintah untuk menyusun berbagai


(13)

program pembangunan khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam secara tepat dan berkelanjutan.

Salah satu sumberdaya alam unggulan Indonesia adalah adalah sumberdaya alam berupa bahan pertambangan mineral dan batubara dan minyak bumi serta gas. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi guna mendukung kegiatan pengelolaan dan pemanfaatannya. Kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam khususnya minyak bumi dan gas (selanjutnya disingkat migas) membutuhkan biaya dan teknologi yang tinggi sehingga Negara untuk mengatasi kendala kekurangan atau kelemahan di bidang pendanaan dan penggunaan teknologi tinggi serta sumber daya manusia yang memiliki keahlian khusus tersebut maka Negara mengundang peran serta pihak investor swasta asing maupun dalam negeri untuk mengelola kekayaan Negara tersebut melalui mekanisme yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengelola sumberdaya migas sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi di Indonesia.

Salah satu instrumen hukum yang dapat dipergunakan dalam kerjasama tersebut adalah kontrak, seperti Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract. Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract ini merupakan sarana yang spesifik ditujukan untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam eksplorasi dan eksploitasi terhadap pertambangan minyak dan gas bumi. Kontrak ini dilakukan sebagai salah satu


(14)

kontrak kerja sama yang dilaksanakan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap aset-aset Negara serta sekaligus memberikan keuntungan bagi Negara. Kontrak kerjasama ini dapat diselenggarakan oleh pemerintah dengan pihak swasta yang berbentuk badan usaha atau badan usaha tetap. Dalam perkembangannya kemudian pelaksanaan kontrak ini menjadi sangat krusial karena melibatkan banyak kepentingan terhadap minyak dan gas bumi sehingga diperlukan pengaturan yang lebih khusus yang dapat melindungi asset atau kekayaan alam Negara1 beserta lingkungan sekitarnya.

Bidang usaha pertambangan merupakan bidang usaha yang mendapat prioritas dari pemerintah, baik sebelum maupun sesudah diterbitkannya Undang-undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Bidang usaha pertambangan meliputi pertambangan minyak bumi (mentah), gas bumi, batubara, logam timah, bijih nikel, bauksit, pasir besi, emas, perak serta konsentrat tembaga2. Dalam pengerjaan pertambangan tentunya akan berdampak negatif pada kondisi dan kualitas lingkungan seperti adanya pencemaran tanah berupa terpaparnya tanah dengan minyak mentah dan minyak lainya dari sisa pengolahan industri yang menggunakan mikro organisme berbahaya bagi lingkungan. Maka, untuk mengembalikan fungsi

1

Faizal Kurniawan, Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Sebagai Aset Negara Melalui Instrumen Kontrak, Jurnal Perspektif, Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Maret, hlm. 75.

2

Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Pranada Kencana, 2004), hlm. 113.


(15)

tanah yang terkontaminasi di sekitar wilayah pertambangan diperlukan adanya kegiatan yang disebut dengan bioremediasi. Bioremediasi adalah proses perbaikan terhadap lingkungan yang tercemar dengan menggunakan organisme berupa bakteri, fungi dan tanaman yang akan memodifikasi polutan tersebut menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.3

Ternyata dalam prakteknya ditemukan adanya persoalan hukum dalam hal izin bioremediasi atau pengolahan limbah. Contoh kasusnya adalah kegiatan bioremediasi yang dilakukan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia yang terjadi pada tahun 2013. Dari hasil temuan mengenai kegiatan bioremediasi tersebut ternyata tidak ditemukan adanya unsur melanggar ketentuan Kementrian Lingkungan dalam pengolahan hasil limbah migas. Bahwa izin pengolahan limbah dilakukan oleh perusahaan pengolah limbah bukan perusahaan penghasil limbah. Adapun ketentuan yang mengatur tentang kegiatan bioremediasi terdapat dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas serta Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup atau bahkan Pemerintahlah yang memiliki kewenangan dalam kegiatan bioremediasi. Dalam operasi Migas di Indonesia Pemerintah bermitra dengan pihak investor dalam hal ini PT.Chevron Pacific Indonesia dalam suatu hubungan kontrak bisnis yang dikenal sebagai

3


(16)

Production Sharing Contract (PSC). Dalam pelaksanaannya PT.Chevron Pacific Indonesia mengeluarkan dana investasi untuk mengoprasikan produksi migas yang kemudian diperhitungkan sebagai biaya operasi terhadap minyak yang dihasilkan yang dikenal sebagai Cost Recovery4. Dalam hal ini Badan Pemerintah yang dimaksud adalah BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi)yang kini telah berganti kewenangannya di SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi).5

Untuk meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi, Pemerintah telah mengambil langkah kebijaksanaan khusus dalam bidang usaha pertambangan minyak bumi dengan telah diperkenalkan beberapa kemudahan dalam bentuk paket insentif bagi penanaman modal khususnya penanaman modal asing. Dengan adanya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang usaha pertambangan ini, tentunya diharapkan penanaman modal khususnya penanaman modal asing dapat terus meningkat bukan hanya pada bidang usaha pertambangan yang selama ini diadakan tetapi dibidang usaha pertambangan baru seperti bauksit, granit, pasir besi dan sebagainya di Indonesia yang belum diadakan eksplorasi dan eksploitasi.6 Kasus mengenai adanya ketidakpastian hukum dalam hal kegiatan bioremediasi memberikan

4

Pernyataan Dony Inderawan selaku Corporate Communication Manager PT. Chevron Pacific Indonesia

5

Alamsyah Pua Saba, 3 Rig Milik Chevron Berhenti Beroprasi. (Berita online, www.majalahtambang.com, diakses 13 Mei 2013

6


(17)

konsekuensi negatif dalam iklim kegiatan berinvestasi di Indonesia bagian hulu migas ditengah upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi guna menjaga produksi yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dian Puji Simatupang7 menilai, investor di sektor migas lebih memilih adanya kepastian hukum ketimbang diberi insentif pajak oleh pemerintah dalam menjalankan kinerja operasi. Menurut Dipnala, Indonesian Petroleum

Association dan para anggotanya percaya bahwa kepastian hukum dan

regulasi sangat diperlukan untuk menciptakan iklim investasi dan produksi yang stabil.8 Karena itu penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul

“Mekanisme Tata Pelaksanaan Bioremediasi dalam Kegiatan Hulu Minyak

Bumi Di Indonesia” B. Identifikasi Masalah

Penelitian ini melalui latar belakang dapat ditemukan beberapa permasalahan yang dapat dibahas seperti :

1. Bagaimanakah mekanisme tata pelaksaan kegiatan Bioremediasi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan hubungan hukum suatu perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dalam kegiatan Bioremediasi?

