Dampak Pendirian Minimarket terhadap Perubahan Omzet Pedagang Eceran Tradisional dan Tingkat Pengeluaran Masyarakat (Kasus : Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor yang berperan penting sebagai penggerak dalam pembangunan ekonomi nasional (Hartati, 2006). Tabel 1 menunjukkan bahwa sektor perdagangan memiliki kontribusi terbesar kedua setelah industri pengolahan terhadap Pendapatan Domesik Bruto(PDB).

Tabel 1. Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah) di Indonesia Tahun 2008-2011

Lapangan Usaha 2008 2009 2010* 2011**

Pertanian, Peternakan,

Kehutanan & Perikanan 284.619,1 295.883,8 304.736,7 313.727,8 Pertambangan dan

Penggalian 172.496,3 180.200,5 186.634,9 189.179,2 Industri Pengolahan 557.764,4 570.102,5 597.134,9 634.246,9 Listrik, Gas dan Air

Bersih 14.994,4 17.136,8 18.050,2 18.920,5

Konstruksi 131.009,6 140.267,8 150.022,4 160.090,4 Perdagangan Besar dan

Eceran 301.941,3 302.028,4 331.312,9 364.449,9

Hotel & restoran 61.876,9 66.434,6 69.162,0 72.800,8 Pengangkutan dan

Komunikasi 165.905,5 192.198,8 217.977,4 241.285,2 Keuangan, Real Estate

dan Jasa Perusahaan 198.799,6 209.163,0 221.024,2 236.076,7 Jasa-jasa 193.049,0 205.434,2 217.782,4 232.464,6 Produk Domestik Bruto 2.082.456,1 2.178.850,4 2.313.838,0 2.463.242,0

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (diolah) Keterangan: *Angka sementara

**Angka sangat sementara

Sektor perdagangan terdiri dari perdagangan besar dan eceran. Dilihat dari sisi pengeluaran, PDB yang ditopang oleh pola pengeluaran memiliki hubungan erat dengan industri ritel (perdagangan eceran). Hal ini menjadi daya dorong pemulihan pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis 2008.

Selain itu, sektor perdagangan berperan penting terhadap penyerapan tenaga kerja. Tabel 2 menunjukkan bahwa sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel menduduki posisi kedua tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja setelah


(2)

industri pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel.

Karakteristik industri ritel (perdagangan eceran) yang tidak memerlukan keahlian khusus serta pendidikan tinggi untuk menekuninya, membuat sebagian besar rakyat Indonesia terjun ke dunia ritel, terutama dalam kategori usaha kecil menengah (UKM). Realitanya, pedagang-pedagang kecil ini mendominasi jumlah tenaga kerja dalam industri ritel Indonesia.

Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Industri Usaha (Jiwa) di Indonesia Tahun 2010-2011

Lapangan Pekerjaan Utama

2010 2011

Februari Agustus Februari Agustus Pertanian 42.825.807 41.494.941 42.475.329 39.328.915 Pertambangan 1.188.634 1.254.501 1.352.219 1.465.376 Industri Pengolahan 13.052.521 13.824.251 13.696.024 14.542.081 Listrik, Gas, dan Air 208.494 234.070 257.270 239.636 Bangunan 4.844.689 5.592.897 5.591.084 6.339.811 Perdagangan Besar,

Eceran, Rumah Makan, dan Hotel

22.212.885 22.492.176 23.239.792 23.396.537 Angkutan,

Pergudangan dan Komunikasi

5.817.680 5.619.022 5.585.124 5.078.822 Keuangan, Asuransi,

Usaha Persewaan Bangunan, Tanah, dan Jasa Perusahaan

1.639.748 1.739.486 2.058.968 2.633.362 Jasa Kemasyarakatan 15.615.114 15.956.423 17.025.934 16.645.859 Total 107.405.572 108.207.767 111.281.744 109.670.399

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (diolah)

Munculnya industri ritel tidak dapat dihindari karena pertumbuhan penduduk yang pesat setiap tahunnya tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja. Masyarakat yang sebelumnya bekerja di industri pertanian kemudian berubah dan beralih ke industri ritel yang lebih menjanjikan. Mayoritas pedagang ritel berasal dari kalangan menengah ke bawah. Perkembangan industri ritel seharusnya senantiasa memperhatikan kepentingan pedagang kecil agar tidak menimbulkan permasalahan sosial yang besar1.

1


(3)

Pelaku usaha ritel Indonesia dapat dibedakan menjadi pedagang eceran tradisional (ritel tradisional) dan pedagang eceran modern (ritel modern). Pedagang eceran tradisional rata-rata memiliki kemampuan kapital menengah ke bawah, sedangkan ritel modern atau pasar modern terdiri dari pedagang-pedagang dengan kapital yang besar. Industri ritel dalam beberapa tahun terakhir berkembang dengan sangat pesat. Beberapa pelaku usaha ritel modern dengan kemampuan kapital yang luar biasa tumbuh pesat dalam jangka waktu yang singkat. Mereka mewujudkannya dalam bentuk minimarket, supermarket bahkan hypermarket yang kini bertebaran di setiap kota besar Indonesia.

Perusahaan ritel modern kini bermunculan dengan menawarkan tidak hanya ketersediaan barang, tetapi juga menyangkut berbagai hal yang lebih terkait dengan aspek psikologis konsumen. Tingkat pendapatan masyarakat yang terus berkembang telah menyebabkan terjadinya segmen-segmen konsumen yang menginginkan adanya perubahan dalam model pengelolaan industri ritel. Misalnya menyangkut aspek kebersihan, kenyamanan, keamanan, bahkan juga menyangkut image yang dicoba ditanamkan di mata konsumen, seperti tempat barang murah dengan kualitas bagus, bergengsi dan sebagainya.

Dewasa ini, pedagang eceran tradisional semakin terpuruk dengan menjamurnya ritel modern, khususnya minimarket. Penyebaran minimarket hampir merata di seluruh provinsi di Indonesia. Legalisasi pendirian minimarket pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk pada sistem jaringan jalan lingkungan2 pada kawasan perumahan oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 membuat minimarket kian menjamur di berbagai tempat. Tidak mengherankan bila terdapat banyak minimarket di Kabupaten Bogor yang padat penduduk, dengan jumlah penduduk sebanyak 4.771.932 jiwa3. Hampir di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor, muncul minimarket-minimarket baru yang berkembang semakin pesat.

Pasar modern di Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan selama periode 2000 hingga 2011. Berdasarkan data tahun 2011 yang diperoleh dari Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten

2

Jalan lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rata-rata rendah (Perpres RI No.112 Tahun 2007). 3


(4)

Bogor, terdapat 9 unit pasar modern yang terdiri dari hypermarket, supermarket, dan department store, yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis pasar modern lain yang tumbuh dengan pesat selama tahun 1997-2011 adalah minimarket. Hingga saat ini, jumlah minimarket telah mencapai 392 unit yang menyebar di hampir setiap wilayah Kabupaten Bogor terutama di kawasan-kawasan pemukiman penduduk.

