Dimension, The Ethical Dimension, The Social Dimension, and The Social Dimension.
30
The Ritual Dimension Dimensi Ritual Religion tends in part to express itself through such rituals: through
worship, prayers, offerings, and the like
31
Agama cenderung sebagian untuk mengekspresikan diri melalui ritual seperti : melalui ibadah, doa, persembahan, dan sejenisnya.
The Mythological Dimension Dimensi Mitologi Some important comments need to be made about this mythological
dimension. First, in accordance with modern usage in theology and in the comparative study of religion. Second, it is convenient to use
the term to include not merely stories about God.
32
Beberapa ulasan penting perlu dibuat tentang dimensi mitologis ini. Pertama , sesuai dengan penggunaan modern dalam teologi dan
studi perbandingan agama. Kedua, akan lebih mudah untuk menggunakan istilah untuk menyertakan bukan hanya cerita tentang
Tuhan. The Doctrinal Dimension Dimensi Doktrin
Third, Doctrines are attempt to give system, clarity, and intellectual power to what is revealed through the mythological and symbolic
language of religious fait and ritual.
33
Ketiga, doktrin mencoba untuk memberikan sistem, kejelasan, dan kekuatan intelektual untuk apa yang terungkap melalui bahasa
mitologis dan simbolis fait agama dan ritual.
30
Ninian Smart, op. cit., hlm. 6
31
Ibid., hlm. 6
32
Ibid., hlm 8
33
Ibid., hlm 8
The Ethical Dimension Troughout history we find that religions usually incorporate a code
of ethics. Ethics concern the behavior of the individual and, to some extent, the code of ethics of the dominant religion control
community.
34
Di luar sejarah kita menemukan bahwa agama biasanya
memasukkan kode etik. Etika menyangkut perilaku individu dan, sampai batas tertentu, kode etik masyarakat kontrol agama dominan.
The Social Dimension Dimensi Sosial Religions are not just system of belief: they are also organizations,
or part of organizations. They have communal and social significance.
35
Agama bukan hanya sistem kepercayaan : mereka juga organisasi, atau bagian dari organisasi. Mereka memiliki signifikansi
komunal dan sosial. The Experiential Dimension
The dimension we have so far discussed would indeed be hard to account for were it not for the dimension with which this book
centrally concerned : that of experience, the experiental dimension.
36
Dimensi eksperiental sejauh ini dibahas memang akan sulit untuk dijelaskan kalau bukan karena buku ini terpusat pada :
pengalaman , dimensi eksperiental.
34
Ibid., hlm. 9
35
Ibid., hlm. 9
36
Ibid., hlm. 10
Berdasarkan dimensi-dimensi religiusitas di atas, bahwa kajian objek religius bukan hanya pada kepercayaan kepada Tuhan,
tetapi dapat dalam beberapa dimensi. Dimensi-dimensi religi dapat menjadi bentuk pengalaman yang disampaikan pengarang agar
pembaca dapat merasakan nilai religi dalam karya sastra yang dikarang pengarang.
4. Pengertian Masyarakat
Berikut ini merupakan definisi masyarakat menurut beberapa ahli
37
: 1.
R. Linton, seorang ahli antropologi mendefinisikan masyarakat adalah kelompok manusia yang bekerjasama sehingga dapat
mengorganisasikan sebagai kesatuan sosial dengan batas terntentu.
2. S.R.Steinmetz, seorang sosiologi bangsa Belanda mengatakan
bahwa masyarakat adalah kelompok manusia terbesar yang memiliki pengelompokkan manusia yang lebih kecil, serta
memiliki hubungan erat dan teratur. 3.
Hendropuspito mendefinisikan masyarakat kedalam tiga pengertian. Pertama, masyarakat adalah kesatuan terbesar
manusia yang saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan berdasarkan kebudayaan yang sama. Kedua, masyarakat
merupakan jalinan kelompok manusia yang saling mengait dalam kesatuan yang lebih besar. Ketiga, kesatuan tetap yang
berasalkan orang-orang yang tinggal pada daerah tertentu dan saling bekerja sama dalam kelompok.
4. Koentjajaningrat mendefinisikan masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi berdasarkan sistem adat istiadat yang kontinyu dan terikat identitas.
37
Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, Jakarta: Laboratorium Sosiologi Islam, 2008, hlm. 126-128
5. Paul B. Horton mengatakan masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang hidup bersama dalam waktu lama di suatu wilayah tertentu secara mandiri dan sebagian besar kegiatan dilakukan
dalam kelompok. Berdasarkan definisi para ahli, masyarakat merupakan sekumpulan
manusia yang hidup bersama dengan memiliki hubungan yang terkait dan saling bekerja sama.
