Pembangunan Tugu (Tambak) di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea (1986-2005)

(1)

PEMBANGUNAN TUGU

(TAMBAK)

DI DESA TANGGA BATU I

KECAMATAN PORSEA (1986- 2005)

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

RANI E.S SITORUS

110706044

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua berkat, anugerah, dan pertolongan yang tak terhingga, yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis mampu merampungkan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan perkuliahan sekaligus untuk meraih gelar kesarjanaan di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Judul skripsi ini adalah Pembangunan Tugu (Tambak) di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea (1986-2005). Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Masih diperlukan pengkajian lebih lanjut dan lebih mendalam agar sejarah perkembangan pembangunan Tambak di desa Tangga Batu I dapat diketahui umum lebih komprehensif. Penulis mengharapkan masukan kritik, dan saran dari pembaca untuk perbaikan skripsi ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Oktober 2015 Penulis

Rani E.S.Sitorus NIM: 110706044


(3)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam mengerjakan skripsi ini, penulis mengalami banyak kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak, penulis mampu menghadapi kendala. Tulisan ini tidak akan dapat selesai tanpa dukungan, motifasi, dan bantuan dari berbagai pihak.Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, Pembantu Dekan I Dr. M Husnan Lubis, M.A. Pembantu Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs Yuddi Adrian Muliadi M.A. atas bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh selama kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno M.Hum. sebagai Ketua Departemen Sejarah dan sekaligus dosen yang telah membekali penulis dengan ilmu, nasihat dan bimbingan selama menimba ilmu di Departement Sejarah.

3. Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si. sebagai Sekretaris Departemen Sejarah sebagai dosen sekaligus dosen wali penulis.

4. Ibu Dra. Peninna Simanjuntak. M.S. selaku pembimbing penulis dalam penyelesaian tulisan ini.

5. Bapak dan Ibu dosen di Departemen Sejarah Bapak Drs. J. Fachruddin Daulay, Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum., Drs. Suprayitno, M.Hum., Drs. Budi Agustono, M.S., Drs. Sentosa Tarigan, M.S.P., Drs. Samsul Tarigan, Drs. Timbun Ritonga. dan Ibu Dra. Nurhamidah, M.A., Dra. Haswita. Dra. Fitriaty


(4)

Harahap ,S.U., Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si., Dra Ratna M.S., Dra. Nina Karina, M.S.P., Dra. Sri Pangestu Dewi Murni, M.A., Dra. Lila Pelita Hati, M.si. dan juga dosensaya dari Jurusan lain yang telah mendidik dan membekali penulis selama menempuh pendidikan menjadi mahasiswa.

6. Bapak Amperawira yang telah memberikan pelayanan administrasi di Departemen Sejarah Universitas Sumatera Utara.

7. Kedua orang tua penulis, Bapak Jonar Sitorus dan Ibu Tiurma Marpaung. beliau dengan penuh kasih sayang membesarkan, mendidik, dan mendoakan memberikan motivasi, nasehat, serta doanya yang selalu menyertai penulis . 8. Saudara penulis Hendra Sitorus, Anton Sitorus dan adik penulis Erni Armidi

Sitorus, Jekson Sitorus, kakak ipar penulis Martaida Naibaho dan Elida Natalia Sitanggang. Keluarga Besar penulis yang memberikan doa, nasehat, semangat, dukungan dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

9. Tokoh Adat, Kepala Desa, dan masyarakat desa Tangga Batu I. Terimakasih untuk keterbukaan informasinya dan memberi banyak masukan kepada penulis.

10.Sahabat kelompok Tumbuh Bersama dalam Kerohanian Asyer of disciple (Evelida Sinaga, Nelvida Panjaitan,Martionar Sinurat, Sonya Pandiangan, dan Wendi Girsang) yang memberimotivasi, masukan, dan dukungan doa.

11.Saudara-saudaraku Stambuk 2011 terkhusus kepada Yuki A.C Purba, Susan Yosephin Saragi, Nelly Octavia Tambunan, Dedek Murni Rejeki, Devi


(5)

Itawan, Mustika A.A, Sherly, Jan B.Nainggolan, Suhariadi Tambunan, dan teman yang belum tersebutkan namanya terimakasih untuk kebersamaan dengan kalian sejak tahun 2011 lalu. Khusus untuk kakak abang serta adik senior kakak Sepno Semsa Sitorus, Novita Butar-butar, Ira Sela Tarigan, kepada adik junior penulis yang juga turut mewarnai hari-hari penulis di kampus di antaranya Natalia Sitorus, Roy Harianto Sitorus,Rio Risky B.Sitorus, Ika Sirait, Muhamad Sofi Anwar Butar-Butar dan yang belum dapat disebutkan satu persatu.

12.“Kost Putri 21” terkhusus untuk kakak Martina Siburian, adik-adik penulis Doranda Sianturi, Mey Siregar, Elmawaty Samosir, Devianna Pasaribu. Terimakasih atas motivasi,doa, arahan, dan tawa yang selalu kalian berikan. 13.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua, bagi pihak yang tertarik pada pembangunan tambak pada Batak Toba, dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah khasanah para pembaca.

Medan, Oktober 2015 Penulis

Rani E.S.Sitorus Nim: 110706044


(6)

ABSTRAK

Judul skripsi ini: Pembangunan Tugu (Tambak) di Desa Tangga Batu I (1986-2005). Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif naratif untuk mengambarkan dan menganalisis motivasi yang mendorong masyarakat membangun tambak yang sedemikian megah, bagaimana perkembangan pembangunan tambak, serta dampak dari pembangunan tambak bagi masyarakat di Desa Tangga Batu I. Kajian ini membahas tentang sejarah kebudayaan dan adat istiadat suku Batak Toba khusus dalam perkembangan tambak sebagai salah satu cara menghormati para leluhurnya yang dianggap mampu memberi berkah yang melimpah kepada keturunannya.

Skripsi ini berisi motivasi dan perkembangan serta pergeseran kebudayaan sebagaimana telah jauh berbeda dengan makna awal dibangunnya tambak leluhur sebagai suatu penghornatan kepada nenek moyang. Perkembangan yang begitu signifikan menghantarkan masyarakat mempererat sistem kekerabatan yang telah bertahan sebagai sebuah warisan leluhur. Perkembangan pembangunan tambak menunjukkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang semakin meningkat, sehingga mampu menunjukkan kehebatan suatu marga di depan marga lain. Dalam tulisan ini penulis ingin menunjukkan motivasi Masyarakat dalam membangun tambak, bagaimana perkembangan pembangunan tambak secara kualitatif dan kuantitatif, serta dampak dari pembangunan tambak itu sendiri bagi masyarakat. Dengan demikian Nampak jelas apa perubahan yang terjadi baik dalam bangunan maupun masyarakat yang terlibat di dalamnya.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut mencakup heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (mengkritisi setiap sumber informasi), interpretasi (penafsiran terhadap sumber) dan historiografi (penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan dekskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis.

Penelitian sejarah, tentang perkembangan pembangunan tambak menujukkan bahwa pergeseran nilai-nilai kebudayaan itu sangat jelas terlihat ketika sebuah adat istiadat dijalankan tidak sesuai dengan tujuan awal yaitu untuk menghormati para leluhur yang di anggap pemberi berkat kepada keturunan yang masih hidup. Tidak menjadi sebuah ajang pertunjukan kehebatan yang dimiliki marga tertentu. Skripsi ini diharapkan dapat membuka pemikiran sejarah yang lebih dalam mengenai motif dan Perkembangan Pembangunan tambak pada tahun 1986 -2005.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR………...………...i

UCAPAN TERIMAKASIH………...………..………...ii

ABSTRAK………...………...v

DAFTAR ISI………...………....vi

DAFTAR TABEL………..……….…....ix

DAFTAR LAMPIRAN…..…….………....x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……...………...1

1.2 Rumusan Masalah.………..………7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………..…………...8

1.4 Tinjauan Pustaka………..……...10

1.5 Metode Penelitian………..……...11

BAB II MOTIF PEMBANGUNAN TAMBAK DI DESA TANGGA BATU I KECAMATAN PORSEA 1986-2005 2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 2.1.1 Gambaran Umum Desa Tangga Batu I...…..…..……....…14

2.1.2 Keadaan Penduduk Desa Tangga Batu I…………...20

2.1.3 Mata Pencaharian Penduduk Desa Tangga Batu I.…....…..21


(8)

2.1.5 Kontribusi Pabrik Toba Pulp Lestari bagi Penduduk

Setelah Kembali Beroperasi……….………...27

2.2. Motif Pendorong Masyarakat Setempat Membangun Tambak 2.2.1 Sistem Nilai Budaya yang Dianut Masyarakat…...….…..29 2.2.2 Cita- Cita Dasar dalam Hidup……….………..……...32

2.3. Pembangunan Tambak di Desa Tangga Batu I………...…..33

BAB III PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN TAMBAK DI DESA TANGGA BATU I 1986-2005 3.1 Sistem Religi Masyarakat Batak Toba………...………..….37

3.2 Nilai-Nilai Utama Suku Batak Toba………...…………..…43

3.2.1 Kekerabatan………..…...…44

3.2.2 Religi……….………...45

3.2.3 Hagabeon………...46

3.2.4 Hamoraon………..….49

3.2.5 Hasangapon………....50

3.2.6 Hamajuon………51

3.2.7 Hukum( Patik dohot Uhum)………....51

3.2.8 Pangayoman………53

3.2.9 Konflik……….54

3.3 Kedudukan Tambak dalam Kebudayaan Batak Toba Di Desa Tangga Batu I………..…….…..59 3.4 Perkembangan Pembangunan Tambak di Desa Tangga Batu I


(9)

3.4.1 Perkembangan Secara Kuantitatif……….………...64

3.4.2 Perkembangan Secara Kualitatif…….……….67

BAB IV DAMPAK PEMBANGUNAN TAMBAK DI DESA TANGGA BATU I KECAMATAN PORSEA 1986-2005 4.1 Silsilah dan Alat Mempererat Hubungan Sosial…………..….…70

4.2 Tambak sebagai Gengsi Sosial( social prestige)…………...…....72

4.3 Dampak Pengalian Tulang Belulang dan Pembangunan Tambak……….75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………....80

5.2 Saran………..…81

DAFTAR PUSTAKA………...83

DAFTAR INFORMAN……….…...86


(10)

DAFTAR TABEL

1. Tabel luas desa Sisaba sebelum dan sesudah berdirinya P.T Inti Indorayon

utama………..…………...………..17 2. Tabel luas desa Huta Nagodang sebelum dan sesudah berdirinya P.T Inti

Indorayon utama………….…...18 3. Tabel luas desa Tangga Batu I setelah P.T Inti Indorayon Utama

berdiri………...………...19 4. Perkembangan pembangunan tambak di desa Tangga Batu I secara

kuantitatif…………..……….…………...………..….…...64 5. Perkembangan pembangunan tambak di desa Tangga Batu I secara


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar Informan

2. Peta Desa Tangga Batu I 3. Daftar Istilah

4. Gambar Bangunan Tambak Tahun 1986 hingga Tahun 1990 5. Gambar Bangunan Tambak Tahun 1991 hingga Tahun 1995 6. Gambar Bangunan Tambak Tahun 1996 hingga Tahun 2000 7. Gambar Bangunan Tambak Tahun 2001 hingga Tahun 2005


(12)

ABSTRAK

Judul skripsi ini: Pembangunan Tugu (Tambak) di Desa Tangga Batu I (1986-2005). Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif naratif untuk mengambarkan dan menganalisis motivasi yang mendorong masyarakat membangun tambak yang sedemikian megah, bagaimana perkembangan pembangunan tambak, serta dampak dari pembangunan tambak bagi masyarakat di Desa Tangga Batu I. Kajian ini membahas tentang sejarah kebudayaan dan adat istiadat suku Batak Toba khusus dalam perkembangan tambak sebagai salah satu cara menghormati para leluhurnya yang dianggap mampu memberi berkah yang melimpah kepada keturunannya.

