adalah sebesar 228.99 persen dibanding tahun dasar, sedangkan meningkat dari tahun 2008 sebesar 54,79 persen. Peningkatan
disebabkan meningkatnya tambahan modal disetor dari 888.069 juta Rupiah pada tahun 2008 menjadi 1.030.312 juta Rupiah pada tahun
2009. Selain itu menambahan saldo laba ditahan meningkat sebesar 24,92 persen dibanding tahun 2008.
2. Trend Laporan Laba Rugi
Analisis trend terhadap laporan laba rugi perusahaan dilakukan pada komponen-komponen yang digunakan untuk melihat
kemampuan perusahaan didalam menghasilkan keuntungan laba. Komponen-komponen tersebut antara lain penjualan, beban pokok
penjualan, laba usaha dan laba bersih. Hasil analisis trend terhadap keempat komponen tersebut adalah trend meningkat.
Hasil analisis trend terhadap komponen penjualan dalam laba rugi menunjukan bahwa perkembangan cenderung meningkat.
Gambar 13 menunjukan trend model quadratic pada penjualan yang cenderung meningkat tiap tahunnya dari tahun 2005 hingga 2009
Tahun P
e n
ju a
la n
2011 2010
2009 2008
2007 2006
2005 220
200 180
160 140
120 100
A ccuracy Measures MA PE
9,710 MA D
14,513 MSD
258,968 Variable
Forecasts A ctual
Fits
Trend Analysis Plot for Penjualan
Quadratic Trend Model Yt = 30,95 + 66,1071t - 6,99286t2
Gambar 13. Grafik Trend Penjualan Lonsum 2005-2009 Tingkat penjualan komuditas dipengaruhi oleh harga dari
komunitas itu sendiri. Komuditas perusahaan adalah kelapa sawit, karet, teh dan kakao. Kelapa sawit merupakan komuditas utama dari
penjualan, komuditas ini berkontribusi lebih dari 70 penjualan. Sebagaimana halnya komoditas pada umumnya, harga CPO
dipengaruhi oleh besarnya permintaan dan persediaan, selain juga oleh persedian dan permintaan dari produk substitusinya yang
terdekat, yaitu minyak kedelai. Pada tahun 2005, pengaruh panen yang berlebihan baik untuk CPO maupun minyak kedelai, selain
persediaan CPO yang tinggi di Eropa dan Malaysia, berdampak pada realisasi harga rata-rata CPO yang lebih rendah di tahun 2005
dibandingkan tahun 2004. Harga rata-rata CPO pasar spot Rotterdam adalah USD 414 per MT di tahun 2005.
Sedangkan, harga karet alam meningkat dengan konstan selama beberapa tahun terakhir, mencapai rekor tertingginya sebesar
USD 1.800 per ton di tahun 2005. Peningkatan ini dipicu oleh kebutuhan yang tinggi di Cina, harga minyak bumi yang tinggi yang
berdampak langsung terhadap harga karet sintetis, serta harga-harga komoditas yang melonjak didorong oleh kepentingan yang sebagian
besar bersifat spekulatif. Pada saat bersamaan, kenaikan penawaran tumbuh lebih lambat akibat musim kering yang berkepanjangan di
tahun 2005, areal perkebunan yang menciut, dan peningkatan biaya tenaga kerja di Thailand dan Malaysia.
Dibanding tahun 2005 terjadi peningkatan penjualan pada tahun 2006 adalah sebesar 17,48 persen dibanding tahun dasar.
Peningkatan terjadi akibat naiknya harga CPO dan harga karet. Pada 2006, harga minyak sawitproduk sawit umumnya stabil di kisaran
US 435 per MT untuk CIF atau US 375 per MT untuk FOB sepanjang tujuh bulan pertama tahun itu. Hal ini terutama
disebabkan oleh adanya peningkatan produksi minyak biji-bijian yang didukung cuaca kondusif di kawasan perkebunan utama di AS,
Amerika Selatan, serta India. Namun, adanya lonjakan harga minyak mentah dunia yang mencapai sekitar US 80 per barel pada
pertengahan 2006 telah mendorong kebutuhan yang lebih besar akan penggunaan bio-fuel. Hal ini memicu terjadinya peningkatan
signifikan harga minyak kelapa sawit menjadi rata-rata US 480 per MT untuk FOB di kuartal keempat 2006.
Harga karet alam meningkat konstan dalam lima tahun terakhir dan mencapai rekor tertingginya seharga US 2.700 per ton pada
Agustus 2006. Sementara pada 2005 hanya US 1.800 per ton. Peningkatan ini terutama dipicu oleh kenaikan harga minyak mentah
yang merupakan basis produksi karet sintetis. Faktor pendorong lainnya adalah adanya kenaikan tajam permintaan dunia atas ban
untuk alat-alat berat di bidang pertambangan. Hal ini dipicu oleh lonjakan harga tembaga dan bahan metal dasar lainnya di pasar
dunia. Rata-rata harga jual karet meningkat sebesar 48,6 menjadi Rp. 17.728 per kilogram pada 2006, selain itu terjadi peningkatan
produksi yaitu meningkat dari 20.507 ton pada 2005 menjadi 22.414 pada 2006, peningkatan ini merata disemua kebun karet.
