Kerangka Pendekatan Penelitian Ekosistem Terumbu Karang

Secara garis besar pembentukan KKLD di Kabupaten Natuna memiliki tujuan yang merupakan perpaduan dari kepentingan ekologis, sosial dan ekonomi. Kepentingan ekologis terwakili oleh tujuan melindungi dan melestarikan ekosistem terumbu karang. Sementara itu tujuan sosial dan ekonomi yang ingin dicapai adalah terciptanya sistem dan mekanisme pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat serta adanya kepastian hukum dalam pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa lingkungan ekosistem terumbu karang dan pada akhirnya diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Untuk memastikan apakah tujuan tersebut telah dicapai serta berbagai permasalahan yang dihadapi, maka dalam penelitian ini dilakukan kajian terhadap aspek tersebut. Secara singkat permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : “Bagaimana dampak KKLD di Kabupaten Natuna terhadap keberadaan ekosistem terumbu karang dan kondisi sosial masyarakat”.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan : 1 Mengkaji dampak KKLD terhadap kondisi ekologi terumbu karang berupa persentasi tutupan karang hidup, kelimpahan ikan karang, keanekaragaman dan kemerataan ikan karang, serta kelimpahan megabenthos. 2 Mengkaji kondisi sosial masyarakat terkait keberadaan KKLD berupa persepsi masyarakat terhadap KKLD, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan KKLD dan pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang. 3 Menyusun skenario pengelolaan KKLD yang merupakan bagian penting dari pengelolaan secara adaptif adaptive management untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan.