5. Religi di dalam Masyarakat
Religi atau segala hal yang terkait tentang ketuhanan memang suatu hal yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan
sosial. Sosial merupakan hal yang berkenaan dengan masyarakat dalam segala perihal. Agama adalah bagian dari religi dan
merupakan kepercayaan yang terdapat di dalam masyarakat sosial. Multi religi yang terdapat di masyarakat merupakan bukti bahwa
agama atau religi tidak dapat terpisahkan dari masyarakat karena agama memiliki fungsi di masyarakat, salah satunya, yaitu fungsi
Perdamaian. Akan tetapi ada hal-hal yang menyebabkan masyarakat di
belahan dunia ini tidak dapat menerima keberadaan suatu agama, dan menyalah tafsirkan atas ajaran agama yang dipelajarinya untuk
kehidupan sosial. Salah tafsir tersebut menimbulkan kejadian- kejadian yang tidak menyenangkan, seperti baru-baru ini masyarakat
dikagetkan oleh masalah-masalah yang telah menimbulkan gejolak munculnya sentimen keagamaan. Dalam skala internasional adalah
kasus pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW. Oleh harian Jyllands-Posten di Denmark.
Menurut Jalaludin, sentimen secara etimologis diartikan sebagai semacam pendapat atau pandangan yang didasarkan
perasaan yang berlebihan terhadap sesuatu yang bertentangan
dengan pikiran manusia. Sebagai gejala psikologis, sentimen mendeskripsikan luapan rasa tidak puas atau benci terhadap sesuatu
yang menyalahi ataupun bertentangan dengan kondisi yang ada. Ataupun dianggap melecehkan sistem nilai yang ada dan oleh
pendukungnya dianggap sebagai sesuatu yang benar dan harus dipertahankan. Rasa sentimen dapat berpengaruh menimbulkan
luapan perasaan yang pada suatu tingkat tertentu dapat menimbulkan reaksi.
38
Fungsi agama bukan hanya sebagai perdamaian, akan tetapi dapat berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas.
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam kesatuan yaitu Iman dan
kepercayaan. Rasa kesatuan akan membina rasa solidaritas serta kebersamaan dalam kelompok maupun perorang, bahkan dapat
membina rasa persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.
39
Fungsi agama yaitu sebagai pemupuk rasa solidaritas antar kaum beragama walaupun kepercayaan agama yang diyakini
berbeda tetapi meyakini adanya Tuhan. Akan tetapi, fungsi agama belum terserap kepada semua lapisan masyarakat yang meyakini
agama maupun tidak, sehingga timbul rasa kurangnya solidaritas serta tenggang rasa.
Contoh realita seperti yang telah dijabarkan. Kaum revolusioner barat sebagai buah karya revolusi Prancis masih
setengah hati dalam menerima keberadaan agama, yaitu agama dianggap sebagai hal yang pribadi dan tidak masuk wilayah publik,
serta tidak memungkinkan bersentuhan secara damai dengan ilmu
38
Jalaluddin, Psikologi Agama Memahami perilaku dengan mengaplikasikan prinsip- prinsip psikologi, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012, hlm. 244
39
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010, hlm, 263
pengetahuan positivisme. Namun, mereka menolak menghilangkan peran agama sepenuhnya. Akhirnya mereka pun untuk saling
menghormati dan bersolidaritas kepada masyarakat yang lain, mereka memiliki solusi yaitu dengan membagi lahan kehidupan.
Agama menurut mereka hanyalah urusan hati dan pribadi, sedangkan yang lainnya adalah wilayah kebebasan intelektual dan
kemerdekaan bersama
40
berdasarkan pernyataan tersebut, fungsi agama masih memiliki peran yang dapat mempengaruhi sebuah
pemikiran sebuah kelompok. Berikut ini merupakan salah satu contoh fungsi agama
sebagai pemupuk solidaritas dan tenggang rasa tidak tertanamkan pada lapisan masyarakat. Weber berpandangan, aktifitas keagamaan
yang dilakukan oleh kaum Yahudi merupakan model yang ditirukan oleh Islam untuk mengembangkan ide jihad sebagai kewajiban
agama. Ide jihad yang dijadikan sebagai kewajiban beragama dianggap sebagai kombinasi khas suatu kelompok keprajuritan Arab
yaitu ide ketuhanan yang universal atau secara menyeluruh, perang suci, dan penghambaan tiada tara, dengan tegasnya Islam
dicerminkan tak lain sebagai agama prajurit atau agama perperangan.
Bagi Weber, Islam bukanlah agama keselamatan umat manusia, karena dalam prakteknya ia menggantikan penaklukan
orang-orang kafir dengan tujuan-tujuan perpajakan demi “evengelism tulen” penyiaran agama.
41
Pandangan Weber mengenai Islam menunjukkan bahwa fungsi agama tidak
40
Yadi Purwanto, Epistimologi Psikologi Islami, Bandung: Refika Aditama, 2007, hlm. 44
41
Bryan S. Turner, Sosiologi Islam Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Buku Aslinya yaitu
Weber and Islam oleh G. A. Ticoalu, hlm. 181