Restorasi gambar digital menggunakan inverse problem.
ABSTRAK
Pandu Arya Wijaya. 2014. Restorasi Gambar Digital Menggunakan
Inverse Problem. Skripsi. Program Studi Matematika, Jurusan Matematika,
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Topik yang dibahas dalam skripsi ini adalah aplikasi inverse problem
dalam restorasi gambar, terutama restorasi gambar digital. Inverse Problem
merupakan suatu metode penyelesaian masalah menggunakan invers dari permasalahan yang diselesaikan. Tulisan ini akan membahas bagaimana mengurangi efek kabur pada gambar digital dengan meminimalkan galat yang terjadi, sehingga diperoleh hasil restorasi yang memuat galat terkecil. Untuk itu, diperlukan suatu kontrol galat dengan cara menghitung besarnya norma pada gambar hasil restorasi. Dalam hal ini, teori matematika yang digunakan adalah
Singular Value Decomposition (SVD) dan model permasalahan inversnya adalah model gambar kabur. Model gambar kabur merupakan transformasi gambar asli berdasarkan operator pengaburan.
Model gambar kabur akan ditransformasi menjadi gambar yang lebih baik (noise minimum) dengan metode Truncated Singular Value Decomposition
(TSVD)dan metode Regularisasi Tikhonov.
Kata Kunci: restorasi gambar, inverse problem, norma, gambar kabur, Singular Value Decomposition, Truncated Singular Value Decomposition, Regularisasi Tikhonov.
(2)
ABSTRACT
Pandu Arya Wijaya. 2014. Digital Image Restoration Using Inverse
Problem. Thesis. Mathematics Study Program, Department of Mathematics,
Faculty of Science and Technology, Sanata Dharma University, Yogyakarta. The topic of this thesis is the application of inverse problems in image restoration, especially in digital image restoration. Inverse Problem is a problem solving method using inverse of problem being solved. This paper discuss how to reduce the blurring effect on digital image by minimizing the error, such that the restoration results obtained has a minimum error. For this purpose, we need to control the error by calculate the norm of image restoration. In this case, we need a mathematical theory so called Singular Value Decomposition (SVD) and the model of inverse problem is blurred image model. Blurred image model is an original image transformed by blurring operator.
The blurred image model will be transformed into a clearer image (with minimum noise) using Truncated Singular Value Decomposition (TSVD) method and Tikhonov regularization method.
Keywords: images restoration, inverse problem, norm, blurred image, Singular Value Decomposition, Truncated Singular Value Decomposition, Tikhonov regularization.
(3)
MENGGUNAKAN INVERSE PROBLEM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Disusun Oleh :
Pandu Arya Wijaya
NIM: 103114012
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
i
MENGGUNAKAN INVERSE PROBLEM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Disusun Oleh :
Pandu Arya Wijaya
NIM: 103114012
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(5)
ii
USING INVERSE PROBLEM
Thesis
Presented as Partial Fulfillment of the Requirements
to Obtain the Sarjana Sains Degree in Mathematics Study Program
Written By :
Pandu Arya Wijaya
Student Number: 103114012
MATHEMATICS STUDY PROGRAM MATHEMATICS DEPARTMENT FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
(6)
RESTORASI GAMBAR DIGITAL
MENGGI'NAKAN INVERSE PROBLEM SKRIPSI
Disusutr Oleh:
Pandu Arya Wijaya NIM: 103114012
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing Slripsi,
(Hadono, S.Si., M.Sc-, Ph.D) Taneeal
-
/3/d/
/2ol
<'
(7)
RESTORASI
GAMBAR
DIGITAL
MENGGTJNAKAI\I
NTVERSEPROBLEM
Dipersiapkan dan ditutis oleh : Patdu Arya Wiiaya
NIM: l03l
l,l0l2
Telab dipe alErkan di depan Paoitia P€nguji
psda
rugal 17 Des€oDber 2014dan dinyatakan telah m€metruhi syaiat
Susuan Panitia Penguji Nama I engkef
Ketua
: h. Ig. Ads Ilwiahoko, M.Sc.Sekretaris : Dr. rer-nat Horry Pdbar.,aoto Surlawa!. M.Si.
Anggota
: Harto.o, S.Si., M.Sc., Ph.D.SKRIPSI
Y os$klirt,- ...P-.... L?.2!.?:....? |
5
(8)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini adalah hadiah terindah Yesus Kristus untuk kado Natal 2014.
“Terpujilah TUHAN, karena Ia telah mendengar suara permohonanku. TUHAN adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku percaya.
Aku tertolong sebab itu beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku aku bersyukur
kepada-Nya”.
(Mazmur 28:6-7)
Karya ini aku persembahkan untuk:
Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus,
Papa, Mama dan Adikku tercinta,
Kekasih hatiku tersayang,
Teman-teman matematika angkatan 2010,
(9)
PER}TYATAAN
KEASLIAN
KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skipsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian
kfiya
ora[g lain, kecuali yang disebutkan dalam kutipan dan daffar pustaka, sebagaimana layaknya kaxya ilmiah.Yogyakart4 Desember 20 I 4
Penulis
v
(10)
vii
ABSTRAK
Pandu Arya Wijaya. 2014. Restorasi Gambar Digital Menggunakan
Inverse Problem. Skripsi. Program Studi Matematika, Jurusan Matematika,
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Topik yang dibahas dalam skripsi ini adalah aplikasi inverse problem
dalam restorasi gambar, terutama restorasi gambar digital. Inverse Problem
merupakan suatu metode penyelesaian masalah menggunakan invers dari permasalahan yang diselesaikan. Tulisan ini akan membahas bagaimana mengurangi efek kabur pada gambar digital dengan meminimalkan galat yang terjadi, sehingga diperoleh hasil restorasi yang memuat galat terkecil. Untuk itu, diperlukan suatu kontrol galat dengan cara menghitung besarnya norma pada gambar hasil restorasi. Dalam hal ini, teori matematika yang digunakan adalah
Singular Value Decomposition (SVD) dan model permasalahan inversnya adalah model gambar kabur. Model gambar kabur merupakan transformasi gambar asli berdasarkan operator pengaburan.
Model gambar kabur akan ditransformasi menjadi gambar yang lebih baik (noise minimum) dengan metode Truncated Singular Value Decomposition
(TSVD)dan metode Regularisasi Tikhonov.
Kata Kunci: restorasi gambar, inverse problem, norma, gambar kabur, Singular Value Decomposition, Truncated Singular Value Decomposition, Regularisasi Tikhonov.
(11)
viii
ABSTRACT
Pandu Arya Wijaya. 2014. Digital Image Restoration Using Inverse
Problem. Thesis. Mathematics Study Program, Department of Mathematics,
Faculty of Science and Technology, Sanata Dharma University, Yogyakarta. The topic of this thesis is the application of inverse problems in image restoration, especially in digital image restoration. Inverse Problem is a problem solving method using inverse of problem being solved. This paper discuss how to reduce the blurring effect on digital image by minimizing the error, such that the restoration results obtained has a minimum error. For this purpose, we need to control the error by calculate the norm of image restoration. In this case, we need a mathematical theory so called Singular Value Decomposition (SVD) and the model of inverse problem is blurred image model. Blurred image model is an original image transformed by blurring operator.
The blurred image model will be transformed into a clearer image (with minimum noise) using Truncated Singular Value Decomposition (TSVD) method and Tikhonov regularization method.
Keywords: images restoration, inverse problem, norm, blurred image, Singular Value Decomposition, Truncated Singular Value Decomposition, Tikhonov regularization.
(12)
LEMBAR PER}TYATAAN PERSf, TUJUAN
PUBLIKASI KARYA
ILMIAII
I]NTUK KEPENTINGAII AKADEMISYang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharna:
Nama : Pandu Arya Wijaya
NIM :103114012
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan karya ilmiah saya kepada Perpustakaan Univemitas Sanata Dharma yang bedudul:
RESTORASI GAMBAR DIGITAL
MENGGIJNAKAN IN\'ERSE PROBLEM
beserta perangkal yang diperlukao (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Uriversitas Sanata Dhaxma
hak
untuk
menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan dat4 mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannyadi
internetatau media lain untuk kepentingan akad€mis tanpa meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencal-up nama saya sebagai
penulis.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenaxnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tarygal: 7 Januari 2015 Yang menyatakan,
A
W
(13)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah
melimpahkan berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mendapatkan bantuan baik moril
maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Ibu Paulina Heruningsih Prima Rosa, S.Si., M.Sc., selaku Dekan Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma.
2. YG. Hartono, S.Si., M.Sc., Ph.D, selaku dosen pembimbing skripsi dan
Ketua Program Studi Matematika yang telah meluangkan banyak waktu
dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran.
3. Ir. Ig. Aris Dwiatmoko, M.Sc., selaku dosen pembimbing akademik.
4. Bapak, Ibu, dan Romo, dosen-dosen yang telah memberikan ilmu yang
berguna kepada penulis.
5. Kedua orang tua, Bapak Bambang Wijaya dan Ibu Tri Endang Hidrayani,
yang selalu mendukung penulis dengan doa, semangat, dan materi.
6. Teman-temanku: Arga, Ratri, Ayu, Tika, Astri, Sari, Dini, Celly, Leni,
Agnes, Yohan, Roy, Marsel, dan Yosi, terima kasih untuk canda tawa,
(14)
xi
7. Teman-teman 2009, 2011 dan 2012: Jojo, Indra, Bayu, Rian, Budi, Ega,
Happy, Tika terima kasih untuk doa, semangat, dan keceriaan yang selalu
diberikan kepada penulis.
8. Semua pihak yang telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun serta
menyempurnakan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan wawasan dan pengetahuan bagi pembaca.