1.4 Kerangka Pendekatan Penelitian

Kerangka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini secara diagramatis digambarkan sebagai berikut Gambar 1. Gambar 1 Diagram alir kerangka pendekatan penelitian. Berdasarkan Gambar 1 di atas, terdapat dua komponen kajian yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu kajian ekologi dan sosial. Kajian ekologi dilakukan untuk menjawab permasalahan bagaimana dampak KKLD terhadap ekosistem terumbu karang di Kabupaten Natuna. Dalam kaitan ini, maka dilakukan pengukuran dan analisis variabel ekologi terumbu karang berupa persentasi tutupan karang hidup, kelimpahan ikan karang, keanekaragaman dan kemerataan ikan karang, serta kelimpahan megabenthos. Untuk melihat terjadinya perubahan, dilakukan pembandingan data ekologi tahun 2007 sebelum KKLD dan tahun 2009 setelah KKLD. Sementara itu komponen kajian dan analisis yang kedua adalah sosial untuk menjawab permasalahan bagaimana dampak KKLD terhadap kondisi sosial masyarakat. Variabel yang dikaji adalah persepsi masyarakat terhadap keberadaan KKLD, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan KKLD dan pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang. Kajian ini sangat menentukan keberhasilan implementasi KKLD. Dan yang terakhir sebagai implikasi kebijakan pengelolaan KKLD dilakukan penyusunan skenario yang beranjak dari kondisi faktual lapangan dan bersumber dari masyarakat setempat. Pendekatan penelitian yang telah dirumuskan selanjutnya diuraikan dalam sebuah alur penelitian seperti disajikan dalam Gambar 2. Gambar 2 Diagram alir pelaksanaan penelitian. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang Coral Reef merupakan masyarakat organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur CaCO3 yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Berbagai organisme yang dominan hidup disini adalah binatang - binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Terumbu karang dibedakan antara binatang karang atau karang reef coral sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang coral reef sebagai suatu ekosistem Sorokin, 1993. Sejalan dengan itu Sukarno, et al. 1981 mengemukakan bahwa terumbu karang merupakan komunitas berproduktivitas hayati tinggi, memiliki keanekaragaman jenis biota yang besar dan dilihat dari estetika sangat indah sekali. Terumbu karang bisa dikatakan sebagai hutan tropis ekosistem laut. Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selanjutnya Nybakken 1992 mengemukakan bahwa terumbu karang merupakan keunikan diantara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Seperti hewan lain, karang memiliki kemampuan reproduksi secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual adalah reproduksi yang tidak melibatkan peleburan gamet jantan sperma dan gamet betina ovum. Pada reproduksi ini, polipkoloni karang membentuk polipkoloni baru melalui pemisahan potongan-potongan tubuh atau rangka. Ada pertumbuhan koloni dan pembentukan koloni baru. Sedangkan reproduksi seksual merupakan reproduksi yang melibatkan peleburan sperma dan ovum fertilisasi. Sifat reproduksi ini lebih kompleks karena selain terjadi fertilisasi, juga melalui sejumlah tahap lanjutan pembentukan larva, penempelan larva, pertumbuhan dan pematangan. Baik reproduksi secara seksual maupun secara aseksual dijalankan oleh karang tentunya untuk tujuan mempertahankan keberadaan spesiesnya di alam. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga kedua metode tersebut saling melengkapi Timotius 2003. Secara umum karang mempunyai dua model reproduksi seksual yang sangat berbeda, yaitu 1 brooding mengandung larva dan 2 spawning pemijahan. Perbedaan ini ditentukan oleh cara pertemuan gamet jantan dan gamet betina. Pada karang yang melakukan brooding, telur-telur yang dibuahi secara internal di dalam gastrovasculer dierami hingga perkembangannya mencapai stadium larva planula. Sedangkan karang yang melakukan spawning adalah melepaskan telur-telur dan sperma ke kolom perairan dan pembuahan terjadi secara eksternal selanjutnya embrio juga berkembang di perairan. Sebagian besar karang di dunia bereproduksi dengan cara spawning, begitu pula dengan model reproduksi di Indonesia. Dari 21 spesies karang yang dilaporkan hanya 1 spesies Pocillopora damicornis yang melepaskan planula dan 1 spesies Stylophora pistillata belum jelas model reproduksinya. Perbedaan model reproduksi ini akan mempengaruhi beberapa aspek ekologi karang, antara lain transfer alga symbiont zooxanthellae ke dalam larva, larval competency kemampuan larva dalam melakukan penempelan untuk menetap dan metamorfosis, penyebaran larva, pola distribusi karang, keanekaragaman genetis, laju spesiasi dan evolusi Richmond 1996. Menurut Veron 1995, terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara latitudinal terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan surface sirculation air. Sementara itu, penyebaran secara longitudinal akan sangat dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stones. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik suhu dan sirkulasi permukaan dengan banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah indo-pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang di region tersebut. Kini, hampir 800 jenis karang yang tergolong kelompok schleractinia telah dideskripsikan. Dari sejumlah karang yang ditemukan ini 600 jenis berada di Asia Tenggara khususnya di Indonesia dan Philipina Burke, Selig dan Spalding 2002 dan dengan pertimbangan luasan kawasannya sebesar 34 51 kontribusi kawasan terumbu karang Indonesia dari total luas kawasan terumbu karang di dunia maka secara biogeografi kawasan ini dinyatakan sebagai center of origin karang di dunia. Secara umum terumbu karang terdiri atas tiga tipe: 1 terumbu karang tepi fringing reef, 2 terumbu karang penghalang barrier reef, dan 3 terumbu karang cincin atau atol. Terumbu karang tepi dan penghalang berkembang sepanjang pantai, namun perbedaannya adalah bahwa terumbu karang penghalang berkembang lebih jauh dari daratan dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan terumbu karang tepi. Terumbu karang cincin atau atol merupakan terumbu karang yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan Bengen 2001. Menurut Suharsono 1998 karang tepi merupakan karang yang paling umum dijumpai di Indonesia. Sedangkan pertumbuhan karang di Indonesia didominasi oleh karang dari marga Acropora, Montipora dan Porites. Ketiga marga karang tersebut tidak hanya mendominasi persentasi tutupan karang hidup di perairan tetapi juga mendominasi jumlah kekayaan jenis karang. Jumlah jenis karang batu di Indonesia tercatat berjumlah 362 jenis. Acropora merupakan marga yang mempunyai jenis terbesar yaitu 62 jenis kemudian diikuti Montipora 29 jenis dan Porites 14 jenis. Nybakken 1992 mengemukakan bahwa perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu. Adapun faktor - faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang adalah sebagai berikut : 1 Suhu air lebih besar dari 18 C, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23 - 25 C, dengan suhu maksimal yang masih dapat ditolerir berkisar antara 36 - 40 C. 2 Kedalaman perairan kurang dari 50 meter, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 meter atau kurang. 3 Salinitas air yang konstan berkisar antara 30 - 36 000 . 4 Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen. Pecahan ombak yang besar pada sisi yang terbuka windward suatu atol menciptakan perkembangan pematang algae dan rataan terumbu. Pada daerah ini perkembangan karangnya minimal. Sebaliknya pada sisi yang terlindung leeward, perkembangan pematang algae berkurang dan perkembangan karang dominan. Burke et al. 2002 mengemukakan bahwa terumbu karang memiliki fungsi ekosistem yang penting yaitu menyediakan barang dan jasa bagi ratusan juta penduduk khususnya di negara-negara berkembang. Manfaat lain adalah untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, farmasi dan pendidikan. Dan yang tak kalah pentingnya terumbu karang memiliki potensi wisata yang menarik serta memiliki fungsi tak ternilai dalam melindungi pesisir dan erosi pantai. Selanjutnya dikemukakan bahwa potensi keuntungan bersih per tahun per Km 2 dari terumbu karang dalam kondisi baik di Asia Tenggara di estimasi mencapai AS 20 000 - AS 151 000 untuk kegiatan perikanan dan perlindungan pantai dan untuk potensi pariwisata dan estetika mencapai AS 23 100 - AS 270 000.

2.2 Kawasan Konservasi Laut dan Daerah Perlindungan Laut