Tabel 3. Jumlah Pasar Modern (Unit) di Kabupaten Bogor Tahun 1997-2011 Tahun

Jumlah

Hypermarket Supermarket Departement Minimarket Jumlah

Store Pedagang

1997 0 1 0 23 24

1998 0 0 0 19 19

1999 0 0 0 27 27

2000 0 1 0 36 37

2001 0 1 0 54 55

2002 0 2 0 73 75

2003 0 2 1 95 98

2004 0 2 1 112 115

2005 0 2 2 138 142

2006 0 2 2 170 174

2007 1 3 2 189 195

2008 1 3 2 213 219

2009 1 3 2 114 120

2010 1 3 2 371 377

2011 3 4 2 392 401

Sumber: Diskoperindag Kabupaten Bogor, 2012

Tumbuh pesatnya minimarket ke wilayah pemukiman berdampak positif bagi konsumen karena harga yang ditawarkan lebih murah dan berperan dalam penyerapan tenaga kerja, namun berdampak buruk bagi pedagang eceran tradisional yang telah berdiri di wilayah tersebut. Banyak pedagang eceran tradisional yang kehilangan pelanggan dan berimplikasi pada pengurangan omzet penjualan. Keterpurukan pedagang eceran tradisional di wilayah sekitar juga disebabkan oleh faktor lain, yaitu perubahan gaya hidup (life style). Perubahan life style yang dimaksud adalah kondisi masyarakat saat ini yang menghendaki berbagai kemudahan dan kenyamanan yang tidak tersedia di ritel tradisional.


(5)

Penduduk Kecamatan Dramaga yang terdiri dari 100.679 jiwa dengan luas wilayah 2.632,13 hektar menjadi lokasi yang strategis bagi minimarket. Sebagian penduduk Dramaga merupakan pendatang karena berlokasi di dekat kampus IPB Dramaga. Kedatangan para pendatang yang sebagian besar adalah mahasiswa dengan gaya hidup yang lebih modern memicu para pengusaha besar untuk berlomba-lomba mendirikan minimarket di sekitar kampus IPB Dramaga. Mahasiswa umumnya ingin memenuhi kebutuhannya secara praktis, mereka lebih memilih berbelanja di tempat yang bersih dan nyaman. Akibatnya, minimarket semakin menjamur di Kecamatan Dramaga. Keberadaaan minimarket tersebut menyebabkan keterpurukan pedagang eceran tradisional di Kecamatan Dramaga.

Lokasi minimarket dengan jarak yang sangat berdekatan tentu akan memunculkan persaingan di wilayah tersebut. Dari segi harga, minimarket sering mengadakan promosi dengan potongan harga yang menarik, sehingga para konsumen beralih ke minimarket tersebut. Selain itu, kualitas pelayanan minimarket yang lebih baik dari pedagang eceran tradisional tentu saja membuat harapan pemilik pedagang eceran tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari keuntungan yang diperoleh semakin tersendat (Wijayanti, 2011).

Kelengkapan barang, harga yang murah, potongan harga yang menarik penataan produk yang baik, dan tempat yang nyaman menjadi daya tarik yang ditawarkan minimarket kepada konsumen. Implikasinya, tingkat pengeluaran konsumen yang mengunjungi minimarket cenderung bertambah. Peningkatan pengeluaran dipicu oleh kelengkapan barang dan penataan barang di minimarket. Strategi pemasara minimarket yang baik, misalnya denga meletakkan makanan ringan yang diletakkan di meja kasir minimarket akan membuat pengunjung tertarik untuk membelinya, padahal pengeluaran tersebut tidak direncanakan sebelumnya.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Dampak Pendirian Minimarket

terhadap Perubahan Omzet Pedagang Eceran Tradisional dan Tingkat Pengeluaran Masyarakat(Kasus : Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)”.


(6)

1.2 Perumusan Masalah

Tumbuh pesatnya minimarket ke wilayah pemukiman dengan jarak yang berdekatan, berdampak buruk bagi pedagang eceran tradisional. Semakin dekat jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket membuat tingkat persaingan diantara keduanya semakin besar sehingga terjadi perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional. Kekuatan modal antara minimarket dengan pengusaha pedagang eceran tradisional tentu tidak sebanding. Minimarket dengan sistem waralaba dapat memutus rantai distribusi dari produsen sehingga saluran distribusinya lebih pendek dibandingkan pedagang eceran tradisional. Akibatnya, harga di minimarket menjadi lebih murah. Hal ini menjadi ancaman yang serius bagi pedagang eceran tradisional. Pedagang eceran tradisional sudah kalah bersaing dalam segi harga, ditambah lagi suasana minimarket yang nyaman dan bersih membuat pedagang eceran tradisional semakin kalah bersaing.

Pendirian kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Kecamatan Dramaga menjadi daya tarik bagi pemodal besar untuk menanamkan investasinya pada usaha waralaba sektor ritel dalam bentuk usaha ritel modern, yaitu minimarket. Kehadiran pendatang dalam jumlah besar yaitu mahasiswa IPB, menghadirkan peluang bagi para pengusaha untuk menawarkan barang dan jasanya untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa-mahasiswa tersebut. Mahasiswa dengan tingkat mobilisasi yang tinggi dan gaya hidup yang lebih modern memerlukan kemudahan dan fasilitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhannya. Kelengkapan barang, harga yang murah, tempat yang nyaman, dan penataan produk yang baik menjadi daya tarik yang ditawarkan minimarket kepada konsumen. Makanan ringan seperti coklat, permen karet, biskuit, yang diletakkan di meja kasir dan potongan harga yang menarik di minimarket membuat pengunjung tertarik untuk membeli produk-produk tersebut, padahal pengeluaran tersebut tidak mendesak dan tidak direncanakan sebelumnya. Implikasinya, tingkat pengeluaran konsumen yang mengunjungi minimarket cenderung bertambah. Selain diduga berdampak pada pedagang eceran tradisional, pendirian minimarket juga diduga berdampak terhadap tingkat pengeluaran masyarakat.

Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan, penulis tertarik untuk meneliti dampak minimarket yang muncul di Kabupaten Bogor khususnya


(7)

Kecamatan Dramaga sebagai kasus yang mengakibatkan berkurangnya omzet usaha yang diperoleh pedagang eceran tradisional dan meningkatnya pengeluaran masyarakat. Secara ringkas, permasalahan yang akan dibahas adalah berapa besar perubahan omzet pedagang eceran tradisional dan tingkat pengeluaran antara sebelum dan sesudah pendirian minimarket serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional dan tingkat pengeluaran masyarakat akibat pendirian minimarket.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perubahan omzet pedagang eceran tradisional dan tingkat pengeluaran antara sebelum dan sesudah pendirian minimarket.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional dan tingkat pengeluaran masyarakat akibat pendirian minimarket.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai pembuat kebijakan agar dapat membuat atau menetapkan kebijakan yang lebih tepat dan berimbang untuk sektor ritel di Indonesia pada umumnya dan di Kabupaten Bogor pada khususnya serta sebagai salah satu bahan rujukan bagi penelitian lainnya mengenai sektor ritel pada umumnya serta pedagang eceran tradisional dan minimarket pada khususnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Sektor ritel yang dibahas dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi ritel modern (pasar modern) dan ritel tradisional (pedagang eceran tradisional). Ritel modern yang diteliti adalah minimarket. Sedangkan pedagang eceran tradisional merupakan pedagang kecil yang berada di sekitar minimarket dengan modal yang lebih kecil dibandingkan minimarket dan tidak menggunakan sistem pelayanan mandiri seperti minimarket.


(8)

Tingkat pengeluaran yang dibahas adalah tingkat pengeluaran produk makanan dan produk rumah tangga seperti produk sabun, deterjen, pasta gigi, shampo dan sebagainya selain makanan pokok per bulan. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu maupun rumah tangga yang berada di sekitar minimarket di Kecamatan Dramaga. Individu yang dijadikan responden merupakan mahasiswa IPB. Kasus pada penelitian ini adalah Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Konsep Perdagangan

Badan Pusat Statistik (2006) mendefinisikan perdagangan sebagai kegiatan penjualan kembali (tanpa perubahan teknis) barang baru maupun bekas, yang meliputi penjualan mobil, sepeda motor, serta penjualan eceran bahan bakar kendaraan, perdagangan besar dalam negeri, perdagangan eceran, perdagangan ekspor, dan perdagangan impor.

