b. Feminisme Radikal
Para penganut feminis radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual dan biologis. Sehingga, dalam
memasukkan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu
sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Aliran feminisme ini
menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual, adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan.
Bagi gerakan feminisme radikal, revolusi dan perlawanan atas penindasan perempuan bias dilakukan dalam bentuk yang sangat personal. Sumbangan
feminisme radikal terhadap gerakan perempuan sangat besar, terutama karena paham dan analisis mereka bahwa personal is political memberi peluang politik
bagi kaum perempuan. Golongan ini mengambil mengambil bentuk mode perjuangan ideologi maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum laki-
laki. Fakih, 2008: 89-90
c. Feminisme Marxis
Gerakan ini menekankan asumsi, bahwa ketidakadilan gender dalam masyarakat lebih disebabkan oleh penindasan kelas dalam hubungan produksi
ekonomi. Oleh karena itu, persoalan penindasan perempuan, selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Bagi Feminisme Marxis ini,
penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang
bersifat struktural, sistem patriarki tidak dianggap sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya.
Sehingga problem yang dihadapi kaum ini, penyelesaiannya harus bersifat struktural, yakni hanya dengan melakukan perubahan strukktur kelas dan
pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional. Fakih, 2008:91- 93
d. Feminisme Sosialis
Gerakan Feminisme Sosialis berpandangan menggabungkan teori feminisme marxis dan feminisme radikal. Mereka mengkritik asumsi umum,
hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tapi tidak selalu menaikkan status perempuan. Bagi feminis sosialis, meningkatnya
partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonisme seksual ketimbang status. Fakih, 2008:94-96
2.1.6.1.Posfeminisme Sebagai Pemikiran Feminis Baru
Pada era feminis gelombang kedua, muncul sebuah pemikiran feminis baru yang dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarki yang disebut
dengan posfeminisme. Pelabelan pos, mengundang berbagai pertanyaan, problematika dalam pendefinisiannya, terutama pada istilah yang dilabelinya.
Posfeminisme, dengan demikian juga mengundang pertanyaan. Pada beberapa dekade, posfeminisme yang merupakan ekspresi kontinue dari tahapan evolusi
gerakan feminisme dipandang sebagai antifeminis. Terutama oleh media dan pers, yang terus menerus menyebarkan semangat posfeminisme sebagai antifeminisme.
Sehingga tak bisa dihindarkan bila pengertian tentang posfeminisme banyak disumbang oleh media dan pers tersebut. Istilah posfeminisme bergulir pada akhir
1980-an dan awal 1990-an, seperti dinyatakan oleh Alice bahwa posfeminisme telah memiliki nilai baru, yang sering kali bermusuhan dan diarahkan terutama
kepada feminis. Padahal bila dilihat dari kemunculannya pertama kali, masih menurut Alice, bahwa posfeminisme tercipta antara periode tercapainya hak pilih
perempuan di Amerika Serikat dan kebangkitan feminisme “gelombang kedua” selama tahun 1960-an. Hal ini ditunjukkan oleh keberhasilan perjuangan hak pilih
kaum perempuan, kesempatan menempati ruang publik, dan pilihan untuk menggunakan lebih banyak ruang personalnya. Brooks, 1997:3
Menurut Ann Brooks, salah satu penganjur utama konsepsi mengenai posfeminisme ini adalah Susan Faludi, di dalam bukunya Blacklash 1992. Faludi
merujuk pada tulisan Brenda Polan Guardian untuk membangun kepercayaan atas klaim yang dibuatnya. Plan berkeyakinan bahwa posfeminisme merupakan reaksi
buruk, karena menurutnya semua gerakan atau filasafat yang mendefinisikan dirinya sebagai pos , maka apapun yang datang sebelumnya akan menjadi relasi
yang terikat dan reaktif, bahkan dalam kebanyakan kasus, gerakan tersebut juga bersifat reaksioner. Brooks, 1997: 4
Akhirnya Faludi pun menegaskan bahwa sementara media memperkenalkan reaksi buruk pada khalayak nasional pada tahun 1980-an melalui
penggunaan istilah “kekuarangan pria”, “jam biologis”, dan posfeminisme, kenyataan pers mengekspresikan pandangan sebagai antifeminis jauh lebih awal.
