Analisis Data untuk Menjawab Pertanyaan Penelitian

Hasil analisis terhadap perbedaan kesejahteraan psikologis ditinjau dari jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara guru honorer yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Ryff dan Singer dalam Tenggara, dkk, 2008 yang mengungkap bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap adanya perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis secara signifikan pada aspek hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Ryff dan Singer dalam Tenggara, dkk, 2008 mengatakan bahwa wanita menunjukkan angka kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi daripada pria. Sementara keempat aspek kesejahteraan psikologis lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Meskipun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hutapea Bonar 2011 yang meneliti psychological well-being ditinjau dari jenis kelamin dan menemukan hasil bahwa tidak ada perbedaan di antara perempuan dan laki-laki. Salah satu alasan yang mungkin bahwa psychological well-being lebih rendah pada perempuan dalam hal penguasaan terhadap lingkungan, pertumbuhan pribadi, dan relasi yang positif dengan orang lain, namun sebaliknya terkait tujuan dalam hidup dan penerimaan diri. Hal tersebut membuktikan bahwa beberapa penelitian yang ada, melihat perbedaan kesejahteraan psikologis antara laki-laki dan perempuan berdasarkan masing-masing aspek kesejahteraan psikologis. Sedangkan, jika dilihat secara keseluruhan gabungan dari keenam aspek kesejahteraan psikologis ada kemungkinan bahwa tidak terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kesejahteraan psikologis ditinjau dari usia. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Ryff; Ryff Singer, dalam Tenggara, dkk, 2008 yang menyatakan bahwa penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan peningkatan seiring dengan pertambahan usia usia 25-39; usia 40-59; usia 60-74. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi secara jelas menunjukkan penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Selain itu, aspek penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain secara signifikan bervariasi berdasarkan usia. Tidak adanya hubungan antara kesejahteraan psikologis dengan faktor usia ini mungkin dikarenakan faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang bukan berapa usia mereka melainkan bagaimana semangat dan keinginan mereka, serta adanya kesehatan yang mereka miliki, sehingga usia tidak menjadi halangan dalam menjalani kehidupan. Ryff Singer 1996 mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan seseorang. Tingginya tingkat pendidikan seseorang menunjukkan bahwa individu memiliki faktor pengaman, misalnya uang. Meskipun demikian, hasil analisis terhadap kesejahteraan psikologis ditinjau dari tingkat pendidikan membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kesejahteraan psikologis guru honorer dengan tingkat pendidikan. Guru honorer sekolah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI negeri yang menjadi subjek penelitian memiliki tingkat pendidikan yang variatif SMA, D3, S1, S2. Dengan variasi tingkat pendidikan tersebut, mereka memiliki penghasilan sebagai guru honorer yang relatif sama dan tergolong rendah. Bahkan, sangat mungkin guru honorer dengan tingkat pendidikan S2 yang mengajar di sekolah dasar akan mendapatkan penghasilan yang sama dengan guru dengan tingkat pendidikan D3 maupun S1. Meskipun demikian, banyak yang mensyukuri penghasilan yang mereka dapat. Hal tersebut diduga dapat terjadi karena hal yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis bukanlah tingkat pendidikan, melainkan bagaimana subjek merasa penghasilannya cukup untuk menghidupi diri sendiri maupun keluarganya walaupun kadang mengalami kesulitan namun subjek bisa mengatur ekonominya dengan baik. Terkait status pernikahan, hasil analisis membuktikan bahwa tidak ada perbedaan kesejahteraan psikologis antara guru honorer dengan status belum menikah, menikah tanpa anak, menikah dengan memiliki 1 anak, menikah dengan memiliki 2 anak, dan menikah dengan memiliki lebih dari 2 anak. Salah satu alasan yang mungkin adalah subjek dengan status lajang belum menikah dan masih tinggal bersama dengan keluarga mendapatkan dukungan dari keluarga sehingga bisa berbagi saat menghadapi permasalahan. Tidak hanya berasal dari keluarga, dukungan juga hadir dari teman atau sahabat dekat. Dukungan-dukungan yang dimiliki oleh subjek dengan status lajang ini dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis Susanti, 2012. Hasil ini tampaknya bersesuaian dengan temuan Marks dan Lambert dalam Ryff, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2013 yang menemukan bahwa perempuan yang tidak menikah menunjukkan skor yang lebih tinggi pada dimensi otonomi dan pertumbuhan pribadi dibandingkan dengan perempuan yang menikah. Sementara itu, Ryff, 1989 menyatakan bahwa pernikahan menjadi prediktor yang baik terhadap penerimaan diri dan tujuan hidup. Shapiro dan Keyes dalam Ryff, 2013 menemukan bahwa perempuan yang bercerai dan tidak menikah menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah dibanding perempuan yang menikah. Kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh subjek yang menikah dan memiliki anak juga sesuai dengan temuan Lianawati, 2008 yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan kesejahteraan psikologis berdasarkan jumlah anak pada kelompok suami maupun istri. Ditemukan pula bahwa kelompok pasutri yang tidak atau belum memiliki anak juga memiliki kesejahteraan psikologis tinggi. Barangkali tidak memiliki anak justru memberi lebih banyak waktu luang bagi para pasutri untuk lebih otonom dan mampu menangani aktivitas tanpa perlu dipusingkan oleh urusan anak.