Skripsi ini berisi motivasi dan perkembangan serta pergeseran kebudayaan sebagaimana telah jauh berbeda dengan makna awal dibangunnya tambak leluhur sebagai suatu penghornatan kepada nenek moyang. Perkembangan yang begitu signifikan menghantarkan masyarakat mempererat sistem kekerabatan yang telah bertahan sebagai sebuah warisan leluhur. Perkembangan pembangunan tambak menunjukkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang semakin meningkat, sehingga mampu menunjukkan kehebatan suatu marga di depan marga lain. Dalam tulisan ini penulis ingin menunjukkan motivasi Masyarakat dalam membangun tambak, bagaimana perkembangan pembangunan tambak secara kualitatif dan kuantitatif, serta dampak dari pembangunan tambak itu sendiri bagi masyarakat. Dengan demikian Nampak jelas apa perubahan yang terjadi baik dalam bangunan maupun masyarakat yang terlibat di dalamnya.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut mencakup heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (mengkritisi setiap sumber informasi), interpretasi (penafsiran terhadap sumber) dan historiografi (penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan dekskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis.

Penelitian sejarah, tentang perkembangan pembangunan tambak menujukkan bahwa pergeseran nilai-nilai kebudayaan itu sangat jelas terlihat ketika sebuah adat istiadat dijalankan tidak sesuai dengan tujuan awal yaitu untuk menghormati para leluhur yang di anggap pemberi berkat kepada keturunan yang masih hidup. Tidak menjadi sebuah ajang pertunjukan kehebatan yang dimiliki marga tertentu. Skripsi ini diharapkan dapat membuka pemikiran sejarah yang lebih dalam mengenai motif dan Perkembangan Pembangunan tambak pada tahun 1986 -2005.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali, bahkan mereka yang dikaruniai ingatan sekalipun tidak akan dapat menyusun kembali masa lampau secara utuh. Di dalam proses kehidupan manusia sudah tentu ada suatu peristiwa, tetapi hanya peristiwa yang banyak mengubah kehidupan manusia yang paling melekat dalam pikiran manusia sebagai sebuah kesan, sedangkan yang tidak meninggalkan kesan mendalam seringkali dilupakan oleh manusia sebagai suatu peristiwa sejarah. Dengan demikian, sebenarnya peristiwa sejarah baik yang berkesan maupun yang tidak berkesan dalam pikiran manusia secara moral merupakan tanggung jawab sejarawan untuk mengeksplorasikan untuk direkonstruksi menjadi sebuah historiografi.1

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik bersama dengan proses belajar dari keseluruhan budi pekertinya.2 Kebudayaan mengandung unsur-unsur yang universal sekalian merupakan isi dari kebudayaan yang ada di dunia yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian

1

Koentjaraningrat, Metode- metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hal. 27 2 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1983, hal 195.


(14)

hidup, dan sistem teknologi dan peralatan.3 Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor yang menentukan cara kehidupan masyarakat itu sendiri. Seseorang yang memiliki perilaku berdasarkan nilai-nilai budaya, terutama nilai moral dan etika maka akan disebut sebagai manusia yang berbudaya.

Nilai-nilai kebudayaan ini kemudian merupakan dasar yang spesifik untuk mengharapkan orang-orang bertingkah laku secara benar pada waktu yang tepat. Budaya menjadi pengikat diri individu-individu yang memberi ciri khas keanggotaan suatu kelompok yang berbeda dengan individu-individu dari kelompok budaya lain. Para etnosains4 percaya bahwa ideologi sebuah masyarakat terhadap prinsip itu biasanya dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup komunitasnya.5 Masyarakat Batak Toba adalah salah satu masyarakat berbudaya yang dikenal di Indonesia. Masyarakat Batak Toba mengakui kehidupan sosial mereka tidak dapat terlepas dari kebudayaan yang dimiliki.

Konsep Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon (kekayaan, kemuliaan dan keberhasilan) merupakan hal-hal yang sangat diidam-idamkan orang Batak. Hal ini sangat terlihat jelas dari ketaatan melaksanakan berbagai upacara adat merupakan cara yang harus ditempuh untuk menjamin tercapainya tujuan yang dimaksud. Dengan melakukan pemujaan kepada roh dari para leluhurnya, maka roh-roh tersebut akan memberkati segala yang dikerjakannya. Bagi masyarakat Batak Toba di

3Ibid, hal. 124.

4

Etnosains kurang lebih berarti pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih tepat lagi suatu suku bangsa atau kelompok sosial tertentu dimana penekanannya di sini adalah pada sistem atau perangkat pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, karena berbeda dengan pengetahuan masyarakat yang lain.

5 William Haviland, Antropologi, Jilid II, Edisi keempat, Jakarta: Erlangga Ihromi, 1998, hal.13.


(15)

Sumatera Utara, mengangkat martabat sebuah marga itu merupakan hal yang penting. Salah satunya dengan melaksanakan ritual mangongkal holi6 (memindahkan tulang belulang leluhur), bangunan permanen yang di khususkan untuk orang meninggal dan kerangka manusia untuk dikumpulkan di satu tempat baru yang lebih baik yang disebut Tambak. Masyarakat Batak Toba percaya bahwa kematian bukan akhir perjalanan hidup, namun justru tahap untuk mencapai kesempurnaan.7 Lewat rangkaian mangongkal holi ini maka akan tercapai hasangapon, atau kemuliaan sebuah keturunan marga. Dengan kehidupan masyarakat yang makmur masyarakat Batak Toba dapat mendirikan Tugu. Tugu pada umumnya adalah sebuah bangunan peringatan, akan tetapi pada masyarakat Batak Toba istilah Tugu lebih mendekati arti yang sering disebut tambak. Bagi masyarakat Batak mendirikan Tambak menjadi sangat penting karena masyarakat Batak masih mempercayai adanya hubungan orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Jadi, dalam tulisan ini penulis selanjutnya akan menggunakan kata tambak.

Tambak merupakan bagian penting bagi kebudayaan Batak Toba. Berbagai upaya dilakukan kelompok marga untuk dapat mendirikannya. Semakin mewah bentuknya dan semakin besar ukurannya, maka semakin bangga kelompok yang memilikinya. Mendirikan tambak sangat penting, karena sebagian orang Batak Toba

6 Mangongkal Holi ( panangkok saring-saring) merupakan salah satu upacara adat suku batak

toba. “Mangongkal ” artinya menggali,Sedangkan ”Holi” artinya adalah Tulang, makan dapat dikatakan Mangongkal Holi adalah mengggali Tulang. Mangongkal Holi berasal dari kultur Batak Toba Pra-Kristen Yang menganggap upacara ini perlu sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada orang tua atau leluhur yakni dengan meninggikan posisi tulang belulang di atas tanah khususnya di bukit yang tinggi dan batu yang keras.

7 Basyral Harahap dan Hotman Siahaan Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak, Jakarta:Sanggar William Iskandar, 1987, hal.15.


(16)

masih mempercayai adanya hubungan manusia dengan roh orang yang sudah meninggal.

Kemegahan tambak dan besarnya biaya pesta tambak merupakan sarana marga itu untuk menunjukkan kehebatan mereka di hadapan marga lainnya. Masyarakat Batak Toba sangat bersemangat untuk menunjukkan kehebatan masing-masing marga mereka. Kemegahan tambak merupakan sarana untuk menunjukkan ketinggian gengsi sosial (social prestige) terhadap marga-marga lainnya. Cara tersebut ditempuh sebagai salah satu jalan untuk memperoleh pengakuan dari marga lain akan kehebatan atau kemuliaan marganya.

Masyarakat Batak Toba untuk menunjukan kehebatan marga mereka di depan marga lainnya ada nilai-nilai yang dipegang yang mendasari motif- motif penentu keberhasilan Suku Batak. Ada tiga bentuk motif pada individu yang mempengaruhi filsafat hidup masyarakat Batak Toba ketiga motif itu, yaitu (1) achievement motive (2) power motive dan (3) affiliation motive.8 Atau lebih kita kenal dengan istilah motif prestasi, motif kekuasaan dan motif persatuan. Ini menunjukkan bahwa meskipun suku bangsa Batak Toba mayoritas penduduknya hanya bermata pencaharian sebagai petani dengan kehidupan yang sederhana, mereka memperlihatkan kompetensi akademis dan kebutuhan berprestasi yang sangat besar. Masyarakat Batak Toba meletakkan pendidikan sebagai hal yang utama dalam kehidupan mereka. Antara keluarga Batak Toba yang satu dengan yang lainnya saling

8 Irmawati , Nilai-Nilai yang Mendasari Motif-Motif Keberhasilan Suku Batak, studi psikologi ulayat, Disertasi, 2007.


(17)

berkompetisi dalam menyekolahkan anak-anaknya. Dengan pendidikan yang tinggi, orang Batak Toba semakin mudah untuk menembus kesuksesan. Nilai-nilai hamoraon, hagabeon, dan hasangapon mengandung prinsip menguasai yang dalam bentukan psikologis menumbuhkan motif untuk mempengaruhi/menguasai orang lain (the power motive) dan motif untuk berprestasi (the achievement motive). The power motive dan the achievement motive berada dalam satu kesatuan, kesatuan yang saling berinteraksi dan bersifat melengkapi karena hanya dengan menunjukkan prestasi, seorang individu Batak Toba akan memiliki pengaruh.

Selanjutnya, maka the affiliation motive merupakan motif untuk penyatuan dan menunjukkan kehebatan satu kelompok tertentu. Pada akhirnya dari penyatuan ini sering menghadapi kompetisi dan konflik yang merupakan satu kesatuan yang saling berinteraksi. Masyarakat Batak Toba sangat ingin menunjukkan bahwa dari keturunan marganya telah banyak yang memiliki pendidikan tinggi, kekayaan, jabatan, dan berbagai kehebatan lainnya. Untuk menunjukkan kehebatan satu marga dalam masyarakat maka muncul ide untuk membangun kubur tambak orang tua mereka.

Membangun tambak juga tidak terlepas dari keikutsertaan sanak saudara yang berada di tanah perantauan. Bagi sanak saudara yang berada di perantauan, keikutsertaan mereka ke dalam acara pesta tambak itu, juga merupakan kesempatan untuk memamerkan kehebatan dan keberhasilan mereka di perantauan. Kepada kerabat marga mereka yang berada di Bona Pasogit (daerah asal pertama marga). Semangat melakukan “pameran gengsi sosial” ini telah menimbulkan dorongan di


(18)

tengah-tengah orang Batak Toba untuk melaksanakan pesta pembangunan tambak marganya dengan sehebat mungkin.