7

Pakar Hukum Admistrasi Negara 8

Berita online : Keputusan Pengadilan Kasus Bioremediasi Beri Dampak Negatif Industri Migas. www.migasreview.com 24 Juli 2013


(18)

C. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah maka masalah hukum yang dibahas dalam skripsi ini adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan Bioremediasi pada usaha pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia. 2. Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan diteliti adalah tentang pengaturan tentang kewenangan dalam kegiatan Bioremediasi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang diatur dalam Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 serta kedudukan hak dan kewajiban suatu perusahaan pertambangan dalam kegiatan Bioremediasi.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah :

a) Mengetahui kewenangan Pemerintah dan Perusahaan pertambangan dalam kegiatan Bioremediasi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

b) Mengetahui kedudukan hak dan kewajiban suatu perusahaan pertambangan dalam kegiatan Bioremediasi.


(19)

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

a) Diharapkan penelitian penulis dapat bermanfaat untuk masyarakat terkait dengan pengetahuan masyarakat mengenai kegiatan Bioremediasi dalam pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan di bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi di Indonesia.

b) Diharapkan penulis dapat menambah referansi bahan ajar serta dapat bermanfaat untuk menambah wawasan para akademisi di UIN Syarif Hidayatullah pada khususnya dan para akademisi di Indonesia pada umumnya.

c) Diharapkan penulisan ini dapat menjadi tolak ukur perusahaan-perusahaan lain dalam melakukan kegiatan Bioremediasi di Indonesia serta sebagai bahan kajian dalam rangka optimalisasi pencapaian pembangunan nasional.

E. Tinjauan ( review ) Kajian Terdahulu

Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan pada penelitian ini antara lain :

NO. NAMA TAHUN Judul Skripsi


(20)

Universitas Indonesia. Fakultas Hukum

kontrak bagi hasil dibidang pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia.

2 Margaretha Quina Universitas Indonesia. Fakultas Hukum

2012 Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Manusia Atas Lingkungan Hidup Oleh Perusahaan Transnasional Dalam Hukum Internasional

1. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian “Hukum yang berlaku dalam kontrak bagi hasil dibidang pertambangan minyak dan gas

bumi di Indonesia.” Lebih terfokus kepada kontrak bagi hasil dibidang pertambangan minyan dan gas bumi di Indonesia.

2. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian “Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Manusia Atas Lingkungan Hidup Oleh Perusahaan Transnasional Dalam Hukum Internasional” adalah pelanggaran atas lingkungan hidup dilihat dalam Hukum Internasional.

Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian-penelitian sebelumnya yakni terletak pada objek dalam hal perjanjian hukum pertambangan yang diteliti dan dasar hukum yang digunakan dalam penelitian.


(21)

F. Kerangka Teori dan Asas 1. Kerangka Teori

a. Teori Utilitarianisme

Aliran Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruknya atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan itu selayaknya dapat dinikmati oleh setiap individu atau paling tidak dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut atau dikenal dengan the greatest happiness for the greatest number of people. Selain itu tujuan hukum menurut aliran ini adalah untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Hukum bukanlah semata-mata pencerminan dari rasio sesemata-mata-semata-mata, tetapi hukum juga merupakan pencerminan perintah penguasa9.

Jeremy Bentham berpendapat bahwa alam telah memberikan kebahagiaan dan kesusahan dan manusia selalu berusaha untuk mendapatkan banyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahan. Tugas hukum adalah menjamin kebahagiaan kepada individu-individu. Namun demikian Bentham juga tidak menyangkal bahwa disamping

9

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.lm 117.


(22)

kepentingan individu, kepentingan masyarakatpun harus diperhatikan dan agar tidak terjadi konflik maka kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya perlu dibatasi10.

Prinsip-prinsip utilitarianisme juga dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut11:

1. Menentukan bagaimana suatu biaya dan manfaat akan dapat diukur dalam memilih satu langkah tindakan atas tindakan yang lain.

2. Menentukan informasi apa yang dibutuhkan untuk menentukan biaya dan manfaat sebagai alat perbandingan.

3. Mengidentifikasikan prosedur-prosedur dan kebijakan-kebijakan yang akan digunakan untuk menjelaskan dan membenarkan analisis atas biaya dan manfaat.

4. Menetapkan asumsi ketika mendefinisikan dan membenarkan analisis dan kesimpulan.

5. Menentukan kewajiban moral terhadap para pemangku kepentingan (stakehoulder) setelah biaya dan manfaat diestimasi untuk pengambilan strategi yang spesifik.

10

Ibid, hlm. 118. 11


(23)

Teori nilai kebijakan publik menjelaskan bahwa pertukaran pandangan atau musyawarah mufakat di antara pemangku kepentingan dapat menjadi dasar bagi pembuatan keputusan yang rasional. Pertukaran pandang dilandasi oleh sifat keterbukaan pemikiran, kejujuran, kesediaan untuk mendengarkan kritik dan penghargaan atas pandangan-pandangan pihak yang berbeda menjadi dasar pengambilan keputusan bersama. Menurut teori nilai kebijakan publik wakil-wakil dari pemangku kepentingan dalam proses legislasi harus mampu mengatasi benturan kepentingan dengan cara menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan konsituen mereka karena dalam pembangunan ekonomi nasional seringkali berbenturan dengan hukum lingkungan dengan tidak diperhatikannya aspek lingkungan hidup.

b. Teori Efektifitas

Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).12 Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain. Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang.

12Lawre ce Fried a ,


(24)

Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.

2. Kerangka Asas

a. Asas Tanggung Jawab Negara

Bahwa negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan negara berkewajiban untuk mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

b. Asas Kelestarian Dan Keberlanjutan

Setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung


(25)

perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.

c. Asas Keselarasan

Asas keselarasan merupakan asas, di mana ketentuan undang-undang pokok pertambangan harus selaras atau sesuai atau seide dengan cita-cita dasar Negara Republik Indonesia untuk menciptakan Indonesia berwawasan lingkungan dengan upaya pemanfaatan lingkungan hidup dengan tetap memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.

d. Asas Kehati-hatian

Asas Kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Kegiatan Bioremediasi merupakan salah satu langkah untuk menghindari dari dampak buruk dari aktivitas eksplorasi migas.


(26)

e. Asas Manfaat

Asas manfaat adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan, termasuk di dalamnya pembangunan di sector MIGAS harus disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.

G. Kerangka Konseptual

1. Bioremediasi adalah penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan.13

2. Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi adalah kegiatan usaha hulu yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi. 3. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam

kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

13


(27)

4. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan.

5. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi.

6. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.

7. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

8. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


(28)

H. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Pada penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas14. Karenanya penulisan ini masuk kedalam tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.

2. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum normatif sendiri memiliki beberapa pendekatan. Melalui pendekatan ini, Penulis mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu15: pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual.

Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statue Approach), karena penulis menggunakan metode normatif yang tentunya tak akan melepaskan aturan-aturan hukum yang terkait dengan masalah penelitian penulis. Undang-undang yang penulis gunakan yaitu Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan

14

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.118

15


(29)

Gas, Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No.128 Tahun 2003.

3. Sumber Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat dengan masyarakat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No.128 Tahun 2003.

b. Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan atau hal-hal yang berkaitan dengan penelitian sumber primer seperti naskah akademik rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, artikel, makalah, dan hasil dari para ahli hukum di bidang Bioremediasi lainnya yang mendukung penelitian ini. Sumber sekunder dalam penelitian ini yaitu buku-buku mengenai Bioremediasi, Hukum Lingkungan dan Kegiatan Pertambangan serta


(30)

sumber tertulis lain yang berkaitan erat dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tersier, merupakan bahan-bahan yang memerikan petunjuk berupa bahan primer maupun sekunder atau disebut juga sebagai bahan penunjang penelitian ini seperti yang diperoleh dari kamus, bibliografi maupun ensiklopedia.

Setelah memperoleh semua informasi dan penjelasan yang diperlukan barulah penulis dapat mengambil kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan digunakan sebagai jawaban atas pokok-pokok permasalahan juga saran-saran yang terkait dengan permasalahan bioremediasi.

I. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN : Sebagai pendahuluan dari skripsi ini, maka bab ini merupakan pengantar untuk memasuki bab-bab selanjutnya. Bab ini berisi tentang latar belakang penulis mengangkat tema yang akan dibahas dalam skripsi, identifikasi masalah, perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode penelitian dan teknik penulisan serta rancangan outline.

BAB II TINJAUAN UMUM : Pada Bab ini, penulis akan membahas mengenai kegiatan bioremediasi yang dilakukan oleh usaha


(31)

pertambangan di Indonesia yang diambil dari buku-buku, artikel dan kamus serta pengertian dari Joint Venture dalam kegiatan pertambangan hulu minyak bumi di Indonesia yang diambil dari buku-buku, artikel dan kamus.

BAB III DASAR HUKUM KEGIATAN BIOREMEDIASI : Serta dasar-dasar hukum kegiatan bioremediasi tersebut dilihat dari Kontrak kerja sama perusahaan pertambangan asing dengan pemerintah, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No.85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No.128 Tahun 2003.

BAB III TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN BIOREMEDIASI DALAM KEGIATAN HULU MINYAK DAN GAS DI INDONESIA : Pada bab ini membahas mengenai analisis semua peraturan yang terkait dengan kegiatan bioremediasi untuk mengetahui pihak-pihak yang berwenang atas kegiatan bioremediasi dari suatu usaha pertambangan di Indonesia.

BAB IV PENUTUP : Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran atas penelitian yang dilakukan penulis.


(32)

21 A. Pengertian Bioremediasi

Menurut Kamus Istilah Lingkungan, Bioteknologi dapat didefinisikan sebagai penerapan ilmu biologi untuk memanipulasi dan memanfaatkan makhluk hidup bagi kebutuhan manusia, sedangkan menurut Sheenan bioteknologi pada dasarnya merupakan pemanfaatan organisme hidup untuk memecahkan masalah atau untuk menghasilkan suatu produk yang berguna bagi kesejahteraan manusia dan lingkungan secara berkelanjutan. Salah satu bentuk penerapan bioteknologi adalah mekanisme bioremediasi dalam proses degradasi limbah minyak bumi.1

Menurut Baker dan Hansen dalam bukunya Astri Nugroho menyebutkan bahwa bioremediasi merupakan proses pemulihan (remediasi) secara biologi terhadap komponen lingkungan, tanah dan air yang telah tercemar. Menurut Sheenan bioremediasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mengeksploitasi kemampuan katalitik suatu organisme untuk meningkatkan laju perombakan suatu polutan sedangkan menurut Leisinger, dkk menyebutkan bahwa bioremediasi adalah proses penguraian atau

1

Astri Nugroho, Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006) h.31


(33)

degradasi secara biologi suatu polutan organik yang beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa bioremediasi bukan hanya diaplikasikan pada lingkungan yang tercemar minyak bumi, tetapi dapat juga diterapkan untuk mengendalikan pencemaran oleh bahan-bahan berbahaya lainnya seperti pestisida dan senyawa xenobiotic lainnya.2

Selanjutnya, menurut Leisinger dan Sheehan bahwa biodegradasi dapat diartikan sebagai proses penguraian oleh aktifitas mikroba, yang mengakibatkan transformasi struktur suatu senyawa sehingga terjadi perubahan integritas molekuler. Agar biodegradasi dapat berlangsung efektif, diperlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Gordon, Ray menjelaskan untuk memahami lebih dalam mengenai bioremediasi minyak bumi, harus terlebih dahulu memahami biodegradasi. Biodegradasi minyak bumi merupakan proses alami, yang melibatkan mikroba yang dapat mentransformasikan dan mendekomposisikan hidrokarbon minyak bumi menjadi komponen-komponen lain yang lebih sederhana. Bioremediasi merupakan optimasi dari proses biodegradasi. Hal ini berarti diperlukan pengkondisian lingkungan tertentu dan perlakuan-perlakuan khusus untuk mengatasi faktor-faktor lingkungan yang dapat membatasi proses biodegradasi.

2

Astri Nugroho, Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006), h.32


(34)

Hal yang serupa dibahas oleh Lehmann, bahwa Volker yang menyatakan bahwa biodegradasi merupakan proses aktivitas enzimatik oleh mikroba untuk menyederhanakan substrat, misalnya minyak bumi dikonversikan menjadi karbon dioksida dan air.

Ada sedikit perbedaan antara prinsip-prinsip desain untuk proses-proses biologi dalam pengolahan air buangan dan bioremediasi. Menurut Cookson Jr. menyebutkan bahwa proses biologi air buangan merupakan proses-proses kimia yang dikatalis sedangkan bioremediasi merupakan proses yang lebih rumit karena menggunakan katalis (enzim) yang disediakan oleh mikroba untuk menghancurkan komponen-komponen berbahaya yang spesifik.

Berdasarkan tempat berlangsungnya, teknik bioremediasi dapat diaplikasikan langsung (in-situ) pada lingkungan yang tercemar. Mikroba remediator yang digunakan adalah mikroba indigenous. Sifat remediasinya secara alamiah (natural attenuation) dan proses biodegradasi bahan pencemar berlangsung sangat lambat. Teknik bioremediasi juga dapat dilaksanakan di luar lingkungan yang tercemar (ex-situ), yaitu dengan membawa tanah yang terkontaminasi tersebut ke lokasi pengolahan yang telah ditetapkan.3

3

Astri Nugroho, Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006), h.44


(35)

B. Tujuan Kegiatan Bioremediasi

Menurut Gordon Ray bioremediasi adalah penggunaan mikroba (fungi atau bakteri) untuk mendekomposisikan polutan-polutan toksik menjadi komponen-komponen yang kurang toksik dan menurut Cookson Jr bioremediasi merupakan salah satu metode untuk mengaplikasi prinsip-prinsip biologi untuk menghilangkan bahan-bahan kimia berbahaya dari air tanah, tanah dan lumpur.

