31
رق لا :
١ ٣٢
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang
maruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang maruf pula. janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
Yaitu Al kitab dan Al Hikmah As Sunnah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada
Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Jika sebuah rumah tangga yang didalamnya terjadi percekcokan yang berkepanjangan, maka dalam diri suamiisteri terdapat dua hal yang
bertentangan. Pertama, bahaya cekcok yang berkepanjangan dalam rumah tangga, ini jelas bertentangan dengan tujuan perkawinan yaitu dalam rangka
mencapai sakinah ketentraman, dan kedua, bahaya percerain yang juga bertentangan dengan tujuan perkawinan.Dalam kondisi yang demikian, jika
bahaya percaraian lebih ringan di bandingkan dengan cekcok yang
32
berkepanjangan, maka seseorang dibolehkan bercerai demi menghindar dari bahaya yang lebih besar.Sebaliknya, jika menurut pertimbangan bahwa
bahaya perceraian lebih besar daripada cekcok rumah tangga karena masih dapat didamaikan, maka perceraian tidak boleh dilakukan.
Dengan demikian syariat sebenarnya bertujuan untuk memperkecil jumlah perceraian. Jika hal ini dihubungkan dengan pelaksanaan perceraian
yang terjadi di Indonesia khususnya bagi umat Islam perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan Agama. Setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, maka hal itu tidak bertentangan dengan syariat islam, karena jika dilihat dari esensi
aturan ini, bertujuan untuk memperkecil jumlah perceraian, serta mencegah kesewenang-wenangan kaum laki-laki dalam hal Perceraian.
22
2. Syarat-syarat Perceraian
Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat, yaitu
23
: a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;
22
Sri Mulyati, Relasi Suami Iteri dalam Islam, Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2004, h. 15-16.
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2009, h.227.
33
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri;
c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan itu telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang
dilangsungkan di luar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada Pegawai Pencatatn Sipil di Jakarta. Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam
bulan setelah hari tanggal putusan hakim. Jikalau pendaftaran dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang dilalaikan, putusan perceraian
kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut undang-undang perkawinan masih tetap berlangsung.
F. Sebab dan Akibat Perceraian 1. Sebab Perceraian
Suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing- masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.
34
Karena itu, undang-undang ini juga menganut asas atau prinsip mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus
ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan.
24
Dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1997 menyatakan Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya. c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain. e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami-istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan persengketaan
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
24
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, h. 268.
35
Dari alasan-alasan yang ditentukan pasal 19 ini dapat dipahami bahwa ikatan nikah yang idealnya kekal abadi diberi peluang terputusnya dengan
perceraian.
25
2. Akibat dari Perceraian
Undang-undang Perkawinan mengatur dengan tuntas tentang kedudukan harta benda di dalam perkawinan. Ketentuan yang terdapat di dalam pasal 37
Undang-undang Perkawinan menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
26
Menurut pasal 35, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harta benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu pasal 36 menetukan bahwa harta bersama suami
atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
25
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, h. 120.
26
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa, 1989, h. 122.