Faludi beranggapan bahwa sentimen-sentimen posfeminisme pertama kali dimunculkan, bukan di media tahun 1980-an, melainkan di pers tahun 1920-an.
Dibawah serangkaian kata-kata media, dengan cepat keanggotaan organisasi- organisasi feminis terjungkal, dan kelompok perempuan yang serta tersisa dengan
serta merta mencela Amandemen Persamaan Hak atau dengan mudah mengubah diri mereka menjadi klub-klub sosial. “Eks feminis” mulai menerbitkan
pengakuan masalah mereka. Brooks, 1997:4
Pendefinisian lainnya tentang posfeminisme adalah kerangka referensi konseptual yang penting mencakup pertemuan antara feminisme dengan sejumlah
gerakan antifondasionalis lainnya, termasuk posmodernisme, postrukturalisme, dan poskolonialisme. Posfeminisme memperlihatkan, sebagaimana yang
dinyatakan Yeatman, “Telah tiba waktunya bagi feminisme, kematangannya menjadi suatu tubuh teori dan politik yang percaya diri, merepresentasikan
pluralisme dan perbedaan, serta merefleksikan posisinya dalam hubungannya dengan gerakan filsafat dan politik yang sama-sama menuntut perubahan.”
Brooks, 1997:1
Konsep “pos” pun merujuk pada transformasi dan perubahan yang sedang berlangsung. Sehingga posfeminisme dapat dipahami sebagai perjumpaan kritis
dengan patriarki. Posfeminisme juga menempati posisi kritis dalam memandang kerangka feminis sebelumnya, yang pada saat bersamaan melawan secara kritis
terhadap wacana patriarki dan imperialis. Dalam praktiknya, posfeminisme menentang asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh epistemologi femini
gelombang kedua bahwa penindasan patriarki dan imperialis adalah pengalaman penindasan yang universal. Brooks,1997:2
Layak apabila posfeminis dipandang sebagai gerakan yang bersebrangan dengan feminisme atau bahkan banyak yang menyebut posfeminisme sebagai
gerakan antifeminis karena posfeminisme telah memiliki nilai baru yang sering kali bermusuhan dan diarahkan terutama kepada para feminis. Posfeminisme telah
dipandang sebagai sesuatu yang sinonim dengan antifeminis.
Sosok perempuan posfeminisme digambarkan sebagai sosok seorang perempuan yang mandiri atau “independent” tetapi juga tetap membutuhkan
sosok laki-laki dalam hidupnya sebagai pelengkap hidupnya baik secara biologis maupun secara emosional, karena seorang perempuan posfeminis “sadar” bahwa
dia merupakan “seorang perempuan” yang juga menjadi objek seks laki-laki, disamping dia sebagai sosok perempuan mandiri yang dengan kepercayaan diri
yang tinggi bisa meraih segalanya karir, kekayaan, kekuasaan, dan kejayaan, bukan perempuan mandiri yang tanpa laki-laki seperti pemikiran feminisme pada
umumnya, terutama para feminis radikal. Seperti yang dikutip di dalam buku posfeminisme Cultural Studies menanggapi serial Sex In The City. Dimana
digambarkan bahwa seorang Samantha yang merupakan karakter perempuan tangguh dan memiliki semuanya, yang berkarir sebagai seorang penulis di salah
satu majalah lifestyle di kota New York dalam salah satu episodenya, mempunyai kebimbangan dan terhukum oleh dirinya sendiri akibat kepercayaan diri yang
terlalu berlebihan dengan tidak menikah atau mempunyai seorang kekasih, dia
