Eksistensi dan Ketunggalan Penyelesaian

Sistem tersebut dapat dinyatakan sebagai matriks diperbesar 1 1 1 −1 −1 −2 1 3 −2 sehingga menggunakan eliminasi Gauss didapatkan 1 1 1 −1 −1 −2 1 3 −2 ⟶ 1 1 1 1 −1 1 . Dari baris terakhir dari matriks yang sudah dieliminasi tersebut menunjukkan bahwa sistem adalah tak konsisten, sehingga menyebabkan penyelesaian dari sistem menjadi tidak ada. Namun, nilai � tersebut dapat dihampiri dengan suatu tertentu sehingga galat di antara � ′ dan � dapat sekecil mungkin. Dengan menggunakan metode kuadrat terkecil akan dicari sebuah vektor , sehingga dapat ditentukan yang terdekat dengan �. Metode kuadrat terkecil ini akan meminimumkan galat dari perhitungan � − � ′ . Untuk menyelesaikan = � dengan metode kuadrat terkecil, maka kita harus menggunakan persamaan normal = �, sehingga diperoleh 1 1 −1 1 −1 −2 1 1 1 −1 −1 −2 1 2 = 1 1 −1 1 −1 −2 1 3 −2 3 −2 −2 6 1 2 = 6 −6 selanjutnya akan diselesaikan = − �, sehingga didapat penyelesaian tunggal untuk , sebagai = 1 2 = 1 12 6 2 2 3 6 −6 = 2 −0,5 . Dari yang diperoleh dapat dibentuk � ′ = = 1 1 1 −1 −1 −2 2 −0,5 = 1,5 2,5 −1 , maka � − � ′ = 1 3 −2 − 1,5 2,5 −1 = 0,5 0,5 1 dan sisa relatif � ′ terhadap � sebesar � − � ′ ∞ � ∞ = 1 3 ≈ 0,333 sehingga selisih antara � ′ terhadap � relatif cukup kecil. Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh penyelesaian = 2 −0,5 . Dalam menyelesaikan suatu sistem terkadang diperoleh lebih dari satu penyelesaian, bahkan mungkin sampai takhingga banyak penyelesaian. Tentunya ini menjadikan ketunggalan penyelesaian menjadi tidak terpenuhi. Untuk itu perlu ditambahkan suatu syarat tambahan agar membatasi penyelesaian sehingga diperoleh penyelesaian tunggal. Contoh 3.2.3 Diberikan sistem 1 + 2 + 3 3 = −2 − 1 + 3 2 + 3 = 0 1 + 2 2 + 4 3 = 8 Carilah penyelesaian untuk SPL di atas dan memenuhi = 1 dan 1 , 2 , 3 0. Penyelesaian: Sistem persamaan linier dapat ditulis sebagai = �, dengan = 1 2 3 , = 1 1 3 −1 3 1 1 2 4 , � = −2 8 sehingga didapat = �, 1 1 3 −1 3 1 1 2 4 1 2 3 = −2 8 . Sistem tersebut dapat dinyatakan sebagai matriks diperbesar 1 1 3 −1 3 1 1 2 4 −2 8 sehingga menggunakan eliminasi Gauss didapatkan 1 1 3 −1 3 1 1 2 4 −2 8 3 + −1 1 1 1 3 −1 3 1 1 1 −2 10 2 + 1 1 1 3 4 4 1 1 −2 −2 10 1 1 3 4 4 1 1 −2 −2 10 1 4 2 1 1 3 1 1 1 1 −2 − 1 2 10 3 + −1 2 1 1 3 1 1 −2 − 1 2 21 2 1 1 3 1 1 −2 − 1 2 21 2 1 + −1 2 1 0 2 1 1 − 3 2 − 1 2 21 2 sehingga diperoleh bentuk eselon baris 1 0 2 1 1 − 3 2 − 1 2 21 2 . Dari baris terakhir yang diperoleh terlihat bahwa sistem tidak konsisten, sehingga menyebabkan penyelesaian dari sistem menjadi tidak ada. Karena itu, sistem tersebut perlu dimodifikasi menggunakan persamaan normal = �, sehingga diperoleh 1 −1 1 1 3 2 3 1 4 1 1 3 −1 3 1 1 2 4 1 2 3 = 1 −1 1 1 3 2 3 1 4 −2 8 3 6 14 14 6 14 26 1 2 3 = 6 14 26 dan sistem baru tersebut dapat dinyatakan sebagai matriks diperbesar 3 6 14 14 6 14 26 6 14 26 . Dengan menggunakan proses eliminasi Gauss didapatkan 3 6 14 14 6 14 26 6 14 26 3 + −2 1 3 6 14 14 14 14 6 14 14 3 6 14 14 14 14 6 14 14 3 + −1 2 3 6 14 14 6 14 3 6 14 14 6 14 1 14 2 dan 1 3 1 1 2 1 1 2 1 dan diperoleh bentuk eselon baris 1 2 1 1 2 1 . Dari bentuk eselon baris