Mereka ingin menunjukkan bahwa marganya tidak kalah dengan marga-marga lainnya, bahkan kalau bisa menunjukkan bahwa marga mereka jauh lebih hebat dari marga lainnya. Jika ditelusuri di sepanjang jalan lintas sumatera di kawasan Tobasa, Taput, dan Samosir begitu banyak bangunan tambak orang Batak di sepanjang pinggir jalan dengan aneka ragam desain bermunculan, bersaing menjadi yang paling mewah. Bentuknya beraneka ragam, bahkan banyak yang tampak megah dan unik. Padahal sebelumnya makam asli keluarga Batak cukup hanya ditandai dengan pohon beringin. Orang bahkan banyak yang sudah lupa bahwa istilah makam Batak yang asli adalah tambak.

Pembangunan tambak juga terdapat dan berkembang di kecamatan Porsea, di desa Tangga Batu I, Porsea yang mayoritas dihuni masyarakat Batak Toba. Masyarakat di desa ini juga menghormati para leluhurnya dengan cara membangun tambak peringatan terhadap leluhurnya. Meskipun pada awalnya desa Tangga Batu I ini mayoritas berpenghasilan dari pertanian tetapi dengan adanya pembangunan industri di desa ini memacu semakin majunya perekonomian desa ini dan pendapatan masyarakat bertambah. Pembangunan industri yang dimulai tahun 1986 pada akhirnya tidak hanya memajukan perekonomian, akan tetapi juga memajukan pola pikir dan perkembangan pendidikan masyarakat.

Dari uraian diatas, penulis tertarik mengangkat topik ini untuk diteliti apa motif masyarakat Batak Toba yang berada di desa Tangga Batu I membangun tambak orang yang sudah meninggal dengan begitu megah. Berdasarkan uraian di atas


(19)

penulis membuat Judul: Pembangunan Tugu (Tambak) di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea (1986 – 2005). Adapun cakupan temporal ditentukan pada tahun 1986 berdasarkan pada awal pembangunan dan beroperasi pabrik Inti Indorayon Utama atau nama baru yaitu PT. Toba Pulp Lestari,Tbk yang menjadi faktor pemicu semakin berkembangnya perekonomian masyarakat pada masa itu. Tahun penelitian ini di akhiri pada tahun 2005 yang merupakan tahun diadakannya pemekaran wilayah sebagai bentuk realisasi otonomi daerah.

1.2Rumusan Masalah

Dalam sebuah penulisan karya ilmiah, dibutuhkan rumusan masalah. Hal ini dimaksudkan agar penulisan yang di lakukan menjadi terarah dan tepat sasaran sesuai dengan objek yang telah ditentukan pada latar belakang. Dengan demikian, rumusan masalah sebagai berikut:

1. Motif pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea Tahun 1986-2005?

2. Bagaimana perkembangan pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea tahun 1986-2005?

3. Bagaimana dampak pembangunan tambak pada perkembangan Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea 1986-2005?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji maka selanjutnya sebuah penelitian tentu memiliki tujuan dan manfaat. Tujuan dari penelitian ini menjawab permasalahan yang sudah terlebih dahulu di rumuskan ke


(20)

dalam sebuah rumusan masalah. Memang masa lampau manusia tidak dapat ditampilkan dalam rekonstruksi seutuhnya, namun rekonstruksi manusia perlu dipelajari sehingga diharapkan mampu membandingkan masa kini dengan masa yang akan datang.

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menjelaskan motif pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir periode 1986-2005.

2. Menjelaskan perkembangan pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir periode 1986-2005.

3. Menjelaskan dampak pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir periode 1986-2005.

Selanjutnya, terlaksananya penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Menambah pengetahuan sekaligus memotivasi peneliti dalam menghasilkan karya-karya historiografi sejarah kebudayaan serta memberikan referensi literature yang berguna terhadap dunia akademis, terutama dalam studi ilmu sejarah guna membuka ruang penulisan sejarah kedepannya.

2. Dengan penelitian ini diharapkan memperkaya khasanah penelitian sejarah kebudayaan serta menambah wawasan masyarakat tentang perkembangan kebudayaan dari masa lampau hingga di era yang semakin modern ini.

3. Menjadi referensi bagi pemerintah dalam memahami perkembangan yang terjadi pada kebudayaan batak toba untuk kedepannya menjadi referensi mempertahankan khasanah kebudayaan.


(21)

1.4Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan karya ilmiah, maka diperlukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk mendukung penelitian tersebut. Dalam hal ini penulis memakai beberapa buku sebagai acuan untuk mendukung penulisan tersebut. Tinjauan pustaka adalah literatur yang relevan dan memiliki keterkaitan secara dekat dengan pokok permasalahan yang di teliti. Tinjauan pustaka berisi tentang uraian-uraian yang mengarahkan peneliti betapa pentingnya literatur sehingga digunakan sebagai sumber acuan yang menimbulkan ide, sumber informasi dan pendukung penelitian. Adapun literatur yang digunakan peneliti yang berkaitan langsung dengan permasalahan adalah sebagai berikut:

Hotman Siahaan dan Bahsyral Harahap dalam Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak (1987), menguraikan budaya-budaya Batak yang berinteraksi dan bermasyarakat dengan manusia lain baik yang memiliki hubungan kekerabatan maupun tidak serta dapat saling tolong-menolong dalam memenuhi kebutuhannya. Hal inilah yang kemudian dijadikan penulis sebagai acuan bahwasannya masyarakaat yang berorientasi dengan manusia lain.

Bungaran Antonius Simanjuntak dalam konflik status dan kekuasaan orang Batak Toba (2009), memuat perihal religi, kekuasaan dan adat-istiadat yang lama berkembang di Batak Toba yang memuat gejolak sosial yang terjadi dalam interaksi masyarakat.

Togar Nainggolan dalam Batak Sejarah Toba dan Tranformasi religi (2012), membahas tentang gejolak sosial yang terjadi dan sistem perubahan sistem religi


(22)

yang mengalami proses akulturasi dengan kepercayaan masyarakat terhadap adat-istiadat dan sistem yang telah lama berkembang.

William Haviland dalam Antropologi (1998), banyak membahas mengenai aneka kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai suatu acuan untuk berinteraksi serta menceritakan objek kajian terhadap identitas masyarakat zaman dahulu sehingga identitasnya kembali dapat ditelusuri.

Irmawati dalam Nilai-Nilai yang Mendasari Motif-Motif Penentu Keberhasilan Suku Batak (2007), (disertasi) membahas mengenai upaya memahami keberhasilan suku Batak Toba dan bagaimana nilai-nilai dalam konteks budaya masyarakat suku Batak Toba yaitu: Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon menumbuhkan motif prestasi, motif kekuasaan dan motif persatuan bagi suku Batak Toba, yang kemudian memotivasinya bekerja keras mencapai keberhasilan.

J.C Vergouwen dalam Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (1986), membahas secara luas dan mendalam tentang seluruh sisi kehidupan masyarakat Batak Toba, Vergouwen dalam dalam tulisannya membahas secara detail, tentang kehidupan kemasyarakatan, struktur silsilah, konsep religious, persekutuan masyarakat, konsep hukum, hak kepemilikan tanah, politik lokal, kepercayaan asli, adat istiadat, dan pemecahan masalah diantara masyarakat Batak Toba. Tulisan ini menjadi salah satu rujukan penting dalam memahami dan mendalami masyarakat adat yang ada di Indonesia yaitu Batak Toba.


(23)

1.5Metode Penelitian

Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menganalisis serta mengungkapkan kembali fakta–fakta masa lampau. Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum didalam metode sejarah sangat membantu setiap penelitian didalam rekonstruksi kejadian masa lampau. Adapun prosedur dalam pengumpulan data penelitian ini tidak terlepas dari empat tahapan penelitian yaitu tahap pencarian dan pengumpulan data atau sering disebut tahap heuristik, tahap kritik terhadap data (kritik intern dan kritik ekstern), tahap penginterpretasian data dan tahap penulisan atau histografi. Metode sejarah berisi tahapan yang harus dilalui untuk menghasilkan sebuah tulisan sejarah. Tahapan-tahapan tersebut adalah heuristik, kritik, intepretasi, dan historiografi.9

a. Heuristik

Tahap pertama adalah heuristik. Secara sederhana heuristik berarti metode sejarah untuk mencari dan pengumpulan sumber-sumber historis yang berkaitan dengan topik penelitian. Pada tahapan ini peneliti akan mencari data-data melalui dua cara yaitu melakukan studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field search). Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan lainnya. Untuk mengumpulkan sumber pustaka penulis akan mengunjungi beberapa perpustakaan yakni, Perpustakaan Universitas Sumatera

9 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI Press, 1985, hal. 8-9.


(24)

Utara, Perpustakaan Universitas Negeri Medan, Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, dan Perpustakaan Tengku Lukman Sinar. Pada studi lapangan nantinya peneliti akan lebih menekankan pada metode wawancara. Hal ini dapat dilakukan karena masih terdapat informan yang memahami terkait rumusan permadalahan yang diangkat.

b. Verifikasi

Setelah mendapatkan sumber-sumber yang diinginkan, maka tahap kedua dalam penelitian selanjutnya adalah kritik sumber. Pada tahap ini, sumber-sumber relevan yang telah diperoleh diverifikasi kembali untuk mengetahui keabsahannya.10 Oleh karena itu perlu dilakukan kritik, baik kritik interen maupun eksteren. Kritik intern data yang didapat baik dari sumber lisan maupun tulisan akan di klasifikasikan menjadi sumber primer ataupun sumber sekunder. Selanjutnya, sumber primer dan sekunder melalui proses kritik eksternal, Kritik eksteren mencakup seleksi dokumen. Apakah dokumen tersebut perlu digunakan atau tidak dalam penelitian. Kemudian juga menyoroti tampilan fisik dokumen, mulai dari ejaan yang digunakan, jenis kertas, stempel, atau apakah dokumen tersebut telah dirubah atau masih orisinil ataupun hasil wawancara dengan informan yang kemudian pada akhirnya diuji kembali keaslian sumber tersebut demi menjaga agar data yang di dapat merupakan data yang objektif. Dengan demikian kritik intern dan ekstern merupakan bagian penting dalam proses penelitian sumber sejarah.

10 Kuntowijoyo,”

Pengantar Ilmu Sejarah”, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995, hal.99.


(25)

c. Interpretasi

Tahap selanjutnya adalah intepretasi. Intepretasi merupakan tahapan ketiga dalam metode sejarah. Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian penafsiran-penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikritik. Dalam tahap ini, data yang diperoleh dianalisis kembali sehingga melahirkan hasil analisis yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang di teliti, sesuai dengan rumusan masalah yang telah di buat.

d. Historiografi

Tahap terakhir dari penelitian sejarah adalah historiografi. Historiografi merupakan penyusunan hasil interpretasi menjadi satu kisah atau kajian yang menarik yang tersusun secara sistematis. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif analisis setiap data dan fakta yang ada untuk mendapat penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah.