merasa menderita karena tidak ada seorang laki-laki yang berada di sisinya ketika dia membutuhkan sebuah hubungan secara “biologis” maupun hubungan secara
emosional.Brooks,1997:VII
2.1.6.2.Perempuan dan Kekuasaan dalam Posfeminisme
Kata perempuan bersal dari kata empu, bermakna dihargai, dipertuan atau dihormati. Sedangkan kata wanita diyakini dari bahasa Sansekerta, dengan dasar
kata wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsui atau objek seks. Sedangkan dalam bahasa Jawa Jarwa Dosok, kata wanita berarti
wani ditata, artinya berani ditata. Kata wanita konon juga berasal dari kata wani berani dan tapa menderita, artinya seorang wanita adalah sosok yang berani
menderita bahkan untuk orang lain. Jadi, secara simbolik mengubah penggunaan kata wanita menjadi perempuan adalah mengubah objek menjadi subjek. Kedua
istilah ini tidak hanya berkaitan dengan asal bahasa atau padanan kata saja, tetapi berkaitan dengan citra, mitos atau stereotip citra baku. Oleh karena itu, kaum
feminis di Indonesia kebanyakan memilih menggunakan kata perempuan, bukan wanita Handayani, 2004:6
Penggambaran “tangguh” dan “’serba lebih” dari perempuan menunjukkan adanya keinginan untuk berperan dalam banyak hal, terutama di ruang publik.
Singkatnya, seorang perempuan tidak ingin menjadi marjinal ataupun inferior lagi, tetapi “mereka” menginginkan sebuah pengakuan dan perlakuan sebagai sebuah
dominasi atau superior, bukan lagi sebagai subordinasi. Pemikiran feminis yang masih menganggap patriarki sebagai penyebab utama dari ketidakadilan gender
dianggap belum cukup untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Pemikiran feminis masih menganggap perempuan masih diposisikan sebagai kaum yang
dirugikan dan sebagai korban dari patriarki. Perjuangan menjadi “a super woman” dari feminisme, mendapat pandangan baru sebagai jalan lain dari perjuangan
perempuan. Untuk itulah pemikiran posfeminisme muncul sebagai jalan lain dalam gerakan perempuan. Posfeminisme menganggap bahwa pemikiran feminis
terlalu berlebih dalam memperjuangkan perempuan dengan hak-haknya. Seperti pendapat Ann Brooks, Alice dalam bukunya mengatakan bahwa mungkin pesan
paling persuasif bagi posfeminisme bahwa feminisme telah mendorong perempuan untuk menginginkan terlalu banyak. Pofeminisme ditawarkan sebagai
pelarian dari beban “perempuan super” dalam rangka memenuhi citra sukses kaum feminis Brooks,2007:5. Dengan kata lain, posfeminisme memberi wacana
baru dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Seorang perempuan tidak perlu menjadi “laki-laki” seperti pada pemikiran feminisme radikal dalam artian bahwa perempuan tidak perlu “bermaskulinitas”
untuk persamaan hak, dengan “keperempuanan” yang dia miliki, dia bisa merasakan hak yang sama dengan apa yang didapatkan laki-laki. Wacana
posfeminis tidak begitu menghiraukan system patriarki seperti yang dianggap oleh pemikiran para feminis. Dengan menggunakan sebuah feminitas yang melekat
dalam dirinya, seorang perempuan dapat sama berhak meraih apa yang dimiliki oleh para “laki-laki”, yaitu kekuasaan.
Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan
dari pelaku, atau dengan kata lain kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak
yang mempengaruhi. Audifax menjelaskan dalam sebuah bukunya, bahwa menurut Foudcalt, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui
kekerasan atau hasil persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan,
persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan institusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki, tetapi nama yang
diberikan pada situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada dimana-mana, tetapi bukan berarti mencakup semua, melainkan kekuasaan datang
dari mana-mana.Audifax, 2006:227
Dalam stereotip klasik, perempuan dan dimensi feminisme tidak mencantumkan gagasan kekuasaan. Umumnya stereotip perempuan meliputi
kesimpatikan, kepekaan terhadap kebutuhan sesama, memahami, merawat, hangat, lembut, ramah, setia, dan tidak berbicara kasar. Sedangkan gagasan
kekuasaan menurut konsep Barat meliputi ketegaran dan keperkasaan. Akibatnya, menjadi wajar jika dalam budaya Barat secara tradisional perempuan tidak
memikirkan kekuasaan dalam diri mereka sebagaimana laki-laki mendefinisikan kata tersebut. Kualitas feminisme justru sangat berlawanan dengan definisi
tradisional kekuasaan. Handayani, 2004:168
Kekuasaan bukan hanya dimiliki oleh laki-laki, karena sebuah kekuasaan bersifat jamak yang bisa dimiliki oleh siapapun dan bukan milik yang “itu-itu”
saja. Menurut Ann Brooks dalam bukunya, Foudcalt secara implisit menggugat gagasan bahwa laki-laki memiliki kuasa atas perempuan. Sebagaiman ditunjukkan
oleh Ransom, teori kuasa ini menyokong pluralisme Foucalt, kuasa dipahami bersifat plural, tidak bekerja pada “lintasan tunggal” atau dengan referensi pada
pertanyaan tertentu. Foucault memahami kuasa sebagai “bersifat kapiler” menyebar melalui wacana, tubuh, dan hubungan di dalam metaphor suatu
jaringan. Foucault mengakui pelaksanaan kuasa laki-laki atas perempuan, tetapi menolak bahwa laki-laki memegang kuasa. Brooks,1997:85
2.1.7. Makna Dalam Kata
Istilah makna meaning merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Untuk menjelaskan istilah makna, harus dilihat dari segi kata,
kalimat dan apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk berkomunikasi. Secara luas, makna dapat diartikan sebagai pengertian yang diberikan kepada sesuatu
bentuk kebahasaan. Istilah makna meskipun membingungkan, sebenarnya lebih dekat dengan kata. Sering kita berkata, apa artinya kata ini, apakah artinya kalimat
itu. Pateda, 2001: 79
Bagi orang awam untuk memahami makna tertentu, ia dapat mencari di kamus. Sebab di dalam kamus terdapat makna kata yang disebut makna leksikal.
Dalam kehidupan sehari – hari, orang sulit menerapkan makna yang terdapat di
dalam kamus, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satuan kalimat.
Kata merupakan momen kebahasaan yang bersama – sama dalam kalimat menyampaikan pesan dalam suatu komunikasi. Secara teknis, kata adalah satuan
ajaran yang berdiri sendiri yang terdapat di dalam kalimat, dapat dipisahkan, dapat ditukar, dapat dipindahkan, dan mempunyai makna serta digunakan untuk
berkomunikasi. Makna dalam kata yang dimaksud disini, yakni berbentuk yang sudah diperhitungkan sebagai kata atau dapat disebut sebagai makna leksikal yang
terdapat di dalam kamus. Pateda, 2001: 34
2.1.8. Pendekatan Semiotik
Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Jika diterapkan dalam tanda – tanda bahasa,
maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda – tanda itu hanya mengemban arti significant dalam kaitannya dengan pembacanya.
Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan signifie. Sebuah teks baik itu lagu, musik, surat cinta, cerpen, puisi, komik,
kartun semua hal itu mungkin terjadi “tanda” dapat dilihat dari aktifitas penanda, yaitu suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan
objek dan interpretasi. Sobur, 2004: 16 – 17
Kehadiran pragmatisme Peirce dan strukturalisme Saussure dalam kancah perbincangan filsafat bahasa mempertegas adanya studi tanda dengan ilmu yang
mereka sebut semiologi Saussure dan semiotika Peirce. Secara prinsip tidak
ada perbedaan mendasar tentang dua nama ilmu tentang tanda tersebut. Kalaupun ada, perbedaan itu hanya mengacu pada orientasinya. Penggunaan semiologi
menunjukkan pengaruh kubu Saussure salah satunya Roland Barthes, sedangkan penggunaan semiotika mengacu pada kubu Peirce. Kurniawan, 2001: 51
Semiologi menitikberatkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya. Kubu Peirce cenderung meneruskan tradisi skolastik
yang mengarah pada inferensi pemikiran logis dan kubu Saussure menekankan pada linguistik, kenyatannya semiologi juga membahas signifikasi dan
komunikasi yang terdapat dalam sistem tanda non linguistik.
