Selanjutnya dikemukakan bahwa potensi keuntungan bersih per tahun per Km
2
dari terumbu karang dalam kondisi baik di Asia Tenggara di estimasi mencapai AS 20 000 - AS 151 000 untuk kegiatan perikanan dan perlindungan pantai
dan untuk potensi pariwisata dan estetika mencapai AS 23 100 - AS 270 000.
2.2 Kawasan Konservasi Laut dan Daerah Perlindungan Laut
Sebelum menjelaskan tentang kawasan konservasi laut dan daerah perlindungan laut, terlebih dahulu diuraikan beberapa penjelasan tentang
kawasan konservasi. Menurut IUCN 1994, kawasan konservasi dibagi atas 6 kelompok yaitu a cagar alam murni strict nature reserve, b taman nasional
National Park, c monumen - monumen nasional nature monument dan bentukan - bentukan alam Landmarks, d suaka alam dan cagar alam yang
dikelola habitatspecies management area, e bentang alam darat dan laut yang dilindungi protected landscapeseascape, dan f kawasan yang dilindungi
dengan sumberdaya alam yang dikelola managed resources protected area. Selanjutnya MacKinnon et al. 1990 mengelompokkan jenis kawasan yang
dilindungi di Indonesia ialah a cagar alam, b suaka margasatwa, c taman nasional , d taman wisata, e taman buru, dan f hutan lindung.
Terkait dengan konservasi ekosistem pesisir dan lautan, Sobel dan Dahlgren 2004 mengemukakan bahwa upaya ini lebih lambat dimulainya bila
dibandingkan dengan konservasi di daratan. Perhatian konservasi pesisir dan lautan baru diberikan belakangan ini. Saat ini hanya 1 wilayah lautan yang
masuk dalam kawasan yang dilindungi. Padahal sebanyak 20 dari lautan di dunia harus dilindungi secara ketat untuk melindungi jumlah ikan komersial yang
telah menurun. Mengacu pada IUCN 1994 istilah Marine Protected Area Kawasan
Konservasi Laut adalah daerah - daerah paparan intertidal atau subtidal beserta perairannya yang berasosiasi dengan flora, fauna, sejarah dan budaya yang
dilindungi oleh hukum atau semacamnya sebagai upaya melindungi sebagian atau seluruh lingkungan kawasan tersebut.
Definisi tersebut sangat luas menyangkut beberapa tipe pengelolaan laut yang berbeda dan aktivitas perlindungan. Berdasarkan definisi tersebut, MPA
hanya merupakan bagian dari MMA, atau sebagai daerah ”permanen reserve“ no take area yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian,
LMMA Network 2004 sepakat tidak menggunakan istilah “marine protected
area“ untuk menjelaskan aktivitas pengelolaan laut lokal. Kesepakatan tersebut didasarkan pada persetujuan : a istilah ”protected”’ merupakan istilah yang tidak
cocok dipakai lagi secara luas di daerah Asia dan Pasifik sehingga digantikan dengan istilah ”local marine management”, b istilah ”MPA” merupakan istilah
formal yang pakai oleh badan - badan nasional dan internasional legal authority yang tidak sama pelaksanaanya dengan LMMA dalam suatu wilayah. Istilah
LMAA secara eksklusif diartikan sebagai upaya - upaya pengelolaan dan perlindungan non-formal dikenal sebagai legalitas MPA. LMMA berupaya
menurunkan isu - isu lisensi perikanan, tumpang tindih peralatan penangkapan ikan, pembatasan destructive fishing.
Wiryawan dan Dermawan 2006 mengemukakan bahwa terdapat perbedaan terminologi yang digunakan oleh COREMAP II Asian Development
Bank COREMAP II ADB dan COREMAP II World Bank COREMAP II WB dalam mendefinisikan kawasan konservasi laut. COREMAP II ADB memberikan
peristilahan dengan MMA Marine Management Area dan COREMAP II WB menyebutnya sebagai MCA Marine Conservation Area.
Untuk memahami lebih jelas perbedaan tipe kawasan konservasi laut dapat ditinjau dari tujuan pengelolaannya dan kriteria penetapannya sebagaimana
disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2 DKP 2005.
Tabel 1 Kriteria kawasan konservasi laut dan kawasan MMA
Kategori Tujuan Pengelolaan
Cagar Bahari • Pengawetan
sumberdaya hayati
laut dan
ekosistemnya yang memiliki kekhasan dan keunikan. • Perlindungan
ekosistem tertentu
dan pekembangannya berlangsung secara alami.
Suaka Bahari • Pengawetan
keadaan alam
yang mempunyai
kekhasan berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis biota laut.