Pada tahun 2007 penjualan meningkat sebesar 59,86 dibanding tahun dasar atau sebesar 42,38 dibanding tahun 2006.
Peningkatan ini disebabkan karena peningkatan harga komoditas utama, khususnya minyak sawit melampaui 55 atau sebesar US
674.25 per ton . Harga karet dan kakao juga tetap tinggi. Pada tahun 2008 peningkatan penjualan terus terjadi,
peningkatan sebesar 109,84 persen dibanding tahun dasar atau meningkat 49,98 persen. Peningkatan ini sebabkan oleh
meningkatnya harga rata-rata CPO per tahun mencapai US 950 per ton. Harga karetpun mengikuti harga minyak mentah, harga rata-rata
per tahun adalah US 2.493 per ton. Harga kakao pun mengalami peningkatan, pada tahun 2008 harga rata-rata Rp. 23.826 per kg naik
dari Rp. 15.634 per kg di tahun 2007. Pada tahun 2009,persentase penjualan meningkat sebesar 74,57
persen dibanding tahun dasar, namun jika dibandingkan dengan tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 35.27 persen. Penurunan
ini disebabkan menurunnya harga kelapa sawit dan karet dibanding tahun 2008, meskipun pada tahun 2009 harganya relatif lebih tinggi
dibanding harga sebelum 2008. Harga rata-rata CPO pada tahun 2009 adalah US 683 per ton, dibandingkan tahun 2008 US 950 per
ton. Selain itu penjualan karet menurun 3,3 pada tahun 2009, yang terutama disebabkan oleh turunnya volume penjualan pada kuartal I
2009 karena dampak resesi global. Permintaan karet yang melemah juga berpengaruh pada harga jual rata-rata yang mengalami
penurunan sebesar 32,1 dibanding tahun 2008. Harga karet sangat terpengaruh oleh penurunan permintaan yang signifikan di tahun
2008, dan berfluktuasi diantara harga terendah US 1.420 hingga tertinggi US 2.885 per ton pada akhir 2009.
Hasil analisis trend terhadap pos beban pokok penjualan dalam laba rugi menunjukan bahwa perkembangannya cenderung
meningkat. Gambar 14 menunjukan trend model Grove Curve pada beban pokok penjualan yang cenderung meningkat tiap tahunnya,
kecuali pada tahun 2008 menuju tahun 2009 terjadi penurunan persentase namun tetap mengalami peningkatan dibanding tahun
2005.
Tahun B
e b
a n
P o
k o
k P
e n
ju a
la n
2011 2010
2009 2008
2007 2006
2005 190
180 170
160 150
140 130
120 110
100
A ccuracy Measures MA PE
5,3601 MA D
7,3286 MSD
91,1911 Variable
Forecasts A ctual
Fits
Trend Analysis Plot for Beban Pokok Penjualan
Growth Curve Model Yt = 89,3818 1,10766t
Gambar 14. Grafik Trend Beban Pokok Penjualan Lonsum 2005- 2009
Pada tahun 2006 terjadi peningkatan persentase beban pokok penjualan sebesar 6,19 persen dibandingkan dengan tahun dasar.
Peningkatan ini disebabkan antara lain karena meningkatnya beban
terkait dengan BBM, pupuk, dan dampak inflasi secara umum. Inflasi menembus angka dua digit selama sembilan bulan pertama
2006, dari rata-rata 6 di tahun sebelumnya. Kenaikan harga BBM berdampak langsung pada peningkatan beban transportasi untuk
urusan pembelian tanaman maupun kegiatan panen, selain juga biaya produksi.
Pada tahun 2007 persentase kenaikan beban pokok penjualan meningkat sebesar 17,32 persen dibanding tahun dasar atau
mengalami kenaikan sebesar 11,13 persen dibanding tahun 2006. Peningkatan ini disebabkan karena naiknya pembelian buah naik
49,6, penyusutan naik 24,6, biaya tidak langsung naik 5,9 dan biaya pemupukan dan pemeliharaan naik 5,9 dan biaya
panen naik 5,3. Pada tahun 2008 persentase beban pokok penjualan meningkat
52,62 persen dibandingkan tahun dasar atau meningkat 35,3 persen dibanding tahun 2007. Peningkatan terjadi karena meningkatnya
biaya langsung seperti biaya pupuk dan angkutan selama 2008 sebagai akibat langsung dari tingginya harga minyak mentah. Harga
BBM pada 2008 meningkat 51 per liter. Pada tahun 2009 persentase beban pokok penjualan meningkat
sebesar 39,08 persen dibandingkan tahun dasar, atau menurun sebesar 13,53 persen dibanding tahun 2008. Penurunan dari tahun
2008 ke 2009 akibat dari lebih rendahnya harga TBS. Penurunan harga disebabkan tingkat inflasi di Indonesia menurun drastis dari
11.06 pada tahun 2008 menjadi 2,78 di tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 23.
