5. Kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial adalah jenis kebutuhan yang terkait
dengan pengembangan kemampuan anak untuk berinteraksi dengan orang lain sebagai anggota keluarga ataupun masyarakat teman sebayanya. Jenis
kebutuhan sosial seperti kebutuhan untuk diterima sebagai anggota kelompok atau menerima orang lain sebagai anggota kelompok, bermain bersama,
kepedulian dan tanggung jawab sosial terhadap temannya
6
. Mengacu pada dokumen Konvensi Hak Anak, ada empat hak anak yang
perlu diberikan agar anak-anak dapat tumbuh kembang secara optimal, yaitu: 1.
Kelangsungan hidup. Anak memiliki jenis kebutuhan yang disebut kebutuhan fisik atau biologis. Jenis kebutuhan ini seringkali disebut dengan kebutuhan
pokok atau kebutuhan dasar manusia, yang meliputi sandang, pangan, tempat tinggal, dan kesehatan, tidak terpenuhinya sejumlah kebutuhan dasar tersebut
akan mengakibatkan anak mengalami gangguan dalam pertumbuhannya, baik fisik maupun intelegensinya.
2. Perlindungan. Dalam arti sempit perlindungan berarti menjaga agar anak tidak
mengalami gangguan, baik secara fisik maupun mentalemosional dan sosial. Anak tidak mengalami ketelantaran, dieksploitasi secara ekonomi maupun
soial, korban tindak kekerasan, diskriminasi dan diperlakukan salah. 3.
Pengembangan diri. Dalam diri anak terdapat potensi diri dalam bentuk mina dan bakat. Potensi diri ini perlu dikembangkan secara optimal sesuai dengan
tingkat perkembangan anak. Untuk itu diperlukan situasi dan wahana yang kondusif bagi anak, sehingga dalam proses pengembangan diri tersebut tidak
6
Ibid, h.45
terjadi penyalahgunaan dan atau eksploitasi anak. Secara alamiah, wahana utama bagi pengembangan diri anak adalah sebuah keluarga asli. Namum
karena berbagai alas an, anak perlu dibantu untuk memperoleh wahana pengganti keluarga asli apabila sudah tidak ada keluarga asli.
4. Partisipasi. Partisipasi dalam kaitannya dengan upaya perlindungan anak ini,
dipahami sebagai keterlibatan anak secara sukarela dalam membuat keputusan yang menyangkut dirinya. Keputusan dimaksud, misalnya dalam mengikuti
pelatihan, sekolah, pengembangan hobi dan mengatur barang miliknya
7
. Dapat disimpulkan bahwa kebutuhan anak yang harus dipenuhi adalah
kebutuhan fisik, kebutuhan belajar, kebutuhan psikologis, kebutuhan religius dan kebutuhan sosial. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat terpenuhi oleh
anak, maka anak akan tumbuh menjadi generasi muda yang berkualitas, cerdas, kreatif, mandiri, berakhlak mulia dan setia kawan.
C. Pengertian Anak Yatim Piatu
Ada yang menyatakan bahwa yatim bukan hanya anak yang ayahnya sudah meninggal dunia, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah anak yang tidak bisa
mendapatkan kesejahteraan hidup dan pendidikan yang layak, kendati orang tuanya masih hidup. Sebagian lagi ada yang menyatakan bahwa yatim memiliki
pengertian yang luas dan amat beragam, yakni yatim al-maal anak yang hidup dalam keluarga pra sejahtera, yatim al-aqidah mereka yang pemahaman
akidahnya masih lemah dan dangkal, bahkan yatim al-ilm yatim dalam bidang
7
Ibid, h.44-45
ilmu pengetahuan. Ada juga yang berpedoman pada Q.S. An-Nisa: 6. Kalangan ini beranggapan bahwa status yatim tidak dibatasi dengan masa dan usia. Selama
si yatim tidak bisa mandiri dan dapat mengelola hartanya dengan baik, meski ia sudah baligh, tetap dianggap sebagai yatim. Dari berbagai pandangan mengenai
definisi yatim tersebut, definisi yatim yang dianggap shahih yang berlaku di dalam kitab-kitab fikih dan berbagai literatur keislaman, dengan berlandaskan
pada al- Qur’an dan hadits Nabi adalah: “Anak yang ayahnya telah tiada sebelum
ia mencapai usia baligh”. Definisi ini berlandaskan pada hadits Nabi SAW, yang artinya, “Tidak ada yatim setelah masa baligh dewasa
8
. Dalam konteks keindonesiaan, nama yatim diperuntukkan anak yang bapaknya meninggal dunia.
Sedangkan bila yang meninggal adalah bapak dan ibunya sekaligus, maka anak tersebut dikatakan yatim piatu
9
. Seorang anak yang sudah menjadi yatim piatu, membutuhkan orang atau
lembaga untuk mengasuh dan memberikan perlindungan untuk mereka. Dengan kata lain, untuk menggantikan peran orang tua, mereka membutuhkan adanya
wali. Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab derivatif dari kata dasar, waliya, wilayah atau walayah. Kata wilayah atau walayah mempunyai makna etimologis
lebih dari satu, di antaranya dengan makna, pertolongan, cinta, kekuasaan atau kemampuan yang artinya kepemimppinan seseorang terhadap sesuatu.
Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka dapat dipahami bahwa perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh atas dasar
8
LPSI, Anak Yatim Kajian Fikih Realitas Sosial, Jatim: Pustaka Sidogiri, h.10-12
9
Ibid, h.13
tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik
yang berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya
10
. Dalam terminologi fikih, wali didefinisikan sebagai orang yang memiliki
otoritas syar’i untuk mengelola dan mendistribusikan harta orang lain, tanpa
membutuhkan legalitas dari siapapun, termasuk pemerintah. Dalam konteks pembahasan anak yatim, wali yatim, menurut madzhab
syafi’I, secara berurut setelah ayah tiada mulai kakek dari ayah, lalu penerima wasiat dari orang
terakhir yang meninggal dari salah satu ayah dan kakek. Bila semua wali di atas tidak ada, maka status wilayah kewalian pindah pada qadli pemerintah
11
. Wali memiliki hak-hak sebagai berikut:
1. Hak hajr. Merupakan hak penuh yang dimiliki oleh seorang wali yatim.
Secara etimologi, hajr berarti mencegah dan mempersempit. Sementara dalam terminologi syara
’ berarti mencegah seseorang untuk mengelola hartanya sendiri. Semua penggunaan dan pengelolaan harta dari anak yatim, baik sudah
tamyiz atau belum, dihukumi batal selama status hajr masih melekat kepadanya. Dalam Islam, hajr diberlakukan sebagai rahmah dan saling
tolong-menolong. Dalam hal ini adalah mengasihi anak yatim yang masih belum bisa menangani dan mengelola harta kekayaannya sendiri dengan baik.
Jika harta itu terpaksa harus diberikan sebelum ia mampu mengelolanya, tentu akan berdampak negatif terhadap anak yatim itu sendiri. Tetapi jika anak
10
Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008, h.175
11
LPSI, op. cit., h.21