Yogyakarta, Desember 2014
(15)
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INGGRIS ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR PROGRAM ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 8
D. Tujuan Penulisan ... 8
(16)
xiii
F. Metode Penulisan ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II LANDASAN TEORI ... 12
A. Aljabar Linier ... 12
2.1 Sistem Persamaan Linier Homogen ... 12
2.2 Ruang Vektor ... 13
2.3 Ortogonalitas ... 22
2.4 Nilai Eigen dan Vektor Eigen ... 34
2.5 Dekomposisi Nilai Singular ... 36
2.6 Norma Matriks dan Bilangan Kondisi ... 49
B. Kalkulus ... 65
2.7 Big-O ... 65
2.8 Fungsi Bernilai Vektor ... 66
BAB III INVERSE PROBLEM ... 70
A. Prinsip Dasar Inverse Problem ... 70
3.1 Kestabilan Algoritma pada Sistem ... 71
3.2 Eksistensi dan Ketunggalan Penyelesaian ... 75
B. Metode Regularisasi ... 85
3.3 Regularisasi ... 85
3.4 Regularisasi Tikhonov ... 91
BAB IV APLIKASI ... 94
A. Gambar Digital ... 94
(17)
xiv
4.2 Model Degradasi Gambar Digital ... 96
B. Restorasi Gambar menggunakan TSVD ... 98
C. Restorasi Gambar menggunakan Regularisasi Tikhonov ... 107
BAB V PENUTUP ... 117
A. Kesimpulan ... 117
B. Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 119
(18)
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Contoh Gambar Sebelum dan Sesudah Restorasi ... 3
Gambar 1.2 Contoh Gambar Sebelum dan Sesudah Restorasi ... 3
Gambar 1.3 Contoh Gambar Sebelum dan Sesudah Restorasi ... 3
Gambar 1.4 Koordinat Spasial ... 4
Gambar 1.5 Algoritma Inverse Problem ... 7
Gambar 2.1 Hubungan geometris di antara � dan �� ... 34
Gambar 3.1 Prosedur metode Inverse Problem ... 70
Gambar 4.1 Gambar Asli dan Gambar kabur ... 97
Gambar 4.2 Gambar Asli ... 101
Gambar 4.3 Gambar terkena efek motion ... 101
Gambar 4.4 Visualisasi Matriks Pengaburan ... 102
Gambar 4.5 Gambar Asli hasil Restorasi TSVD dengan �= 200 ... 103
Gambar 4.6 Grafik TSVD ... 104
Gambar 4.7 Grafik TSVD dengan axis([50 100 0 10]) ... 105
Gambar 4.8 Grafik TSVD dengan axis([70 75 5 6]) ... 105
Gambar 4.9 Grafik TSVD dengan axis([70 75 5.7 5.8]) ... 106
Gambar 4.10 Gambar hasil Restorasi TSVD dengan � = 74 ... 106
Gambar 4.11 Gambar hasil restorasi Tikhonov dengan � = 0.01 ... 111
Gambar 4.12 Grafik Regularisasi Tikhonov ... 112
(19)
xvi
dan axis([0 0.2 0 20]) ... 112
Gambar 4.14 Gambar Regularisasi Tikhonov dengan � ∈ 0.06 , 0.12
dan axis([0.06 0.12 6 8]) ... 113
Gambar 4.15 Gambar hasil restorasi regularisasi Tikhonov
dengan � = 0,0874 ... 113 Gambar 4.16 Hasil restorasi metode TSVD dan regularisasi Tikhonov ... 115
(20)
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
(21)
xviii
DAFTAR PROGRAM
Halaman
Program 4.1a ... 120
Program 4.1b ... 121
Program 4.2a ... 122
(22)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perkembangan teknologi dapat dikatakan sangat
berkembang pesat. Banyak peralatan elektronik yang diciptakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia, baik dari membantu pekerjaan sampai
memenuhi kebutuhan gaya hidup. Salah satu yang cukup berkembang
adalah perkembangan gambar digital. Istilah digital merujuk pada sinyal atau data yang dinyatakan sebagai rangkaian angka 0 dan 1. Gambar
digital, merupakan bentuk perwakilan visual dari sesuatu, karena gambar
digital dapat digunakan sebagai sarana untuk memberikan penjelasan
mengenai sesuatu. Makna visual yang diberikan gambar dapat
memberikan informasi dengan jelas, tanpa perlu ada penyampaian
informasi detail secara lisan. Karena alasan tersebut maka banyak
peralatan elektronik dikembangkan guna menghasilkan ketajaman gambar
yang lebih baik. Gambar dengan kualitas yang baik dapat memberikan
makna visual yang jelas, sehingga tidak memberikan kesalahan persepsi
bagi yang melihat.
Memanipulasi gambar tentunya bukan merupakan sesuatu yang aneh
lagi pada era modern seperti saat ini. Banyak gambar, seperti poster,
spanduk, foto dan sebagainya dapat memiliki kualitas ketajaman gambar
(23)
animasi-animasi menarik dari video dengan kualitas grafis yang mengagumkan.
Dan itu semua, tidak lain merupakan hasil dari perkembangan teknologi
yang sangat cepat dalam pemrosesan gambar digital.
Salah satu bidang dalam pemrosesan gambar digital yang cukup
populer adalah mengenai restorasi gambar. Restorasi berasal dari kata
restore yang artinya memperbaiki. Restorasi gambar adalah cara untuk memperoleh kembali gambar asli dari gambar yang telah terdegradasi
berdasarkan informasi dari model degradasi yang masuk akal. Kata
degradasi dalam tulisan ini, berasal dari istilah degradation yang artinya bentuk asli yang telah turun kualitasnya karena suatu penyebab tertentu.
Restorasi gambar mengambil peranan yang sangat penting dalam era
gambar digital, sebab telah diketahui bahwa peralatan optik digital seperti
kamera juga memiliki keterbatasan dalam menangkap gambar. Akibatnya,
gambar yang dihasilkan menjadi kabur atau dalam pemrosesan signal
disebut sebagai derau (noise). Adapun penyebab dari derau tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan alat maupun manusia. Gambar yang
mengandung derau sering kali membatasi informasi yang akan
disampaikan. Itu sebabnya, derau tersebut harus dihilangkan. Sebagai
contoh, di bawah ini terdapat beberapa gambar yang menunjukkan
perbandingan antara gambar sebelum dan sesudah dilakukan proses
(24)
Sebelum Sesudah
Sumber: image-restore.co.uk
Gambar 1.1.
Sebelum Sesudah
Sumber: carlmason-liebenberg.com
Gambar 1.2.
Sebelum Sesudah
Sumber: retouchphoto.net
(25)
Dari beberapa contoh di atas, terlihat bahwa proses restorasi dapat
merubah penampilan gambar menjadi lebih bagus dibandingkan dengan
gambar aslinya. Kemudian, dengan melakukan restorasi ternyata dapat
menghilangkan efek derau yang mengganggu kualitas gambar asli,
sehingga dapat dihasilkan gambar yang lebih jelas.
Untuk lebih memudahkan dalam melakukan proses restorasi, terlebih
dahulu pastikan gambar yang akan direstorasi sudah dalam bentuk digital,
jika belum dapat digunakan scanner untuk mengubah gambar kasar menjadi gambar digital. Gambar kasar merupakan gambar hasil karya
tangan manusia misalnya lukisan. Ketika sebuah gambar sudah diubah ke
dalam bentuk digital barulah proses restorasi dapat dimulai.
Gambar digital dapat didefinisikan sebagai fungsi dua variabel,
�( , ), dimana dan adalah koordinat spasial dan nilai �( , ) adalah intensitas (warna) gambar pada koordinat tersebut. Koordinat spasial
merupakan koordinat yang digunakan untuk merepresentasikan fakta dari
dunia nyata. Hal tersebut dapat diilustrasikan seperti pada gambar 1.4.
Sumber: anezblog.com
Gambar 1.4.
f(0,0)
f(0,y) f(x,y)
(26)
Namun dalam kondisi riil, terkadang didapatkan gambar yang mengalami
efek derau. Hal ini menyebabkan intensitas (warna) gambar pada setiap
koordinat spasial menjadi terganggu. Akibatnya, gambar yang dihasilkan
menjadi kabur.
Dalam usaha mengatasi kendala inilah, penulis menggunakan teknik
restorasi gambar digital menggunakan Inverse Problem. Untuk definisi
Inverse Problem sebenarnya belum diketahui secara pasti. Namun, penulis mencoba untuk memaparkan beberapa pendapat dari matematikawan
mengenai Inverse Problem. Menurut Julia Robinson (dalam C. W. Groetsch, 1999), Inverse Problem adalah “Here you were given a solution
and you had to find the equation”, artinya situasi dimana penyelesaian
suatu masalah telah diberikan dan harus ditemukan bagaimana
persamaannya. Menurut Per Christian Hansen (2010), “The inverse problem is to compute either the input or the system, given the other two
quantities”, artinya inverse problem adalah proses mendapatkan inputatau
sistem, saat diketahui dua kuantitas (dalam kasus ini adalah sistem dan
output). Dari uraian di atas, secara umum Inverse Problem diartikan sebagai suatu metode penyelesaikan masalah secara tidak langsung,
artinya penyelesaian masalah menggunakan invers dari permasalahan yang
akan diselesaikan.
Pertama kali inverse problem diperkenalkan oleh Hadamard sekitar awal abad ke-20 (seseorang yang bekerja dalam bidang
(27)
well-posed jika memenuhi tiga persyaratan. Pertama, existence yaitu suatu masalah harus memiliki penyelesaian. Kedua, uniqueness bahwa hanya akan ada tepat satu penyelesaian pada suatu masalah. Ketiga, stability
adalah penyelesaian yang didapat bergantung pada data, sehingga jika data
diberi gangguan sedikit maka tidak akan menimbulkan galat yang sangat
besar pada hasil. Jika terdapat satu dari tiga persyaratan yang tidak
dipenuhi, maka masalah dikatakan ill-posed.
Metode Inverse Problem bertujuan untuk mendapatkan suatu input yang tidak diketahui, berdasarkan informasi sistem dan output dari
masalah. Prinsip dariinverse problem ini sebenarnya merupakan pengembangan dari invers matriks yang dikenal dalam aljabar linier.
Dengan cara memandang permasalahan yang akan diselesaikan sebagai
bentuk matriks, misalkan matriks =�, dimana merupakan input dari masalah, merupakan sistem dari masalah, dan �merupakan output yang didapat dari masalah. Dari persamaan matriks tersebut, dapat ditentukan
matriks = −1�, dimana −1 merupakan invers dari matriks . Dengan menggunakan konsep tersebut maka inverse problem dapat juga diterapkan pada restorasi gambar digital, sehingga dapat diperoleh kembali
gambar asli yang kabur atau terdegradasi karena efek derau.