Bahan-bahan kimia yang berbahaya berasal dari minyak bumi yang sulit untuk dibersihkan sehingga dapat menghalangi masuknya sinar matahari dan mengurangi kadar oksigen terlarut. Komponen aromatik minyak bumi yang dapat larut memperlihatkan toksisitas atau dampak buruk fisiologis terhadap beberapa kelas makhluk hidup laut.

Pengaruh kontaminasi minyak terhadap komunitas organisme bervariasi dari kecil sekali (negligible) sampai kemusnahan total (catastrophic) dengan salah satu dampak terdapat pada berbagai jenis ikan kecil maupun besar akan sulit untuk mencari makanan dan tempat berbiak. Beberapa penelitian melaporkan, akumulasi pencemaran minyak bumi akan memutuskan jarring-jaring makanan yang kompleks karena matinya mikroalga penghasil oksigen. Secara khusus pencemaran akibat tumpahan minyak bumi mempengaruhi berbagai ekosistem perairan serta komponen-komponen biotik di dalamnya.


(36)

Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan kegiatan bioremediasi adalah untuk menghilangkan minyak bumi yang tercecer pada kondisi geografis dan iklim tertentu karena minyak bumi tersusun dari komponen-komponen toksik dan mutagenik, sehingga diperlukan suatu teknologi dalam pembersihannya. Saat ini bioremediasi dianggap merupakan teknologi yang efektif untuk mentransformasikan komponen-komponen toksik menjadi produk-produk kurang toksik tanpa adanya gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Pengelolaan limbah minyak bumi dengan menggunakan teknik bioremediasi ini pada prinsipnya dapat diterapkan di Indonesia selama pelaksanaannya memenuhi persyaratan teknis dan aman bagi lingkungan.

C. Bentuk Perjanjian Pertambangan di Indonesia 1. Kontrak Bagi Hasil

Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari istilah Production Sharing Contract (PSC) dalam Russia’s Law on Production-Sharing Agreement tahun 1995 dan The Petroleum Tax Code (PSA), sedangkan di Suriname, istilah yang lazim digunakan adalah Production Sharing Service Contract (PSSC). Di Indonesia istilah kontrak production sharing ditemukan dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974. Sementara


(37)

itu, dalam Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, istilah yang digunakan adalah dalam bentuk kontrak kerja sama. Kontrak kerja sama ini dapat dilakukan dalam bentuk kontrak bagi hasil atau bentuk kerja sama lainnya.4

2. Pengertian Kontrak Karya

Menurut Sony Rospita Simanjuntak bahwa Kontrak Karya merupakan kontrak yang dikenal dalam pertambangan umum. Istilah kontrak karya merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris, yaitu kata work of contract. Dalam Pasal 10 Nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Umum, istilah yang lazim digunakan adalah perjanjian karya, tetapi dalam penjelasannya, istilah yang digunakan adalah indenture, franchise agreement, state agreement or government agreement.

Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 Kontrak Karya adalah suatu perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dengan nasional. Dalam definisi ini, kontrak karya dikonstruksikan sebagai sebuah perjanjian. Subjek perjanjian itu adalah Pemerintah Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau joint

4


(38)

venture antara perusahaan asing dan perusahaan nasional. Definisi yang disempurnakan adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau merupakan patungan antara badan hukum domestic untuk melakukan kegiatan eksplorasi dalam bidang pertambangan umum, sesuai dengan jangka waktu yang disepakati kedua belah pihak.

D. Kedudukan Badan Pelaksana dalam Kegiatan Usaha Hulu

Pada dasarnya, jenis kegiatan usaha minyak dan gas bumi dibagi menjadi dua macam, yaitu kegiatan usaha hulu dan usaha hilir. Lembaga yang berwenang untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu adalah badan pelaksana sedangkan yang melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak dan gas bumi pada kegiatan usaha hilir adalah badan pengatur.

Ketentuan hukum yang mengatur tentang badan pelaksana adalah Pasal 1 angka 23, Pasal 44 sampai dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi (Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.


(39)

Kedudukan Badan Pelaksana merupakan badan hukum milik Negara. Badan Hukum milik Negara mempunyai status sebagai subjek hukum perdata dan merupakan institusi yang tidak mencari keuntungan serta dikelola secara professional.


(40)

29 INDONESIA

A. Kontrak Karya Kerja Sama (KKKS)

KKKS (Kontrak Karya Kerja Sama) atau Production Sharing Contract merupakan sebuah kontrak yang dikeluarkan oleh SKK Migas dengan izin dari BP Migas dan Kementrian ESDM dimana didalamnya terdapat mekanisme pembagian kerja antara Pemerintah dengan Pertamina serta Investor dalam maupun luar negeri dari eksplorasi, eksploitasi hingga distribusi yang diatur berdasarkan pada ketentuan di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina, Undang-Undang No. 2 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP No. 35 Tahun 2004 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

KKKS merupakan induk kontrak dari berbagai kontrak di bawahnya antara Pertamina dengan Investor dimana didalamnya terdapat Kontrak KSO (Kerja Sama Operasi), BOB dan Joint Operation. Kontrak yang mengatur pelaksanaan kerja sama pertambangan minyak bumi bagian hulu adalah Kontrak KSO. Prinsip utama dalam pelaksanaan KSO tetap mengacu dan


(41)

sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam KKKS Pertamina EP sebagai Kontrak Induknya.1

Kontrak Kerjasama Operasi atau KSO merupakan kontrak antara Pertamina EP dengan Mitra. Mitra adalah perusahaan yang telah menandatangani kontrak KSO dimana didalamnya memiliki kualifikasi bahwa Mitra merupakan Badan Usaha atau Bentuk Badan Usaha Tetap yang kegiatan usahanya meliputi kegiatan usaha migas dimana memiliki kemampuan finansial, teknis dan sumber daya manusia (SDM) di bidang usaha hulu migas yang berpengalaman dan bereputasi baik dalam pengelolaan aktifitas eksplorasi minimal 6 tahun.2 KSO berisi bahwa Pertamina EP bertanggung jawab atas manajemen operasi sementara Mitra bertanggung jawab melaksanakan kegiatan operasional, menanggung resiko operasi dan biaya yang dikeluarkan akan dikembalikan dari hasil produksi setelah titik serah. Mitra berhak memperoleh bagi-hasil atas produksi yang dihasilkan.