(26)

BAB II

MOTIF PEMBANGUNAN TAMBAK DI DESA TANGGA BATU I KECAMATAN PORSEA 1986-2005

2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

2.1.1 Gambaran Umum Desa Tangga Batu I

Adapun faktor geografis dalam penulisan sejarah adalah merupakan suatu hal yang tidak boleh diabaikan. Sebab dengan melihat dan menganalisis daerah yang akan diteliti, maka akan diperoleh berbagai aktifitas yang pernah terjadi di daerah itu serta latar belakang historisnya. Cerita sejarah baru dianggap benar jika pengungkapan sejarah disertai dengan menyebutkan daerah tempat kejadian sejarah itu terjadi

Porsea adalah sebuah kecamatan yang berada di kabupaten Tapanuli Utara, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Sungai Asahan yang airnya bersumber dari Danau Toba mengalir membelah kota ini. Terdapat dua pabrik besar yang beroperasi di kecamatan ini di antaranya adalah PT Inalum dan juga PT. Inti Indorayon Utama atau yang paling sering disingkat PT.IIU. Pabrik yang berada tepat di Desa Tangga Batu I adalah PT. IIU. Terdapat pabrik pengolahan kertas PT Toba Pulp Lestari yang sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama. Pabrik ini berhenti beroperasi pada tahun 1998 karena protes masyarakat. Melihat kondisi di sekitar pabrik industri PT. Inti Indorayon Utama semakin buruk, maka pemerintah memutuskan untuk


(27)

memenuhi tuntutan masyarakat menutup kegiatan operasional PT. Indorayon Utama pada 13 Maret 1998.11

Kecamatan Porsea terdiri atas 14 desa, 3 kelurahan, dan 47 dusun/lingkungan dengan luas wilayah 37,89 km2. Jumlah penduduk 14,872 jiwa terdiri dari 7.773 laki-laki dan 7.099 perempuan, dengan jumlah 3.326 KK. Kecamatan Porsea berada pada 20-24’- 20-37 LU dan 990-03 - 990-16 BT.

Adapun Kecamatan Porsea berbatasan dengan wilayah:

Sebelah Utara : Kecamatan Lumban Julu

Sebelah Selatan : Kecamatan Silaen dan Sigumpar

Sebelah Barat : Kecamatan Uluan

Sebelah Timur : Kecamatan Siantar Narumonda

Kecamatan Porsea berada di dataran tinggi bukit barisan dengan ketinggian antara 905-1500 M di atas permukaan laut dengan topografi dan kontur tanah yang beraneka ragam yakni datar, landai, miring dan terjal. Sesuai dengan letak yang berada di garis khatulistiwa, Kecamatan Porsea tergolong ke dalam daerah tropis basah dengan suhu berkisar antara 170 C - 290 C.

Desa Tangga Batu I merupakan salah satu desa di Kecamatan Porsea yang dekat dengan daerah Porsea dengan wilayah terluas mencapai 6,43 Km2 atau sekitar

11 Protes masyarakat diakibatkan rusaknya tanaman dan juga rumah masyarakat akibat zat kimia yang terlalu banyak digunakan tetapi kurang dinetralisir saat dibuang menjadi limbah.


(28)

16,97 % dari luas total kecamatan Porsea. Selain itu kepadatan penduduknya dengan jumlah penduduk pendatangnya lebih banyak dibanding desa lain, jarak yang paling dekat dengan lokasi industri PT IIU. Desa Tangga Batu I sebelum berdiri PT Inti Indorayon Utama merupakan tempat pengembalaan kerbau sebagai hewan peliharaan masyarakat setempat. Pada masa itu Desa Tangga Batu I dikenal dengan nama Desa Sosor Ladang, karena Sosor Ladang berarti (kampung kecil yang masih banyak di tumbuhi rumput di ladang tempat penggembalaan kerbau).12

Desa ini masih jarang di huni masyarakat pada waktu itu karena masyarakat masih banyak tinggal di Huta Nagodang, salah satu dusun pedalaman. Desa Sosor Ladang adalah pada saat ini dikenal dengan nama Desa Tangga Batu I. Pada awalnya Desa Tangga Batu I merupakan desa yang belum banyak mengalami perkembangan baik dari segi pendidikan maupun dari segi pembangunan infrastuktur, sebelum didirikan pabrik ini. Direncanakan PT Toba Pulp Lestari, Tbk, didirikan sebagai realisasi Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri No. 6 tahun 1968 jo. Undang-Undang No. 12 tahun 1970 berdasarkan akta No. 329 tanggal 26 April 1983 dari Misahardi Wilamarta, SH, notaris di Jakarta. Akta pendirian telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam surat keputusannya No. C2-5130.HT01-01 TH.83 tanggal 26 Juli 1983, serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 97 tanggal 4 Desember 1984, Tambahan No 1176.13

12 Hasil wawancara dengan Bapak Mandahar Sitorus, tanggal 20 juli 2015. 13


(29)

Sebelum dibangunnya pabrik tersebut pada tahun 1985 Desa Tangga Batu I terdiri atas dua perkampungan yaitu: perkampungan Sisaba dan perkampungan Huta Nagodang. Letak kedua perkampungan sangat berdekatan sekali dengan pabrik Toba Pulp Lestari, Tbk yang terdiri atas sawah dan tanah berbatuan, dengan ketinggian 950-1500 m di atas permukaan laut. Daerah pegunungan di sekitar dua perkampungan ini mempunyai iklim tropis basah sehingga cocok untuk pertumbuhan pepohonan dan lokasi bagi industri pengolahan kayu. Kemudian dengan banyak pertimbangan dan mendapat izin maka dibangun industri yang bergerak di bidang pengolahan kayu yang berlokasi di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea. Desa Tangga Batu I ini adalah penyatuan dari dua perkampungan yaitu kampung Sisaba dan kampung Hutanagodang.

Tabel 1

Tabel Luas Desa Sisaba Sebelum dan Sesudah PT. IIU Berdiri No JENIS LAHAN LUAS LAHAN

SEBELUM INDUSTRI BERDIRI

LUAS LAHAN SETELAH INDUSTRI BERDIRI 1. PERKAMPUNGAN 75 ha 65 ha

2. SAWAH 94 ha 69 ha

3. BERBATUAN 90 ha 90 ha

Total 259 ha 234 ha


(30)

Tabel ini menunjukkan perkampungan Sisaba masih hutan dan belum ada eksploitasi terhadap daerah tersebut, sebelum desa itu pada akhirnya digabungkan dengan perkampungan Huta Nagodang.

Tabel 2

Tabel luas Desa Huta Nagodang Sebelum dan Sesudah PT. IIU Berdiri No JENIS LAHAN LUAS LAHAN

SEBELUM INDUSTRI BERDIRI

LUAS LAHAN SETELAH INDUSTRI

BERDIRI 1. PERKAMPUNGAN 79 ha 69 ha

2. SAWAH 80 ha 65 ha

3. BERBATUAN 90 ha 90 ha

Total 249 ha 234 ha

Sumber: Kantor kepala Desa Tangga Batu I, 2015

Tabel ini menunjukan perkampungan Huta Nagodang sebelum tergabung dengan perkampungan Sisaba menjadi desa Sosor Ladang yang akhirnya lebih dikenal dengan lebih nama Desa Tangga Batu I.

Adapun batas wilayah Desa Tangga Batu I antara lain:

Sebelah Utara : Desa Siantar Utara

Sebelah Selatan : Desa Pangombusan


(31)

Sebelah Timur : Desa Ambar Halim

Setelah PT. IIU berdiri tahun 1986, maka luas kedua desa ini berkurang 60 Ha. PT.IIU membeli tanah penduduk untuk lokasi pulp dan rayon dengan luas daerah 60 Ha. Ini dapat dilihat dari perubahan tanah penduduk.

Selanjutnya, PT.IIU tumbuh menjadi industri pulp dan rayon yang besar. Kedua desa tersebut disatukan menjadi satu desa pada tahun 1988 melalui usul pemerintah dan perusahaan serta persetujuan tokoh-tokoh adat, kepala desa, dan masyarakat. Fusi kedua (Desa Sisaba dan Desa Huta Nagodang) menjadi satu desa dengan nama baru yaitu Desa Tangga Batu I (Sosor Ladang) dengan luas pedesaan sebagai berikut:

Tabel 3

Tabel luas Desa Tangga Batu I Setelah PT. IIU Berdiri No JENIS LAHAN LUAS LAHAN

1. PERKAMPUNGAN 148 ha

2. SAWAH 120 ha

3. BERBATUAN 180 ha

Total 448 ha

Sumber: Kantor kepala Desa Tangga Batu I, 2015

Dengan adanya perubahan terhadap tanah penduduk Desa Tangga Batu I tersebut, setelah PT. Inti Indorayon Utama berdiri, maka areal pemukiman


(32)

masyarakat berkurang luasnya, akan tetapi mengalami perkembangan yang pesat pada tahun 1986 dalam pembangunan. Pembangunan secara fisik yang terjadi di Desa Tangga Batu I kian marak, ini terlihat dari hasil perubahan yang ditimbulkan oleh keberadaan perusahaan pulp dan rayon yang sudah mulai beroperasi.

2.1.2 Keadaan Penduduk Desa Tangga Batu I

Masalah demografi sebelum PT.Inti Indorayon Utama berdiri atau sebelum terjadinya penggabungan Desa Sisaba dan Desa Huta Nagodang, penulis tidak memperoleh data-data, karena kedua desa itu pada masa itu masih dipimpin oleh kepala desa masing-masing desa. Setelah PT. IIU berdiri dan kedua desa tersebut digabungkan menjadi Desa Tangga Batu I, maka faktor kependudukan sangat jelas mengalami perubahan dengan bergabungnya penduduk dua desa di tambah masuknya penduduk pendatang dari luar daerah, banyak datang dari luar pulau Sumatera dan bertempat tinggal di desa ini. Sangat jelas terlihat bahwa desa ini mengalami perubahan yang pesat dengan bertambahnya jumlah penduduk setempat dan migrasi penduduk luar yang bekerja sebagai karyawan dan karyawati perusahaan pulp dan rayon.

Angka kelahiran meningkat dengan tingkat menengah (middle-level). Maksudnya angka kelahiran penduduk semakin meningkat dari sebelumnya. Sebelum berdiri PT. IIU penduduk di Desa Tangga Batu I adalah masyarakat Batak yang terdiri dari marga Sitorus, Sirait, dan Manurung dari keturunan Ompu Narasaon. Akan tetapi marga yang paling banyak di desa ini adalah marga Sitorus.


(33)

Namun sejak pabrik ini beroperasi pada tahun 1986 Desa Tangga Batu I menjadi areal industri pulp dan rayon. Penduduk pendatang terdiri atas suku Jawa, Minangkabau, Karo, Nias, dan juga WNI( China, India). Peleburan kebudayan dari berbagai suku membuat masyarakat setempat dengan penduduk pendatang harus mampu berinteraksi dan saling toleransi. Hal ini mengakibatkan semakin banyak budaya baru masuk ke Desa Tangga Batu I. Interaksi sosial masyarakat Batak Toba dengan masyarakat pendatang yang berada di Desa Tangga Batu I semakin terlihat jelas. Pabrik kertas pulp dan rayon ini sangat membuka peluang besar tidak hanya bagi masyarakat pendatang tetapi juga bagi masyarakat Desa Tangga Batu I dan sekitarnya yang bekerja sebagai karyaan/karyawati di perusahaan raksasa ini. Namun pada awalnya hanya sebagai buruh kasar karena belum memiliki keahlian khusus dibidang pulp dan rayon juga mengoperasikan mesin pabrik.

