2.2. Budi Daya Ikan Kerapu Dalam KJA
Ikan kerapu merupakan spesies ikan karnivora yang mempunyai nilai pasar yang tinggi. Para ahli menyebutkan terdapat sekitar 91 jenis kerapu di
Indonesia. Sejak dua dekade terakhir permintaan pasar internasional terhadap beberapa jenis kerapu meningkat tajam terutama oleh Hongkong pasar utama
dan Singapura. Jenis kerapu tersebut di antaranya Kerapu Tikus Cromileptes altivetis
, Kerapu Sunu Plectropomus leopardus, Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus
dan Kerapu Lumpur Ephinephelus suillus Nainggolan et al.,
2003
Kegiatan budi daya kerapu perlu dikembangkan secara intensif melalui budi daya KJA. KJA atau disebut jaring apung cage culture dilakukan dengan
sistem teknologi akuakultur yang menggunakan jaring yang mengapung dan ditempatkan di perairan seperti danau, waduk, laguna, selat, dan teluk Effendi,
2004. Keuntungan dari penggunaan KJA adalah biaya konstruksi keramba lebih murah yang dapat disesuaikan dengan kemampuan modal, produktivitas tinggi
dan mudah dipantau, tidak memerlukan pengelolaan air yang khusus seperti aerasi Masser, 2008. Selain itu, KJA dapat memelihara ikan dengan kepadatan tinggi
tanpa khawatir akan kekurangan oksigen Basyarie, 2001. Benih ikan untuk budi daya banyak diperoleh
dari alam dan dapat dipelihara dengan cara pemijahan dalam
bak DJPB, 2011.
2.3. Karakteristik Lokasi Budi Daya Ikan Kerapu
Dalam budi daya perikanan laut, perairan merupakan habitat yang menentukan keberhasilan dari budi daya. Pemilihan lokasi yang ideal adalah
faktor penting untuk menunjang kelayakan usaha budi daya. Perubahan ekosistem baik komponen fisik, biologi maupun kimia dapat berdampak terhadap laju
pertumbuhan dan produktivitas kerapu. Dalam penelitian ini, ada beberapa faktor yang dikaji untuk memenuhi persyaratan hidup ikan Kerapu Sunu.
2.3.1. Keterlindungan Lokasi
Pengembangan budi daya KJA ikan kerapu ditentukan juga oleh keterlindungan lokasi perairan. Lokasi terlindung di antaranya di sekitar teluk atau
selat yang sempit, daerah laguna goba dan daerah rataan karang serta laut yang terhindar dari hempasan gelombang dan angin kuat. Perairan yang terlindung
terletak di antara pulau-pulau kecil, daerah teluk yang sempit atau daerah yang
terdapat rataan karang yang panjang Ngangi, 2003.
2.3.2. Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan berkaitan dengan penempatan dan pemasangan keramba. Budi daya KJA sebaiknya ditempatkan pada kedalaman air yang cukup
untuk menjaga agar substrat dasar tetap bersih dari tumpukan limbah hasil samping budi daya tersebut Perez et al., 2003. Hal ini akan menciptakan kondisi
anaerobik sehingga dapat menghasilkan senyawa kimia toksik beracun bila oksigen habis Subandar et al., 2005. Kedalaman perairan yang ideal untuk budi
daya KJA ikan kerapu adalah 7-40 m Effendi, 2004 dan 5- 15 m Akbar dan
Sudaryanto, 2002.
2.3.3. Substrat Dasar Perairan
Pertimbangan ekosistem dari segi komponen fisik terutama substrat dasar perairan perlu diperhatikan untuk usaha pembesara KJA ikan kerapu . Habitat
ikan kerapu berada di sekitar terumbu karang dan perairan pantai Sriyati dan Pratajaya, 2006. Substrat yang berupa terumbu karang berperan penting dalam
ketersediaan makanan bagi ikan kerapu
.
Perairan yang mendukung untuk budi daya KJA ikan kerapu sebaiknya dipilih yang jenis substrat dasar berupa pasir,
batu atau karang. Dasar perairan berlumpur tidak sesuai untuk budi daya KJA. Jenis substrat berlumpur menunjukkan kekuatan arus di perairan tersebut lemah
dan terjadi sedimentasi partikel organik tersuspensi yang tinggi Effendi, 2004. Beveridge, 1987 in Subandar et al., 2005 menyebutkan bahwa dasar perairan
berbatu mengindikasikan kekuatan energy kinetik dari arus yang dapat
menghindarkan penumpukan limbah di dasar perairan.