Dalam hal pengembalian biaya operasi dan bagi hasil maka biaya operasi dikembalikan kepada Mitra dari maksimal 80% produksi untuk tiap tahun berjalan. Biaya operasi yang belum dikembalikan pada tahun berjalan, akan diperhitungkan pada tahun-tahun berikutnya. Mitra akan mendapat bagi hasil dari Pertamina EP dalam KKKS. Pengembalian biaya dan pemberian bagi hasil akan diberikan kepada partner setelah titik serah.

1 Pertamina EP, Kerangka Dasar Kontrak Kerjasama Operasi (KSO) atau Operation Cooperation Agreement Launching tgl 30 November 2006, Hotel Four Seasons – Jakarta.

2


(42)

Kontrak ini menyatakan bahwa Investor yang telah mendapatkan izin melakukan pertambangan kegiatan hulu minyak bumi di Indonesia bertanggung jawab dalam hal kegiatan operasional dari eksplorasi, eksploitasi, pengeboran hingga kegiatan pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun ataupun kegiatan bioremediasi serta menanggung resiko operasi kegiatan usaha hulu minyak dari awal pelaksanaan hingga akhir pelaksanaan yang dikemudian waktu pemerintah akan mengembalikan biaya operasi atau cost recovery.

B. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

Kegiatan Bioremediasi di dasarkan pada Pancasila dalam butir ke 5 yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dengan pengertian bahwa antara hak dan kewajiban harus seimbang dimana perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan haknya untuk melaksanakan kegiatan Usaha Hulu di wilayah Indonesia berkewajiban pula untuk melakukan kegiatan pemulihan atas wilayah pertambangan dimana hal ini bersandingan pula dengan hak rakyat Indonesia untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan asri.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 kegiatan Bioremediasi didasarkan pada Pasal 33 ayat (4) yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip


(43)

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional atau dengan kata lain bahwa badan usaha yang melaksanakan kegiatan perekonomiannya di wilayah Indonesia harus berdasarkan prinsip wawasan lingkungan dalam kegiatan usahanya yang bersandingan pula dalam hak rakyat Indonesia yang diatur dalam Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan yang sehat dimana dalam Pasal 28I ayat (4) dan (5) dikatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah dan untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

C. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dibuat mengingat pembangunan nasional harus berdasarkan kesejahteraan rakyat terutama di bidang minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh Negara serta komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak yang


(44)

mempunyai peranan penting dalam perekonomian Negara. Melihat perkembangan dan kebutuhan hukum dibidang pertambangan minyak bumi yang semakin terbarukan maka Undang-Undang ini diundangkan.

Dalam Undang-Undang ini dikatakan bahwa pengertian dari Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan Eksplorasi dan Eksploitasi atau kegiatan usaha hulu dengan mengeluarkan izin pertambangan kepada badan usaha berbentuk Kontrak Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dengan hasil dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kontrak Kerja sama memuat hal-hal mengenai penerimaan Negara, wilayah kerja dan pengembaliannya, kewajiban pengeluaran dana, perpindahan kepemilikan hasil produksi atau Minyak dan Gas Bumi, jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak, penyelesaian perselisihan, kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, berakhirnya kontrak, kewajiban pasca operasi pertambangan, keselamatan dan kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, pengalihan hak dan kewajiban, pelaporan yang diperlukan, rencana pengembangan lapangan, pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat dan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.


(45)

Mengenai hal penguasaan diatur dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa Minyak dan Gas sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung didalamnya wilayah hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara, penguasaan oleh Negara yang dimaksud adalah penguasaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dan Pemerintah sebagai pemegang penguasa pertambangan membentuk Badan Pelaksana. Pasal 6 Undang-Undang ini menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama dimana didalamnya memuat hal bahwa manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana.

Kegiatan Usaha Hulu diatur dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan oleh Badan Usaha atau bentuk usaha tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.

Undang-Undang ini mengatur pula mengenai pembinaan dan pengawasan yang dilakukan Pemerintah mengenai hal kegiatan bioremediasi, diatur dalam Pasal 39 ayat (1) bahwa dalam hal pembinaan, pemerintah berkewajiban menetapkan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup dimana pelaksanaan pembinaan ini harus bersifat cermat, transparent dan adil. Diatur lebih lanjut dalam Pasal 40 ayat (3) bahwa pengelolaan lingkungan hidup berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penganggulangan


(46)

pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan dan ketentuan lainnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Mengenai hal Pengawasan Pemerintah diatur dalam Pasal 41 yang berisi tentang tanggung jawab kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berada pada departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan departemen lain yang terkait. Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama yang dijalankan oleh Badan Pelaksana. Pasal 44 mengatur lebih lanjut mengenai fungsi dan tugas badan pelaksana bahwa badan pelaksana memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik Negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BP Migas diatur dalam pasal 44 ayat (3) bahwa tugas badan pelaksana adalah memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama, melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama.


(47)

D. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup ini merupakan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan lahir atas dasar bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta untuk membantu pelaksanaan pemerintah dalam program pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diselenggrakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dan dengan semangat otomoni daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Atas alasan bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan dan melihat dari pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan


(48)

lingkungan hidup dan agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.

Definisi pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan, sementara baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

Undang-Undang ini mengatur tentang bioremediasi dalam hal pengendalian yang tercantum pada Pasal 13 dimana dijelaskan bahwa pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Dalam hal pencegahan telah diatur dalam Pasal 53 yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, penanggulangan yang dimaksud adalah dengan cara pemberian informasi peringatan pencemaran


(49)

dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat, pengosilasian pencemaran dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 54 menjelaskan tentang pemulihan dengan pengertian bahwa setiap orang yang melakukan peran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup, pemulihan fungsi lingkungan hidup yang dimaksud adalah dengan tahapan penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar, remediasi, rehabilitasi, restorasi dan/atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mengenai perizinan diatur dalam pasal 55 bahwa pemegang izin lingkungan3 wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup, dimana dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota serta sesuai dengan kewenangannya bahwa mereka dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan dengan ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah.

Lebih khusus lagi dalam Undang-Undang ini kegiatan bioremediasi diatur dalam BAB VII yang berisi tentang pengelolaan bahan berbahaya dan

3 Pemegang izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.


(50)

beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun. Pasal 58 menjelaskan bahwa setiap orang yang memasukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya dilakukan oleh pihak lain. Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya keputusan pemberian izin wajib diumumkan.