Secara umum,proses restorasi dapat dipandang sebagai persamaan
=�−1�, dimana � adalah gambar yang telah terdegradasi, �−1 adalah model transformasi untuk mengurangi efek derau pada �, dan adalah gambar hasil restorasi. Kemudian agar mendapatkan hasil optimal dalam
(28)
restorasi maka harus didapatkan �−1terbaik yang mampu meredam efek derau dari �. Untuk mengatasi masalah itu, penulis menggunakan metode
Truncated Singular Value Decomposition (TSVD) dan metode regularisasi Tikhonov. Skema berikut ini akan menjelaskan bagaimana alur algoritma
dari invers problem,
Gambar 1.5. Inverse problem adalah proses mendapatkan input, saat diketahui dua kuantitas (sistem dan output).
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini akan dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan metode Inverse Problem dan bagaimana landasan teoritiknya?
2. Bagaimana penerapan metode Inverse Problem pada proses restorasi gambar digital?
Inverse Problem
Input Sistem
(29)
3. Bagaimana algoritma dan pemrograman MATLAB pada proses
restorasi gambar digital?
C. Pembatasan Masalah
Penulis akan membatasi beberapa hal untuk uraian masalah yang akan
dibahas, yaitu:
1. Tulisan ini dibatasi pada proses editing dengan restorasi untuk
menghilangkan efek derau pada gambar.
2. Data yang digunakan berupa foto atau gambar yang mengalami derau.
3. Metode dalam Inverse Problem yang digunakan adalah metode
Truncated Singular Value Decomposition (TSVD) dan Regularisasi Tikhonov untuk menghilangkan efek derau dan meningkatkan
ketajaman gambar pada data yang disediakan.
4. Gambar yang direstorasi berupa gambar grayscale.
D. Tujuan Penulisan
Tulisan ini disusun dengan tujuan agar dapat lebih memahami salah
satu teknik restorasi yang sering digunakan dalam restorasi gambar digital.
Terlebih lagi, akan dipelajari juga prinsip Truncated Singular Value Decomposition (TSVD) dan Regularisasi Tikhonov untuk restorasi gambar digital. Selain itu, akan dipelajari juga bagaimana penerapan
(30)
prinsip-prinsip restorasi gambar digital tersebut dalam pemrograman MATLAB.
Tulisan ini juga disusun sebagai pemenuhan tugas akhir dalam Program
Studi Matematika Universitas Sanata Dharma.
E. Manfaat Penelitian
Dengan mempelajari topik ini kita dapat mempelajari kegunaan
Inverse Problem dalam proses restorasi gambar digital. Kita juga dapat mempelajari prinsip Truncated Singular Value Decomposition (TSVD) dan Regularisasi Tikhonov dalam restorasi gambar digital. Terlebih lagi,
kita juga dapat menerapkan metode tersebut dalam algoritma dan
pemrograman MATLAB sehingga proses restorasi dapat lebih mudah
dilakukan.
F. Metode Penulisan
Penulisan menggunakan metode studi pustaka, yaitu dengan
mempelajari buku dan jurnal yang berkaitan dengan topik Inverse Problem, teknik Truncated Singular Value Decomposition (TSVD) dan Regularisasi Tikonov dalam proses restorasi gambar digital.
(31)
G. Sistematika Penulisan
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Tujuan Penulisan
E. Manfaat Penulisan
F. Metode Penulisan
G. Sistematika Penulisan
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Aljabar Linier
B. Kalkulus
BAB III. INVERSE PROBLEM
A. Prinsip Dasar Inverse Problem
B. Metode Regularisasi
BAB IV. APLIKASI
A. Gambar Digital
B. Restorasi Gambar menggunakan TSVD
(32)
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
(33)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Aljabar Linier
Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai teori-teori aljabar linier
yang akan digunakan sebagai landasan pembahasan pada bab-bab
berikutnya.
2.1 Sistem Persamaan Linier Homogen
Sebuah himpunan berhingga dari persamaan-persamaan linier dalam
peubah 1, 2,…, dinamakan sistem persamaan linier (SPL). Sebuah
sistem persamaan-persamaan linier dikatakan homogen jika ruas kanan
pada sistem persamaan tersebut adalah sama dengan nol, yakni sistem
yang mempunyai bentuk
11 1 + 12 2 + + 1 = 0
21 1 + 22 2 + + 2 = 0
1 1 + 2 2 + + = 0
(34)
Teorema 2.1.1
Misalkan matriks × dan adalah taksingular jika dan hanya jika
= mempunyai penyelesaian trivial 0.
Bukti:
→ Jika taksingular dan ′ adalah penyelesaian dari = , maka
′ =� ′ = −1 ′ = −1 ′ = −1 = .
← Jika = mempunyai penyelesaian ′ = , maka ′ = −1 = . Sehingga haruslah matriks taksingular.
2.2 Ruang Vektor
Himpunan yang dilengkapi dengan operasi penjumlahan dan
perkalian dengan skalar disebut sebagai ruang vektor, jika memenuhi aksioma-aksioma berikut dipenuhi.
A1. + = + untuk setiap dan y di .
A2. + + = + + untuk setiap , , di .
A3. Terdapat elemen di sehingga + = untuk setiap . A4. Untuk setiap terdapat − elemen di , sehingga
+ − = .
A5. + = + untuk setiap ℝ dan setiap dan y di . A6. + = + untuk setiap skalar dan dan setiap . A7. = untuk setiap skalar dan dan setiap . A8. 1. = untuk setiap .
(35)
A9. Jika dan ℝ, maka . A10. Jika , , maka + .
Contoh 2.2.1
Himpunan matriks berukuran × , dinotasikan × merupakan ruang vektor terhadap operasi penjumlahan matriks biasa serta perkalian dengan
skalar.
2.2.1 Ruang bagian Definisi 2.2.1.1
disebut ruang bagian dari , jika adalah subhimpunan tak kosong dari suatu ruang vektor dan memenuhi
jika untuk sembarang skalar ℝ
+ jika dan .
Contoh 2.2.1.2
Misalkan =
1 2 3
1 = 2 . Maka adalah ruang bagian dari ℝ3,
sebab
i Jika , maka harus berbentuk =
2 2 3
(36)
= 2 2 3 = 2 2 3
. Karena 1 = 2, berarti .
ii Jika , , maka dan harus berbentuk
=
2 2 3
dan =
2 2 3 sehingga + = 2 2 3 + 2 2 3 =
2 + 2
2 + 2
3 + 3
.
Karena 1+ 1 = 2+ 2, berarti + .
2.2.1.3 Kernel dari matriks
Misalkan adalah matriks × dan merupakan himpunan semua penyelesaian sistem = yang membentuk ruang bagian dari
ℝ . Ruang bagian disebut kernel (ruang nol), yang ditulis sebagai
= ℝ = .
Teorema 2.2.1.4
adalah ruang bagian dari ℝ .
Bukti:
Jika dan suatu skalar, maka
(37)
sehingga . Jika dan adalah elemen-elemen dari , maka
+ = + = + =
akibatnya + . Karena dan + , berarti
adalah ruang bagian dari ℝ .
2.2.2 Kebebasan Linier
Sebuah vektor disebut sebagai kombinasi linier dari vektor-vektor
1, 2,… jika vektor tersebut dapat dituliskan dalam bentuk
= 1 1+ 2 2+ +
dimana 1, 2,…, adalah skalar. Himpunan semua kombinasi linier dari
1, 2,… disebut rentang dari 1, 2,… .
Definisi 2.2.2.1
Himpunan 1, 2,… disebut himpunan perentang untuk jika dan
hanya jika setiap vektor dalam dapat ditulis sebagai kombinasi linier
dari 1, 2,… .
Definisi 2.2.2.2
Himpunan 1, 2,… dikatakan bebas linier jika kombinasi linier
1 1+ 2 2+ + = 0
(38)
2.2.3 Basis dan Dimensi Definisi 2.2.3.1
Vektor-vektor 1, 2,…, yang bebas linear dan merentang pada ruang
vektor disebut sebagai basis dan banyaknya vektor dalam basis pada ruang vektor dikatakan sebagai dimensi.
Contoh 2.2.3.2
Tentukan dari matriks
= 1 1 1 0
2 1 0 1
dan kemudian tentukan basis dan dimensi dari yang diperoleh.
Penyelesaian:
Dengan menggunakan proses eliminasi Gauss untuk menyelesaikan
= , diperoleh
1 1 1 0
2 1 0 1
0 0
2+ −2 1
10 −11 −12 01 00
1 1 1 0
0 −1 −2 1 0 0
1+ 2
10 −01 −−12 1100
sehingga
1 0 −1 1
0 −1 −2 1 0 0
−1 2
10 01 −21 −11 00
Bentuk eselon baris tersebut melibatkan dua peubah bebas, 3 dan 4
(39)
1 = 3 − 4
2 =−2 3+ 4
kemudian jika didefinisikan 3 = dan 4 = , maka
=
− −2 +
= 1 −2 1 0 + −1 1 0 1
adalah penyelesaian dari = .
Jadi, adalah semua vektor yang berbentuk
1 −2 1 0 + −1 1 0 1
dimana , ℝ.
Dari hasil tersebut terlihat bahwa adalah ruang bagian dari ℝ4 yang direntang vektor-vektor 1 −2 1 0 dan −1 1 0 1 .
Selain itu kedua vektor tersebut juga bebas linear, akibatnya vektor-vektor
tersebut membentuk basis untuk . Dan karena mempunyai 2 vektor dalam basis , berarti dimensi dari = 2.
(40)
2.2.4 Ruang Baris dan Ruang Kolom Definisi 2.2.4.1
Jika adalah matriks × , maka ruang bagian dari ℝ yang direntang oleh vektor-vektor baris dari disebut ruang baris dari , sedangkan ruang bagian dari ℝ yang direntang oleh vektor-vektor kolom dari disebut ruang kolom dari .
Contoh 2.2.4.2
Misalkan = 1 0 0
0 1 0 , maka tentukan ruang baris dan ruang kolom
dari .
Penyelesaian:
Ruang baris dari adalah himpunan semua vektor yang berbentuk
1,0,0 + 0,1,0 = , , 0
dan ruang kolom dari adalah himpunan semua vektor yang berbentuk
1 0 +
0 1 +
0
0 = .
Misalkan adalah matriks × , vektor � ℝ berada di dalam ruang kolom dari jika dan hanya jika �= untuk ℝ . Maka, ruang kolom dari dapat dinyatakan sebagai ,
= � ℝ �= untuk ℝ , dan ruang kolom dari dinyatakan sebagai
(41)
= ℝ = untuk ℝ .