1) Penjualan mobil, sepeda motor, serta penjualan eceran bahan bakar kendaraan adalah kegiatan penjualan (tanpa perubahan teknis) mobil dan sepeda motor, baik baru maupun bekas yang dilakukan dalam partai besar dan eceran, dan juga penjualan suku cadang dan aksesorisnya, serta penjualan eceran bahan bakar kendaraan.

2) Perdagangan besar dalam negeri adalah kegiatan penjualan kembali (tanpa perubahan teknis) barang baru maupun bekas yang pada umumnya dalam partai besar kepada pedagang eceran, perusahaan industri, kantor, rumah sakit, rumah makan, akomodasi, atau kepada pedagang besar lainnya, atau kegiatan sebagai agen atau perantara dalam pembelian atau penjualan barang dagangan dari atau kepada orang atau perusahaan sejenis di dalam negeri. 3) Perdagangan eceran adalah kegiatan penjualan kembali (tanpa perubahan

teknis) barang baru maupun bekas yang pada umumnya dalam partai kecil oleh toko, toko serba ada (toserba), kios, tempat penjualan melalui pesanan, penjaja atau penjualan keliling, perusahaan konsumen, tempat pelelangan, dan sebagainya kepada masyarakat umum untuk penggunaan atau konsumsi perorangan atau rumah tangga.

4) Perdagangan ekspor adalah kegiatan penjualan barang baru maupun barang bekas, atau jasa dari dalam ke luar wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5) Perdagangan impor adalah kegiatan penjualan barang baru maupun bekas, atau jasa dari luar ke dalam wilayah kepabean Indonesia dengan memenuhi ketetuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(10)

Kotler (2008) mendefinisikan pengeceran (retailling) sebagai kegiatan yang mencakup penjualan produk atau jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi, non bisnis konsumen. Salah satu contoh perdagangan eceran adalah pedagang eceran tradisional atau pedagang eceran di daerah pemukiman yang biasa disebut warung. Sedangkan perdagangan besar (wholesaling) meliputi semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang dan jasa kepada pihak yang membeli untuk dijual kembali atau pemakaian bisnis (Kotler, 2008). Jenis perdagangan yang termasuk dalam pedagang besar adalah distributor utama, perkulakan (grosir), sub distributor, pemasok besar, agen tunggal pemegang merek, eksportir dan importir.

2.2. Teori Tentang Pasar

Pasar didefinisikan sebagai satu kelompok penjual dan pembeli yang mempertukarkan barang yang dapat disubstitusikan. Terdapat dua jenis pasar, yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar (Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 53/M-DAG/PER/12/2008).

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007, toko modern atau pasar modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store, hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. Barang yang dijual di pasar modern memiliki variasi jenis yang beragam. Selain menyediakan barang-barang lokal, pasar modern juga menyediakan barang impor. Barang yang dijual di pasar modern memiliki kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui penyeleksian secara ketat. Secara kuantitas, pasar modern umumnya mempunyai persediaan barang di gudang yang


(11)

terukur. Dari segi harga, pasar modern memiliki label harga yang pasti (tercantum harga sebelum dan setelah dikenakan pajak).

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 tahun 2007, macam-macam pasar modern diantaranya:

a. Minimarket, yaitu gerai yang menjual produk-produk eceran seperti ritel kelontong dengan fasilitas pelayanan yang lebih modern. Luas ruang minimarket kurang dari 400 m2.

b. Supermarket menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya dengan luas antara 400 m2 sampai dengan 5.000 m2.

c. Hypermarket menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnyadengan luas di atas 5.000 m2. d. Department Store menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk

sandang dan perlengkapannya dengan penataan barang berdasarkan jenis kelamin dan/atau tingkat usia konsumen dengan luas di atas 400 m2.

e. Perkulakan atau gudang rabat menjual produk dalam kuantitas besar kepada pembeli non-konsumen akhir untuk tujuan dijual kembali atau pemakaian bisnis dengan luas di atas 5.000 m2.

Pasar tradisional adalah pasar yang dikelola dengan manajemen yang lebih tradisional dan sederhana dibandingkan pasar modern, umumnya pasar tradisional terdapat di pinggiran perkotaan/jalan atau lingkungan perumahan. Pasar tradisional diantaranya yaitu ritel rumah tangga, ritel kios, pedagang kaki lima dan sebagainya. Barang yang dijual hampir sama seperti barang-barang yang dijual di pasar modern dengan variasi jenis yang beragam. Perbedaannya, pasar tradisional cenderung menjual barang-barang lokal dan jarang ditemui barang impor. Umumnya pasar tradisional mempunyai persediaan barang yang jumlahnya sedikit sesuai dengan modal yang dimiliki pedagang atau permintaan dari konsumen. Dari segi harga, pasar tradisional tidak memiliki label harga yang pasti karena harga disesuaikan dengan besarnya keuntungan yang diinginkan oleh setiap pemilik usaha. Harga pasar yang selalu berubah-ubah membuat pedagang di pasar tradisional enggan membuat label harga pada barang dagangannya (Wijayanti, 2011).


(12)

2.3 Omzet

Kata omzet berarti jumlah penghasilan yang diperoleh dari hasil menjual barang (dagangan) tertentu selama suatu masa jual. Omzet pedagang eceran tradisional terkadang tidak sama setiap bulannya. Oleh karena itu, pada penelitian ini omzet yang dimaksud adalah rata-rata omzet bulanan yang diperoleh dari pedagang eceran tradisional dari hasil menjual barang tentunya bertujuan untuk mencari keuntungan.

2.4 Jarak

Apabila antara satu pedagang dengan pedagang lainnya terdapat jarak dimana untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan biaya, maka salah satu pedagang dapat menaikkan sedikit harga tanpa kehilangan seluruh pembelinya. Pelanggan yang terjauh darinya akan beralih ke pedagang lain yang tidak menaikkan harga tetapi pelanggan yang dekat dengannya tidak akan beralih jika waktu dan biaya untuk menempuh jarak tersebut masih lebih besar daripada perbedaan harga jual diantara pedagang.

Penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2011) menganalisis bahwa jarak antara warung tradisional dengan minimarket berpengaruh terhadap penurunan omzet warung tradisional di Kecamatan Padurungan Kota Semarang. Semakin dekat jarak antara keduanya, maka penurunan omzet warung tradisional semakin besar. Kedekatan lokasi antara keduanya dapat berpengaruh negatif terhadap perubahan keuntungan usaha warung tradisional. Harga di minimarket sebagian besar lebih murah dibandingkan pedagang eceran tradisional. Akibatnya, pelanggan yang dekat akan beralih jika waktu dan biaya untuk menempuh jarak tersebut lebih kecil daripada perbedaan harga jual diantara pedagang. Hal ini disebabkan karena adanya persaingan usaha yang diukur dengan meter pada jarak antara keduanya.

2.5 Analisis Crosstab Chi Square

Analisis Crosstab merupakan analisis dasar untuk hubungan antar variabel kategori (nominal - ordinal). Penambahan variabel kontrol untuk mempertajam analisis sangat dimungkinkan. Crosstab data digunakan untuk mengetahui hubungan atau distribusi respons antara variabel data dalam bentuk baris dan


(13)

kolom. Sedangkan analisis Crosstab Chi Square adalah suatu analisis hubungan antar variabel data nominal.