2.1.3 Mata Pencaharian Penduduk Desa Tangga Batu I

Sebelum berdirinya PT. IIU, kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Tangga Batu I masih dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah. Masyarakat pada umumnya hidup hanya bergantung pada lahan pertanian hasil warisan. Dalam menopang kehidupannya masyarakat pada umumnya bergantung dari hasil pertanian di sawah yang mereka usahakan.

Sistem pengelolahan lahan pertanian yang diterapkan masih dilakukan dengan cara yang sederhana sekali dan bersifat tradisional yaitu menggunakan tenaga


(34)

manusia dan hewan.14 Dalam pengolahan tanah pertanian zaman dahulu bagi orang tua di kampung menjadi tenaga manusia yang disebut dengan Marsialap Ari (sistem gotong-royong).15 Disamping bertani mereka juga mengusahakan pemeliharaan ternak. Ternak yang dipelihara adalah beberapa kerbau, babi, dan unggas.

Perekonomian tidak mengalami perkembangan pesat dampaknya terhadap peningkatan mata pencaharian masyarakat karena hasil pertanian dan peternakan yang diperoleh hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Beras sebagai makanan pokok sering dikonversi dengan ubi kayu untuk penghematan, atau ubi kayu terlebih dahulu dimakan sebelum makan nasi.

Makan ubi sebelum makan nasi adalah sebuah cara makan yang dilakukan orang tua untuk bisa menghemat nasi. Beras sebagai bahan makanan pokok tidak mudah diperoleh seperti sekarang ini. Panen padi biasanya hanya sekali dalam satu tahun. Faktor lain yang membuat keadaan serba kekurangan adalah modernisasi pertanian dan sarana pertanian yang kurang memadai serta pengetahuan masyarakat kurang mendukung baik dalam pengolahan lahan pertanian, meningkatkan produksi hasil pertanian, dan masyarakat tidak semua mempunyai hewan–hewan ternak. Bisa dikatakan hanya beberapa keluarga yang mempunyai hewan ternak.

14

Hasil wawancara dengan Bapak Boturan Sitorus, tanggal 26 juli 2015. 15

Marsialap Ari yang dimaksud adalah adanya dua orang atau lebih kelompok masyarakat yang dalam pengerjaan ladangnya dilakukan secara bergantian, sebagai contoh Si A akan bekerja diladang si B untuk dua hari , maka si B juga akan bekerja di ladang si A hari selanjutnya, sebanyak hari yang di habiskan si A mengerjakan ladang si B. dan ini terkadang dilakukan agar kekompakan antar masyarakat perkampungan tetap terjalin.


(35)

Selain bertani, sebagian masyarakat mencari nafkah dengan berdagang dan bekerja sebagai pekerja harian. Pedagang adalah orang yang berdagang dari satu kampung ke kampung lain untuk menukarkan hasil pertanian. Sebelum berdirinya PT. IIU tingkat pengangguran terdapat di Desa Tangga Batu I. Penduduk tidak memiliki skill (keahlian) karena tingkat pendidikan rendah.

Sebagian masyarakat setempat tidak dapat mengenyam pendidikan yang berakibat meningkatnya pengangguran. Pada tahun 1986 pengangguran di Desa Tangga Batu I, dikategorikan sebagai berikut:

1. Pengangguran Musiman (unemployment of dynamic) 2. Pengganguran Tetap (unemployment of static)16

Pengangguran musiman dalam kehidupan sosial ekonomi Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea disebabkan mata pencaharian penduduk setempat bertani (1 kali setahun) dan tingkah laku masyarakat (Pattern of Behavior) masyarakat masih dipengaruhi kebiasaan social (Social Custom) yang tradisional. Mereka hanya dapat bekerja hanya pada waktu menuai hasil padi disawah secara keseluruhan, setelah habis masa menuai padi mereka menganggur. Itu sudah menjadi tradisi yang mengakar dari masa orang tua zaman dahulu. Biasanya setelah selesai menuai padi dari sawah, masyarakat Tangga Batu I hanya sebagian yang tergerak hatinya untuk

16

E. K Poerwandari, 2001. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia, edisi

Revisi. Jakarta: lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi(LPSP3) UI hal. 71-72.


(36)

pergi keladang untuk berkebun menambah pemasukan ekonomi keluarga sebagai tambahan pendapatan keluarga.17

Selanjutnya, Pengganguran tetap terjadi dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tangga Batu I disebabkan oleh faktor kemalasan. Dimana sebagian penduduk setempat hanya menerima apa adanya tanpa ada usaha untuk bekerja. Rata-rata pengangguran tetap ini duduk di kedai tuak dari pagi hingga sore menghabiskan hari-hari tampa guna, sambil marnonang ( bercerita). Disinilah sering munculnya penyakit orang batak yang sering di istilahkan HOTEL yaitu: Hosom (Sikap Bermusuhan ), Teal (Sombong), Elat (Cemburu ), dan Late (Benci ). Keempat pola pikir ini yang negative ini sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.

Hal ini sudah menjadi satu budaya kecil untuk dilakukan masyarakat Batak Toba khususnya yang ada di Desa Tangga Batu I. Terkadang membicarakan hal yang tidak penting tentang orang lain tanpa melihat ke dirinya sendiri. Hal ini juga yang sering menjadi pemicu konflik antar masyarakat.18

Setelah perencanaan dan kemudian PT. IIU berdiri tahun 1983 dan beroperasi pada tahun 1986 menjadi salah satu perusahaan raksasa pulp dan rayon, lambat laun terjadi perubahan yang sangat signifikan pada masyarakat Desa Tangga Batu I dan sekitarnya. Kemajuan pola pikir masyarakat Desa Tangga Batu I semakin berubah seiring berbaurnya penduduk pendatang dengan penduduk setempat. Yang membawa suatu perubahan besar baik dari segi interaksi sosial masyarakat, pendapatan

17

Hasil wawancara dengan Bapak Pardoal Sitorus, tanggal 30 juli 2015.

18

Hotman Siahaan dan Basyral Harahap. 1987. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta: Sanggar William Iskandar. Hal. 34.


(37)

penduduk setempat maupun pendatang, kemajuan infrastruktur, dan bahkan pembangunan beberapa gedung sekolah untuk anak-anak karyawan maupun masyarakat setempat.

Rata-rata penduduk pendatang selalu bersikap lembut dalam bertutur kata sebagai contoh ialah suku Jawa, Minangkabau, dan Karo bila dibandingkan dengan tutur kata masyarakat setempat yang tutur katanya sedikit lebih keras atau lebih lantang karena orang Batak Toba terkenal dengan ketegasannya. Pembauran ini menimbulkan terjadinya hubungan persaudaraan hingga terjadinya perkawinan antar suku. Pembauran ini juga membawa dampak hal baru baik bagi kebudayaan tradisional masyarakat Batak Toba yang tinggal di Desa Tangga Batu I.19

Beroperasinya pabrik pulp dan rayon meningkatkan mata pencaharian masyarakat. Masyarakat setempat yang memiliki kemampuan sedikit di fungsionalkan sebagai para pekerja di bagian yang hanya membutuhkan skill rendah. Sebagai contoh banyak ibu rumah tangga ataupun gadis di kampung bekerja sebagai buruh kasar di bagian pembibitan dan penghijauan sedangkan kaum pria di pekerjakan di bagian pabrik tetapi hanya sebagai karyawan biasa di lapangan. Pekerjaan ini di terima oleh masyarakat karena memang masyarakat setempat juga mengerti mereka tidak memiliki kemampuan khusus untuk mengoperasikan mesin industri.

Masyarakat menerima pekerjaan itu pada masa itu dengan bersyukur karena telah mengurangi jumlah angka pengangguran. Para orang tua menerima pekerjaan

19

E. F Purba & O.H.S Purba .1997. Migrasi Spontan Batak Toba (MARSERAK)


(38)

itu meski hanya sebagai buruh kasar, di pabrik yang di bangun di desa mereka demi mendapatkan tambahan pendapatan. Orang tua menerima pekerjaan ini untuk biaya menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin agar kelak tidak merasakan kesusahan seperti yang dirasakan oleh orang tuanya.

Meskipun dengan pendapatan yang rendah orang tua selalu memotivasi anak-anaknya untuk bersekolah setinggi mungkin. Ini menjadi tujuan dan mimpi dari orang tua masyarakat Batak Toba, menginginkan keberhasilan dan kesuksesan anak-anaknya di masa yang akan datang. Ada satu pemikiran dalam masyarakat Batak Toba anak-anak mereka harus lebih baik kesejahteraan hidupnya di masa mendatang. Satu motto orang Batak Toba adalah: “Anakkonhi do Hamoraon Di Ahu”. Anak adalah harta yang paling berharga,20 Orang tua menghabiskan waktu dan tenaganya sepanjang masa hidupnya untuk bekerja keras baik di ladang maupun sebagai buruh di pabrik asalkan anak-anak mereka mendapat pendidikan yang lebih baik.

2.1.4 Pendidikan Penduduk Desa Tangga Batu I

Pendidikan merupakan tolak ukur keberhasilan keluarga pada masyarakat Batak. Dalam adat Batak Toba terdapat istilah Anakkonhi do Hamoraon Di Ahu (Anak merupakan simbol kekayaan bagi suatu keluarga orang Batak Toba ). Apabila salah seorang dari keluarga tersebut tidak ada yang berhasil dalam pendidikan yang lebih tinggi atau meraih titel sarjana walaupun keluarga tersebut orang berada, maka di mata orang Batak keluarga Namora (Orang kaya yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat) tersebut belum berhasil, kecuali bagi

20


(39)

orang Napogos (Orang miskin yang statusnya rendah dipandang masyarakat), hal tersebut wajar karena keluarga tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkan anak.

Pada awal tahun pembangunan pabrik, pendidikan masyarakat masih rendah. Oleh karena itu, masyarakat di Desa Tangga Batu I tertinggal di bidang pendidikan, terutama pendidikan di perguruan tinggi. Namun seiring dengan semakin majunya pola pikir masyarakat, maka untuk peningkatan mutu pendidikan terus diupayakan, oleh pihak perusahaan pulp dan rayon membangun sekolah dan mulai membuka kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengenyam pendidikan.

Di desa Tangga Batu I terdapat 2 Sekolah Dasar (SD) dan 1 Sekolah Menengah Pertama ( SMP) dengan rincian 1 sekolah dasar dan 1 sekolah menengah pertama, swasta yang di bangun oleh PT. IIU dan 1 sekolah dasar lainya adalah sekolah di bangun pemerintah. Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama ini merupakan sekolah yang di bangun oleh perusahaan sebagai bentuk perhatian bagi pendidikan masyarakat yang tinggal di Desa Tangga Batu I baik itu anak- anak karyawan perusahaan ataupun anak-anak dari peduduk setempat. Hal ini sangat menunjang kemajuan pendidikan masyarakat di Desa Tangga Batu I.