Kajian semiotika dibedakan menjadi dua jenis yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Dalam hal ini semiotika komunikasi adalah
menekankan pada teori produksi tanda yang salah satu diantaranya ada enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode sistem tanda, pesan,
saluran komunikasi dan acuan hal yang dibicarakan. Sedangkan yang dimaksud dengan semiotika signifikasi adalah memberikan tekanan pada teori tanda dan
pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda
sehingga proses kognisinya pada penerima tanda menjadi lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya. Sobur, 2004: 15
Batasan semiotika komunikasi menurut Ferdinand de Saussure adalah linguistik hendaknya menjadi bagian suatu ilmu pengetahuan umum tentang
tanda, yang disebutnya sebagai semiologi. Sobur, 2001: 96
2.1.9. Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah satu seorang pemikir strukturalis yang merupakan penerus dari Saussure. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah
sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi – asumsi dari suatu masyarakat tertentu. Barthes menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal
dan kultural penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan two order of signification, yaitu mencakup denotasi makna sebenarnya sesuai kamus dan konotasi makna ganda
yang lahir dari pengalaman kultural dan personal. Disinilah letak perbedaan Saussure dengan Barthes, meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
Signifier dan Signified yang diusung Saussure.
Berikut adalah model sistematis dalam menganalisis makna tanda – tanda menurut Roland Barthes. Focus Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi
dua tahap two order of signification.
penanda petanda
mitos konotasi
denotasi tatanan pertama
tatanan kedua
realitas tanda
kultur
Gambar 2.1: skema signifikasi dua tahap Roland Barthes Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies, 1990, hlm.
122. Melalui model tersebut, Barthes seperti yang dikutip Fiske, menjelaskan:
signifikasi tahap pertama menggunakan hubungan signifier dan signified didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi,
yaitu makna paling nyata dari tanda, sedangkan konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosional dari pembaca serta nilai – nilai dari kebudayaannya.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif, dengan kata lain denotasi adalah apa yang digambarkan tanda
terhadap semua objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Fiske, 1990: 72
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keefektifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan
tataran kedua, yang dibangun diatas sistem lain yang ada sebelumnya. Sobur, 2004: 68 – 69
Sastra merupakan contoh jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai system yang pertama. Sistem kedua ini oleh
Barthes disebut dengan konotatif, yang didalamnya mythologies - nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem tataran pemaknaan pertama. Barthes
menggambarkannya dalam sebuah peta tanda:
1. signifier
penanda 2.
signified petanda
3. denotative sign
tanda denotative 4.
CONNOTATIVE SIGNIFIER PENANDA KONOTATIF
5. CONNOTATIF SIGNIFIED
PETANDA KONOTATIF 6. CONNOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF
Gambar 2.2: Peta Tanda Roland Barthes Sumber: Alex Sobur,2004,Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya,
hlm: 69
Dari peta tanda diatas terlihat bahwa denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda denotatif juga
merupakan penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sobur, 2004: 69
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai – nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu Budiman, 2001: 28. Didalam mitos juga terdapat pola tiga
dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik,
mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain mitos adalah merupakan suatu sistem pemaknaan tataran kedua.
Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif terjadi secara termotivasi.