Tugas dan Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah di dalam Pasal 63 dimana dijelaskan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang untuk menetapkan kebijakan nasional, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional, menetapkan dan melaksanakan kebijakan amdal dan UKL-UPL, menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca, mengembangkan standar kerja sama, mengoordinasi dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, menetapkan dan kebijakan mengenai limbah B3, lingkungan laut dan menetapkan kebijakan mengenai melaksanakan limbah, serta melaksanakan perlindungan melaksanakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan


(51)

hidup lintas batas Negara, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, melakukan pembinaan dan pengasawan ketaatan pengangung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan, menerbitkan izin lingkungan dan melakukan penegakan hukum lingkungan hidup. Sementara, tugas Pemerintah Provinsi, Pemerintah kabupaten atau kota mengatur hal-hal yang sama tetapi dalam tingkatannya.

Kewajiban mengenai badan usaha dalam hal kegiatan bioremediasi tertuang dalam Pasal 68 bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban untuk memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Pengawasan diatur dalam Undang-Undang ini diatur dalam Pasal 71 bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penganggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta mereka dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan


(52)

kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. Pasal 72 menyatakan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penganggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan. Pasal 73 menyatakan bahwa Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penganggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sementara kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 yaitu melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual, mengambil sampel, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau menghentikan pelanggaran tertentu, serta dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan penganggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan untuk ketentuan


(53)

lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

E. Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun terhadap perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999. Lahirnya Peraturan Pemerintah ini dilandasi upaya pemerintah untuk menjaga lingkungan hidup atas kelestariannya sehingga tetap mampu menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan mengingat adanya peningkatan pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan di bidang industri, karena akan semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia dan untuk mengenali limbah yang dihasilkan secara dini diperlukan identifikasi berdasarkan uji tosikologi dengan penentuan nilai akut dan atau kronik untuk menentukan limbah yang dihasilkan termasuk sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun serta dengan sehubungan itu maka pemerintah memandang perlu mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.


(54)

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 ini definisi kegiatan bioremediasi termasuk dalam definisi pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun yang disingkat limbah B3, maka pengertian pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3. Reduksi limbah B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi jumlah dan mengurangi sifat bahaya dan racun limbah B3, sebelum dihasilkan dari suatu kegiatan. Tujuan pengelolaan limbah B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali.

Peraturan Pemerintah ini mengatur pula mengenai kewenangan Pelaku Pengelola yang diatur dalam Pasal 9 hingga Pasal 11 bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3 dan bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib mengolah limbah B3 yang dihasilkan sesuai dengan teknologi yang ada dan jika tidak mampu diolah di dalam negeri dapat diekspor ke Negara lain yang memiliki teknologi pengolah limbah B3. Dalam bidang usaha penghasil limbah Peraturan Pemerintah ini


(55)

mengatur pada Pasal 23 bahwa pengolah limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan pengolahan limbah B3.

Mengenai tata laksana perizinan, Peraturan Pemerintah ini mengatur dalam Pasal 40 ayat (1) bahwa setiap badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab, pengangkut limbah B3 wajib memiliki izin pengangkutan dari Menteri Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab dan pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 40 ayat (2) menjelaskan ketentuan mengenai tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab, dan kepala instansi yang berwenang memberikan izin. Sementara untuk kewenangan keputusan permohonan izin diatur dalam Pasal 44 yang menyatakan bahwa keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 diberikan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya dengan syarat dan kewajiban dalam analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah disetujui merupakan bagian yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).


(56)

Pengaturan mengenai Analisis Dampak Lingkungan atau AMDAL diatur Peraturan Pemerintah ini dalam Pasal 43 bahwa untuk kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 kepada instansi yang bertanggung jawab.

Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999 mengatur pula tentang pengawasan dalam Pasal 47 bahwa pengawasan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh Menteri dan pelaksanaannya diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab. Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pemantauan terhadap penaatan persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif oleh penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3. Pelaksanaan pengawasan pengelola limbah B3 di daerah dilakukan menurut tata laksana yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1999 menjelaskan bahwa apabila dalam pelaksanaan pengawasan lingkungan ditemukan indikasi adanya tindak pidana lingkungan hidup maka pengawas selaku penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup dalam melakukan penyidikan.


(57)

Mengenai sanksi jelaskan di dalam Pasal 62 dan Pasal 63 bahwa Instansi yang bertanggung jawab memberikan peringatan tertulis kepada yang melanggar Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan lebih dahulu dan Pasal 4 yang menyatakan bahwa setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan penimbunan limbah B3 dilarang melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah B3 serta Pasal 9 sampai Pasal 26, Pasal 18 sampai dengan Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 52 ayat (2), Pasal 58 dan Pasal 60. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menghentikan sementara kegiatan operasi atas nama instansi yang berwenang dan/atau instansi yang bertanggung jawab apabila pelanggaran tersebut dapat membahayakan lingkungan hidup. Pasal 63 menyatakan bahwa barangsiapa yang melanggar ketentuan yang terdapat dalam undang-undang ini yang mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup.


(58)

F. Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis ini lahir sebagai upaya pemerintah untuk mengolah limbah minyak bumi dan tanah yang terkontaminasi oleh minyak bumi yang dihasilkan usaha atau kegiatan minyak, gas dan panas bumi atau kegiatan lain yang menghasilkan limbah minyak bumi yang merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun yang memiliki potensi menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan maka perlu dilakukannya upaya pengolahan secara biologis sebagai alternatif teknologi pengolahan limbah minyak bumi.

Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun secara teknis telah diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor : Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun oleh karena sifat kekhususannya, maka pengolahan limbah dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis perlu diatur tersendiri dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara bahwa pembuatan pedoman pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun


(59)

menjadi kewenangan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan dengan hal tersebut maka pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis.

Dalam Keputusan Menteri ini definisi bioremediasi mulai diperkenalkan dengan pengertian sebuah proses pengolahan limbah minyak bumi yang sudah lama atau tumpahan/ceceran minyak pada lahan terkontaminasi dengan memanfaatkan makhluk hidup mikroorganisme, tumbuhan atau organisme lain untuk mengurangi konsentrasi atau menghilangkan daya racun bahan pencemar. Kegiatan bioremediasi masuk ke dalam istilah pengolahan limbah minyak bumi dengan pengertian berupa proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah minyak bumi untuk menghilangkan dan atau mengurangi sifat bahaya dan atau sifat racun. Limbah minyak bumi adalah sisa atau residu minyak yang terbentuk dari proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang terdiri atas kontaminan yang sudah ada di dalam minyak, maupun kontaminan yang terkumpul dan terbentuk dalam penanganan suatu proses dan tidak dapat digunakan kembali dalam proses produksi.