Tabulasi silang digunakan untuk menggambarkan jumlah data dan hubungan antar variabel. Selain itu, untuk menguji ada tidaknya hubungan antar variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh dimana salah satu variabel minimal nominal dilakukan uji hipotesa. Crosstab digunakan untuk menyajikan deskripsi data dalam bentuk tabel silang yang terdiri atas baris dan kolam. Data input yang dimasukan dalam penggunaan crosstab adalah data nominal atau ordinal.

Uji ketergantungan crosstab pada statistik ditentukan melalui Chi-Square test dengan mengamati ada tidaknya hubungan antarvariabel yang dimasukan (baris dan kolam). Penentuan Chi-Square test menggunakan hipotesis yaitu: H0 : Tidak ada hubungan antara baris dan kolam

H1 : Ada hubungan antara baris dan kolam

Pengambilan keputusan akan lebih mudah jika menggunakan program SPSS dengan menggunakan nilai Asymp. Sig. (2-sided) yang terdapat pada Chi-Square test. Apabila nilai Asymp. Sig. (2-sided) lebih dari 0,05 maka H0 diterima. Apabila nilai Asymp. Sig. (2-sided) kurang dari 0,05 maka H0 ditolak yang artinya ada hubungan antara baris dan kolam (Wahana, 2007).

2.6 Model Logit

Analisis regresi logit merupakan bagian dari analisis regresi. Analisis ini mengkaji hubungan pengaruh-pengaruh peubah bebas terhadap peubah terikat melalui model persamaan matematis tertentu. Namun jika peubah terikat dari analisis regresinya berupa kategorik, maka analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi logit (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Peubah kategori bisa merupakan suatu pilihan ya/tidak atau suka/tidak. Sedangkan peubah bebas pada analisis regresi logit ini dapat berupa peubah kategori maupun numerik, untuk menduga besarnya peluang kejadian tertentu dari kategori peubah terikat. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistik kumulatif yang dispesifikasikan sebagai berikut:

Pi = F(Zi) = F(α + βXi) =

�+�−�

=


(14)

��= �−��

... (2.2)

ℯ mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (ℯ = 2,718).

Peubah Pi/(1-Pi) dalam persamaan di atas disebut odds, yang sering juga diistilahkan dengan risiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadi pilihan satu terhadap peluang terjadinya pilihan nol alternatifnya. Nilai odds adalah suatu indikator kecenderungan seseorang menentukan pilihan satu. Jika persamaan (2.2) ditransformasikan dengan logaritma natural maka:

�� = ln�−�

→ ln

�−��

= �� = α + βXi ... (2.3) Persamaan (2.3) menunjukkan bahwa salah satu karakteristik penting dari model logit adalah dapat mentransformasikan masalah prediksi peluang dalam selang (0;1) ke masalah prediksi log odds tentang kejadian (Y=1) dalam selang bilangan riil (Juanda, 2009).

2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil survei AC Nielsen pada tahun 2010 di seluruh kawasan Asia Pasifik, jumlah pasar modern meningkat dari 35 persen pada tahun 2000 menjadi 53 persen pada tahun 2010. Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan pasar modern paling cepat di Asia Tenggara sebesar 1,6 persen per tahun selama 10 tahun terakhir. Saluran distribusi yang paling cepat di Indonesia adalah minimarket yang dipimpin oleh Indomaret dan Alfamart. Selama satu dekade, peningkatan jumlah minimarket dari hanya sekitar 2000 menjadi lebih dari 11.500. Saat ini sulit berdiri di sudut kota tanpa tidak melihat setidaknya 2 minimarket, yaitu alfamart dan indomaret. Pangsa pasar minimarket tersebut telah meningkat hingga 17 persen. India dan Indonesia adalah satu-satunya pasar di mana lebih dari 60 persen pembeli utamanya adalah ibu rumah tangga.

Penelitian yang dilakukan oleh Rasidin (2011) menganalisis tentang kehadiran pasar modern yang berpengaruh negatif terhadap UKM sektor perdagangan dengan rata-rata penurunan omzetnya sebesar 25 persen pada usaha mikro, 22,48 persen pada usaha kecil dan 21,60 persen pada usaha menengah. Harga dan mutu produk UKM Kabupaten Subang belum mampu bersaing secara


(15)

seimbang dengan harga dan mutu produk yang dijual di pasar modern pada industri pengolahan. Hal ini berimbas terhadap penurunan omzet UKM sektor industri pengolahan berkisar 36,43 persen hingga 40 persen. Rata-rata tingkat penyerapan tenaga kerja pasar modern di Kabupaten Subang adalah sebesar 7 orang tenaga kerja per-unit usaha pasar modern. Pasar modern dapat dikatakan tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja karena tingkat penyerapannya lebih kecil dibandingkan dengan UKM sektor industri pengolahan yang bisa mencapai 53 orang per unit usaha.

Bisnis ritel selain mempunyai fungsi sebagai perantara dalam saluran pemasaran juga mempunyai fungsi-fungsi dalam hal informasi, promosi, negosiasi, pemesanan, pembiayaan, pengambilan resiko, pembayaran dan hak milik. Peran bisnis ritel dalam saluran pemasaran bagi produsen mencakup pada produk, pendanaan, iklan dan promosi, konsumen, dan pesaing. Iklan dan promosi yang dilakukan bisnis ritel meningkatkan kemampuan pasar. Produsen juga mendapatkan informasi mengenai konsumen dan pesaing dari peritel, sehingga bisa mengevaluasi produk sendiri dan kekuatan pesaing (Utomo, 2009).

Suryadharma, Poesoro, dan Budiyati (2007) melakukan kajian terhadap masalah kehadiran pasar modern terhadap pasar tradisional. Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif dan didukung dengan metode kualitatif yang dilakukan di Depok dan Bandung sebagai proksi dari kota besar di Indonesia. Hasil analisis menjelaskan bahwa supermarket berdampak terhadap kinerja usaha pedagang di pasar tradisional. Para pedagang di pasar tradisional mengeluhkan keberadaan pasar modern, khususnya hypermarket di sekitar mereka yang mempengaruhi kuntungan mereka. Hasil analisis kuantitatif memperlihatkan adanya dampak yang berbeda dari keberadaan supermarket terhadap beberapa aspek dari kinerja usaha perdagangan di pasar tradisional yang diukur melalui variabel omzet, keuntungan, dan jumlah pegawai.

Kehadiran ritel modern, di satu sisi dapat membantu masyarakat mendapatkan barang kebutuhan dengan mudah dan harga terjangkau serta penyerapan tenaga kerja, namun di sisi lain, dapat mematikan usaha-usaha kecil tradisional yang kegiatannya tidak lebih dari sekedar untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan analisis kualitatif, ritel modern memberi dampak


(16)

negatif pada ritel tradisional. Pasar tradisional yang berada dekat dengan ritel modern (ritel modern yang mengambil lokasi dekat dengan pasar tradisional) terkena dampak yang lebih buruk dibanding yang berada jauh dari peritel modern. Kecenderungan untuk mendapatkan kontribusi sebagai penerimaan pendapatan daerah, seringkali menjadi pertimbangan untuk mengeluarkan izin-izin bagi pasar modern, baik peritel lokal maupun asing, sehingga mengurangi peran dalam melakukan pengawasan dan pembinaan bagi pasar-pasar tradisional. Tidak adanya hambatan masuk pada bisnis ritel ini, membuat para peritel asing merajalela memasuki pasar Indonesia (Martadisastra, 2010).