2.4. Persyaratan Kualitas Air Ikan Kerapu
Kualitas air yang dipilih harus memenuhi persyaratan kehidupan dan pertumbuhan ikan meliputi sifat fisik, kimia dan biologi Rochdianto, 2002.
Dalam hal ini dikaji 6 faktor mempengaruhi budi daya ikan kerapu sunu di antaranya arah dan kecepatan arus, kecerahan, oksigen terlarut, salinitas, suhu dan
pH.
2.4.1. Arah dan Kecepatan Arus
Arus berperan untuk peletakan keramba jaring apung di perairan laut. Arus laut berfungsi sebagai transportasi massa air yang mendistribusikan kandungan
oksigen terlarut dan unsur hara, membersihkan kotoran dan mengurangi organisme penempel. Arus yang kuat akan menimbulkan gelombang tinggi
sehingga menganggu dan merusak KJA Utojo et al,. 2005. Kisaran optimal kecepatan arus untuk budi daya KJA adalah 15–35 cmdetik Effendi, 2004. Bila
kecepatan arus melebihi 100 cmdetik maka sebaiknya tidak dipilih untuk wilayah budi daya KJA Beveridge, 1987 in Subandar et al., 2005. Biasanya pada daerah
terlindung, arus laut yang bergerak ditimbulkan oleh pasang surutpasut Subandar et al.,
2005. Arus laut dipengaruhi oleh angin musiman dan suhu permukaan laut
yang selalu berubah-ubah Wibisono, 2005.
2.4.2. Kecerahan
Kecerahan merupakan kemampuan cahaya matahari untuk menembus perairan. Kemampuan cahaya tersebut dipengaruhi oleh kekeruhan air. Kekeruhan
yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi. Misalnya pernapasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi
cahaya ke dalam air. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekeruhan air adalah partikel halus yang tersuspensi seperti lumpur, jasad renik plankton dan warna
air. Kecerahan dapat dilihat secara visual dan diukur menggunakan secchi-
disk. Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu
pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang
melakukan pengukuran Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi, 2003. Kecerahan perairan berperan dalam pengembangan budi daya KJA ikan kerapu. Kecerahan
perairan yang baik untuk wilayah budi daya KJA ikan kerapu adalah 2 m Akbar dan Sudaryanto, 2002.
2.4.3. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut sangat dibutuhkan dalam kehidupan organisme. Perairan dengan kadar oksigen sangat rendah sangat berbahaya bagi organisme akuatik
Effendi, 2003. Perairan dengan populasi fitoplankton tinggi memiliki konsentrasi oksigen terlarut yang berfluktuasi tajam. Pada siang hari terjadi
fotosintesis sehingga meningkatkan jumlah kandungan oksigen di perairan. Sebaliknya pada malam hari terjadi respirasi yang akan menurunkan kandungan
oksigen terlarut Irianto, 2005. Pada lapisan atas, permukaan laut memiliki kadar normal oksigen terlarut
sebesar 4,5–9,0 mgl. Faktor yang mempengaruhi oksigen terlarut yaitu suhu, salinitas, dan tekanan hidrostatik. Semakin meningkat suhu dan salinitas perairan
maka oksigen terlarut semakin kecil. Begitu juga halnya dengan tekanan hidrostatik jika semakin dalam perairan maka oksigen terlarut semakin kecil
Sanusi, 2006. Penurunan oksigen terlarut di dalam air disebabkan oleh adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak mengkonsumsi oksigen
sewaktu penguraian berlangsung. Untuk kepentingan perikanan sebaiknya perairan memiliki kandungan oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mgl Effendi,
2003.
2.4.4. Suhu
Pemilihan lokasi KJA harus terlindung dari perubahan suhu. Perubahan suhu secara ekstrim akan mempengaruhi biota secara tidak langsung melalui
konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 °C akan meningkatkan laju metabolisme sehingga konsumsi oksigen akan semakin besar sekitar 2–3 kali
lipat Effendi, 2003. Pada kenyataannya, suhu perairan yang meningkat maka perairan cepat mengalami kejenuhan oksigen atau mengurangi daya larut oksigen
dalam air Ghufran dan Kordi, 2007. Untuk pertumbuhan ikan kerapu memiliki suhu optimal berkisar antara 27–29 °C Akbar dan Sudaryanto, 2002. Kisaran
suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20–30 °C Effendi, 2003.
Suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman. Pada musim pancaroba dimana angin bertiup lemah dan tidak menentu diikuti permukaan laut
yang sangat tenang mengakibatkan proses pemanasan yang kuat di permukaan Nontji, 2006. Kondisi demikian akan mempengaruhi suhu di lapisan permukaan
mencapai maksimum.
2.4.5. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion dalam 1 kg air laut Boyd, 1988 in Effendi, 2003. Salinitas berpengaruh terhadap tekanan osmotik dimana salinitas
yang tinggi, tekanan osmotik juga akan semakin besar Ghufran dan Kordi, 2007. Pengukuran salinitas dinyatakan dalam unit ppt atau ‰. Salinitas akan meningkat
seiring bertambahnya kedalaman dalam proses homogenitas Sanusi, 2006.
Perairan estuari memiliki salinitas yang sangat berfluktuasi. Hal ini dipengaruhi oleh percampuran antara massa air laut dengan massa air sungai.
Pada perairan estuari dimana aliran sungai bermuara tidak dianjurkan untuk lokasi budi daya ikan kerapu. Lokasi yang berdekatan dengan muara sering mengalami
stratifikasi salinitas yang dapat menghambat masuknya oksigen dari udara ke air. Salinitas perairan yang ideal untuk budi daya ikan kerapu sunu adalah 30–35 ‰
Akbar dan Sudaryanto, 2002.
2.4.6. pH
Derajat keasaman atau yang biasa disebut pH potensial hydrogen menunjukkan nilai aktivitas ion hidrogen dalam air kadar molar. Nilai pH
menggambarkan tingkat asam atau basa suatu perairan. Sifat asam atau basa berada pada kisaran nilai 0–14, dimana pH=7 adalah netral Sanusi, 2006. Pada
pH yang rendah akan mengurangi kandungan oksigen terlarut di perairan sehingga menurunkan konsumsi oksigen oleh ikan dan menurunkan metabolisme. Sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH pada kisaran 7,0–8,5 Effendi, 2003. Kisaran pH optimal untuk kerapu adalah 7–8
Ghufran dan Kordi, 2007. pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Salah satunya adalah
senyawa ammonia yang tidak terionisasi ditemukan pada perairan yang bersifat basa atau memiliki nilai pH tinggi. Senyawa tersebut lebih mudah terserap ke
jaringan tubuh organisme akuatik dan bersifat racun. Selain itu, nilai pH mempengaruhi proses biokimia perairan seperti proses nitrifikasi akan berakhir
jika pH rendah. Pada pH rendah juga akan meningkatkan toksisitas logam berat. Effendi, 2003.
2.5. Kesuburan Perairan
Klorofil-a merupakan parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di perairan pantai atau laut. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di
perairan pantai dan pesisir disebabkan adanya suplai nutrien melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai
disebabkan tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya intensitas cahaya matahari yang dapat menembus
perairan sehingga proses fotosintesis terhambat. Penginderaan terhadap fitoplankton berdasarkan pigmen warna hijau yang
terdapat pada setiap tumbuhan, dimana semua fitoplankton mengandung dominan klorofil-a. Klorofil cenderung menyerap spektrum warna biru 400-500 nm dan
spektrum warna merah 600–700 nm serta memantulkan warna hijau 500-600 nm pada tumbuhan. Pantulan spektrum cahaya oleh klorofil tersebut dapat
diindera oleh sensor satelit. Hasilnya menunjukkan sebaran biomassa fitoplankton dalam satuan klorofil mgm
3
Nontji, 2006. Berikut ini klasifikasi konsentrasi klorofil-a menurut Arsjad et al., 2004.
Tabel 1. Klasifikasi Konsentrasi Klorofil-a Kelas Konsentrasi
mgm
3
Keterangan I
0.3 Konsentrasi rendahclear water
II 0,3–0,5
Konsentrasi sedangmedium rich phytoplankton III
0,5–1,0 Konsentrasi tinggirich phytoplankton
IV 1,0–2
Khlorofil-a dan muatan suspensi tinggislightly turbid water
V 2 Muatan
suspensi tinggihight turbidity
2.6. Penginderaan Jauh dan Citra Satelit