Hasil analisis trend terhadap pos Laba Usaha dalam laba rugi menunjukan bahwa perkembangannya cenderung meningkat.
Gambar 15 menunjukan trend model linear pada laba usaha yang cenderung meningkat tiap tahunnya, kecuali pada tahun 2008
menuju tahun 2009 terjadi penurunan persentase namun tetap mengalami peningkatan dibanding tahun 2005.
Tahun L
a b
a U
s a
h a
2011 2010
2009 2008
2007 2006
2005 400
350 300
250 200
150 100
A ccuracy Measures MA PE
19.92 MA D
37.47 MSD
1830.80 Variable
Forecasts A ctual
Fits
Trend Analysis Plot for Laba Usaha
Linear Trend Model Yt = 54.523 + 45.091t
Gambar 15. Grafik Trend Laba Usaha Lonsum 2005-2009 Pada tahun 2006 kenaikan persentase laba usaha sebesar 2,15
persen dibanding tahun dasar. Faktor tunggal terpenting penyebab terjadinya peningkatan laba usaha adalah peningkatan komuditas
karet. Komuditas ini mencatat laba usaha dua kali lipat dibanding tahun 2005. Lonjakan laba usaha dari karet mampu menutup
penurunan laba pada pada produk sawit. Juga berhasil menutup gabungan kerugian usaha kakao dan teh.
Pada tahun 2007 kenaikan persentase laba usaha meningkat 122.64 persen dibanding tahun dasar atau meningkat sebesar 120.49
persen dibanding tahun 2006. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya laba kotor disertai beban usaha yang hampir tidak
berubah. Pada tahun 2008 persentase laba usaha meningkat sebesar 195,32 persen dibanding tahun dasar, atau meningkat sebesar 72,68
persen dibanding tahun 2007. Peningkatan ini sebabkan karena meningkatnya laba kotor disertai dengan meningkatnya jumlah
beban usaha. Namun peningkatan jumlah beban usaha tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2009 persentase laba usaha meningkat sebesar
128,87 persen dibanding dengan tahun dasar, sedangkan jika dibandingkan dengan tahun 2008 persentase laba usaha menurun
sebesar 66,45 persen. Penurunan disebabkan oleh menurunnya laba
kotor. Beban usaha turun akibat bea keluar dan beban remunerasi yang lebih rendah.
Hasil analisis trend terhadap pos laba bersih dalam laba rugi menunjukan bahwa perkembangannya cenderung meningkat.
Gambar 16 menunjukan trend model Growth Curve pada laba bersih yang cenderung meningkat.
Tahun L
a b
a B
e rs
ih
2011 2010
2009 2008
2007 2006
2005 400
350 300
250 200
150 100
A ccuracy Measures MA PE
20,36 MA D
33,33 MSD
1631,23 Variable
Forecasts A ctual
Fits
Trend Analysis Plot for Laba Bersih
Growth Curve Model Yt = 69,8580 1,28320t
Gambar 16. Grafik Trend Laba Bersih Lonsum 2005-2009 Pada tahun 2006 terjadi penurunan persentase laba bersih
sebesar 14,79 persen dibanding dengan tahun dasar. Penurunan ini disebabkan adanya peningkatan pajak penghasilan. Adanya manfaat
pajak dari kerugian di masa lalu yang dialihkan ke tahun berikutnya membuat pajak penghasilan pada tahun 2005 Rp.18,2 miliar relatif
rendah, namun pada tahun 2006 tidak adanya manfaat pajak akrual yang diterima sehingga pajaknya mencapai Rp. 126,9 miliar.
Pada tahun 2007 terjadi peningkatan persentase dari laba bersih sebesar 58,56 persen dari tahun dasar atau meningkat sebesar
73,75 persen dari tahun 2006. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya laba kotor akibat peningkatan penjualan. Harga
komoditas utama perusahaan terus meningkat sepanjang tahun 2007, khususnya minyak sawit melampaui 55. Harga karet dan kakao
juga tetap tinggi. Kenaikan harga komoditas yang tinggi tersebut
disertai usaha manajemen yang lebih fokus pada pengendalian biaya- biaya, mengakibatkan keuntungan perusahaan meningkat.
Pada tahun 2008 peningkatan persentase laba bersih sebesar 160,75 persen dibanding tahun dasar atau meningkat sebesar 102,19.
Peningkatan tersebut
secara signifikan disebabkan
karena meningkatnya laba kotor. Pada tahun 2009 persentase laba bersih
meningkat sebesar 98,89 persen dibanding tahun dasar, sedangkan jika dibanding tahun 2008, persentasenya menurun sebesar 61,86.
Penurunan disebabkan karena menurunnya laba usaha dan laba kotor.
4.3.2. Peramalan Neraca dan Laporan Laba Rugi