Penelitian yang telah dilakukan Agustina (2009) menganalisis tentang pertumbuhan pasar modern di Kota Bogor pada periode tahun 1998-2003 yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pasar modern di Kabupaten Bogor. Sedangkan pada periode tahun 2003-2008, pertumbuhan pasar modern di Kota Bogor lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pasar modern di Kabupaten Bogor. Jumlah pasar tradisional di Kota Bogor pada periode tahun 1998-2003 mengalami pertumbuhan positif sedangkan di Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan yang stagnan atau tidak terjadi pertumbuhan pasar tradisional pada periode tersebut. Namun pada periode tahun 2003-2008 pertumbuhan pasar tradisional di Kota Bogor mengalami pertumbuhan yang negatif. Faktor yang berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan pasar modern di Kota dan Kabupaten Bogor adalah populasi penduduk, jumlah rumah tangga dan tingkat pendapatan per kapita.

Nuvitasari (2009) melakukan kajian mengenai pengeluaran rumah tangga di Propinsi Kepulauan Riau, khususnya kota Batam dan Kabupaten Karimun. Hasil kajian empiris menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga sebagai salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga secara signifikan dipengaruhi oleh umur kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, dan upah kepala rumah tangga.

Perubahan pola konsumsi rumah tangga di Kabupaten Tuban dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pertumbuhan jumlah anggota rumah tangga, perubahan harga relatif komoditi pangan bersangkutan dan komoditi pangan lain sebagai substitusi atau komplementer, perubahan pendapatan, preferensi serta beberapa


(17)

faktor lain. Pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, dan jenis pekerjaan kepala keluarga berpengaruh secara nyata terhadap konsumsi beras maupun non beras di Kabupaten Tuban (Taufiq, 2007).

2.8 Kerangka Pemikiran

Kehidupan masyarakat akan senantiasa mengalami perubahan dan akan selalu menuju ke tahap yang lebih maju dan lebih modern. Sejalan dengan kehidupan yang semakin maju dan modern, maka akan muncul kebutuhan- kebutuhan yang lebih kompleks dan lebih banyak jumlahnya sehingga diperlukan pula fasilitas pendukung yang lebih baik, lebih banyak dan lebih variatif daripada yang tersedia saat ini. Peningkatan fasilitas ini hanya mungkin terjadi melalui suatu pembangunan yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun swasta. Pembangunan pada sektor perdagangan untuk memfasilitasi proses distribusi barang dan jasa yang berkaitan langsung dengan konsumsi masyarakat seperti pembangunan pasar modern saat ini marak dilakukan. Maraknya pembangunan pasar modern berimbas pada semakin ketatnya persaingan dalam industri ritel (Hartati, 2006).

Perubahan life style masyarakat yang menjadi lebih modern mempengaruhi pola belanja atau tingkat pengeluaran konsumen. Masyarakat menjadi lebih konsumtif dan cenderung lebih suka berbelanja di pasar modern yang memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan pedagang eceran tradisional. Preferensi masyarakat yang saat ini cenderung lebih menyukai berbelanja di pasar modern, salah satunya minimarket, menjadi salah satu faktor pemicu tingginya pertumbuhan minimarket. Pertumbuhan minimarket tidak dapat dipungkiri menimbulkan berbagai dampak positif bagi konsumen, antara lain dimanjakannya konsumen dengan tempat perbelanjaan yang nyaman, variasi produk yang beragam, dan juga harga produk yang bersaing.

Menjamurnya minimarket di wilayah pemukiman yang padat penduduk dan di pedesaan menyebabkan tersingkirnya pedagang eceran tradisional. Persaingan ini tidak sebanding karena kemampuan bersaing pedagang eceran tradisional yang masih rendah dan juga minimnya modal yang menunjang kegiatan bisnis para peritel tradisional. Minimarket dengan sistem waralaba dapat


(18)

memutus rantai distribusi dari produsen sehingga saluran distribusinya lebih pendek dibandingkan pedagang eceran tradisional. Akibatnya, harga di minimarket menjadi lebih murah. Hal ini menjadi ancaman yang serius bagi pedagang eceran tradisional.

Tumbuh pesatnya minimarket ke wilayah pemukiman dengan jarak yang berdekatan, berdampak buruk bagi pedagang eceran tradisional. Semakin dekat jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket membuat tingkat persaingan diantara keduanya semakin besar yang berakibat pada perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional. Ekspansi minimarket menjadi tantangan yang berat bagi pedagang eceran tradisional. Saat ini pedagang eceran tradisional yang lokasinya berdekatan dengan minimarket mulai kehilangan pembeli yang berdampak pada penurunan omzet usaha pedagang eceran tradisional.

Pedagang eceran tradisional sebenarnya memiliki nilai strategis, antara lain adalah lokasinya yang dekat dengan pemukiman penduduk dan terkadang pedagang eceran memperbolehkan konsumennya untuk berhutang. Namun jika nilai strategis tersebut tidak dapat diunggulkan, maka keberadaan pedagang eceran tradisional akan tergantikan oleh keberadaan minimarket. Diperlukan pemikiran kritis dalam menghasilkan rekomendasi kebijakan bagi pedagang eceran tradisional maupun minimarket agar terjadi harmonisasi pada sektor perdagangan. Sektor perdagangan yang memiliki nilai strategis dalam perekonomian Indonesia ini selanjutnya diharapkan dapat memantapkan peranannya dalam mendorong pertumbuhan produksi, distribusi, pemenuhan kebutuhan konsumen, serta penciptaan lapangan pekerjaan (Agustina, 2009).


(19)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran 2.9 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian dampak pendirian minimarket terhadap perubahan omzet pedagang eceran tradisional adalah:

1. Tingkat pendidikan berhubungan negatif dengan perubahan omzet pedagang eceran tradisional. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka perubahan omzet akan semakin kecil.

2. Jam kerja pedagang eceran tradisional berhubungan negatif dengan perubahan omzet pedagang eceran tradisional. Semakin lama jam kerja pedagang eceran tradisional maka perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional akan semakin kecil.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Omzet Usaha Pedagang

Eceran Tradisional Akibat Pendirian Minimarket

Perkembangan Sektor Ritel

Persaingan Industri Ritel

Kondisi Umum Minimarket Kondisi Umum Pedagang

Eceran Tradisional

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Tingkat Pengeluaran Masyarakat

Akibat Pendirian Minimarket

Analisis Tabulasi Silang (Crosstab)

Analisis Regresi Logit Analisis Regresi

Linear Berganda

Rekomendasi Kebijakan Perubahan Omzet Pedagang

Eceran Tradisional

Perubahan Tingkat Pengeluaran Masyarakat


(20)

3. Lama usaha pedagang eceran tradisional berhubungan negatif dengan perubahan omzet pedagang eceran tradisional. Semakin lama pedagang eceran tradisional beroperasi, maka perubahan omzet pedagang eceran tradisional akan semakin kecil.

4. Jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket berhubungan negatif dengan perubahan omzet pedagang eceran tradisional. Semakin jauh lokasi usaha ritel tradisional dengan minimarket maka perubahan omzet pedagang eceran tradisional akan semakin kecil.

Hipotesis dari penelitian dampak pendirian minimarket terhadap perubahan tingkat pengeluaran masyarakat adalah:

1. Usia berhubungan negatif dengan perubahan tingkat pengeluaran masyarakat. Semakin tua usia, maka tingkat pengeluaran responden cenderung akan semakin tidak meningkat.