Budiman, 2001: 28
2.1.10. Ideologi dan Mitologi
Mitos berasal dari bahasa Yunani “mutos”, berarti cerita. Biasanya digunakan untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak
mempunyai kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya. Ciri mitos
kisah yang tidak benar dan fungsinya diperlukan untuk memahami lingkungan, inilah yang diteorisasikan oleh Barthes dengan menggunakan pendekatan
Semiologi. Sunardi, 2004: 89
Mitos menurut Barthes adalah sebuah system komunikasi, dengan demikian dia adalah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah
objek, sebuah konsep atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan yakni sebuah bentuk. Kurniawan, 2001: 84
Mitos adalah kebutuhan manusia, itulah sebabnya mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi. Sebagaimana dikatakan Barthes dalam bukunya
mythologies 1993, dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi , mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus
tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olahraga dan televisi. Gejala ini memang kita saksikan sehari – hari , terutama dalam advertensi
lewat televisi. Sobur, 2004: 208
Dikaitkan dengan ideologi maka, seperti dikatakan Van Zoest 1980, “ideologi dan mitologi didalam hidup kita sama dengan kode – kode dalam
perbuatan semiotik dan komunikasi kita”. Tanpa itu menurutnya, komunikasi tidak dapat berlangsung. Setiap penggunaan teks setiap penanganan bahasa, setiap
semiosis penggunaan tanda pada umumnya hanya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. Sebuah teks tak
pernah terlepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Sobur, 2004: 209
Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti berbagai konotasi yang ada di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam
teks – teks semacam itu. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak , sementara mitologi kesatuan mitos – mitos yang koheren menyajikan inkasnani makna –
makna yang mempunyai wadah dalam ideologi. Sobur, 2004: 209
Jadi mitos adalah uraian naratif atau penuturan representasi kolektif tentang sesuatu yang suci sacred, yaitu kejadian – kejadian yang luar biasa,
diluar dan mengatasi pengalaman manusia sehari – hari. Sedangkan ideologi merupakan suatu pemikiran yang abstrak berdasarkan ide dan gagasan dengan
tujuan menawarkan perubahan melalui prose pemikiran yang normatif.
Mitos dan ideologi pada dasarnya ialah dua hal yang sulit dipisahkan, perbedaannya bila mitos bertumpu pada kepercayaan, sedangkan ideologi pada
intelektualitas. Tetapi mitos akan lumpuh pada waktu normal, jika merujuk pada sejarah, mitos lebih subjektif, sedangakan ideologi lebih objektif. Sobur, 2004:
209
2.1.11. Kode – Kode Pembacaan
Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland Barthes didalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok five major codes
yang didalamnya semua penanda tekstual baca : leksia dapat dikelompokkan. Setiap atau masing – masing leksia dapat dimasukkan kedalam salah satu dari
lima buah kode ini. Kode – kode ini menciptakan sebuah jenis jaringan network. Barthes, 1990: 20. Adapun kode – kode pokok tersebut yang dengannya seluruh
aspek tekstual yang signifikan dapat dipahami meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian – bagiannya berkaitan
satu sama lain dan terhubung dengan dunia luar teks.
Kelima jenis kode tersebut meliputi hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik dan kode kultural.
1. Kode Hermeneutik atau Kode Teka – Teki
Berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka – teki merupakan unsure
struktur yang utama dalam narasi tradisional. Didalam narasi ada suatu
tempat kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka – teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
2. Kode Semik atau Kode Konotatif
Kode semik atau kode konotatif banyak yang menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat
bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu
kumpulan satuan konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes
menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.
3. Kode Simbolik
Merupakan suatu pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural atau tepatnya menurut Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada
gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fenomena dalam proses produksi wicara,
maupun pada taraf oposisi yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal , perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui
istilah retoris seperti antitesis yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.
4. Kode Proaretik atau Kode Tindalakan Lakuan
Kode proaretik atau kode tindakan lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya antara lain semua teks
yang bersifat naratif. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan
di “isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks.
5. Kode Gnomik atau Kode Kultural
Kode ini merupakan acuan teks benda – benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi
oleh acuan apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal – hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya
para penulis bertumpu. Sobur, 2003: 65 – 66
2.2. Kerangka Berpikir
Penelitian lagu ini dibangun dengan tanda, yang didasarkan pada lirik lagu yang memiliki muatan atau pesan tertentu yang berkaitan dengan permasalahan
terhadap situasi sosial yang ada di masyarakat. Akhir-akhir ini banyak lagu yang mengangkat fenomena perempuan.
