orang 44,83, menyatakan sering sebanyak 23 orang 26,44, menyatakan kadang-kadang sebanyak 15 orang 17,24, dan menyatakan tidak pernah yaitu 10
orang 11,49.
2.5.2 Pengaruh Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Bebas
Faktor yang juga diasumsikan sangat mendukung remaja untuk melakukan hubungan seks bebas free sex adalah konformitas remaja pada kelompoknya di
mana konformitas tersebut memaksa seorang remaja harus melakukan hubungan seks. Santrock 2003 mengatakan, bahwa konformitas kelompok bisa berarti kondisi
di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari orang lain dalam kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan yang diberikan oleh
kelompoknya tersebut. Sarwono 2011 menjelaskan karena kuatnya ikatan emosi dan konformitas kelompok pada remaja, maka biasanya hal ini sering dianggap juga
sebagai faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk. Apabila lingkungan peer remaja tersebut mendukung untuk dilakukan seks bebas,
serta konformitas remaja yang juga tinggi pada peer-nya, maka remaja tersebut sangat berpeluang untuk melakukan seks bebas Cynthia, 2007.
2.5.2.1. Konformitas
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Condry, Simon, Bronffenbrenner, 1968 Santrock, 2003 menyatakan bahwa bagi remaja, hubungan teman sebaya
merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya. Selama satu minggu, remaja muda laki-laki dan perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak
dengan teman sebayanya daripada waktu dengan orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
2.5.2.2. Adaptasi
Teman sebaya dapat memberi pengaruh positif atau negatif pada remaja. Memiliki teman-teman yang nakal meningkatkan resiko remaja menjadi nakal pula Santrock 2003.
Remaja menjadi nakal karena mereka tersosialisasi dan beradaptasi ke dalam kenakalan, terutama oleh kelompok pertemanan Rice dan Dolgin, 2008. Sebaliknya secara positif,
menurut Vembriarto dalam Bantarti 2000 kelompok teman sebaya adalah tempat terjadinya proses belajar sosial atau adaptasi, yakni suatu proses dimana individu mengadopsi dan
beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan, sikap, gagasan, keyakinan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku dalam bermasyarakat, dan mengembangkannya menjadi suatu kesatuan sistem
dalam diri pribadinya
Pada masa remaja, individu mulai merasakan identitas dirinya ego, di mana dirinya adalah manusia unik yang sudah siap masuk ke dalam peran tertentu di tengah masyarakat.
Pada masa inilah individu mulai menyadari sifat-sifat yang melekat dalam dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang dikejar di masa depan,
kekuatan dan keinginan mengontrol nasibnya sendiri. Inilah masa atau tahap Identitas versus Kekacauan Identitas, seperti dikemukakan Erikson 1983, pada tahap ini ego memiliki
kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat, kemampuan, dan ketrampilan- ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang-orang yang sependapat, dan dalam
melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, serta menjaga pertahanan dirinya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan. Melalui proses tersebut remaja akhirnya mampu
memutuskan impuls-impuls, kebutuhan-kebutuhan, dan peranan-peranan manakah yang paling cocok dan efektif bagi diri mereka. Semua ciri tersebut dipilih dan dihimpun pada
Universitas Sumatera Utara
masa remaja, untuk kemudian nantinya diintegrasikan dalam rangka membentuk identitas psikososial sebagai orang dewasa Supratiknya, 1993.
Teman sebaya merupakan acuan penting bagi remaja untuk dapat melewati dengan baik masa-masa sulit pada periode transisi dan pembentukan identitas tersebut. Dalam
pergaulan sehari-hari, remaja sangat terikat pada kelompok sebayanya, dimana semua tindakan atau perbuatan perlu memperoleh dukungan dan persetujuan sebayanya.
Dikemukakan oleh Ballantine dalam Bantari 2000 bahwa ikatan ini sangat kuat, sehingga para sosiolog sering mengelompokkannya dalam kebudayaan khusus remaja youth sub-
culture, dimana di dalamnya mereka memiliki ungkapan-ungkapan dan bahasa yang khas,
kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma tersendiri.
2.6 Landasan Teori