ada adalah property produk tertentu. Justru yang diberikan sangat metodis, seolah-olah mengatakan bahwa dengan cara do
it your self, kegiatan dapur tidak jauh berbeda dengan dunia pabrik. Dengan gaya ini, maka akan timbul ilusi psikologis
bagi perempuan. 5.
Citra Pergaulan : Dalam citra ini perempuan digambarkan
sebagai makhluk yang dipenuhi dengan kekhawatiran tidak memikat, tidak menawan, tidak bisa dibawa ke tempat umum
dan sebagainya. Iklan ini mengesankan bahwa perempuan sangat ingin diterima oleh lingkungan sosial tertentu. Untuk
dapat diterima, perempuan harus memiliki penampilan fisik yang menarik seperti bentuk lekuk tubuh, aksentuasi tertentu
dengan menggunakan kosmetik atau aksesori yang selaras, sehingga bisa tampil anggun. Ini artinya, kaum perempuan
dianjurkan untuk membuat statement tentang kepribadiannya melalui hal-hal fisik seperti pakaian, perihasan sehari-hari
Kuswandi, 2008 : 69.
2.1.6 Pendekatan Semiotik dalam Iklan Televisi
Menurut John Fiske dalam introduction to communication studies, komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama
dikenal, namun hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat membaginya dalam dua perspektif,
yaitu : segi proses, serta sisi produksi dan pertukaran makna Fiske, 2006: 9. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan
menggunakan perspektif yang kedua yakni: sisi produksi dan pertukaran makna.
Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi
dengan orang-orang disekitarnya, untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam
budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan berkomunikasi, karena ada pemahaman yang berbeda antara pengirim
pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikansinya dan bukan kejelasan sebuah pesan yang
disampaikan. Untuk itulah, pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks iklan dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.
Menurut chandler pada tahun 2002 model linguistik seringkali mengarahkan unit analisis sebuah media audio visual pada
analogi-analogi linguistik. Pada semiotik film iklan, model ini mengeneralisasikan secara kasar bahwa dalil-dalil dalam film iklan
sama dengan bahasa tulis, seperti : frame sebagai morfem atau kata, shot sebagai kalimat, scene sebagai paragraph, dan sequence sebagai
bab. Bagi anggota dari Glasgow University Media Group, unit analisis sebuah film iklan adalah shot yang dibatasi oleh cuts dan camera
movement. Meskipun, banyak kritik yang mengatakan bahwa
kemungkinan digunakan shot sebagai analisis adalah sangat kecil, karena tingkat kesulitan yang tinggi. Akhirnya, untuk menghindari
pertentangan term linguistik tersebut, Algidras Greimas menggunakan term “seme” yang merupakan unit bermakna dari sebuah tanda
www.aber.ac.uk. Artinya, dalam menerapkan pendekatan semiotik pada iklan
televisi, kita harus memperhatikan aspek medium televisi yang berfungsi sebagai tanda. Dari sudut pandang inilah, pengambilan
kamera untuk selanjutnya disebut Shot dan kerja kamera camera work saja. Hal ini karena, dengan cara ini peneliti bisa memahami
shot apa saja yang muncul dan bagaimana maknanya. Misalnya, Close- Up CU Shot yaitu, pengambilan kamera dari leher ke atas atau
menekankan bagian wajah. Makna dari CU shot adalah keintiman dan sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau
kerja kamera, yaitu bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya Panning-Up atau Pan-Up yaitu gerak kamera mendongak pada poros
horizontal atau dengan kata lain kamera melihat ke atas dan ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada obyek yang diambil.
Berger, 1982: 37 Sumarno menambahkan bahwa tidak hanya Shot dan Camera
Work yang harus diperhatikan, tetapi suara juga harus diperhatikan. Karena, suara meliputi Sound Effect dan musik. Televisi sebagai media
audio visual tidak hanya mengandung unsur visual, namun juga suara.
Sebab suara merupakan aspek kenyataan hidup. Seperti halnya, suara menghentak, lemah dan sebagainya memiliki makna yang berbeda-
beda. Artinya, setiap suara mengekspresikan sesuatu yang unik. Sumarno, 1996: 71.
Pembuatan iklan diasumsikan sama dengan pembuatan film cerita. Hal ini dikarenakan analisis semiotik yang dilakukan pada
cinema atau film layar lebar menurut Fiske disetarakan dengan analisis film iklan yang ditayangkan di Televisi. Sehingga, analisis yang
dilakukan pada iklan “ Permen Sukoka “ dibagi menjadi dua level, yaitu:
1. Level Realitas
Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian dan make-up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku,
ucapan, gesture, ekspresi, suara dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui
kode-kode teknis. Kode-kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa:
1. Penampilan, kostum dan make-up yang digunakan oleh model
diiklan “ Permen Sukoka ”. Dalam penelitian ini tokoh yang menjadi obyek penelitian adalah tokoh wanita perayu yang ada
di dalam versi iklan tersebut. Bagaimana pakaian yang digunakan dan penampilan bahasa tubuh yang diperagakan,
serta apakah kostum dan penampilan yang ditampilkan tersebut
memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.