Dalam sebuah lagu, perempuan selalu digambarkan lekat dengan berbagai macam stereotipnya dalam masyarakat sebagai sosok yang tidak suka berbicara
kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya.
Fenomena yang menjadikan perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan perempuan untuk
mendapatkan kedudukan setara dengan laki-laki. Perjuangan-perjuangan itu memunculkan apa yang disebut dengan feminisme.
Kemudian muncul pertentangan terhadap pandangan feminisme yang berlaku dalam masyarakat, yang disebut dengan posfeminisme. Dimana
perempuan digambarkan sebagai sosok perempuan yang mandiri, akan tetapi dalam kemandiriannya, seorang perempuan posfeminis juga tetap membutuhkan
sosok laki-laki dalam hidupnya sebagai pelengkap hidupnya, karena seorang posfeminis sadar bahwa dirinya juga menjadi objek seks bagi laki-laki disamping
dia sebagai sosok perempuan mandiri dengan kepercayaan diri yang tinggi yang bisa meraih segalanya.
Salah satu lagu yang mengangkat masalah sosial masyarakat adalah lagu “Tokek Racun” yang mengungkapkan tema tentang perempuan yang memiliki
sebuah kekuasaan. Dalam lirik lagu “Tokek Racun” seorang perempuan digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki “karakter”,cantik, mandiri,
kuat, dan berambisi dalam memanfaatkan sebuah kekuasaan yang dimilikinya untuk mencapai apa yang diinginkan.
Lirik lagu “Tokek Racun” menimbulkan ketertarikan pada peneliti untuk mencari tahu bagaimana kuasa perempuan dalam lagu tersebut, bagaimana
seorang perempuan digambarkan dapat mencapai kuasa atas laki-laki, sementara
stereotip yang berkembang dalam masyarakat bahwa kodrat perempuan merupakan subordinasi yang tidak berhak atas kuasa apapun.
Dalam penelitian ini peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda yang berbentuk tulisan pada lirik lagu “Tokek Racun” dalam hubungannya dengan teori
feminisme dan posfeminisme dengan menggunakan metode semiologi Roland Barthes dengan menitikberatkan pada tanda denotatif dan tanda konotatif serta
kelima kode. Roland Barthes menunjukkan aspek-aspek denotatif tanda-tanda dalam menyingkap konotasi yang pada dasarnya mitos-mitos yang dibangkitkan
oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat.
Dalam pendekatan Roland Barthes terdapat signifikasi dua tahap yaitu tahap pertama terdapat komponen penanda dan petanda, yang disebut makna
denotasi, tanda itu akan dikaitkan dengan reality eksternal kenyataan yang ada di luar. Tahap kedua adalah penanda dan petanda itu mempunyai bentuk makna
konotasi yang isinya mengandung mitos dan berkaitan dengan budaya sekitar.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Artinya, data yang digunakan merupakan data kualitatif , yaitu tidak menggunakan data atas angka –
angka, melainkan berupa pesan – pesan verbal tulisan yang terdapat dalam lirik lagu “Tokek Racun”. Data – data kualitatif tersebut berusaha dimaknai dengan
rujukan, acuan, atau referensi – referensi secara ilmiah. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong 2001: 3 menggunakan
metode kualitatif sebagai berikut: “Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada individu secara
holistik utuh. Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan ke dalam variabel atau hipotesis tetapi memandangnya sebagai keutuhan”.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif -
interpretative, penelitian ini akan mendekontruksi tanda – tanda dengan menggunakan metode semiotik dari Roland Barthes, yaitu metode signifikasi dua
tahap two order signification. Dimana pada tataran pertama tanda denotatif denotative sign terdiri atas penanda dan petanda signifier signified dan pada
tataran kedua, tanda denotatif denotative sign juga merupakan penanda konotatif konotative signifier sehingga muncul petanda konotatif konotatif signified yang
membentuk tanda konotatif konotatif sign. Dalam tahap kedua dari tanda konotatif akan muncul mitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan
budaya sekitar.
41