(60)

Beberapa aspek yang diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 128, Juli 2003, tentang tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah sludge minyak bumi secara biologi adalah sebagai berikut: 1. Persyaratan Limbah

Persyaratan limbah sludge minyak bumi yang akan diolah secara biologi adalah konsentrasi maksimum Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) sebelum proses pengolahan adalah tidak lebih dari 15%, jika konsentrasi TPH sebelum pengolahan atau pemanfaatan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan teknologi yang tersedia dan karakteristik limbahnya. Sementara hasil uji TCLP logam berat berada di bawah baku mutu seperti yang tercantum dalam Keputusan Nomor 04/Bapedal/09/1995.

2. Persyaratan Tempat Pengolahan

Tempat dilakukannya proses pengolahan secara biologi harus memenuhi persyaratan umum yang diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal tahun 1995 tentang pengelolaan limbah B3.

3. Tata Cara Pengolahan

4. Analisis Terhadap Proses Pengolahan

Selama proses pengelolaan secara biologi ini dilakukan, maka beberapa parameter dianalisis diantaranya:


(61)

a. Analisis sampel limbah minyak yang diolah yang terdiri dari Analisis kimia yang merupakan parameter dan metode sampling untuk analisis sampel limbah minyak yang akan diolah dan Analisis pendukung yang merupakan analisis terhadap produk hasil penguraian limbah sludge minyak bumi (TPH) hasil aktifitas mikroba dan sebagai analisis terhadap parameter yang berhubungan dengan proses mikrobiologis dapat dilakukan sehingga dapat diperoleh data pendukung untuk mengetahui efektifitas pengolahan, misalnya dengan menghitung jumlah total mikroba, pengukuran respirasi, dan biomassa hidrokarbon.

b. Analisis sampel air tanah dari sumur pantau, dimana sampel air tanah diambil dari sumur pantau yang dipasang secara respresentatif di daerah hulu dan hilir minimum pada saat awal operasi, selama proses dan akhir oprasi.

c. Analisis sampel tanah

d. Analisis sampel air lindi yang dibuang ke lingkungan diperlakukan sebagai limbah cair mengacu kepada Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup nomor 42 tahun 1996, minimum 1 (satu) bulan sekali.


(62)

Hasil akhir dari proses pengolahan secara biologi harus memenuhi kriteria seperti yang diatur dalam Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No. 42 tahun 1996 yang menyatakan bahwa limbah cair yang dibuang ke lingkungan harus memenuhi persyaratan mengenai baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan dalam peraturan.

6. Penanganan Bahan Hasil Limbah Pengolahan

Setelah proses pengolahan mencapai ketentuan kriteria maka terhadap bahan tersebut dapat dilakukan perlakuan dengan ketentuan : a. Sebelum melakukan kegiatan pengelolaan terhadap bahan hasil olahan

pasca operasi, maka pengelola melaporkan rencana kegiatan tersebut ke KLH.

b. Hasil olahan ditimbun ke landfill jika hasil analisis tidak memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan sesuai dengan hasil analisis sludge minyak bumi yang mengacu pada keputusan Nomor 04/Bapedal/09/1995.

c. Hasil olahan dapat ditempatkan ke lokasi dimana proses pengolahan biologi sebelumnya berlangsung jika hasil analisis telah memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan, serta hasil olahan dapat ditempatkan ditempat lain yang masih berada di sekitar area internal penghasil limbah jika hasil analisis telah memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan.


(63)

Tujuan ditetapkannya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup ini dalam hal pelaksanaan bioremediasi adalah bahwa untuk mewujudkan terlaksananya pengelolaan limbah dan pemulihan lingkungan akibat kegiatan usaha minyak dan gas bumi atau kegiatan lain yang berhubungan dengan pengelolaan limbah minyak bumi yang efektif dan efisien sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan untuk memberikan acuan dan arahan bagi kegiatan usaha minyak dan gas bumi atau kegiatan lain yang berhubungan dengan pengolahan limbah minyak bumi dalam mengurangi konsentrasi residu minyak atau menghilangkan sifat bahaya dan beracun agar tidak membahayakan kesehatan manusia dan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Mengenai perizinan pengelolaan limbah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup ini mengatur dalam Pasal 3 bahwa ketentuan perizinan pengelolaan limbah bahan minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dengan hasil analisis terhadap proses pengolahan biologis dan pemantauan terhadap bahan hasil pengolahan dilaporkan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup Propinsi, Kabupaten/Kota atau instansi lain yang


(64)

terkait minimum 6 (enam) bulan sekali. Pelaporan yang dimaksud mencakup jumlah, jenis dan karakteristik limbah yang diolah, hasil analisis dari pemantauan limbah yang diolah dan air tanah serta data analisis dari pemantauan terhadap hasil olahan setelah proses pengolahan biologis.

Semenjak ditetapkannya Keputusan Menteri Negara ini pada tahun 2003 maka apabila saat diberlakukannya keputusan ini telah dilakukan pengolahan limbah minyak dan tanah terkontaminasi secara biologis yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini, maka pelaksana berkewajiban menyesuaikan pengelolaannya dengan keputusan ini selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak diterbitkannya keputusan ini yang telah diatur dalam Pasal 5.


(65)

54

KEGIATAN HULU MINYAK BUMI DI INDONESIA

A. Mekanisme Tata Pelaksanaan Bioremediasi dalam Kegiatan Hulu Minyak Bumi di Indonesia

Mekanisme tata pelaksanaan bioremediasi di Indonesia diatur jelas di dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 dimana tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah sludge minyak bumi secara biologi adalah sebagai berikut :

1. Persyaratan Limbah

Persyaratan limbah minyak bumi yang akan diolah secara biologi adalah konsentrasi maksimum Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) sebelum proses pengolahan adalah tidak lebih dari 15%, jika lebih maka perlu dilakukan pengolahan atau pemanfaatan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan teknologi yang tersediadan karakteristik limbahnya serta hasil uji logam berat berada di bawah baku mutu seperti yang tercantum dalam Keputusan Nomor 04/Bapedal/09/1995.

2. Persyaratan Tempat Pengolahan

Persyaratan umum sesuai dengan Keputusan Kepala Bapedal tahun 1995 tentang pengolahan limbah B3 dan melakukan pengkajian terhadap


(66)

konsisi awal tanag dari lokasi yang akan dibangun unit pengolahan termasuk data kandungan TPH dan logam berat pada sampel tanah dan air tanah.

3. Persyaratan Fasilitas

Fasilitas pengolahan limbah minyak bumi secara biologi di tempat pengolahan harus dilapisi tanah lempung dengan ketebalan minimum 60 cm seteah dipadatkan, saluran drainase dirancang di sekeliling unit lokasi pengelolahan, konstruksi saluran drainasedan kolam penampungan air limpasan harus kedap air, tanggul dibangun disekeliling unit lokasi pengolahan, pagar pengaman di sekeliling lokasi dipasang untuk menghindari masuknya pihak-pihak yang tidak berkepentingan, dan tanda-tanda peringatan dipasang untuk menjaga aspek keselamatan dan keamanan.