• Pembinaan habitat bagi kelangsungan hidup jenis biota tersebut apabila diperlukan.
Taman Laut Taman Bahari
• Pengawetan ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi.
• Pemanfaatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang kebudayaan,
pariwisata dan rekreasi. Taman Wisata
Bahari • Pemanfaatan untuk wisata bahari dan rekreasi alam
Daerah Perlindungan
Laut • Menyediakan
sumberdaya perikanan laut bagi masyarakat adat lokal untuk kegiatan pemanfaatan
yang didasarkan pada praktek-praktek pemanfaatan secara tradisional yang sesuai dengan prinsip-prinsip
kelestarian
• Melindung produktivitas keragaman genetik dan spesies ikan melalui perlindungan habitat dan praktek
penagkapan secara lestari oleh masyarakat. • Mendorong praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya
alam secara arif dan bijaksana. Suaka Perikanan
• Menjamin kelestarian sumberdaya ikan melalui prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan
• Memelihara proses ekologis sistem pendukung kehidupan sumberdaya ikan di wilayah pesisir dan
laut. Kawasan
Pengelolaan Laut Marine Management
Area • Mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya
alam hayati laut dan ekosistemnya • Melindungi
dan mengelola perwakilan tipe-tipe ekosistem penting di wilayah pesisir dan laut untuk
menjamin keberlanjutan fungsi ekologis jangka panjang
• Memanfaatkan sumberdaya alami bagi kepentingan berbagai kegiatan konservasi dan ekonomi serta
bentuk kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip konservasi.
• Mengembangan program pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya oleh masyarakat dan atau
masyarakat adat terkait dengan praktek-praktek budaya tradisional.
Sumber : DKP 2005
Tabel 2 Matriks perbandingan kriteria penetapan kawasan konservasi
Kriteria penetapan kawasan konservasi laut
Tipe kawasan konservasi laut CB
SB TBTL
TWB DPL
SP MMA
Ekologi
- Keanekaragaman Ekosistem X
X X
- Keanekaragaman Jenis Flora X
X X
- Keanekaragaman Jenis Fauna X
X X
X - Keterwakilan
X X
X - Keaslian
X X
X - Keunikan
X X
X X
- Ketergantungan X
- Produktivitas X
X X
Manfaat
- Luas Wilayah X
X X
X X
X - Pemulihan Kondisi Alam
X X
X
Sosial
- Sarana Rekreasi X
X X
- Penelitian dan Pendidikan X
X - Keamanan
X X
- Aksesibilitas X
X - Estetika
X X
- Dukungan Masyarakat X
X - Kultural
X X
- Kesehatan masyarakat X
- Penyadartahuan X
Ekonomi
- Pariwisata X
X - Kepentingan Bagi Spesies
X X
X - Kepentingan Bagi Nelayan
X X
X - Ancaman dari alam
X - Keuntungan Ekonomi
X Sumber : DKP 2005
Keterangan :
X = Cross tanda penilaian harus ada
CB = Cagar Laut Cagar Bahari
DPL = Daerah Perlindungan Laut
TB = Taman Bahari
TL = Taman Laut
TWB = Taman Wisata Bahari
SB = Suaka Bahari
SP = Suaka Perikanan
Menurut LMMA Network 2004 tujuan pembentukan MMA adalah :
a peningkatan kualitas habitat terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove, b peningkatan populasi, reproduksi dan biomassa sumberdaya ikan,
c peningkatan kapasitas lokal untuk mengelola sumberdaya ikan, d peningkatan kohesif antara lingkungan dan masyarakat, e peningkatan pendapatan
masyarakat dari sumberdaya alam. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa strategi spesifik yang dapat
digunakan adalah sebagai berikut Gambar 3.
Gambar 3 Pengelompokan alat pencapaian tujuan dalam strategi MMA Sumber : LMMA 2004.
Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga strategi spesifik dalam pencapaian tujuan MMA, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perlindungan yang menyeluruh full reserve - yakni perlindungan penuh terhadap sumberdaya alam dalam suatu area. Daerah tersebut sering
disebut “sanctuary”, atau daerah tanpa gangguan atau “fully protected area”. 2. Pembatasan penangkapan spesies species specific refugia - pada daerah
tertentu ada pembatasan penangkapan terhadap spesies tertentu atau beberapa spesies atau individu ukuran tertentu dan atau jenis kelamin
tertentu. 3. Pengurangan usaha atau perlakuan lain effort or behavioral restrictions -
Regulasi pembatasan usaha penangkapan atau pemanfaatan-pemanfaatan tertentu dalam daerah tertentu. Perijinan oleh pemerintah penguasa lokal
menyangkut pembatasan tipe teknologi yang digunakan, pembatasan tingkat usaha penangkapan seperti : jumlah ikan, jumlah perahu, kuota terhadap
jumlah penangkapan, keterbatasan musim, pola usaha lain yang diperbolehkan dan yang tidak seperti rekreasi penyelaman, tanpa jangkar
dan pembatasan perijinan. Model strategi dan alat pencapaian tujuan tersebut dapat diaplikasikan
pada skala spasial dan kerangka waktu yang berbeda terhadap semua kawasan MMA. Skala spasial spatial scale memiliki pengertian tool atau peralatan yang
spesifik dapat digunakan pada skala yang berbeda terhadap semua lokasi yang sedang dikelola.
Strategi MMA
Ancaman langsung dan
tak langsung Perlindungan
penuh Spesies
spesifik refugia
Pengurangan perlakuan
yang merusak
Praktisi
Peralatan tersebut dapat diaplikasikan pada semua lokasi yang dikelola atau peralatan yang berbeda dapat diaplikasikan pada lokasi yang berbeda.
Sementara itu kerangka waktu time frame mengandung makna bahwa peralatan tersebut di atas dapat diimplementasi secara permanen atau temporal
sepanjang waktu . Peralatan boleh diglir atau dirotasi dari daerah yang satu ke daerah yang lain pada semua tempat sepanjang waktu.
Terdapat empat asumsi bagaimana pencapaian tujuan MMA untuk meningkatkan keutuhan lingkungan dan memperkaya sumberdaya perikanan.
Apabila tool di atas diimplementasikan secara efektif pada daerah tertentu selama waktu tertentu, maka ada empat keuntungan yang dapat diperoleh :
1. Safe haven. MMA akan mengupayakan perlindungan daerah sanctuary untuk kepentingan biodiversity, menjaga suatu wilayah yang berhubungan
dengan spesies tertentu dan individu-individu spesies baik anakan maupun dewasa, habitat, dan fungsi ekosistem dalam daerah tertentu yang dilindungi,
dikelola, dan atau dibiarkan berkembang sendiri. 2. Seeding. MMA mengupayakan perlindungan daerah pemijahan, sumber telur,
larva, dan atau juvenile bagi spesies tertentu. Asumsi ini perpengaruh penting dalam proses transport telur-telur, larva, dan juvenile bermigrasi ke
daerah pembesaran dimana biota-biota tersebut mencapai dewasa dan dapat ditangkap
3. Spill over - MMA akan menyediakan daerah sumber induk spesies - spesies tertentu. Sehingga terjadi peningkatan kepadatan populasi dalam daerah
perlindungan, spesies akan berpindah ke daerah - daerah terdekat dimana mereka dapat ditangkap.
4. Successional yield - MMA akan menyediakan daerah untuk spesies tertentu seperti : spesies yang menetap sedentery, non moving species untuk
berkembangbiak selama periode tertentu, secara bergantian selanjutnya penangkapan pada musim-musim tertentu. Semua spesies dikelola sesuai
dengan musim perkembangbiakannya. Selanjutnya Wiryawan dan Dermawan 2006, mengemukakan bahwa
MMA dapat berfungsi sebagai penghubung jaringan antara kawasan konservasi laut berbasis desa Daerah Perlindungan LautDPL berbasis desa. Banyaknya
gugus DPL dalam suatu MMA dapat senantiasa berkembang, mengingat proses pembentukan
dari masing-masing
DPL berbasis
desa bervariasi.
Namun pada prinsipnya, MMA merupakan pusat koordinasi pengelolaan
kawasan konservasi, yang mempunyai skala dan status dapat berbeda. Melalui MMA, maka diharapkan berbagai pemanfaatan kawasan laut seperti,
penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, pertambangan, indusrti transportasi dan kegiatan lain yang selaras dengan tujuan konservasi kawasan dapat
diakomodasi. Dengan adanya DPL-DPL sebagai komponen dari MMA, diharapkan suatu kawasan konservasi dapat lebih memberikan manfaat ekologi
yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat. Karena perlindungan kepada spesies yang bermigrasi seperti ikan dan mamalia laut
dapat lebih optimal jika habitatnya secara utuh dilindungi.
Gambar 4 Jaringan daerah perlindungan laut DPL dalam satu unit pengelolaan KKLD di kabupatenkota Sumber : Wiryawan
dan Dermawan 2006.