2. Jarak antara tempat tinggal responden dengan minimarket berhubungan negatif dengan perubahan tingkat pengeluaran masyarakat. Semakin jauh jarak antara tempat tinggal responden dengan minimarket, maka tingkat pengeluaran responden akan semakin tidak meningkat.


(21)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Pemilihan tersebut dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah dengan jumlah minimarket yang terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir. Aktivitas minimarket ini menuai kritik dari beberapa pedagang eceran tradisional di sekitar Desa Dramaga karena ternyata berdampak pada penurunan omzet para pedagang tersebut. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan yang dimulai dari bulan Maret hingga Juni 2012. Dalam kurun waktu tersebut peneliti melakukan pengumpulan data dan analisis dalam rangka menjawab tujuan penelitian.

3.2 Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel menggunakan teknik non probability sampling dengan metode “purposive sampling”. Purposive Sampling digunakan dalam situasi dimana peneliti memilih responden dengan tujuan tertentu. Selain itu, penggunaan metode purposive sampling disebabkan oleh karakteristik jumlah populasi yang tidak diketahui dengan pasti.Kriteria sampel pedagang yang dipilih adalah pedagang eceran tradisional yang jarak lokasi usahanya maksimum 400 meter dari minimarket terdekat dan lama usahanya minimal 3 tahun. Selain itu, sampel yang dipilih adalah individu atau rumah tangga yang bertempat tinggal di sekitar minimarket yang teletak di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Sampel yang digunakan yaitu sebanyak 25 responden pedagang eceran tradisional dan 30 responden masyarakat. Sampel yang dipilih sesuai dengan lokasi pemukiman sekitar kawasan minimarket, sehingga dapat memilih responden yang bermukim di daerah tersebut yang secara langsung menerima dampak dari pendirian minimarket.


(22)

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini berasal dari wawancara mendalam berupa kuisioner terhadap pemilik pedagang eceran tradisional yang menjadi responden sehingga dapat mengetahui pengaruh pendirian minimarket terhadap pedagang eceran tradisional. Data sekunder diperoleh dari Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor dan Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta serta beberapa artikel yang tekait dengan penelitian.

3.4 Metode Analisis Dampak Pendirian Minimarket terhadap Perubahan Omzet Pedagang Eceran Tradisional

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) atau metode kuadrat terkecil. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program software Microsoft Excel 2007 dan SPSS version 16.0 for Windows.

Model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional akibat pendirian minimarket adalah:

Yi = b0 + b1 PDi + b2 JMi + b3 LUi + b4 JRi + b5 USi + ei ... (3.1) dimana:

Yi = perubahan omzet usaha responden (persen/bulan)

PDi = tingkat pendidikan (“1” untuk SD, “2” untuk SMP, “3” untuk SMA, dan “4” untuk S1)

JKi = jam kerja (jam/hari) LUi = lama usaha (tahun)

JRi = jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket terdekat (meter) USi = usia (tahun)

b0 = konstanta ei = residual model

b1, b2, …, b5 = nilai koefisien dari masing-masing variabel bebas

Analisis regresi linear berganda merupakan suatu metode yang digunakan untuk menguraikan pengaruh variabel-variabel independen yang mempengaruhi


(23)

variabel dependennya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section. Menurut Gujarati (2006) metode OLS dapat digunakan jika dipenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut:

a. Varians bersyarat dari residual adalah konstan atau homoskedastik. b. Tidak ada autokolerasi dalam residual.

c. Variasi residual menyebar normal.

d. Nilai rata-rata dari unsur residual sama dengan nol.

e. Nilai-nilai peubah tetap untuk contoh-contoh yang berulang. f. Tidak ada hubungan linear sempurna antara peubah bebas.

3.5 Definisi Operasional Variabel

Variabel terikat (Y) adalah variabel yang nilainya tergantung pada nilai variabel lain yang merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional. Variabel kontrol merupakan variabel yang dimasukkan ke dalam penelitian untuk mengendalikan atau menghilangkan pengaruh tertentu pada model penelitian agar kesimpulan yang ditarik tidak bias atau salah persepsi. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya berpengaruh terhadap variabel lain. Variabel terikat dan bebas yang digunakan untuk melihat pengaruh dari munculnya pasar modern (minimarket) antara lain:

a. Perubahan Omzet Penjualan (Y) adalah perubahan omzet penjualan per bulan yang dilihat dari jumlah total hasil penjualan barang tertentu dari pedagang eceran tradisional dalam waktu satu bulan penjualan akibat munculnya minimarket disekitar pedagang eceran tersebut. Variabel ini diukur dengan satuan persen pada perubahan omzet penjualan yang terjadi. Perubahan omzet diasumsikan negatif (Y≤0).

b. Tingkat Pendidikan (PD) adalah lama pendidikan responden yang telah dilalui di bangku sekolah formal yang dikelompokkan dalam empat ketegori pendidikan formal (Kusmiati, Subekti, dan Windari 2007). Variabel ini merupakan variabel kategorik ordinal, nilai “1” untuk SD, “2” untuk SMP, “3” untuk SMA, dan “4” untuk S1. Variabel tingkat pendidikan diduga akan mempengaruhi perubahan omzet pedagang eceran


(24)

tradisional. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka perubahan omzet akan semakin meningkat karena pedagang cenderung lebih berani membuka usaha dengan resiko yang tinggi, misalnya meminjam modal ke bank untuk menambah modal usaha.

c. Jam Kerja (JM) adalah waktu pedagang eceran tradisional beroperasi setiap harinya. Variabel ini diukur dengan satuan jam/hari. Variabel jam kerja diduga akan mempengaruhi omzet usaha pedagang eceran tradisional. Semakin lama jam kerja usaha pedagang eceran tradisional maka omzet usaha pedagang eceran tradisional akan semakin meningkat. d. Lama Usaha (LU) adalah kurun waktu yang telah dilalui atau lamanya

responden menjalankan usaha ritel tradisional mulai pertama kali berdiri sampai dengan penelitian dilakukan (Kusmiati, et al., 2007). Variabel ini diukur dengan satuan tahun. Variabel lama usaha diduga akan mempengaruhi omzet usaha pedagang eceran tradisional. Semakin lama usaha pedagang eceran tradisional beroperasi, maka omzet usaha pedagang eceran tradisional akan semakin meningkat.

e. Jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket (JR) adalah kedekatan lokasi antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket dengan satuan meter. Variabel jarak diduga akan mempengaruhi omzet usaha pedagang eceran tradisional. Semakin dekat lokasi usaha ritel tradisional dengan minimarket maka omzet usaha pedagang eceran tradisional akan semakin menurun.

f. Usia (US) adalah usia responden yang terhitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir. Usia merupakan variabel kontrol.

3.6 Pengujian Asumsi Klasik

Suatu model dikatakan baik apabila bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), yaitu memenuhi asumsi klasik atau terhindar dari masalah-masalah multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Untuk itu dilakukan pengujian terhadap model agar dapat diketahui apakah terjadi penyimpangan-penyimpangan asumsi klasik atau tidak.