2. Lingkungan atau Setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh
tersebut, bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya.
3. Dialog, apa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam
dialog. 2.
Level Representasi Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing,
musik dan suara yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk
representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, tagline, casting dan sebagainya
http:G:level_representasi_w.html. Level representasi meliputi: a.
Teknik Camera Ada tiga jenis Shot gambar yang paling dasar, yaitu :
1 Long Shot LS, Shot gambar yang jika obyeknya
adalah manusia, maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis shot ini
dapat dikembangkan lagi, yaitu Extreme Long Shot LES, mulai dari sedikit ruang dibawah kaki hingga
ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar Long Shot ini menggambarkan dan memberikan informasi
kepada penonton mengenai penampilan tokoh termasuk body language, ekspresi tubuh, gerak cara
berjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai kaki yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi
dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan itu. 2
Medium Shot MS, Shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga
sedikit ruang diatas kepala. Dari Medium Shot dapat dikembangkan lagi menjadi Wide Medium Shot WMS,
gambar Medium Shot tetapi agak melebar kesamping kanan-kiri. Pengambilan gambar Medium Shot
menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih
dekat lagi dibandingkan Long Shot. 3
Close-Up CU, Shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia, maka diukur dari bahu hingga sedikit
ruang diatas kepala. Pengambilan gambar Close Up menggambarkan dan memberikan informasi kepada
penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton.
4 Extreme Close-Up, menggambarkan secara details
ekspresi pemain dari suatu peristiwa lebih detail pada
ekspresi tubuh, contohnya : mata, bibir, tangan, dan sebagainya.
Sedangkan untuk teknik perpindahan kamera, antara lain: 1
Zoom, gerakan kamera yang secara cepat, baik sesungguhnya maupun buatan, menuju suatu objek.
Selain itu juga, diterapkan ketika menjauhi objek Effendy, 2002 : 156. Biasanya, digunakan untuk
memberi kejutan pada penonton, penekanan dialog dan atau tokoh, setting serta informasi tentang situasi dan
kondisi. 2
Dollying, pergerakan kamera selama pengambilan gambar dengan menggunkan kendaraan beroda yang
mengakomodasikan kamera dan operator kamera Effendy, 2002: 135. Kecepatan dollying ini mampu
mempengaruhi perasaan penonton. 3
Follow Shot, pengambilan gambar dengan kamera bergerak berputar untuk mengikuti pergerakkan
pemeran dalam adegan Effendy, 2002: 138. 4
Swish Pan, gerakan panning ketika kamera digerakkan secara cepat dari sebuah sisi ke sisi lain, menyebabkan
gambar di film menjadi kabur untuk memunculkan kesan gerakan mata secara cepat dari sisi ke sisi yang
lainnya. Effendy, 2002: 152 untuk menciptakan kondisi psikis penonton terlibat dalam adegan.
5 Teknik Editing
Editing merupakan proses pemilihan potongan film yang telah dihasilkan dan digunakan sehingga
membentuk urutan kesatuan cerita yang koheren. Beberapa teknik editing, antara lain :
1. Cut, transisi instant dari suatu gambar ke gambar
lainnya. Menunjukkan bahwa tidak ada jeda waktu.
2. Cut Back, mengubah gambar dalam film secara
cepat dari adegan saat ini ke adegan lain yang telah dilihat sebelumnya. Pemotongan ini
dilakukan tanpa ada transisi. 3.
Cut To.., secara cepat mengubah gambar dalam film dari adegan masa kini ke adegan lainnya,
tanpa ada transisi Effendy, 2002: 133. 4.
Jump Cut, melakukan pemotongan dari suatu pengambilan gambar ke gambar lainnya pada
sebuah film tanpa ada penyesuaian Effendy, 2002:140. Biasanya cut ini bertujuan membuat
adegan dramatis.
b. Pencahayaan
c. Penataan Suara
d. Penataan Musik
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada pencahayaan, penataan suara dan musik yang ada
dalam level representasi, karena ketiganya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi pencitraan
perempuan di iklan “ Permen Sukoka “.Penggunaan semiotika dalam iklan telah menjadi bagian penting dalam masyarakat modern. Analisis
iklan dengan pendekatan semiotika dapat dilakukan mengingat iklan yang merupakan fenomena semiotika advertisement semiotic activity.
Masyarakat sekarang lebih berorientasi pada apa yang dilihatnya dan telah banyak menggunakan sistem tanda lain di luar sistem tanda
verbal Panut, 1992: 56.
2.1.7 Semiotika Charles S. Pierce