Ruang kolom dari sesungguhnya sama dengan ruang baris dari . Jadi jika dan hanya jika berada di dalam ruang baris dari . Selanjutnya akan diperlihatkan bahwa dan adalah ruang bagian dari ℝ .
(i) Jika � dan suatu skalar, maka untuk ℝ
�= =
sehingga � . Jika �1 dan �2 adalah elemen-elemen dari
, maka untuk 1+ 2 ℝ
�1+�2 = 1+ 2 = 1+ 2
akibatnya �1+�2 . Karena � dan �1+�2
, berarti adalah ruang bagian dari ℝ .
(ii)Jika dan suatu skalar, maka untuk ℝ
= =
sehingga . Jika 1 dan 2 adalah elemen-elemen dari
, maka untuk 1+ 2 ℝ
1+ 2 = 1+ 2 = 1+ 2
akibatnya 1+ 2 . Karena dan 1+ 2
(42)
Teorema 2.2.4.3
Dua matriks yang ekivalen baris memiliki ruang baris yang sama.
Bukti:
Jika matriks ekivalen baris dengan matriks , maka dapat dibentuk
dari dengan operasi baris yang berhingga banyaknya. Ini berarti
vektor-vektor baris dari harus merupakan kombinasi linear dari vektor-vektor-vektor-vektor
baris dari . Akibatnya, ruang baris dari harus merupakan ruang bagian
dari ruang baris . Karena matriks ekivalen baris dengan matriks ,
maka dengan alasan yang sama, ruang baris dari adalah ruang bagian
dari ruang baris .
Definisi 2.2.4.4
Rank dari suatu matriks adalah dimensi dari ruang baris .
Contoh 2.2.4.5
Misalkan
=
1 −2 3
2 −5 1
1 −4 −7
Dengan mereduksi menjadi bentuk eselon baris, diperoleh
=
1 −2 3
0 1 5
(43)
sehingga 1,−2,3 dan 0,1,5 membentuk basis untuk ruang baris . Karena dan ekivalen baris, maka menurut Teorema 2.2.4.3 matriks
memiliki ruang baris yang sama sehingga rank dari adalah 2.
2.3 Ortogonalitas
2.3.1 Ruang Hasil Kali Dalam Definisi 2.3.1.1
Hasil kali dalam pada ruang vektor riil adalah fungsi yang mengasosiasikan bilangan riil , dengan vektor dan pada , sedemikian sehingga aksioma-aksioma berikut terpenuhi untuk semua
, , di dan semua skalar , di ℝ:
(i) , 0; dan , = 0 jika dan hanya jika = 0. (ii) , = , untuk setiap dan di dalam .
(iii) + , = , + , untuk setiap , , di dalam dan setiap skalar , .
Sebuah ruang vektor yang dilengkapi dengan sebuah hasil kali
dalam disebut ruang hasil kali dalam. Salah satu contoh dari ruang hasil kali dalam adalah ruang vektor ℝ , dimana hasil kali dalam baku untuk
ℝ dihitung sebagai hasil kali skalar
(44)
Definisi 2.3.1.2
Dua vektor dan dikatakan ortogonal jika , = 0, yang dinotasikan sebagai ⊥ .
Definisi 2.3.1.3
Sebuah ruang vektor dikatakan ruang linier bernorma jika untuk setiap vektor dikaitkan dengan sebuah bilangan riil yang disebut norma
dari yang memenuhi:
(i) 0.
(ii) = 0 jika dan hanya jika = . (iii) = � v untuk setiap ℝ.
(iv) + + untuk setiap dan di .
Teorema 2.3.1.4
Jika sebuah ruang hasil kali dalam, maka
= , untuk setiap mendefinisikan sebuah norma pada .
Bukti:
(i) Karena nilai dari = , 0, berarti nilai terkecil yang mungkin hanyalah = .
(45)
(ii) Jika = , maka 2 = , = , = 0. Jadi = 0.
Kemudian jika = , = , = 0, berarti haruslah = .
(iii) 2 = , = 2 , = 2. Jadi, = .
(iv) + 2 = + , +
= , + 2 , + ,
2+ 2 + 2 (ketaksamaan Cauchy-Schwarz)
= + 2
Jadi, + +
Kemudian dapat didefinisikan beberapa norma yang berbeda pada
ruang vektor yang diberikan. Seperti, di ℝ kita dapat mendefinisikan
2 = 2 =1
1 2
= , =
disebut sebagai norma-2 vektor. Selain itu, norma lainnya yang penting pada ℝ adalah
(46)
Bukti:
(i) Untuk 1 , 0 sehingga max1 . Akibatnya,
max1 = ∞ 0.
(ii)Jika ∞ = 0, maka max1 = 0. Karena maksimal dari
= 0, = 1,2,…, berarti 1 = 2 = = = 0, akibatnya
= 0 0 0
sehingga = . Oleh karena itu haruslah suatu vektor nol. Jika = , berarti 1 = 2 = = = 0. Akibatnya
max1 = 0 sehingga ∞ = 0.
(iii) ∞ = max1 = max1 = ∞.
(iv) + ∞ = max1 +
max
1 + max1
∞+ ∞.
Berdasarkan bukti di atas ∞ memenuhi definisi sebagai norma, maka
(47)
Contoh 2.3.1.5
Misalkan adalah vektor 4,−5,3 di ℝ3. Hitunglah 2 dan ∞.
2 = 16 + 25 + 9 = 50 = 5 2.
∞ = max 4 , −5, 3 = 5.
Teorema 2.3.1.6 (Ketaksamaan Cauchy-Schwarz)
Jika dan adalah vektor-vektor di dalam sebuah ruang hasil kali dalam
, maka
,
Bukti:
Jika = maka , = = 0, sehingga ketaksamaan berlaku. Jika ≠ , untuk setiap bilangan � ℝ nilai
� + � + 0 , �2+ 2 , �+ , 0
merupakan fungsi kuadrat dalam � sehingga haruslah � 0. Ini berarti fungsi kuadrat tersebut tidak mempunyai akar berbeda. Oleh karena ini,
diskriminannya tidak mungkin positif, sehingga
4 , 2−4 , , 0
atau
4 , 2 4 , ,
(48)
, 2 2 2
dengan mengambil akar dari kedua ruas diperoleh
, .
2.3.2 Ruang Bagian Ortogonal
Vektor dan himpunan = 1, 2, . . , adalah ortogonal jika
terdapat dan untuk setiap berlaku , = 0. Dan apabila dan ortogonal, dinotasikan sebagai ⊥ .
Definisi 2.3.2.1
Dua ruang bagian dan dari ℝ dikatakan ortogonal jika , = 0
untuk setiap dan setiap , dan apabila dan ortogonal ditulis
⊥ .
Misalkan adalah matriks × dan misalkan ( ). Karena
= sehingga
1 1+ 2 2+ + = 0
untuk = 1,2,…, . Persamaan tersebut menunjukkan bahwa ortogonal pada setiap vektor kolom dari , maka ortogonal ke setiap kombinasi
linier dari vektor-vektor kolom . Sehingga jika adalah vektor kolom
(49)
ortogonal terhadap setiap vektor di dalam ruang kolom , yang ditulis
sebagai ⊥ . Jika dua ruang bagian memiliki sifat ini, maka dapat dikatakan bahwa ruang bagian tersebut adalah ortogonal.
Definisi 2.3.2.2
Misalkan 1, 2,…, adalah vektor-vektor di dalam sebuah ruang hasil
kali dalam . Jika semua pasangan vektor , = 0, dimana ≠ , maka
1, 2,…, disebut sebagai himpunan ortogonal.
Definisi 2.3.2.3
Misalkan adalah ruang bagian dari ℝ . Himpunan semua vektor-vektor di dalam ℝ yang ortogonal pada setiap vektor di akan dinotasikan dengan ⊥,
⊥ = ℝ , = 0 untuk setiap . Himpunan ⊥ disebut komplemen ortogonal dari .
2.3.2.4 Ruang-Ruang Bagian Pokok (Fundamental Subspaces)
Telah dijelaskan bahwa ⊥ , selanjutnya akan diperlihatkan bahwa sebenarnya merupakan komplemen ortogonal dari .
(50)
Teorema 2.3.2.5
Jika adalah sebuah matriks × , maka = ⊥ dan =
⊥.
Bukti:
Diketahui bahwa ⊥ , sehingga ⊂ ⊥. Ambil sebarang vektor di ⊥. Berdasarkan definisi komplemen ortogonal maka ortogonal pada setiap vektor kolom dari , akibatnya = .
Padahal = ℝ = .
Jadi haruslah menjadi sebuah elemen dari , yaitu = ⊥. Secara khusus, hasil ini juga berlaku untuk matriks = . Jadi
= = ⊥ = ⊥.
2.3.3 Masalah Kuadrat Terkecil
Masalah kuadrat terkecil pada umumnya dapat dirumuskan sebagai
sebuah sistem kelebihan persamaan linier, yaitu sistem yang memiliki
lebih banyak persamaan daripada peubah. Sistem yang seperti ini biasanya
tidak mempunyai penyelesaian. Misalkan diberikan sebuah sistem ×
yaitu = � dengan > , kemudian penyelesaian dari sistem tersebut adalah mencari sebuah vektor ℝ sehingga sama dengan �. Berarti vektor yang didapat untuk harus sedekat mungkin dengan �.
Diberikan sistem =�. Untuk setiap ℝ dapat dihitung sebuah selisih antara � dan sebagai
(51)
� =� −
dan jarak antara � dan diberikan sebagai
� − = � .
Untuk mendapatkan vektor ℝ yang terbaik dalam mendekati �, maka harus dicari nilai � yang paling minimum. Sebuah vektor yang memenuhi ini disebut sebagai penyelesaian kuadrat terkecil untuk sistem
= �.
Teorema 2.3.3.1
Jika adalah matriks × yang memiliki rank , maka persamaan normal
= �
mempunyai sebuah penyelesaian tunggal
′ = −1�
dimana ′ adalah penyelesaian kuadrat terkecil yang tunggal dari sistem
= �.