(25)

best = yang terbaik

linear = merupakan fungsi linear dari sampel

unbiased = rata-rata nilai harapan (E(bi)) harus sama dengan nilai yang sebenarnya (bi)

efficient estimator = memiliki varians yang minimal diantara pemerkiraan lain yang tidak bias

3.6.1 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi, variabel bebas dan variabel terikatnya mempunyai distribusi normal atau tidak. Suatu model regresi dikatakan baik, apabila memiliki distribusi normal ataupun mendekati normal. Normalitas dapat dideteksi dengan melihat gambar histogram, tetapi seringkali polanya tidak mengikuti bentuk kurva normal, sehingga sulit untuk disimpulkan. Pengujian asumsi normalitas dapat dilakukan dengan Jarque Bera Test atau dengan melihat plot dari sisaan. Pada penggunakan software SPSS, dapat dilihat berdasarkan nilai Asymp. Sig. (2-tailed) pada N-par test, jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari alpha, maka data terdistribusi normal. 3.6.2 Uji Multikolinearitas

Istilah multikolinearitas berarti terdapat hubungan linier antar variabel independennya. Gujarati (2006) menyatakan indikasi terjadinya multikolinearitas dapat terlihat melalui:

a. Nilai R-squared yang tinggi tetapi sedikit rasio yang signifikan.

b. Korelasi berpasangan yang tinggi antara variabel-variabel independennya. c. Melakukan regresi tambahan (auxiliary) dengan memberlakukan variabel

independen sebagai salah satu variabel dependen dan variabel independen lainnya tetap diberlakukan sebagai variabel independen.

Cara untuk mendeteksi multikolinearitas adalah dengan menghitung korelasi antara dua variabel bebas. Cara untuk mengatasi masalah multikolinearitas antara lain dengan menambah jumlah data atau mengurangi jumlah data observasi, menambah atau mengurangi jumlah variabel independennya yang memiliki hubungan linear dengan variabel lainnya, mengkombinasikan data cross section dan time series, mengganti data, dan mentransformasi variabel.


(26)

3.6.3 Uji Autokorelasi

Gujarati (2006) menyatakan autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series atau diurutkan menurut ruang seperti dalam data cross section. Suatu model dikatakan memiliki autokorelasi jika error dari periode waktu (time series) yang berbeda saling berkorelasi. Masalah autokorelasi ini akan menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun masih tidak bias dan konsisten. Autokorelasi menyebabkan estimasi standar error dan varian koefisien regresi yang diperoleh akan underestimate, sehingga R2 akan besar tetapi di uji t-statistic dan uji F-statistic menjadi tidak valid.

Cara mendeteksi ada tidaknya autokorelasi bisa dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DWstatistik), kemudian membandingkannya dengan DWtabel. Sebuah model dapat dikatakan terbebas dari autokorelasi jika nilai DWstatistik terletak di area nonautokorelasi. Penentuan area tersebut dibantu dengan nilai table dl dan du. Pengujian menggunakan hipotesis sebagai berikut:

H0 : Tidak terdapat autokorelasi H1 : Terdapat autokorelasi

Tabel 4. Kerangka Identifikasi Autokorelasi

Nilai DW Hasil

4− � < DW < 4 Tolak H0, korelasi serial negatif 4− �< DW < 4− � Hasil tidak dapat ditentukan

2 < DW < 4− � Terima H0, tidak ada korelasi serial

��< DW < 2 Terima H0, tidak ada korelasi serial �< DW < � Hasil tidak dapat ditentukan

0 < DW < � Tolak H0, korelasi serial positif

Solusi dari masalah autokorelasi adalah:

1. Penghilangan variabel yang sebenarnya berpengaruh terhadap variabel endogen.

2. Kesalahan spesifikasi model. Hal tersebut diatasi dengan mentransformasi model, misalnya dari model linear menjadi model non linear atau sebaliknya.


(27)

3.6.4 Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi dasar dari metode regresi linear adalah varians tiap unsur error adalah suatu angka konstan yang sama dengan δ2. Heteroskedastisitas terjadi ketika varians tiap unsur error tidak konstan. Gujarati (2006) menyatakan heteroskedastisitas memiliki beberapa konsekuensi, diantaranya adalah:

a. Estimator OLS masih linier dan masih tidak bias, tetapi varians tidak minimum sehingga hanya memenuhi karakteristik Linier Unbiased Estimator (LUE).

b. Perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena varians tidak minimum sehingga dapat menghasilkan estimasi regresi yang tidak efisien.

c. Uji hipotesis yang didasarkan pada uji F-statistic dan t-statistic tidak dipercaya.

3.7 Pengujian Statistik Analisis Regresi 3.7.1 Koefisiensi Determinasi (R2)

Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan antara variabel bebas yang digunakan dengan variabel terikat. Koefisien determinasi adalah angka yang menunjukkan besarnya proporsi atau persentase variasi variabel terikat yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-sama. Besarnya R2 berada diantara 0 dan 1 (0<R2<1). Hal ini menunjukkan bahwa semakin mendekati satu, nilai R2 berarti dapat dikatakan bahwa model tersebut baik. Karena semakin besar hubungannya antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dengan kata lain, semakin mendekati satu maka variasi variabel terikat hampir seluruhnya dipengaruhi dan dijelaskan oleh variabel bebas.

3.7.2 Uji F-statistic

Uji F-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian secara bersama-sama signifikan mempengaruhi variabel dependen. Nilai F-statistic yang besar lebih baik dibandingkan dengan F-statistic yang rendah. Nilai Prob (F-statistic) merupakan tingkat signifikansi marginal dari F-statistic. Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut:


(28)

H0 : β1 = β2 =…= βk =0

H1 : minimal ada salah satu βi yang tidak sama dengan nol

Tolak H0 jika F-statistic lebih besar dari F α(k-1,NT-N-K) atau Prob (F-statistic) lebih kecil dari α. Jika H0 ditolak, maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat menyimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan di dalam model secara bersama-sama signifikan mempengaruhi variabel dependen.

3.7.3 Uji t-statistic

Uji t-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Tolak H0 jika t-statistic lebih besar dari t α/2(NT-K-1) atau (t-statistic) lebih kecil dari α. Jika H0 ditolak, maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat menyimpulkan bahwa variabel independen ke-i secara parsial mempengaruhi variabel dependen.

2.7.4 Uji-t berpasangan (paired t-test)

Uji-t berpasangan (paired t-test) adalah salah satu metode pengujian hipotesis dimana data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Uji-t ini membandingkan satu kumpulan pengukuran yang kedua dari contoh yang sama. Uji ini sering digunakan untuk membandingkan nilai “sebelum” dan “sesudah” percobaan untuk menentukan apakah perubahan nyata telah terjadi. Ciri-ciri yang paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda. Walaupun menggunakan individu yang sama, peneliti tetap memperoleh 2 macam data sampel, yaitu data dari perlakuan pertama (sebelum) dan data dari perlakuan kedua (sesudah). Perlakuan pertama mungkin saja berupa kontrol, yaitu tidak memberikan perlakuan sama sekali terhadap objek penelitian. Misal pada penelitian mengenai omzet pedagang tertentu. Sebagai perlakuan pertama, peneliti menerapkan kontrol, sedangkan pada perlakuan kedua, barulah objek penelitian dikenai suatu tindakan tertentu, misal omzet pedagang setelah pendirian minimarket. Dengan demikian, perubahan omzet pedagang dapat diketahui dengan cara membandingkan kondisi objek penelitian sebelum dan sesudah pendirian minimarket.