2.1.5 Kontribusi Pabrik Toba Pulp Lestari Bagi Penduduk setelah Kembali Beroperasi

Seperti yang telah dipaparkan di atas, pernah PT IIU di berhentikan kegiatan operasinya atas protes masyarakat pada 1998. Saat kembali beroperasi industri ini di tahun 2000, pihak manajemen dengan sabar melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar, khususnya tokoh-tokoh masyarakat. Pihak manajemen


(40)

menjanjikan teknologi ramah lingkungan dan melakukan program pemberdayaan masyarakat atau Community Develoment sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan ( Coporate social Responsibility) lebih baik.

Selain itu, perusahaan juga memperkenalkan “paradigma baru” dalam aktifitas lembaga yang menjadikan masyarakat sekitar mau menerima pengoperasian kembali perusahaan. Paradigma baru itu antara lain:

1. Penggunaan Teknologi ramah lingkungan.

2. Pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan.

3. Pelaksanaan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility) yaitu:

a. Mengutamakan putra daerah setempat menjadi karyawan dan menduduki jabatan yang tersedia dengan persyaratan keahlian setiap jenjang.

b. Melakukan kerjasama kemitraan bisnis dengan masyarakat lokal

c. Menyisihkan kontribusi sosial untuk pengembangan masyarakat sebesar 1% dari net sales per tahun.

Dengan adanya paradigma baru ini PT. Toba Pulp Lestari, pemerintah dan masyarakat sudah mulai mempercayai dan menerima pengoperasian kembali pabrik


(41)

penghasil kertas tersebut. Adanya program tanggung jawab sosial oleh pabrik, semakin menambah kepercayaan terhadap perusahaan.21

Dalam implementasi program tanggung jawab sosial perusahaan PT. TPL memberikan bantuan terhadap masyarakat setempat dengan memberikan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat setempat demi meningkatkan perekonomian keluarga mereka, pemberian beasiswa terhadap siswa-siswi, perbaikan sarana dan prasarana yang mendukung perekonomian masyarakat seperti pemberian pupuk dan bibit, pembangunan jalan dan asuransi kesehatan serta adanya pemberian dana ganti rugi kepada setiap kepala rumah tangga untuk perbaikan atap rumah masyarakat.

2.2 Motif Pendorong Masyarakat Batak Toba Membangun Tambak 2.2.1 Sistem Nilai Budaya yang Dianut Masyarakat

Sistem nilai budaya adalah suatu sistem yang terdiri dari konsep-konsep yang hidup di dalam pikiran sebagian besar masyarakat, tentang hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia, merupakan keputusan yang kurang tegas yang biasa dirasakan. Kemudian dimunculkan sebagai suatu tindakan, walaupun kadang-kadang kurang rasional.22

Sistem nilai di dalam masyarakat memberi pola bertingkah laku atau dengan kata lain memberikan seperangkat model untuk bertingkah laku. Sistem ini dihayati benar oleh masyarakat pendukungnya dalam kurun waktu tertentu sehingga

21 http://www.lifestyle.roll.co.id/fashionista/25-latest/36304- Taput-gunakan-cd-pt-tpl-untuk-infrastuktur.html.

22 Koentjaraningrat, Kebudayaan mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: P.T.Gramedia, 1974,hal.32.


(42)

mendominasi keseluruhan kehidupan dalam arti mengarahkan bertingkah laku. Konsepsi nilai budaya telah berakar dalam pikiran kelompok masyarakat berkenaan dengan bagaimana masyarakat memandang hidup, karya, waktu, dan alam pikiran dengan hubungan sosial antar sesama mereka dalam kelompok kekerabatan yang luas.23

Masyarakat Batak Toba di Desa Tangga Batu I umumnya menganut konsep totalitas yaitu bahwa komunitas, dan individu merupakan kesatuan dan totalitas yang satu sama lain tidak terpisahkan.24 Hal ini di pengaruhi oleh tiga unsur yang memperngaruhi tingkah laku masyarakat Batak Toba. Ketiga unsur hagabeon, hamoraon, dan hasangapon tersebut adalah suatu yang fungsional dan harus harmonis. Putusnya hubungan manusia dengan salah satu unsur tersebut berarti memusnahkan kehidupan dunia.25 Totalitas dipandang sebagai unsur pertemuan, kesatuan, kesempurnaan, kepunahan dan penjumlahan yang terakhir dan tanpa akhir pandangan totalitas ini memperngaruhi sistem nilai keagamaan dan kemasyarakatan.26

Demikian juga dalam memecahkan suatu masalah, tidak memenggal sedemikian rupa tetapi secara intuitif mereka mencari hubungan yang ada atau dianggap saling mengisi. Misalnya persoalan senioritas dalam silsilah yang kemungkinan menjadi pokok permasalahan, justru dapat diselesaikan secara tuntas dengan cara memperkuat rasa solidaritas. Cita-cita bekerja produktif dan terencana

23

Ibid., hal 34.

24 Hotman Siahaan, Persekutuan agama Budaya Orang Batak Toba, Khusus HKBP, Prima 2 februari 1979. Hal 20.

25 Ibid hal 20 26


(43)

mendorong masyarakat untuk selalu bekerja keras. Bagaimanapun sulitnya dalam mencari nafkah keinginan untuk sukses selalu melintas dalam pikiran orang Batak Toba.

Kesadaran bersama merupakan cara berpikir dan bertindak masyarakat Batak Toba. Pesta tambak menuntut tanggung jawab bersama. Selama mereka menyadari ada usaha bersama, maka mereka akan memelihara dan membuat sukses setiap upacara adat. Setiap pribadi atau keluarga rela berkorban dalam hal memenuhi kebutuhan kelompok marganya. Pandangan terhadap sesama ini sangat erat kaitannya dengan dilandasi prinsip Dalihan Na Tolu.27 (tiga motto peraturan budaya Batak Toba) karena satu sama lain merupakan kelompok yang tidak dapat dipisahkan. Setiap anggota masyarakat adat termasuk kedalam suatu marga. Anggota semarga adalah kerabat yang paling dekat hubungannya.

Hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat yang diikat prinsip Dalihan Na Tolu dimanifestasikan sebagai tanda solidaritas kebersamaan dan kegotongroyongan yang mengambarkan suatu sistem nilai sosial. Semua anggota yang terpadu dalam masyarakat Dalihan Na Tolu akan selalu menuntut dan melaksanakan kewajibannya. Secara kontekstual masing-masing memberikan status inisial terhadap yang lain, sehingga setiap pribadi, keluarga dan kelompok masyarakat akan selalu berusaha untuk ikut serta dalam setiap upaya adat yang dianggap menyangkut diri dan tanggung jawabnya.

27

Dalihan NaTolu dalam adat Batak Toba merupakan struktur sosial Batak Toba yang terdiri dari: Hula-Hula ( pemberi dari istri), Dongan Sabutuha (anggota klen sendiri), dan Boru( penerima istri).


(44)

2.2.2 Cita- Cita Dasar dalam Hidup

Sembilan tradisi kebudayaan masyarakat Batak Toba. Sembilan nilai utama dalam kebudayaan dan tradisi orang Batak Toba yaitu: Kekerabatan, Religi, Hagabeon, Hasangapon, Hamoraan, Hamajuon, Uhum dan ugari, Pangayoman, dan Konflik. Kesembilan tradisi ini cita-cita dasar masyarakat Batak Toba mengakui ada tiga unsur yang paling prinsipil menjadi orientasi hidup yaitu realita cita-cita untuk Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon. secara umum masyarakat Batak menyadari betapa sempurnanya hidup apabila dapat mencapai ketiga cita-cita dasar itu. Mempunyai banyak anak sehingga mempunyai keturunan yang besar adalah hagabeon. Memiliki angkatan atau generasi sekaligus memiliki kekuatan dan hari depan keluarga. Segala daya upaya dilakukan untuk mengantarkan anak ke jenjang yang terhormat dan terpandang dengan cara menyekolahkan sesuai kemampuan yang ada.

Keluarga akan bangga apabila anak mempunyai kedudukan yang baik di tengah masyarakat, karena akan menunjukkan dan membawa nama keluarga. Ada kecenderungan keluarga untuk menggantungkan harapan hidup di masa yang akan mendatang kepada anak-anaknya.

Sejajar dengan hagabeon, unsur hamoraon (kekayaan) tidak kalah pentingnya dalam menwujudkan hasangapon. Ada keyakinan pada masyarakat Batak Toba, bahwa kedudukan berkenaan dengan kekayaan. Di Bona Pasogit ( daerah asal) kekayaan dapat diartikan sebagai penguasaan atas tanah yang luas, hewan peliharaan, dan uang. Sedangkan, di perantauan hamoraon mencakup kedudukan yang tinggi dalam pekerjaandan kehidupan ekonomi yang baik.


(45)

Hasangapon (kehormatan/wibawa) adalah sebuah pengakuan dari masyarakat terhadap seorang individu atas kehebatan, kekayaan, keberhasilan dan lain sebagainya. Ini merupakan kebulatan yang sempurna karena dengan memiliki hangabeon (anak laki-laki dan perempuan) sekaligus memiliki hamoraon (kekayaan) harus dibarengi hasangapon (kehormatan/wibawa). Tercapainya cita-cita hagabeon, hamoraon, dan hasangapon dapat di manisfestasikan dalam upacara adat (upacara pesta tambak) parpomparan (keturunan) per marga dan perkeluarga. Berkat akan diperoleh secara berkesinambungan dengan melaksanakan kewajiban dalam upacara adat. Salah satu kehormatan tertinggi kepada orang tua jika keturunannya mampu mencapai cita-cita tersebut berdasarka prinsip Dalihan na Tolu. Penghormatan kepada para leluhur menjadi motif masyarakat Batak Toba untuk membangun tambak leluhurnya.

2.3 Pembangunan Tambak di Desa Tangga Batu I

Pembangunan tambak tidak asing di kalangan masyarakat Batak Toba. Banyak pihak telah mencoba mendefinisikan dan mengartikan pembangunan tambak dengan menganalisis serta mengartikan hal-hal yang melatarbelakangi, memotifasi, dan tujuan yang diharapkan dari pembangunan tambak. Ada pendapat pro dan kontra tentang pembangunan tambak. Tentu hal itu disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan motivasi dan tujuan pembangunan tambak itu sendiri, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa perubahan dan pergeseran nilai-nilai agama maupun nilai-nilai budaya.


(46)

Pembangunan tambak dilakukan sesuai dengan keinginan untuk mengangkat status sosial, keluarga, dan pribadi di kampung halaman. Ini karena mampu di bidang materi dan sudah mapan. Unsur Toal (persaingan congkak) muncul di kalangan orang Batak sendiri. Ada suatu pemikiran bahwa keberhasilan yang diperoleh atas pasu-pasu (berkat) arwah nenek moyang, sehingga timbul keinginan untuk menggali tulang-belulang nenek moyang dan menyimpanya di dalam tambak dengan mengadakan pesta yang meriah.