Keterangan : Jenis-jenis DPL pada skala desa, maka jaringan KKLD dapat berupa kawasan-kawasan konservasi lain sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 dan peraturan pemerintah tentang konservasi sumber daya ikan yaitu : taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan dan suaka perikanan.
Terkait dengan pengelolaan kawasan MMA, Hockings et.al 2000 menggambarkan suatu desain pengelolaan interaktif terhadap wilayah
konservasi MPA meliputi : manajemen, monitoring, evaluasi dan adaptasi dapat dilihat pada Gambar 5.
Dengan proses
tersebut manager
diperkuat oleh
kemampuan mendiagnosa dan peningkatan manejemen secara adaptatif . Untuk memulai
proses evaluasi dalam siklus sistem manejemen terdapat tiga pertanyaan sederhana yang harus dijawab.
Gambar 5 Kerangka pengelolaan MMA secara efektif
Sumber : Hockings et al. 2000
. Tulungen et al. 2002 memberikan definisi Daerah Perlindungan Laut
Berbasis Masyarakat DPL-BM sebagai daerah pesisisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan
pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Kegiatan perikanan dan dan pengambilan sumberdaya merupakan hal terlarang di dalam
kawasan DPL-BM. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan dan larangan aktivitas
tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa. Contoh DPL-BM adalah seperti DPL-BM di Desa Blongko,
Talise dan Tumbak di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, DPL Pulau Sebesi, Lampung dan marine sanctuary di Pulau Apo, Dumaguette, Filipina, dengan luas
antara 6-25 hektar. Berfungsinya DPL secara pengelolaan adalah apabila terdapatnya suatu
zona inti di dalam DPL, yaitu suatu zona larang ambil permanen. Di dalam zona inti atau dapat dikatakan zona tabungan perikanan, tidak diperkenankan adanya
kegiatan eksploitatif atau penangkapan ikan. Kegiatan eksploitasi hewan laut seperti karang, teripang, kerang-kerangan atau organisme hidup lainnya dilarang
untuk diambil. Zona inti dalam DPL tidak diperkenankan dieksploitasi secara
musiman atau waktu-waktu tertentu, sehingga DPL tidak sama dengan “Sasi” di
Evaluasi
Planning MMA
Bagaimana bisa mendapatkannya
Input
Apa yang kita butuhkan
Proses Menejemen
Bagaimana kita mengelolanya
Output
Apa yang telah dilakukan Apa hasilnya
Pelayanan yang telah dihasilkan
Outcome
Apa yang telah dicapai
Visi MMA
Dimana kita ingin berada
Status dan Ancaman
Dimana kita sekarang
Maluku atau “Mane’e” di Sangir Talaud. Pembukaan musiman dapat
menyebabkan fungsi DPL dan zona intinya tidak berfungsi efektif. Zona inti biasanya berisi ekosistem terumbu karang yang sehat, karena tidak mengalami
gangguan oleh manusia, sehingga biota karang termasuk ikan karang, mempunyai kesempatan untuk kembali pada keadaan terumbu karang yang baik.
Zona inti cenderung dipilih yang mempunyai kondisi dan tututan karang yang baik, dan dihuni oleh beberapa biota dari berbagai ukuran, termasuk pemangsa
besar, seperti Kerapu dan Hiu Tulungen et al. 2002. Menurut Wiryawan dan Dermawan 2006 yang mengacu pada
pengamatan para ahli, menunjukkan bahwa DPL akan memberikan manfaat kepada perikanan yang ada di sekitar kawasan sekitar 3 - 5 tahun, sedang DPL
akan menunjukkan perubahan kepadatan ikan dan terumbu karang hidup dalam waktu setelah setahun DPL ditetapkan. Kajian lain menyatakan bahwa satu
kilometer persegi DPL dapat menghasilkan 20 - 30 ton ikan per tahun Tulungen et al. 2002.
Lokasi dan ukuran DPL sangat menentukan keberhasilan fungsi DPL dalam mendukung pengelolaan perikanan. Pada umumnya DPL ditempatkan di
sekitar pulau-pulau kecil atau di sepanjang garis pantai pulau besar. Sebenarnya tidak ada ukuran yang ideal untuk DPL, namun demikian ilmuwan
merekomendasikan “semakin luas ukuran DPL akan semakin baik fungsinya”. Pendapat ahli menyebutkan bahwa ukuran yang optimal adalah 10 - 30 dari
luasan terumbu karang di suatu desa. Suatu penelitian di Filipina menunjukkan bahwa DPL-BM skala kecil yang ditetapkan di sekitar pulau , dengan 10 - 20
kawasan terumbu karangnya dapat menghasilkan dua kali lipat hasil tangkapan nelayan di luar kawasan DPL-BM, khususnya jenis ikan karang Tulungen et al.