Bukti:
Akan ditunjukkan bahwa adalah taksingular. Misalkan adalah
penyelesaian untuk = , berarti . Sehingga
1 1+ 2 2+ + = 0
menunjukkan bahwa ortogonal pada setiap vektor kolom dari , maka
(52)
Akibatnya ortogonal terhadap ( ), maka = ⊥. Karena dan ⊥ adalah ruang bagian yang ortogonal, berarti
∩ ⊥ dan ⊥ ⊥, maka = 0 sehingga = . Jika mempunyai rank maka vektor-vektor kolom dari adalah bebas linear, sehingga = akan mempunyai penyelesaian trivial. Jadi = dan = juga mempunyai penyelesaian trivial. Berdasarkan Teorema 2.1.1, adalah taksingular.
Ini mengakibatkan bahwa ′ = −1 � adalah penyelesaian tunggal untuk persamaan = �, sehingga ′ merupakan penyelesaian kuadrat terkecil yang tunggal untuk sistem
= �.
2.3.4 Himpunan Ortonormal Definisi 2.3.4.1
Himpunan ortogonal yang setiap vektornya mempunyai norma 1 disebut
sebagai himpunan ortonormal.
Himpunan 1, 2,…, akan menjadi ortonormal jika dan hanya
jika
, = ,
dimana = 1 jika = 0 jika ≠ .
(53)
Untuk membentuk sebuah himpunan ortonormal dari himpunan ortogonal
vektor-vektor taknol 1, 2,…, dapat dilakukan dengan
mendefinisikan
= 1
=
1
. = 1 untuk = 1,2,…
Proses pengalian vektor taknol ini dengan kebalikan panjangnya untuk
mendapatkan vektor yang normanya 1 dinamakan menormalisasikan .
Definisi 2.3.4.2
Suatu basis yang anggota-anggotanya saling ortogonal dan masing-masing
memiliki norma 1 disebut basis ortonormal.
Definisi 2.3.4.3
Matriks yang berukuran × disebut sebagai matriks ortogonal, jika vektor-vektor kolom dari membentuk sebuah himpunan ortonormal di
dalam ℝ .
2.3.4.4 Sifat-sifat Matriks Ortogonal
Jika adalah matriks ortogonal × , maka (i) =�
(ii) = −1
(iii) , = ,
(54)
Bukti:
(i) Berdasarkan definisi 2.3.4.1, sebuah matriks yang berukuran ×
adalah ortogonal jika dan hanya jika vektor-vektor kolom dari
membentuk sebuah himpunan ortonormal, yaitu
, = =
dimana = 1 jika = 0 jika ≠ .
Dan dari perhitungan , akan menghasilkan nilai-nilai untuk entri , , ( = 1,2, . . dan = 1,2,…, ) dari sehingga
=
1 0 0 0 0
0 1 0 0 0
0 0 1 0 0
⋱
0 0 0 1
= � .
(ii) Berdasarkan sifat (i) =� maka =� −1, sehingga = −1.
(iii) , = = = � = = , .
(iv) 2 = , = = = � = = , = 2.
(55)
2.4 Nilai Eigen dan Vektor Eigen
Apabila sebuah matriks berukuran × dan sebuah vektor ℝ , maka biasanya tidak ada hubungan geometris di antara vektor dan vektor
(Gambar 2.1a). Akan tetapi, ada beberapa vektor taknol , sehingga
dan merupakan kelipatan satu sama lainnya (Gambar 2.1b).
Vektor-vektor tersebut muncul secara alami dalam telaah getaran, sistem elektris,
genetik, reaksi kimia, mekanika kuanturm, tekanan mekanis, ekonomi dan
geometris. Pada bagian ini akan ditunjukkan bagaimana mencari
vektor-vektor ini.
(a) (b)
Gambar 2.1. Hubungan geometris di antara dan
Definisi 2.4.1
Misalkan adalah matriks berukuran × . Skalar � disebut sebagai nilai eigen dari , jika terdapat vektor tak nol sehingga =� . Vektor disebut vektor eigen yang bersesuaian dengan �.
A
x
x
A
x
(56)
Contoh 2.4.2
Diberikan matriks = 3 0
8 −1 , maka = 1
2 merupakan vektor eigen
dari matriks . Sebab merupakan kelipatan dari , yaitu
= 3 0
8 −1 1 2 =
3 6 = 3
1 2 = 3
Dari persamaan ini terlihat bahwa � = 3 merupakan nilai eigen dari matriks .
Untuk dapat mencari nilai eigen dari matriks persegi , perlu
diperhatikan kembali definisi nilai eigen dan vektor eigen, bahwa bentuk
= � dapat ditulis sebagai
=��
− �� =
− �� = ,
dimana � adalah matriks identitas yang mempunyai bentuk
�=
1 0 0 0
0 1 0 0
0 0 1 0
⋱
0 0 0 0 1
.
Agar � menjadi nilai eigen, maka harus ada penyelesaian tak nol dari persamaan − �� = . Sehingga persamaan tersebut akan mempunyai penyelesaian tak nol jika dan hanya jika
det − �� = 0.
Jika det − �� = 0 diuraikan, akan didapatkan suatu polinomial berderajat ke- dalam peubah �,
(57)
� � = det − �� .
Polinomial ini disebut polinomial karakteristik dan � � = det − ��
tersebut disebut sebagai persamaan karakteristik dari matriks .
Contoh 2.4.3
Carilah nilai-nilai eigen dari matriks
= 1 1
4 1
Penyelesaian:
Polinomial karakteristik dari matriks adalah
det − �� = det 1 1 4 1 − �
0
0 � = det
1− � 1
4 1− � = 1− � 2−4.
Dan persamaan karakteristik dari matriks adalah
�2−2� −3 = 0,
dengan memfaktorkan �2−2� −3 = 0, diperoleh
� −3 �+ 1 = 0
sehingga penyelesaian dari persamaan ini adalah �1 = 3 dan �2 =−1. Jadi, nilai-nilai eigen dari matriks tersebut adalah �1 = 3 dan �2 =−1.
2.5 Dekomposisi Nilai Singular (Singular Value Decomposition)
Dekomposisi nilai singular merupakan suatu teknik pemfaktoran
matriks yang berkaitan erat dengan nilai singular dari sebuah matriks yang
(58)
Teorema 2.5.1
Misalkan adalah matriks × dan �= min , . Maka terdapat basis ortonormal 1, 2,…, untuk ℝ , 1, 2,…, untuk ℝ dan
skalar-skalar �1 �2 �� > 0, sehingga mempunyai suatu dekomposisi nilai singular, = Λ ,
dengan Λ adalah matriks × yang berbentuk
Λ=
σ1 0
⋱
0 σ
0 0
⋱
0 0
jika > = �, atau
Λ=
σ1 0
⋱
0 σ
0 0
⋱
0 0
jika �= < , atau
Λ=
σ1 0 0 0
0 σ2 0 0
⋱
0 0 0 σ�
jika = =�,
= 1, 2,…, adalah matriks ortogonal × , dan
= 1, 2,…, adalah matriks ortogonal × dan Λ merupakan matriks diagonal yang entrinya nilai-nilai singular.
Bukti:
adalah matriks simetris berukuran × , yaitu matriks persegi yang elemen-elemennya simetri terhadap diagonal utama. Misalkan � adalah nilai eigen dari dan adalah vektor eigen yang bersesuaian dengan �.
(59)
Dengan menggunakan Teorema 2.3.1.4, 2 = 2 =
2 = = = �
karena � merupakan suatu skalar, berlaku
2 = � = � = � 2
akibatnya
� =
2
2 0.
Asumsikan bahwa kolom-kolom dari tersusun terurut sehingga
nilai-nilai eigen yang bersesuaian memenuhi
�1 �2 � 0.
dan nilai-nilai singular dari matriks diberikan oleh
� = � , = 1,2,…, .
Misalkan � merupakan rank dari . Karena matriks simetris maka ranknya ditentukan dari banyaknya nilai eigen taknol dari . Jadi
�1 �2 �� > 0 dan ��+1 =��+2 = =� = 0
sehingga matriks juga mempunyai rank �. Dan hubungan yang sama juga berlaku bagi nilai-nilai singularnya
�1 �2 �� > 0 dan ��+1 = ��+2 = = � = 0
Sekarang, misalkan 1 = 1, 2,…, � dan 2 = �+1, �+2,…,
dan
Λ1 =
σ1 0 0 0
0 σ2 0 0
0 0 ⋱ 0
(60)
Jadi Λ1 adalah matriks diagonal �×� yang entri-entri diagonalnya adalah nilai-nilai singular taknol σ1,…,σ�. Selanjutnya matriks Λ × dapat dinyatakan oleh
Λ= Λ1 .
Vektor-vektor dari 2 adalah vektor-vektor eigen dari untuk �= 0, sehingga
= , =�+ 1,…,
dan akibatnya, vektor-vektor kolom dari 2 membentuk basis ortonormal
untuk = . Dengan demikian,
2 =
dan karena adalah matriks ortogonal, maka
� = = 1 1 + 2 2
= �= 1 1 + 2 2 = 1 1 . 2.1
Kemudian akan dibuktikan bahwa matriks ortogonal berorde ×
memenuhi
= Λ ↔ = Λ 2.2
dan dengan membandingkan � kolom-kolom pertama dari setiap ruas dari
2.2 , diperoleh
= � , = 1,…,�
sehingga
= 1
(61)
akibatnya
1 = 1,…, �
dan berdasarkan hal itu, maka
1 = 1Λ1. 2.4
Vektor-vektor kolom dari 1 akan membentuk suatu himpunan ortonormal
karena
= 1
�
1
� 1 �, 1 �
= 1
� �
= 1
� � � �
= 1
� � �2
= �
2
� �
=�
� =
Dari persamaan 2.3 maka setiap , 1 � berada dalam ruang kolom dan dimensi dari ruang kolom tersebut adalah �, sehingga
1,…, � membentuk basis ortonormal untuk . Berarti ruang vektor
= ⊥ mempunyai dimensi − �. Misalkan �+1,…,
adalah basis ortonormal untuk dan
2 = �+1,…,
(62)
Karena 1,…, � dan �+1,…, membentuk basis ortonormal, berarti kita dapat menuliskan 1,…, �, �+1,…, sebagai kombinasi
linear
1 1+ + � � + �+1 �+1 + + = 0
sehingga 1,…, akan membentuk basis ortonormal untuk ℝ . Akibatnya adalah matriks ortogonal, dan dari persamaan 2.1 dan 2.4
diperoleh
Λ = 1 2 = Λ1 1 2
= Λ1 1
= 1 1 = .