4. Tata Cara Pengolahan

a. Bahan pencampur dapat ditambahkan pada limbah dengan tujuan untuk mengoptimalkan proses penguraian limbah minyak bumi oleh mikroba. Bahan penggembur dapat ditambahkan untuk meningkatkan porositas campuran limbah minyak bumi dengan memanfaatkan bahan yang tersedia di sekitar lokasi pengolahan. Pada proses pengolahan yang dilakukan secara aerob, maka pemberian oksigen melalui pipa-pipa, pengadukan manual atau dengan alat berat.


(67)

b. Mikroba pengurai limbah minyak bumi yang diperoleh dari luar dipersyaratkan bukan merupakan organisme pathogen, bukan termasuk organisme hasil rekayasa genetika dan apabila produk import digunakan harus seijin dari instansi Departemen Pertanian.

5. Evaluasi Kinerja Pengolahan

Keberhasilan proses pengolahan secara biologi dalam menurunkan kadar TPH/Oil Content sampai memenuhi kriteria yang dipersyaratkan dievaluasi untuk melihat efektifitas penguraian limbah minyak secara biologi dengan ketentuan waktu maksimum pengolahan adalam 8 bulan. Jika proses pengolahan memakan waktu lebih dari 8 bulan, maka evaluasi ulang dilakukan untuk meningkatkan kinerja proses pengolahannya. 6. Analisis Terhadap Proses Pengolahan

Selama proses pengelolaan secara biologi ini dilakukan, maka beberapa parameter dianalisis dengan beberapa ketentuan.

7. Kriteria Hasil Akhir Pengolahan

a. Limbah sludge minyak bumi harus memenuhi persyaratan nilai akhir hasil pengolahan sludge minyak bumi secara biologi.

b. Limbah cair yang dibuang ke lingkungan harus memenuhi KepMen yang mengatur mengenai baku mutu limbah cair yang terkait misalnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.42 tahun 1996.


(68)

a. Sebelum melakukan kegiatan pengelolaan terhadap bahan hasil olahan pasca operasi, maka pengelola melaporkan rencana kegiatan tersebut ke KLH.

b. Hasil olahan ditimbun ke landfill jika hasil analisis tidak memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan dan mengacu pada Keputusan Nomor 04/Bapedal/09/1995.

c. Persyaratan lahan penempatan bahan hasil olahan tersebut harus merupakan daerah bebas banjir, bukan daerah resapan atau sumber mata air, bukan daerah permukaan dangkal dan bukan daerah yang dilindungi.

d. Bahan hasil olahan yang ditempatkan di luar area penghasil limbah harus memperoleh ijin dari Kementrian Lingkungan Hidup.

9. Pemantauan dan Pengawasan terhadap Bahan Hasil Pengolahan

Pemantauan dan pengawasan terhadap bahan hasil pengolahan yang diletakkan di atas lahan dilakukan secara teratur dan periodic dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Analisis TPH terhadap sample bahan hasil pengolahan, sample tanah, sample air tanah dilakukan oleh penghasil limbah minimum setahun sekali.

b. Penghasil limbah bertanggung jawab terhadap pengendalian atau pengolahan terhadap lokasi penempatan hasil olahan minimum 2 (dua)


(69)

tahun atau jangka waktu lain yang ditentukan oleh instansi yang bertanggung jawab.

c. Pemantauan dan pengawasan terhadap lokasi penempatan bahan hasil olahan dilakukan oleh KLH, Bapedalda propinsi dan Bapeldalda Kabupaten/Kota atau instansi lain yang berwenang minimum 6 (enam) bulan sekali.

d. Pelaporan tentang hasil pemantauan diberikan kepada KLH, Bapedalda propinsi dan Bapedalda Kabupaten/Kota atau instansi lain yang berwenang minimum 6 (enam) bulan sekali.

B. Hubungan Hukum Pemerintah dan Perusahaan dalam pelaksanaan Bioremediasi Kegiatan Hulu Minyak Bumi di Indonesia

1. Hak dan Kewajiban Pemerintah dalam Kegiatan Bioremediasi

Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta didalamnya mengenai penyelenggaraan kegiatan Bioremediasi. Dengan demikian setiap kegiatan bioremediasi harus merujuk pada kentuan-ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 serta Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003, terutama perjanjian kontrak kerja


(70)

sama sebagai bentuk awal terjadinya bisnis pertambangan usaha hulu minyak bumi di Indonesia.

a. Hak Pemerintah dalam Kegiatan Bioremediasi

1) Menetapkan Kebijakan Mengenai Kegiatan Bioremediasi. Pemerintah memiliki hak untuk menetapkan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta dalam Pasal 63 Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup menyatakan hal yang sama.

2) Pemerintah berwenang dalam hal Kuasa Pertambangan dimana diberikan wewenang untuk dapat mengeluarkan surat izin pertambangan dalam pelaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi atau kegiatan hulu migas yang berbentuk Kontrak Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama harus memuat diantaranya:

a) Hal-hal mengenai penerimaan Negara b) Wilayah kerja dan pengembaliannya

c) Perpindahan kepemilikan hasil produksi atau Minyak dan Gas Bumi


(71)

e) Penyelesaian perselisihan

f) Kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri

g) Berakhirnya kontrak

h) Kewajiban pasca operasi pertambangan i) Keselamatan dan kesehatan kerja j) Pengelolaan lingkungan hidup k) Pengalihan hak dan kewajiban l) Pelaporan yang diperlukan

m) Pengembangan masyarakat sekitarnya

n) Jaminan hak-hak masyarakat adat dan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

3) Pemerintah berhak dalam melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan kegiatan Bioremediasi yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dimana Pemerintah berhak menerima laporan secara berkala atas jalannya kegiatan Bioremediasi. Pemerintah berhak pula untuk setiap saat memasuki dan memeriksa wilayah kerja Bioremediasi dan memeriksa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan administrasi kegiatan Bioremediasi. Pengawasan pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas


(72)

bumi di Indonesia berdasarkan Kontrak Kerja Sama yang dijalankan oleh Badan Pelaksana dan mengenai pengawasan kegiatan Bioremediasi diatur pula dalam Pasal 71 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup bahwa Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup berhak untuk melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual, mengambil sampel, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau menghentikan pelanggaran tertentu, serta dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan penganggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan untuk ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah. 4) Pemerintah berhak menerima fee atau royalty dalam hal

bagi-hasil dari produksi yang dibagi-hasilkan.

5) Atas pengakhiran kegiatan Bioremediasi, Pemerintah berhak meminta kepada Badan Usaha yang melaksanakan kegiatan


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)