Ada beberapa hal yang memotifasi masyarakat Batak Toba dalam pembangunan tambak:

Pertama, meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat yang dibarengi dengan pembangunan yang gencar di sana-sini telah membawa sebagian besar masyarakat, termasuk putra putri Tapanuli Utara, di perantauan, ke dalam hidup yang lebih makmur. Kemajuan ekonomi ini mendorong mereka untuk mengangkat martabat saudara mereka yang ada di kampung dan juga menghormati leluhur yang telah memperanakkan mereka, karena mereka beranggapan bahwa keberhasilan selama ini dapat tercapai atas pasu-pasu (berkat) dari sumangot (arwah) leluhur.

Kedua, sebagai pemersatu keluarga. Pepatah Batak Toba mengatakan, “Hau na pajonokjonok do marsiososan,” yang artinya “pada keluarga dekat sering timbul perselisihan satu dengan yang lain.” Dari pepatah ini dapat ditarik kesimpulan mengenai kegunaan didirikannya tambak, yakni supaya ada tempat untuk mempersatukan hati dan pikiran mereka di bawah otoritas leluhur. Selain itu,


(47)

pertengkaran di antara saudara-bersaudara kerap dihubungkan dengan belum digalinya kuburan leluhur dan belum dipindahkannya tulang-belulang mereka ke tempat yang lebih baik. Karena itu, agar tidak terkena malapetaka penggalian tulang leluhur dan pemindahannya ke tempat yang lebihbaik harus dilakukan.28

Ketiga, sebagai pemersatu marga. Pesta mangongkal holi tidak hanya dilakukan dan di biayai oleh satu kepala keluarga tetapi oleh setiap kepala keluarga. Besar kecilnya sumbangan tidak menjadi penghalang karena yang dipentingkan adalah kebersamaan.29 Pada waktu pesta dilaksanakan mereka menari bersama sehingga tercipta keakraban dan kesatuan.

Keempat, untuk menghormati orang tua. Dalam katekismus kecil ajaran agama Kristen Protestan yang ditulis oleh Martin Luther yang memberi pengertian tentang hukum kelima dari sepuluh hukum, dikatakan demikian: Kita harus takut dan mengasihi Allah, sebab itu jangan kita bersikap remeh terhadap orang tua kita, terhadap pemerintah dan terhadap orang yang lebih tua. Jangan kita menimbulkan kemarahan mereka, tetapi hendaklah kita selalu menghormati dan mengasihi mereka. Dengan pemahaman ini banyak orang Batak Toba menggali tulang leluhur dan mendirikan tambak bagi orang tua mereka sebagai suatu penghormatan kepada orang tua karena hal ini sesuai dengan hukum kelima.

28

Ibid. hal 43.

29

Harus diakui bahwa pembagian biaya yang seperti ini hanya teori karena kerap satu keluarga akan sangat diberatkan atau terpaksa.


(48)

Kelima, mengharapkan berkat dari arwah leluhur. Biasanya sebelum pembangunan tambak dimulai masih banyak keluarga memohon berkat dari arwah leluhur dengan menyajikan makananistimewa dan khusus sebagai sesajen.30

30

Gultom, Penggalian 14-15. Dipaparkan bahwa seorang yang dituakan membacakan seruan dan permohonan kepada seluruh leluhur dari yang pertama sampai yang terakhir yang akan


(49)

BAB III

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN TAMBAK

3.1 Sistem Religi Masyarakat Batak Toba

Untuk menelusuri bagaimana perkembangan pembangunan tambak di Tanah Batak khususnya di Desa Tangga Batu I terlebih dahulu dijelaskan tentang kepercayaan masyarakat Batak. Kepercayaan masyarakat Batak Toba pada masa sebelum masuknya agama berbentuk “paganisme” yaitu penyembahan terhadap roh nenek moyang dan benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan. Lingkaran hidup masyarakat Batak di bimbing oleh motif religius dan seluruh pemikirannya dikuasai oleh konsep “adikodrati.”31

Bentuk kepercayaan ini terus hidup selama kurun waktu yang lama, sekalipun masyarakat telah beralih ke agama Kristen. Sebagaimana halnya dengan suku-suku lainnya yang ada di dunia ini, sejumlah kebiasaan dan adat istiadat yang jelas bercorak “paganisme” dilestarikan baik sebagai kebiasaan maupun sebagai produk sampingan rasa takut kepada kuasa di luar kuasanya sendiri. Sebagaian kebiasaan ini mengalami perubahan dengan datangnya kekristenan dan sebagian terserap ke dalam kawasan netral dari kebiasaan purba, tradisi, praktek pemujaan simbolisme, upacara

31 J.V Vergovren, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba , Jakarta: Pustaka Azet, 1985,hal 79.


(50)

wajib dan bentuk-bentuk peradilan dan sebagainya yang beberapa di antaranya sudah ada terlebih dahulu.32

Paganisme orang Batak adalah suatu campuran dari kepercayaan keagamaan kepada dewata, pemujaan yang bersifat animisme terhadap roh-roh orang yang sudah meninggal dan dinamisme. Di dalam banyak tata cara dan adat istiadat seluruh pemikiran religius ini masih bercampur baur. Di dalam penerapan, batas-batas unsur kepercayaan keagamaan tersebut tidak tampak dengan jelas, baik yang berlangsung di kalangan orang biasa, di lingkungan para pemimpin kharismatis yang sudah mantab, maupun dalam praktek religius magis.

Keseluruhan kehidupan religius paganisme orang Batak terikat dengan keyakinan akan dewata yaitu Batara-Guru (Dewa Banua Atas) Soripada (Dewa Banua Tengah) dan Mangala Bulan (Banua Bawah) sebagai totalitas. Dengan keutuhan ini kehidupan manusia mempunyai kesatuan dengan “dunia” atau kosmos dimanapun dia hidup, dengan demikian juga keutuhannya dengan hidup dewa-dewa. Ketiganya disebut Dewata na Tolu (Dewata yang Tiga). Dewa yang paling tinggi kedudukannya adalah Debata Mulajadi Nabolon, yaitu asal mula yang ada sebagai pencipta makro kosmos dan mikro kosmos sebagai dewata asli orang Batak Toba.33

Pemujaan terhadap keseluruhan dewata pada pokoknya dipusatkan pada upacara religius besar seperti pesta-pesta persembahan umum yang ditujukan untuk menangkal bencana dan wabah. Selain pada upacara-upacara kelompok besar yang

32 ibid., hal 80. 33

M. Simatupang 2002. Budaya Indonesia yang Supraetnis.Cetakan Pertama, Jakarta:Papas sinar Sinanti. Hal. 33.


(51)

berupa pemujaan kepada roh leluhur. Keseluruhan peristiwa tersebut dimaksudkan untuk menerima berkat dari roh para leluhur. Biasanya permohonan ini disampaikan pada upacara adat oleh Datu (tokoh bius). Roh nenek moyang dipuja dan dihormati dengan upacara-upacara ritual agar terus bergiat dalam memajukan kesejahteraan keturunan leluhurnya. Apabila keturunannya menjadi marga yang besar maka keturunannya tersebut akan memandang bahwa leluhur mereka mempuyai keistimewaan dan dianggap sebagai jelmaan dari dewata yang harus di sembah.

Dengan keyakinan terhadap kekuatan ini mendorong masyarakat untuk tetap memelihara dan melaksanakan kegiatan penghormatan kepada leluhurnya, dan hasrat untuk menyerahkan diri kepada kekuasaan yang direfleksikan dalam kegiatan upacara adat untuk menerima berkat. Dengan dilaksanakannya upacara tersebut maka manusia secara tidak langsung telah berhubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural.

Realisasi pembangunan tambak sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari upacara pemakaman kedua “Mangongkal Holi”(menggali tulang) setelah adanya pemakaman sementara. Upacara kematian atau pemakaman, hanya sebagi titik tolak untuk dapat melihat bahwa arti kematian dapat dinilai dari upacara adat yang dilakukan oleh keturunan supaya nenek moyangnya di kumpulkan dalam satu tambak. Jarak antara pemakaman sementara dengan pemakaman kedua (pinanangkok saringsaringna) berlangsung setelah daging sudah tanggal dari tulang belulang yang diperkirakan 6-7 tahun lamanya.


(52)

Ada kalanya akibat waktu yang terlalu lama atau bahkan puluhan tahun baru dilakukan penggalian tulang belulang untuk dibuat dalam satu tambak yang lebih besar dan lebih baik lagi, tulang belulang ini sulit untuk ditemukan walaupaun tata letaknya dapat ditebak, kemungkinan sudah menjadi tanah. Untuk mengetahui hal ini maka akan dilakukan upacara ritual dengan gendang melalui medium datu (dukun), sehingga dalam upacara tersebut dukun diminta untuk mengungkapkan dimana letak tulang belulang para leluhurnya berada. Apabila upacara ritual itu telah dilakukan akan tetapi tidak dapat menemukan dimana letak tulang belulang leluhurnya maka sebagai bukti simbolis segemgam tanah dari tempat dimakamkan diambil sebagai pengganti tulang belulang untuk di masukkan ke dalam tambak.

Tulang belulang yang diambil dari kuburan biasanya diletakkan di atas piring khusus, kemudian dimasukkan kedalam peti mayat yang baru untuk kemudian dilakukan ritual memasukkan peti ke dalam tambak yang baru. Upacara pemakaman kedua mengharuskan kehati-hatian karena dimaksudkan untuk memberangkatkan, memperingati, dan menghormati leluhurnya.34 Orang tua harus dihormati semasa hidup ataupun setelah mati. Artinya hubungan roh orang mati selalu ada dengan orang yang hidup dan selalu dekat. Upacara- upacara besar seperti dalam hal membuat tambak, dengan ritual upacara Mangongkal Holi merupakan satu rentetan ritual yang cukup rumit tetapi tetap dilakukan untuk menghormati arwah nenek moyang.

34


(53)

Dengan penggalian tulang belulang maka orang Batak Toba berasumsi akan berakhirlah keadaan sementara terkantung-kantungnya roh nenek moyang mereka. Orang Batak Toba meyakini melalui penguburan kedua ini maka leluhurnya berpengaruh. Pembangunan tambak bagi nenek moyang melambangkan kekuasaan yang baru dalam persekutuan roh leluhurnya. Dengan persekutuan tersebut maka diharapkan kekuatan rohnya dapat memberi berkat untuk keturunannya sekaligus menjaga ketentraman hidup.35 Melalui pelaksanaan upacara di atas, keturunannya yakin bahwa perbuatan tersebut sama dengan memenuhi permintaan nenek moyangnya pada hidupnya.

Masyarakat Batak Toba mengakui, bahwa dewata akan bekerja memberkati mereka melalui kurban yang disampaikan kepada illahi. Sombaon (dewata) menjadikan upacara yang dihadiri oleh keturunannya sebagai saluran berkat. Upacara besar seperti ini menunjukkan bahwa Dewata itu mempunyai kuasa menembus pekerjaan, tuntutan, dan kemauan melalui kurban yang harus disampaikan oleh keturunannya supaya mereka selamat.