tersebut dapat dilihat bahwa sistem konsisten, dan mempunyai satu peubah bebas. Jika peubah bebas tersebut dipindahkan ke ruas kanan, akan diperoleh 1 = 2 − 2 3 2 = 1 − 3 Misalkan 3 = , dengan ℝ sehingga didapatkan penyelesaian = 1 2 3 = 2 − 2 1 − . Penyelesaian tersebut akan mempunyai takhingga banyak penyelesaian yang mungkin terjadi untuk menyelesaikan sistem. Namun, kita cukup memilih sebuah penyelesaian untuk , yang memenuhi = 1 dan 1 , 2 , 3 0, sehingga = 2 − 2 2 + 1 − 2 + 2 = 1 2 − 2 2 + 1 − 2 + 2 = 1 4 − 8 + 4 2 + 1 − 2 + 2 + 2 = 1 6 2 − 10 + 5 = 1 6 2 − 10 + 4 = 0 Dengan menerapkan rumus 1,2 = − ± 2 − 4 2 = 10 ± −10 2 − 4 6 4 2 6 = 10 ± 100 − 96 12 1,2 = 10 ± 4 12 = 10 ± 2 12 akan diperoleh 1 = 10 + 2 12 = 12 12 = 1 ; 2 = 10 − 2 12 = 8 12 = 2 3 . sehingga penyelesaian untuk 1 = 1 adalah = 2 − 2 1 − = 2 − 2 1 1 − 1 1 = 1 dan penyelesaian untuk 2 = 2 3 = 2 − 2 1 − = 2 − 2 2 3 1 − 2 3 2 3 = 2 3 1 3 2 3 . Jadi, penyelesaian untuk sistem yang memenuhi = 1 dan 1 , 2 , 3 adalah = 2 3 1 3 2 3 Dengan demikian, diperoleh penyelesaian tunggal untuk menyelesaikan sistem tersebut. Sifat kestabilan, eksistensi dan ketunggalan dari penyelesaian memberikan gambaran umum mengenai bagaimana metode inverse problem digunakan dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

B. Metode Regularisasi

3.3 Regularisasi

Dalam menyelesaikan inverse problem umumnya akan memunculkan masalah ill-posed. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya galat pada perhitungan atau kesalahan dalam melakukan pemodelan masalah, sehingga stabilitas dari penyelesaian menjadi tidak stabil. Kestabilan ini dapat terlihat ketika sistem diberikan gangguan. Jika gangguan menyebabkan galat yang besar pada perhitungan penyelesaian maka sistem tidak stabil. Untuk mengatasi situasi ini maka digunakanlah regularisasi. Ketika meregularisasi masalah akan didapatkan banyak penyelesaian yang bersesuaian dengan pemilihan parameter regularisasi. Dari parameter regularisasi ini akan didapatkan penyelesaian dari masalah regularisasi, dan dapat diketahui pula besar galat dan faktor perbesaran galat yang terjadi pada setiap penyelesaian. Setelah itu, akan dipilih penyelesaian masalah regularisasi yang memiliki galat terkecil. Agar dapat memahami penjelasan tersebut maka perhatikan contoh berikut. Contoh 3.3.1 Diberikan matriks = 1 1 1024 dengan � = 1, 2 −10 dan jelas = 1,1 adalah penyelesaian eksak dari sistem = � 3.1 . Selain dapat menentukan penyelesaian dari suatu sistem, harus juga ditentukan bagaimana kestabilan dari sistem tersebut. Untuk itu akan diberikan gangguan di � dan melihat faktor perbesaran galat yang terjadi pada sistem 3.1 . Agar dapat lebih memahami efek yang terjadi, maka permasalahan ini akan ditinjau melalui dua kasus. Kasus I jika � diberikan gangguan sebesar � = 0, 2 −10 dan kasus II jika � diberikan gangguan sebesar = 2 −10 , 0 . Pada kasus I, misalkan � diberikan gangguan sebesar � = 0, 2 −10 , sehingga sistem 3.1 akan berubah menjadi = � + � = 1 2 −10 + 2 −10 = 1 2 2 10 dan didapat penyelesaian ′ = −1 � + � = 1 2 . Dari hasil ′ dapat dihitung selisih absolut penyelesaian ′ dan sebagai = ′ − = 1 2 − 1 1 = 1 . Setelah mendapatkan , kemudian