Contoh 2.5.2
Tentukan dekomposisi nilai singular dari matriks
=
1 1
1 1
0 0
Penyelesaian:
Langkah 1: akan dihitung
= 1 1 0
1 1 0
1 1
1 1
1 0
= 2 2
2 2 .
Langkah 2: mencari nilai-nilai eigen dan nila-nilai singular dari . Dengan menerapkan persamaan karakteristik,
(63)
� � = det 2− � 2
2 2− � = 2− �
2−4 = 4−4�+�2−4 = 0
�2−4�= � � −4 = 0
didapatkan nilai-nilai eigen �1 = 4 dan �2= 0. Akibatnya nilai-nilai singular dari , adalah �1 = �1 = 2 dan �2 = �2 = 0.
Langkah 3:mencari vektor-vektor eigen dari dan kemudiaan membentuk matriks .
Dari nilai-nilai eigen yang telah diperoleh, dapat dicari vektor eigen yang
bersesuaian dengan �.
Untuk �1 = 4,
dengan mensubstitusikan nilai �1 ke − ��, diperoleh
−4� = 2−4 2
2 2−4 = −
2 2
2 −2 .
Kemudian agar mendapatkan vektor eigen dari �1, harus dihitung bahwa
− �1� = ,
−22 −22
2 =
0 0
dan bentuk matriks diperbesar sistem tersebut dapat dinyatakan sebagai
−22 −22 00 .
kemudian dengan menggunakan eliminasi Gauss diperoleh
−22 −2200 − 1 2 1
12 −−12 00 −2 1+ 2
(64)
Dari bentuk eselon baris didapat bahwa − 2 = 0 atau = 2,
sehingga
=
2 =
2
2 = 2
1 1
Jadi, vektor-vektor eigen dari �1 mempunyai bentuk 2 1
1 , 2 ℝ.
Dengan proses normalisasi dapat dibentuk 1 sebagai
1 = = 2
2 2 1 2 = 1 1 2 = 1 2 1 1 = 1 2 1 2 = 2 2 2 2
Untuk �2 = 0,
dengan mensubstitusikan nilai �2 ke − ��, diperoleh
−0�= 2−0 2
2 2−0 =
2 2 2 2 .
Kemudian agar mendapatkan vektor eigen dari �2, harus dihitung bahwa
− �2� = ,
2 2
2 2 2 =
0 0
dan bentuk matriks diperbesar sistem tersebut dapat dinyatakan sebagai
2 2
2 2
0 0
kemudian dengan menggunakan proses eliminasi Gauss diperoleh
2 2 2 2 0 0 1 2 1
12 12 00 2+ −2 1
(65)
Dari bentuk eselon baris didapat bahwa + 2 = 0 atau = − ,
sehingga
=
2 =
1
− 1 = 1
1
−1
Jadi, vektor-vektor eigen dari �2 mempunyai bentuk 1 1
−1 , 1 ℝ.
Dengan proses normalisasi dapat dibentuk 2 sebagai
2 = = 2
2 2 1 2 = 1 −1 2 = 1 2 1
−1 = 1 2 − 1 2 = 2 2
− 22
.
Dari vektor 1 dan 2 yang diperoleh dapat dibentuk matriks
= 1, 2 =
2 2 2 2 2 2
− 22
Langkah 4: menentukan ruang baris dari
=
1 1
1 1
0 0
Dengan mereduksi menjadi bentuk eselon baris, maka didapatkan
(66)
=
1 1
0 0
0 0
sehingga 1,1 membentuk basis untuk ruang baris dari . Karena dan ekivalen baris, maka matriks memiliki ruang baris yang sama sehingga
rank dari adalah 1.
Langkah 5: menentukan matriks
Dari langkah 4, diketahui bahwa matriks mempunyai rank 1 sehingga dapat dibentuk basis ortonormal untuk . Dengan menggunakan persamaan 2.3 , diperoleh
1 =
1
�1 1
=1 2 1 1 1 1 0 0 2 2 2 2 = 1 2 2 2 0 = 2 2 2 2 0 .
Untuk mencari vektor-vektor kolom yang lain, maka harus dibentuk suatu
basis ortonormal untuk . Karena itu perlu ditunjukkan bahwa vektor-vektor kolom dari
= 1 1 0
1 1 0 ,
membentuk basis untuk , sehingga
1 1 0
1 1 0
0 0
−1 1+ 2
10 10 0000 .
Bentuk eselon baris tersebut melibatkan dua peubah bebas 1 dan 3
(67)
misalkan 1 = dan 3 = , maka = 1 2 3 = 1
− −0 1 = 1 −1 0 + 0 0 1 , ℝ
Sehingga diperoleh basis dari adalah 2 = 1,−1,0 dan 3 = 0,0,1 , dan vektor 2 dan 3 saling ortogonal. Selanjutnya akan dilakukan proses normalisasi sehingga
2 = 2 2 = 1 −1 0 2 = 1 2 1 −1 0 = 2 2 1 −1 0 = 2 2 − 2 2 0 3 = 0 0 1 Akibatnya,
= 1, 2, 3 =
2 2 2 2 0 2 2 − 2 2 0
0 0 1
.
Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa = 1, 2, 3 dan
= 1, 2 , maka didapat = 3 > = 2 dan �= min 3,2 = 2.
Kemudian dapat dibentuk matriks diagonal Λ dengan entrinya adalah nilai-nilai singular yang diperoleh pada langkah 2,
(68)
Λ=
2 0
0 0
0 0
.
Dari hasil ,Λ, dan dapat dibentuk dekomposisi nilai singular dari matriks sebagai = Λ ,dengan
= 2 2 2 2 0 2 2 − 2 2 0
0 0 1
; Λ=
2 0
0 0
0 0
; dan = 2 2 2 2 2 2
− 22
,
= Λ =
2 2 2 2 0 2 2 − 2 2 0
0 0 1
2 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2
− 22
.
Apabila adalah matriks yang ortogonal, maka invers dari dapat
dihitung sebagai −1 = Λ−1 ,
dengan Λ−1 =
1
σ1 0 0 0
0 σ1
2 0 0
⋱
0 0 0 1
σ
.
Contoh 2.5.3
Diberikan matriks = 2 2
−1 1 , carilah dekomposisi nilai singular untuk
(69)
Penyelesaian:
Dari matriks = 2 −1 2 1
2 2
−1 1 =
5 3
3 5 diperoleh nilai eigen
�1 = 8 dan �2 = 2. Dengan nilai eigen tersebut dapat dihasilkan
vektor-vektor eigen yang bersesuaian dengan �1 dan �2 sebagai
�1 =
−
1 2
− 1
2
dan �2 =
− 1 2 1 2 .
Selain itu, diperoleh juga nilai singular dari matriks sebagai �1 = 2 2
dan �2 = 2. Akibatnya,
1 =
1
�1 �1
= 1
2 2
2 2
−1 1
−
1 2
− 1
2
= −1 0
2 =
1
�2 �2
= 1 2
2 2
−1 1
− 1 2 1 2 = 0 1
Jadi, SVD dari matriks adalah
= Λ = −1 0
0 1
2 2 0
0 2 − 1 2 − 1 2 − 1 2 1 2 .
(70)
Dengan SVD matriks dapat ditentukan invers matriks sebagai
−1 = Λ−1 = −
1 2 − 1 2 − 1 2 1 2 1
2 2 0
0 1
2
−01 01
= 1 4 − 1 2 1 4 1 2 .
2.6 Norma Matriks dan Bilangan Kondisi
Dalam menyelesaikan masalah sistem linier, akurasi dari penyelesaian
menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan. Sebab, semakin akurat
penyelesaian yang didapat maka semakin kecil pula galat yang terjadi.
Keakuratan penyelesaian sangat bergantung pada seberapa sensitif matriks
koefisien dari sistem terhadap adanya perubahan kecil yang terjadi.
Sensitifitas dari matriks dapat diukur dengan bilangan kondisi (condition number) matriks tersebut. Bilangan kondisi suatu matriks taksingular didefinisikan dari sudut pandang norma matriks dan norma inversnya.
Sebelum membahas bilangan kondisi, perlu dipelajari tipe-tipe dari
norma-norma matriks.
2.6.1 Norma Matriks
Berdasarkan penjelasan dalam subbab sebelumnya, kita telah
(71)
Selanjutnya pada subbab ini akan dijelaskan perhitungan norma pada
ruang vektor di × . Suatu fungsi . : × → ℝ disebut norma
matriks, jika untuk sebarang , × dan ℝ, memenuhi:
(i) 0
(ii) = 0 jika dan hanya jika =
(iii) =
(iv) + +
Teorema 2.6.1.1
Andaikan . adalah norma vektor pada ℝ , maka
= max
=1
adalah norma matriks.
Bukti:
Akan dibuktikan bahwa
= max
=1
memenuhi definisi norma.
(i) Untuk setiap = 1,
0 max
=1 0
(72)
max
=1 = 0
(ii) Jika = 0, maka max =1 = 0. Berarti = untuk setiap
ℝ , dan
� = 0 0 1
sehingga � = untuk = 1,2,…, . Oleh karena itu haruslah suatu matriks nol.
Jika = dan ℝ , maka = . Berarti max =1 = 0
sehingga = 0.
(iii) = max
=1 = max =1 =
(iv) + = max
=1 +
max
=1 +
max
=1 + max =1
+
Akibat 2.6.1.2
Untuk setiap ≠ 0, dapat ditulis sebagai vektor tak nol
=
(73)
= max
=1 = max≠0 . = max≠0 = max≠0
.
Akibat 2.6.1.3
Untuk setiap matriks dan ≠ , maka terdapat norma natural . , sehingga
Bukti:
max
=1 . = . .
Dengan mengganti definisi norma vektor pada Teorema 2.6.1.1 dapat
diturunkan beberapa norma matriks. Apabila norma vektor . yang digunakan dalam definisi adalah norma vektor . ∞ , maka
∞ = max
∞=1 ∞.
disebut sebagai norma-∞ matriks. Sedangkan, jika digunakan norma vektor . 2 , maka
2 = max
2=1 2
.
(74)
Teorema 2.6.1.4
Jika adalah matriks × dengan = , maka
∞ = max
1
=1
.
Bukti:
i Akan ditunjukkan bahwa
∞ max
1
=1
Misalkan adalah matriks berukuran × 1, dengan ∞ = max1 = 1.