Mereka menyadari bahwa sombaon dekat dengan mereka. Dewata itu dapat bekerja melalui alat-alat dan bertindak menghukum yang salah melalui hukum sumpah (gana) yang mengena terhadap tindakan sendiri dan menyelamatkan yang benar. Bahwa illahi (sombaon) bekerja lebih khusus melalui upacara-upacara adat melalui alat-alat, perlengkapan manusia seperti pembangunan tambak.

35 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan jiwa protestan , serta Perkembangan Gereja-gereja Batak di Sumatera Utara,(terj) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975, hal . 45.


(54)

Konsepsi-konsepsi masyarakat yang membangun tambak nenek moyang dapat dimengerti secara jelas dalam pepatah-pepatah yang dipakai pada waktu peresmian tambaktersebut. “Ditaruh tulang-belulang kita ini ke dalam makam yang lebih tinggi. Semogalah meningkat kemakmuran, kesuburan, dan meningkat kesejahteraan. Itu dilaksanakan kepada kita oleh nenek asli kita.36

Pada waktu ditinggikan “tondi”, (roh) nenek moyang dipersatukan sepenuhnya dengan tambak atau tempat penyimpanan tulang belulang kaum keluarga. Dengan demikian keseimbangan telah dipulihkan. Di sekitar leluhur berlangsunglah seluruh kehidupan sosial religius. Dalam satu tambak yang dipestakan hanya untuk satu keturunan nenek moyang ataupun beberapa nenek moyang yang memiliki ikatan keluarga yang sangat dekat. Hal ini terjadi jika semua keturunan sudah sepakat untuk menyatukan bapa leluhurnya dalam satu tambak yang besar.

Kepercayaan tradisional Batak, kita dapat kita lihat dari mendirikan tambak. Membangun tambak adalah suatu usaha mencari identitas diri dan identitas nenek moyang. Tambak merupakan suatu pengungkapan nyata tentang pergumulan hidup mereka untuk memperoleh kepastian, sebagaimana yang tertera dalam kutipan berikut :”…saya berdiri di atas tradisi para bapa leluhur yang diwariskan oleh mereka sendiri. Dengan kehadiran mereka, masa depan dapat menjadi masa kini yang merupakan kehidupan yang layak.37

36 Schreiner, perjumpaan Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978, hal. 198.

37


(55)

Tambak sebagai simbolis memenuhi kebutuhan masyarakat adat dalam upaya menjaga kehidupan kekerabatan berdasarkan kehidupan religi. Dalam hubungan ini kita dapat melihat bagaimana masyarakat Batak Toba “mentoleransikan” antara kepercayaan tradisional (kepercayaaan terhadap roh nenek moyang) dengan kehidupan keagamaan yang mereka anut. Ada dua macam ibadah di tengah-tengah orang Kristen Batak Toba yang sibuk dengan pendirian tambak karena pada satu pihak mereka adalah penganut agama Kristen, di lain pihak mereka adalah penganut dan beribadat kepada Debata Mulajadi Nabolon yaitu dewa tertinggi dalam agama Batak kuno.

3.2 Nilai-nilai Utama Suku Batak Toba

Batak adalah suku yang memiliki tradisi yang kuat dalam berprinsip dan berkeluarga, orang Batak tergolong orang yang selalu peduli terhadap sesamanya. Di balik setiap sifat yang keras dan suara yang lantang, sebenarnya suku Batak adalah suku yang memiliki segala keunikan. Suku Batak memiliki adat budaya yang baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat menembus sekat-sekat agama/kepercayaan mereka yang berbeda-beda. Tradisi adat budaya Batak Toba dalam menjalani hidupnya berpedoman pada sejumlah nilai-nilai yang memiliki keyakinan, penghormatan dan cita-cita hidupnya. ada sembilan nilai utama dalam kebudayaan dan tradisi orang Batak Toba yaitu: Kekerabatan, Religi, Hagabeon, Hasangapon Hamoraan, Hamajuon, Uhum dan ugari, Pangayoman, dan Konflik.38 Nilai

38

Hotman Siahaan & Basyral Harahap. 1987. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta: Sanggar William Iskandar. hal. 53.


(56)

kekerabatan atau keakraban berada di tempat paling utama dari nilai inti budaya utama masyarakat Batak.

3.2.1 Kekerabatan

Kehidupan masyarakat Batak Toba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan na Tolu. Hubungan berdasarkan sistem kekerabatan ini telah disosialisasikan kepada anak sejak dia mulai mengenali lingkungannya yang paling dekat, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan lingkungannya terutama ibu, ayah, dan saudara-saudaranya. Orang lain diluar dirinya secara evolusionistis di perkenalkan sesuai dengan sistem kekerabatan Dalihan na Tolu.

Dalihan na Tolu sebagai jaringan kekerabatan yang mengajarkan hak dan kewajiban yang setara di antara ketiga unsur Dalihan na Tolu, yaitu Dongan Sabutuha ( kelompok klen semarga), Hula-hula (kelompok yang memberi istri) dan Boru (kelompok klen yang menerima istri). Sosialisasi Dalihan na Tolu yang mencakup marga, silsilah dan tutur merupakan pendidikan dasar primordial suku yang kuat.

Hubungan kekerabatan berdasarkan Dalihan na Tolu, mengajarkan solidaritas dan penghargaan kepada orang lain. Setiap individu dalam masyarakat Batak Toba memiliki kedudukan sebagai dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Hubungan kekerabatan yang seperti ini mendidik masyarakat Batak Toba untuk menjadi orang yang demokratis dan terbuka.

Masyarakat Batak Toba, dalam segala bentuk upacara landasan gerak dan tindak tanduk harus didasarkan atas Dalihan na Tolu. Dari segi sikap, harus menerapkan


(57)

pola tritunggal sikap Dalihan na Tolu yakni somba marhula-hula (hormat kepada pihak pemberi istri), elek marboru (membujuk kepada pihak penerima istri), dan manat mardongan tubu (hati-hati kepada teman semarga). Dari segi hak dan kewajiban Dalihan na Tolu, yakni bahwa pihak dongan tubu sebagai tuan rumah yang menyediakan segala keperluan dan dari pihak boru yang berperan sebagai parhobas (pelayan atau pekerja). Ketiga unsur Dalihan na Tatolu tidak dapat dipisahkan sebab apabila hilang satu unsur maka hilanglah sistem kekerabatan suku Batak Toba. Ketiganya merupakan satu bagian yang satu sama lain disatukan oleh pertalian keluarga.

Kekerabatan masyarakat Batak Toba yaitu: dongan tubu, hula-hula, dan boru masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri. Tiap unsure dalam Dalihan na Tolu bertanggung-jawab sesuai dengan kedudukan dalam kegiatan upacara atau peristiwa. Seluruh kerabat akan memposisikan diri menjadi salah satu dari ketiga unsur Dalihan na Tolu.

3.2.2 Religi

Kedudukan religi dalam Batak Toba sangat tinggi. Religi dalam pengertian ini adalah agama purba atau agama asli masyarakat Batak Toba. Religi yang memasuki segala aspek kehidupan masyarakat Batak Toba tetap terpelihara, sekalipun banyak yang mempengaruh kehidupan masyarakat Batak Toba seperti agama Kristen dan modernisasi. Semua pengaruh itu tidah pernah berhasil menghapus identitas masyarakat Batak Toba yang mempertahankan identitas kebatakannya.

Sekalipun kebanyakan masyarakat Batak Toba merupakan penganut agama Kristen Protestan, namun religinya tetap diwarnai oleh agama nenek moyang.


(58)

Padahal religi ini ditantang keras oleh agama Kristen Protesta, termasuk membangun tambak nenek moyang. Bukti nyata betapa hebatnya pembangunan tambak (kubur) nenek moyang ini, dapat disaksikan siapa saja yang melintasi wilayah Tobasa, Taput melalui jalur Sipirok-Pahae-Tarutung-Parapat maupun melalui jalur Sibolga-Tarutung- Balige-Porsea-Parapat. Di sepanjang jalan pemandangan yang amat menonjol adalah bangunan tambak atau makam-makam nenek moyang yang megah.

Menarik untuk dilihat, bahwa tambak itu justru dibangun oleh orang-orang Batak modern, yang kaya, dan berpendidikan, bahkan pejabat yang berpangkat, yang migran di kota-kota di luar wilayah Batak Toba. Ini membuktikan bahwa religi dalam masyarakat Batak Toba benar-benar mengakar.

Agama Kristen tidak mengahapus identitas kebatakan masyarakat Batak Toba. Bahkan gereja justru memperkokoh identitas kebatakan mereka. Di gerejalah masyarakat Batak Toba bertemu secara teratur baik membicarakan hal-hal yang bersifat agama maupun membahas masalah-masalah sosial budaya. Menghormati nenek moyang, mengandung makna menyembah Debata Mulajadi Na Bolon. Petuah-petuah nenek moyang terus dijalankan secara berkesinambungan generasi demi generasi. Pelanggaran terhadap petuah nenek moyang, akan menyebabkan kemurkaan roh nenek moyang orang Batak Toba dan merupakan perilaku religius.

3.2.3 Hagabeon

Religi dan hagabeon berkaitan erat sekali, karena kehormatan dan kemuliaan itu berhasil diraih hanya dengan berkat Debata Mulajadi na Bolon yang dalam alam kenyataannya didelegasi kepada hula-hula. Mengenal Kedudukan hula-hula ini ungkapan tradisional menyebut bahwa hula-hula adalah Tuhan yang Nampak:


(59)

Hula-Hula Ido Debata na Niida. Di atas telah disinggung bahwa ukuran hagabeon adalah keluarga yang besar dan usia lanjut sekaligus menjadi panutan masyarakat.

Hagabeon, berarti banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai anak 17 dan putri 16. Dari ungkapan di atas kelihatan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan dalam pandangan orangtua karena anak laki-laki adalah penerus garis keturunan. Sehingga anak laki-laki sering disebut sebagai sinuan tunas (tunas yang baru). Bila tidak memiliki keturunan laki-laki maka si ayah disebut punu, kelak bila meninggal akan disebut mate punu merupakan suatu bentuk kematian yang tercela karena sisilahnya akan terputus dan seluruh harta bendanya akan diambil oleh saudara-saudaranya. Oleh sebab itu masyarakat Batak Toba sangat mendambakan agar anaknya yang pertama adalah laki-laki.39

Dalam pembagian harta warisan misalnya, maka anak laki-laki akan mendapatkan tanah, rumah, dan harta tak tergerak lainnya, sedangkan anak perempuan hanya mendapatkan harta berupa pemberian dari orang tua yang biasanya adalah berupa harta bergerak. Anak laki-laki lebih bebas merantau atau mendapat kesempatan yang lebih luas untuk melanjutkan sekolahnya. Tetapi akhir-akhir ini mulai ada perubahan pandangan orang tua terhadap perbedaan ini. Bagi mereka anak laki-laki dan perempuan adalah sama saja. Walaupun demikian mengenai pembagian harta warisan masih dipertahankan, tetapi dalam kesempatan memperoleh pendidikan sudah disamakan baik laki-laki maupun perempuan.

39


(1)

Lampiran 4

Tambak periode 1991 hingga 1995


(2)

(3)

Lampiran 5

Tambak periode 1996 hingga 2000


(4)

(5)

Lampiran 6


(6)

Sumber: Dokumen Penulis, tanggal 14 Agustus 2015.