2002. Para ahli dari The Partnership for Interdisciplinary Studies of Coastal
Oceans atau PISCO 2002 mengemukakan bahwa keputusan tentang ukuran dan jumlah DPL untuk suatu lokasi tergantung pada faktor lingkungan lokal,
sosial ekonomi dan peraturan. Namun demikian, dari pengalaman dan persetujuan dengan masyarakat, maka saat sekarang DPL berbasis desa yang
ada di beberapa negara menunjukkan luasan sampai 50 hektar zona inti. Apabila terlalu kecil ukuran DPL maka DPL tidak akan berfungsi secara ekologis,
sedangkan apabila ukuran DPL terlalu luas di suatu desa, maka fungsi kontrol
masyarakat terhadap DPL menjadi kurang, dan konflik dengan pengguna nelayan akan menjadi besar.
Berikut adalah tahapan, kegiatan, hasil, dan indikator yang diharapkan dalam pengembangan DPL Tabel 3.
Tabel 3 Tahapan, kegiatan, hasil dan indikator pengembangan DPL
Tahapan proses perencanaan dan
pengelolaan Kegiatan yang
dilakukan Hasil yang
diharapkan Indikator Hasil
Pengenalan dan Sosialisasi Program
• Lokasi desa dipilih
• Penempatan
Penyuluh •
Survei data dasar •
Pembuatan Profil Desa
• Diskusi program
pendampingan masyarakat
• Identifikasi isu-isu
Sosioekonomi dan budaya dipahami
• Pendekatan dapat
dipahami bersama •
Deskripsi data dasar •
Profil lingkungan disebarkan kepada
masyarakat •
Jumlah pertemuan masyarakat ttg DPL
Pelatihan,Pendidikan, Pengembangan
Kapasitas Masyarakat •
Studi banding DPL •
Penyuluhan DPL dan lingkungan
• Pelatihan
Pemetaan Kawasan
• Pelatihan
Kelompok •
Pemahaman Masyarakat
• Peta Karang
• Peningkatan
Pengawasan •
Dukungan masyarakat
• Kapasitas
masyarakat meningkat
• Kapasitas dalam
pengelolaan sumberdaya
• Jumlah
pelatihanpenyuluhan •
Jumlah peserta pelatihan
• Jumlah kelompok
masyarakat •
Jumlah proposal kegiatan kelompok
• Pelaporan
penggunaan dana
Konsultasi Publik •
Pembuatan draft Perdes
• Diskusi
formalinformal •
Perbaikan draft Perdes
• Partisipasi dalam
Pembuatan Perdes
• Konsensus
tentang aturan DPL
• Jumlah pertemuan
• Jumlah peserta
dalam penyiapan Perdes
• Jumlah peserta
setuju dengan Perdes
Persetujuan Peraturan Desa
• Musyawarah
Desa •
Peresmian Perdes
• Peresmian
Formal oleh Pemerintah
• Penerimaan
DPL secara formal
• Dasar Hukum
• Jumlah
musyawarah •
Penandatanganan Perdes
• Peresmian DPL
oleh Pemerintah
Pelaksanaan •
Pemasangan Tanda Batas
• Rencana
Pengelolaan •
Papan Informasi •
Rencana pengelolaan
terumbu karang RPTK
• Pertemuan
Pengelola •
Monitoring •
Penegakan Hukum •
Penyuluhan dan pendididkan
• Ketaatan
• Pengelolaan
efektif •
Tutupan karang meningkat
• Kepadatan biota
meningkat •
Hasil tangkapan meningkat
• Jumlah pelanggaran
menurun •
Jumlah pertemuan kelompok
• Survei monitoring
• Data statistik
perikanan di DPL
Sumber : Tulungen et al. 2002
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah DPL memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang. DPL membantu
menjaga sumber - sumber larva karang dari daerah yang telah rusak. Tindakan - tindakan pengelolaan berkaitan dengan DPL yang dapat membantu regenerasi
terumbu karang adalah : a mengidentifikasi daerah - daerah karang yang tidak terlalu rusak dalam DPL dan meninjau ulang skema zonasi dan perbatasan
untuk menjamin terumbu karang yang sehat dilindungi dengan ketat, b memastikan DPL yang ada dikelola secara efektif, dan c mengembangkan
pendekatan yang lebih strategis untuk sistem DPL, rangkaian wilayah geografis yang tersebar luas dan variasi DPL Westmacott et al. 2000.
2.3 Dampak KKLD dan Pengelolaan Perikanan