Diberikan matriks berukuran × , sehingga
∞ = max1 = max1
=1
max
1
=1
max
1 .
Karena max1 = ∞ = 1, maka
∞ 1max
=1
dan akibatnya,
∞ = max
∞=1 ∞ 1max =1
(75)
(ii) Sekarang akan ditunjukkan bahwa
∞ 1max
=1
.
Misalkan � adalah suatu bilangan bulat dengan
�
=1
= max
1
=1
dan vektor , dengan koordinat
= 1 jika � 0
−1 jika � < 0
Diberikan ∞ = 1 dan � = � , untuk setiap = 1,2,…, . Sehingga
∞ = max1
=1
�
=1
= �
=1
= max
1
=1
maka,
∞ = max
∞=1 ∞ 1max =1
.
Berdasar (i) dan (ii) diperoleh
∞ = max
1
=1
(76)
Teorema 2.6.1.5
Jika adalah matriks × dengan dekomposisi nilai singular Λ , maka
2 =�1
dimana, �1 adalah nilai singular terbesar dari matriks .
Bukti:
Karena dan adalah ortogonal,
2 = Λ 2 = Λ 2 (sifat matriks ortogonal (iv))
Λ 2 = max =1
Λ 2
2
= max
=1
�12 12+�22 22+ +� 2 2
12+ 22+ + 2
max
=1
�12 12+�12 22 + +�12 2
12+ 22+ + 2
max
=1
�12 12+ 22+ + 2
12+ 22+ + 2
= max
=1 �1
12+ 22+ + 2
12+ 22+ + 2
�1.
Jika dipilih =�1, maka
Λ 2
2
(77)
sehingga
2 = Λ 2 =�1.
Contoh 2.6.1.6
Hitunglah ∞ dan 2 dari matriks
= 1 1
−1 2
Penyelesaian:
1. Untuk dapat menghitung ∞ maka diperlukan menghitung nilai maksimum yang ada pada setiap baris dari matriks , sehingga
1 = 1 + 1 = 2 3
=1
2 = −1 + 2 = 3
=1
3
Jadi, ∞ = max 2,3 = 3.
2. Untuk menghitung 2 maka diperlukan mencari nilai-nilai eigen dari matriks kemudian menentukan nilai singularnya.
= 1 −1 1 2
1 1
−1 2 =
2 −1
−1 5
� � = det 2− � −1
−1 5− � = 2− � 5− � −1 = 0 = 10−2� −5�+�2 −1 = �2−7�+ 9 = 0.
(78)
Untuk mencari nilai eigennya digunakan
�1,2 =
7 ± 49−4.1.9
2 =
7 ± 13 2
sehingga
�1 =
7 2+
13
2 dan �2 = 7 2−
13 2 ,
dari hasil tersebut diperoleh
�1 = �1 = 2,3028 dan �2 = �2 = 1,3028.
Berdasarkan nilai singular yang diperoleh, maka
2 = �1 = 2,3028.
2.6.2 Bilangan Kondisi
Norma matriks dapat digunakan untuk memperkirakan sensitivitas
sistem linier terhadap perubahan yang terjadi pada matriks koefisiennya.
Definisi 2.6.2.1
Suatu matriks disebut berkondisi buruk (ill-condition) apabila perubahan yang relatif kecil dalam entri-entri menyebabkan perubahan yang relatif
(79)
berkondisi baik (well-condition) jika perubahan yang relatif kecil dalam entri-entri mengakibatkan perubahan yang relatif kecil dalam penyelesaian
= �.
Jika matriks adalah matriks berkondisi buruk, maka perhitungan
terhadap = � memberikan hasil penyelesaian yang kurang begitu akurat. Hal ini disebabkan karena galat-galat kecil yang terjadi dalam
proses perhitungan memberikan efek yang sangat drastis terhadap hasil
penyelesaian sehingga menyebabkan galat yang sangat besar. Sebaliknya,
apabila matriks tersebut berkondisi baik maka akan didapat perhitungan
yang memberikan hasil penyelesaian akurat untuk meyelesaikan sistem
= �. Secara umum, akurasi dari penyelesaian bergantung pada kondisi matriks yang bersangkutan.
Misalkan adalah matriks taksingular × yang memenuhi sistem
= �. Jika adalah penyelesaian eksak terhadap sistem = � dan ′ adalah penyelesaian yang menghampiri penyelesaian eksak dari sistem
= �, maka selisih di antara dan ′ menghasilkan galat perhitungan yang ditulis sebagai
�= − ′.
Untuk menguji keakuratan dari ′ dilakukan dengan cara mensubstitusikan kembali ′ ke dalam sistem = � sehingga diperoleh ′ = �′. Kemudian akan dihitung selisih dari �′ dengan � sehingga diperoleh
(80)
dimana vektor r ini adalah vektor sisa. Dengan menggunakan norma .
diperoleh �− ′
� =
� , dimana
� disebut sebagai sisa relatif. Sisa relatif memberikan nilai perkiraan dari galat relatif, dan nilai perkiraan tersebut
bergantung pada kondisi matriks . Secara umum, jika matriks
berkondisi buruk maka sisa relatif akan lebih kecil dari galat relatifnya.
Sebaliknya, untuk matriks berkondisi baik maka sisa relatif dan galat
relatif akan saling berdekatan.
Karena
=� − ′ = − ′ = �
dan adalah matrik taksingular × , maka �= −1 , sehingga dengan menggunakan Akibat 2.6.1.3 diperoleh
� −1 2.5
dan
= � � 2.6
dari ketaksamaan 2.5 dan 2.6 diperoleh
� −1 2.7
Karena nilai merupakan penyelesaian eksak terhadap =�, dan adalah matrik taksingular maka = −1�. Sehingga dengan menggunakan ketaksamaan 2.7 , didapatkan
�
(81)
Dari ketaksamaan 2.7 dan 2.8 diperoleh
1
−1
�
�
−1 �
Bilangan −1 disebut sebagai bilangan kondisi dari matriks yang diberikan dengan lambang cond( ), sehingga
1 cond( )
�
�
cond
� 2.9
Ketaksamaan 2.9 tersebut menunjukkan hubungan galat relatif � terhadap sisa relatif
� , bahwa semakin bilangan kondisi mendekati nilai 1, maka galat relatif dan sisa relatif akan berdekatan. Namun jika bilangan
kondisi besar, maka galat relatif akan beberapa kali lebih besar dari sisa
relatif.
Bilangan kondisi dari sesungguhnya memberikan informasi penting
mengenai kondisi matriks . Misalkan ′ adalah matriks baru yang dibentuk dengan mengganti sejumlah kecil entri-entri dari . Maka, kita
dapat membentuk matriks � = ′ − sehingga ′ = +�, dimana entri-entri dari � relatif lebih kecil daripada entri-entri pada . Matriks akan berkondisi buruk jika untuk suatu matriks seperti � memberikan pengaruh buruk pada perhitungan penyelesaian terhadap ′ ′ =� dan = �. Hal tersebut mengakibatkan selisih dari kedua hasil penyelesaian tersebut
(82)
membandingkan perubahan penyelesaian relatif terhadap ′, dengan perubahan relatif dalam matriks .
Dari
= −1�= −1 ′ ′ = −1 +� ′ = −1 ′ + −1� ′ = ′ + −1� ′
diperoleh,
− ′ = −1� ′
Dengan menggunakan Akibat 2.6.1.3, maka
− ′ −1 � ′
atau
− ′
′ −1 � 2.10
Jika ruas kanan pada ketaksamaan 2.10 dikali , diperoleh
− ′
′ −1 � = cond � 2.11
Untuk lebih memahami maksud dan perhitungan dari ketaksamaan 2.11
(83)
Contoh 2.6.2.1
Diberikan sistem (a)
2,0000 1+ 2,0000 2 = 6,0000 2,0000 1+ 2,0005 2 = 6,0010
yang mempunyai penyelesaian eksak = 1
2 . Dan dengan melakukan
sedikit perubahan diperoleh sistem baru, sebagai sistem (b)
2,000 1+ 2,000 2 = 6,000
2,000 1+ 2,001 2 = 6,001
yang memiliki penyelesaian ′ = 2
1 . Hitunglah perbandingan perubahan
penyelesaian relatif terhadap ′dengan perubahan relatif dalam matriks .
Penyelesaian:
Dari sistem (a) dan sistem (b) dapat diperoleh matriks koefisien dan ′, sehingga
= 2 2
2 2,0005 ; ′ =
2 2
2 2,001 dan
−1 = 1
0,001
2,0005 −2
−2 2 =
2000,5 −2000
−2000 2000
Kemudian dibentuk matriks � = ′ − ,
� = 0 0 0 0,0005
(84)
dan galat relatif dalam matriks adalah
� ∞
∞ =
0,0005
4,0005≈ 0,0001
Sedangkan bilangan kondisi dari matriks sebagai
cond∞ = ∞ −1 ∞ = 4,0005 4000,5 ≈16004.
Dengan menggunakan ketaksamaan 2.10 dapat ditentukan batas dari galat relatif sebagai
cond∞ � ∞
∞ = 16004 0,0001 = 1,6004
dan galat relatif sesungguhnya bagi sistem adalah
− ′ ∞
′ ∞ =
12 − 21
∞
21
∞
=
−11
∞
21
∞
=1 2
Jadi, perbandingan perubahan penyelesaian relatif terhadap ′dengan perubahan relatif dalam matriks adalah
1
2< 1,6004.
Selain menggunakan . ∞, perhitungan bilangan kondisi dari matriks , yang dinotasikan sebagai cond dapat juga dihitung menggunakan
(85)
Teorema 2.6.2.2
Jika = Λ adalah taksingular, maka
cond2 =
�1
� .
Bukti:
Karena adalah taksingular berarti memiliki invers, yaitu −1 dan nilai-nilai singular dari −1 = Λ−1 tersusun dalam urutan menurun sebagai
1
�
1
� −1
1
�1
.
Akibatnya
−1
2 =
1
�
sehingga
cond2 = 2. −1 2 = �1.
1
� = �1
� .
Contoh 2.6.2.3
Dengan menggunakan matriks pada contoh 2.6.1.6,
= 1 1
−1 2
(86)
Penyelesaian:
Berdasarkan pembahasan pada contoh 2.6.1.6 didapatkan bahwa
nilai-nilai singular dari adalah �1 = 2,3028 dan �2 = 1,3028. Dari hasil tersebut dapat dihitung
cond2 =
�1
�2
=2,3028
1,3028= 1,768.