akan dihitung faktor perbesaran galat yang terjadi pada sistem ketika diberikan gangguan sebesar � sebagai 2 � 2 = 1 2 −10 = 1024. Sedangkan pada kasus II, � diberikan gangguan sebesar = 2 −10 , 0 , sehingga sistem 3.1 menjadi = � + = 1 2 −10 + 2 −10 = 1025 1024 2 −10 dan didapat penyelesaian ′ = −1 � + = 1025 1024 1 . Dari hasil ′ ini dapat dihitung selisih absolut penyelesaian ′ dan sebagai = ′ − = 1025 1024 1 − 1 1 2 −10 . Setelah mendapatkan , kemudian dihitung faktor perbesaran galat yang terjadi pada sistem ketika diberikan gangguan sebesar , yaitu 2 2 = 2 −10 2 −10 = 1. Berdasarkan kasus I dan kasus II terlihat bahwa penyebab selisih yang sangat besar pada faktor perbesaran galat dalam kasus I dan kasus II terletak pada perhitungan −1 . Dari perhitungan yang telah dilakukan bahwa −1 sangat sensitif terhadap perubahan galat yang diberikan, sehingga menyebabkan ketidakstabilan pada sistem. Hal ini mengakibatkan penyelesaian yang didapat menjadi tidak akurat. Situasi seperti ini dapat dihindari dengan meregularisasi bentuk 3.1 menjadi sistem = � , 0. 3.2 Tujuan dari regularisasi ini adalah untuk menekan galat yang terjadi pada perhitungan −1 sehingga sistem menjadi lebih stabil. Bentuk regularisasi sistem 3.1 diberikan dengan memilih = 1 1 1− 10 1 210 dan � = �, 0 1 3.3 Setelah mendapatkan sistem 3.2 , maka selanjutnya masalah regularisasi pada 3.2 dapat diselesaikan. Seperti kasus I, pada sistem 3.2 akan diberikan gangguan sebesar � = 0, 2 −10 . Misalkan adalah penyelesaian sistem 3.2 pada pemilihan dan � dalam persamaan 3.3 . Dan ditentukan nilai sebagai = 1 2 , = 1,2, … ,9. Dari parameter ini, akan dihitung galat dari perhitungan yang bersesuaian dengan faktor perbesaran galatnya. Sebagai contoh pilih = 1 2 , diperoleh 1 2 = 1 1 1− 1 2 10 1 210 = 1 1 dan � 1 2 = 1 2 −10 . Karena sistem tersebut diberikan gangguan sebesar � maka sistem menjadi 1 2 = � 1 2 + �, dengan � 1 2 + � = 1 2 −10 + 2 −10 = 1 2 2 10 , sehingga 1 2 = 1 2 −1 . � 1 2 + � = 1 1 . 1 2 2 10 = 1 2 2 10 . Setelah mendapat 1 2 kemudian akan dihitung besar galat yang terjadi pada penyelesaian masalah regularisasi, galat tersebut dihitung dengan menghitung norma dari selisih 1 2 dan yang dinotasikan sebagai 2 = 1 2 − 2 = 1 2 2 10 − 1 1 2 = − 511 512 2 = 0.998 dan faktor perbesaran galat dihitung sebagai 2 � 2 = 0.998 2 −10 = 1022. Tabel 3.1 di bawah ini merupakan hasil numerik perhitungan galat dan faktor perbesaran galat yang dihasilkan pada setiap pemilihan parameter regularisasi dengan gangguan sebesar � = 0, 2 −10 . ½ 14 18 116 132 164 1128 1256 1512 0.998 0.887 0.474 0.049 0.456 0.709 0.849 0.923 0.961 � 1022 909 485 50 467 726 869 945 984 Tabel 3.1. Hasil Numerik Faktor Perbesaran Galat Dari tabel 3.1 terlihat bahwa penyelesaian terbaik dari sistem 3.2 yaitu saat memilih = 116 . Karena penyelesaian yang dihasilkan memuat galat sebesar 0.049 dan mempunyai faktor perbesaran galat sebesar 50. Pada contoh 3.3.1 telah dijelaskan mengenai bagaimana teknik regularisasi diterapkan untuk menyelesaikan masalah linier = �. Dari contoh tersebut teknik regularisasi digunakan untuk menekan pembesaran galat pada perhitungan −1 . Berdasarkan Teorema 2.6.2.2 bahwa