B. Kalkulus
Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai teori-teori kalkulus yang
akan digunakan sebagai landasan pembahasan pada bab-bab berikutnya.
2.7 Big-O
Andaikan adalah fungsi bernilai riil yang didefinisikan pada kitar-
dengan pusat ℝ , yang ditulis ℝ | − < , dengan ≠ . Misal :Ω ↦ ℝ adalah fungsi yang didefinisikan dalam suatu domain
(daerah asal) Ω ⊂ ℝ yang memuat , maka
=�( ), diartikan bahwa
( ) ( )
terbatas. Jadi, terdapat bilangan > 0 dan > 0, sehingga jika
− < , Ω berakibat
( ) ( )
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, K. E. 1989.
An Introduction to Numerical Analysis (Second
Edition)
. John Wiley & Sons, Inc.
Bertero, M. & Boccacci, P. (1998).
Introduction to Inverse Problems in
Imaging
. Philadelphia, PA: IOP Publishing, Ltd
Budhi, W. S. (1995).
Aljabar linear
. Jakarta: Gramedia.
Burden, R. L. & Faires, J. D. 2010.
Numerical Analysis (Nineth Edition)
.
USA: Brooks/Cole, Cengage Learning.
Chong, E. K. P. & Zak, S. H. 2008.
An Introduction to Optimization
(Third Edition).
Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc.
Groetsch, C. W. (1999).
Inverse Problems Activities for Undergraduates
.
Washington, DC: MAA
Hansen, P. C. (2010).
Discrete Inverse Problems Insight and Algorithms
.
Philadelphia, PA: SIAM.
Leon, S. J. (1998).
Aljabar Linear dan Aplikasinya (Edisi ke-5)
.
Terjemahkan oleh: Alit Bondan. 2001. Jakarta: Erlangga.
Moura Neto, F. D.&Silva Neto, A. J. (2013).
An Introduction to Inverse
Problems with Applications
. New York: Springer.
Peressini, A. L. dkk. (1988).
The Mathematics of Nonlinear Programming.
New York: Springer.Solomon, C. & Breckon, T. (2011).
Fundamental of Digital Image Processing (First Edition)
.
Hoboken, NJ: John Wiley and Sons, Ltd.
(2)
LAMPIRAN
PROGRAM PADA BAB IV
Program 4.1a.
%PROGRAM 4.1a
%Program Restorasi Gambar Digital Dengan Metode TSVD % Keterangan:
% X=gambar asli grayscale % A=blurring matrix
% PSF=point spread function pemberi efek blur % SVD=nilai-nilai singular matriks A
% k=pemotongan nilai singular pada SVD % B=gambar asli yang terpengaruh efek PSF
tic
X=im2double(imread('cameraman.tif'));%Membaca gambar grayscale lalu
%mengkonversikannya ke bentuk double
[r,c]=size(X);%Menentukan ukuran matriks X %Membentuk Blurring Matriks (A)
a=zeros(r,1);
a(1:5)=[5:-1:1]'/25; A=toeplitz(a);
%Membentuk Gambar Blur dengan pemberian efek PSF pada X
PSF=fspecial('motion',10,110); B=conv2(X,PSF,'same');
%Program TSVD untuk mendapatkan xk
[m,n]=size(A);%Ukuran matriks A
[U,S,V]=svd(A);
%Metode TSVD sesuai dengan pemilihan k
k=200;
SK=S(1:k,1:k);
SKc=[inv(SK) zeros(k,m-k);zeros(n-k,k) zeros(n-k,m-k)]; xk=V*SKc*U'*B;
norm_X_B=norm(X-B) norm_X_xk=norm(X-xk)
subplot(131), imshow(X), title('Gambar Asli'); subplot(132), imshow(B), title('Gambar Blur');
subplot(133), imshow(xk), title('Gambar hasil Restorasi'); toc
(3)
Program 4.1b.
%PROGRAM 4.1b
%Program Restorasi Gambar Digital Dengan Metode TSVD % Keterangan:
% X=gambar asli grayscale % A=blurring matrix
% PSF=point spread function pemberi efek blur % SVD=nilai-nilai singular matriks A
% k=pemotongan nilai singular pada SVD % B=gambar asli yang terpengaruh efek PSF
tic
X=im2double(imread('cameraman.tif'));%Membaca gambar grayscale lalu
%mengkonversikannya ke bentuk double
[r,c]=size(X);%Menentukan ukuran matriks X % Membentuk Blurring Matriks (A)
a=zeros(r,1);
a(1:5)=[5:-1:1]'/25; A=toeplitz(a);
% Membentuk Gambar Blur dengan pemberian efek PSF pada X
PSF=fspecial('motion',10,110); B=conv2(X,PSF,'same');
% Program TSVD untuk mendapatkan xk
[m,n]=size(A);%Ukuran matriks A
[U,S,V]=svd(A);
% Metode TSVD untuk restorasi Gambar Digital
z0=100; for i=1:r; k(i)=i; r=k(i);
SK=S(1:r,1:r);
SKc=[inv(SK) zeros(r,m-r);zeros(n-r,r) zeros(n-r,m-r)]; xk=V*SKc*U'*B;
y(i)=norm(X-xk); if y(i)<z0;
z0=y(i); indeks=i; XK=xk; end
end
XK; %Gambar hasil restorasi terbaik
z0; %Norma paling minimum dari gambar hasil restorasi
K=indeks; %Indeks dari parameter yang memiliki norma terkecil
fprintf('\n Hasil restorasi TSVD terbaik memiliki norma %3.5f, tercapai ketika parameter K=%1.0f\n',z0,K)
% Grafik plot antara k dan y % plot(k,y,'-o');
(4)
% xlabel('parameter k');
% ylabel('nilai norma antara X dan xk'); % axis([72 75 5.7 5.8]);
% grid on;
subplot(131), imshow(X), title('Gambar Asli'); subplot(132), imshow(B), title('Gambar Blur');
subplot(133), imshow(XK), title('Gambar hasil Restorasi'); toc
Program 4.2a.
%PROGRAM 4.2a
%Program Restorasi Gambar Digital Dengan Regularisasi Tikhonov % Keterangan:
% X=gambar asli grayscale % A=blurring matrix
% PSF=point spread function pemberi efek blur % SVD=nilai-nilai singular matriks A
% alfa=parameter regularisasi
% B=gambar asli yang terpengaruh efek PSF
tic
X=im2double(imread('cameraman.tif'));%Membaca gambar grayscale lalu
%mengkonversikannya ke bentuk double
[r,c]=size(X);%Menentukan ukuran matriks X %Membentuk Blurring Matriks (A)
a=zeros(r,1);
a(1:5)=[5:-1:1]'/25; A=toeplitz(a);
%Membentuk Gambar Blur dengan pemberian efek PSF pada X
PSF=fspecial('motion',10,110); B=conv2(X,PSF,'same');
%Program Tikhonov untuk mendapatkan xk
[m,n]=size(A);%Ukuran matriks A
[U,s,V]=svd(A);
[S]=svd(A);%Nilai singular
[m,n]=size(S);
%Menentukan parameter regularisasi alfa S(76)
alfa=0.01; for i=1:m; if S(i)>=alfa;
(5)
elseif S(i)<alfa;
q(i)=(S(i)/alfa)^2; end
end q;
Q=diag(q);
xk=V*Q*inv(s)*U'*B; norma=norm(X-xk);
disp('Hasil restorasi menggunakan parameter:');
fprintf('\n alfa1=%1.5f menghasilkan norma %3.5f\n',alfa,norma); subplot(131), imshow(X), title('Gambar Asli');
subplot(132), imshow(B), title('Gambar Blur'); subplot(133), imshow(xk),
title('Gambar hasil Restorasi dengan alfa=0.01'); toc
Program 4.2b.
%PROGRAM 4.2b
%Program Restorasi Gambar Digital Dengan Regularisasi Tikhonov % Keterangan:
% X=gambar asli grayscale % A=blurring matrix
% PSF=point spread function pemberi efek blur % SVD=nilai-nilai singular matriks A
% alfa=parameter regularisasi
% B=gambar asli yang terpengaruh efek PSF
tic
X=im2double(imread('cameraman.tif'));%Membaca gambar grayscale lalu
%mengkonversikannya ke bentuk double
[r,c]=size(X);%Menentukan ukuran matriks X %Membentuk Blurring Matriks (A)
a=zeros(r,1);
a(1:5)=[5:-1:1]'/25; A=toeplitz(a);
%Membentuk Gambar Blur dengan pemberian efek PSF pada X
(6)
B=conv2(X,PSF,'same');
%Program Tikhonov untuk mendapatkan xk
[m,n]=size(A);%Ukuran matriks A
[U,s,V]=svd(A);
[S]=svd(A);%Nilai singular
[m,n]=size(S);
%Menentukan parameter regularisasi alfa
z0=100;
% alfa=S(1):-0.01:S(m); % alfa=0:0.01:0.2;
alfa=0.06:0.0001:0.12; for j=1:length(alfa); alfa_1=alfa(j); for i=1:m;
if S(i)>=alfa_1;
q1(i)=1-(alfa_1/S(i))^2; elseif S(i)<alfa_1;
q1(i)=(S(i)/alfa_1)^2; end
end
Q=diag(q1);
xk=V*Q*inv(s)*U'*B; y(j)=norm(X-xk); if y(j)<z0;
z0=y(j);
indeks=alfa(j); XK=xk;
end end
XK; %Gambar hasil restorasi terbaik
z0; %Norma paling minimum dari gambar hasil restorasi
indeks; %Nilai parameter alfa yang memiliki norma terkecil
fprintf('\n Hasil restorasi Tikhonov terbaik memiliki norma %3.5f, tercapai ketika parameter alfa=%1.5f\n',z0,indeks)
% Grafik plot antara alfa dan y
plot(alfa,y);
title('Grafik Regularisasi Tikhonov'); xlabel('parameter alfa');
ylabel('nilai norma antara X dan xk');
% axis([0 0.2 0 20]);
axis([0.06 0.12 6 8]); grid on;
% subplot(131), imshow(X), title('Gambar Asli'); % subplot(132), imshow(B), title('Gambar Blur');
% subplot(133), imshow(XK), title('Gambar hasil Restorasi');