(29)

3.8 Metode Analisis Dampak Pendirian Minimarket terhadap Perubahan Tingkat Pengeluaran Masyarakat

Peningkatan pengeluaran masyarakat setelah pendirian minimarket dapat dianalisis sebagai data binner. Data binner merupakan bentuk data yang menggambarkan pilihan “Meningkat atau Tidak Meningkat”. Dengan kondisi seperti ini, jenis penggunaan regresi yang sesuai untuk pemodelan adalah regresi logit. Hal yang membedakan model regresi logit dengan regresi biasa adalah peubah terikat dalam model bersifat dikotomi (Hosmer dan Lameshow, 1989). Bentuk fungsi model logit adalah:

Logit (pi) =� �� �−

� ... (3.2) Model persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:

Logit (pi) = 0 + 1USi + 2JRi +εi ... (3.3)

dimana:

Logit (pi) = peluang tingkat pengeluaran responden akibat pendirian minimarket

(bernilai 1 untuk “meningkat” dan 0 untuk “tidak meningkat”)

0 = intersep

1 , 2 =koefisien regresi

USi = usia (tahun)

JRi = jarak tempat tinggal responden dengan minimarket terdekat (meter)

εi = galat

3.9 Definisi Operasional Variabel

Variabel terikat (dependent) yang digunakan memiliki nilai nol “0” dan satu “1”. Nilai nol mewakili jawaban tingkat pengeluaran tidak meningkat akibat pendirian minimarket. Sedangkan nilai satu mewakili jawaban tingkat pengeluaran meningkat akibat pendirian minimarket. Variabel terikat (independent) yang digunakan untuk melihat pengaruh dari munculnya minimarket terhadap peningkatan pengeluaran masyarakat antara lain:

1. Usia (US) adalah usia responden yang terhitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir. Semakin tua usia responden, maka tingkat pengeluaran responden cenderung tidak meningkat karena responden dengan usia yang lebih tua cenderung dapat mengendalikan pengeluarannya.


(30)

2. Jarak (JR) adalah kedekatan lokasi antara tempat tinggal responden dengan minimarket terdekat dalam satuan meter. Variabel jarak diduga akan mempengaruhi tingkat pengeluaran responden. Semakin jauh antara tempat tinggal responden dengan minimarket maka tingkat pengeluaran responden akan cenderung semakin tidak meningkat.

3.10 Rasio Odd

Rasio Odd merupakan rasio peluang terjadi pilihan-1 terhadap peluang terjadi pilihan-0 (Juanda, 2009). Koefisien bertanda positif menunjukkan nilai rasio odd yang lebih besar dari satu, hal tersebut mengindikasikan bahwa peluang kejadian sukses lebih besar dari peluang kejadian tidak sukses. Sedangkan koefisien yang bertanda negatif mengindikasikan bahwa peluang kejadian tidak sukses lebih besar dari peluang kejadian sukses.


(31)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Bogor

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838, 304 hektar, yang secara geografis terletak di antara 6o18’0”- 6o47’10” lintang selatan dan 106o23’45”- 107o13’30” bujur timur. Kabupaten Bogor secara administratif terdiri dari 428 desa/kelurahan meliputi 411 desa dan 17 kelurahan, dengan jumlah 3.770 RW dan 15.124 RT yang tercakup dalam 40 kecamatan. Batas-batas wilayah Kabupaten Bogor adalah:

- sebelah utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi;

- sebelah barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak;

- sebelah selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur;

- sebelah timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta;

- bagian tengah berbatasan dengan Kota Bogor.

Pada tahun 2006, jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebanyak 4.239.783 jiwa dan menjadi 4.771.932 jiwa pada tahun 2010 (hasil Sensus Penduduk Nasional 2010). Rata-rata laju pertumbuhan penduduk periode 2006-2010 adalah sebesar 3,10 persen. Jumlah penduduk tersebut menempatkan Kabupaten Bogor pada urutan pertama Kabupaten/Kota terbanyak penduduknya di Provinsi Jawa Barat maupun Indonesia.

4.2 Gambaran Umum Kecamatan Dramaga

Kecamatan Dramaga memiliki luas wilayah 2.632,13 hektar. Jumlah penduduk Kecamatan Dramaga pada tahun 2009 adalah 92.402 jiwa dan meningkat menjadi 100.679 jiwa pada tahun 2010. Batas administratif Kecamatan Dramaga adalah:


(32)

- sebelah utara : Kecamatan Rancabungur - sebelah barat : Kecamatan Ciampea - sebelah selatan : Kecamatan Kota Bogor

- sebelah timur : Kecamatan Ciomas dan Kota Bogor Kecamatan Dramaga terdiri dari 10 Desa, yaitu:

1. Desa Purwasari 2. Desa Petir 3. Desa Sukadamai 4. Desa Sukawening 5. Desa Neglasari

6. Desa Sinarsari 7. Desa Ciherang 8. Desa Dramaga 9. Desa Babakan 10.Desa Cikarawang

4.3 Kondisi Usaha Ritel di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor

Sebagai kota yang tergabung dalam Jabodetabek, Bogor telah mengalami pertumbuhan ekonomi dan penduduk secara pesat. Hingga kini terdapat 401 usaha ritel modern di Kabupaten Bogor, 392 diantaranya adalah minimarket. Tabel 5 menunjukkan jumlah minimarket di setiap Kecamatan di Kabupaten Bogor. Dapat dilihat bahwa jumlah minimarket terbanyak adalah Kecamatan Cibinong dengan jumlah 65 minimarket sedangkan minimarket di Kecamatan Dramaga hanya berjumlah 11 minimarket. Bukan kuantitasnya yang penulis permasalahkan, namun dengan jumlah 11 minimarket saja sudah menjadi ancaman yang serius bagi pedagang eceran tradisional di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Tumbuh pesatnya minimarket di Kecamatan Dramaga dengan jarak yang berdekatan, berdampak buruk bagi pedagang eceran tradisional. Semakin dekat jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket membuat tingkat persaingan diantara keduanya semakin besar sehingga terjadi perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional. Kekuatan modal antara minimarket dengan pengusaha pedagang eceran tradisional tentu tidak sebanding. Minimarket dengan sistem waralaba dapat memutus rantai distribusi dari produsen sehingga saluran distribusinya lebih pendek dibandingkan pedagang eceran tradisional. Akibatnya, harga di minimarket menjadi lebih murah. Hal ini menjadi ancaman yang serius bagi pedagang eceran tradisional.

Sebagian responden mengatakan bahwa setelah pendirian minimarket, omzet mereka turun secara drastis. Mereka sudah berupaya untuk melakukan


(33)

protes terhadap pemerintah setempat saat mengetahui pembangunan minimarket baru. Realitanya, aksi tersebut tidak membuahkan hasil. Pihak minimarket meminta persetujuan warge sekitar yang bukan pedagang untuk memperoleh izin pendirian minimarket di Kecamatan Dramaga.

Tabel 5. Jumlah Minimarket (Unit)di Kabupaten Bogor Tahun 2011

Kecamatan Jumlah Kecamatan Jumlah

Nanggung 0 Jonggol 9

Leuwiliang 6 Cileungsi 33

Leuwisadeng 1 Klapanunggal 7

Pamijahan 1 Gunung Putri 59

Cibungbulang 11 Citeurep 29

Tenjolaya 1 Cibinong 65

Ciampea 11 Bojonggede 31

Dramaga 11 Tajurhalang 3

Ciomas 18 Kemang 1

Taman Sari 3 Rancabungur 0

Cijeruk 1 Parung 6

Cigombong 9 Ciseeng 2

Caringin 11 Gunung Sindur 7

Ciawi 12 Rumpin 1

Cisarua 7 Cigudeg 1

Megamendung 4 Sukajaya 0

Sukaraja 11 Jasinga 2

Babakan Madang 4 Tenjo 2

Sukamakmur 0 Parung Panjang 8

Cariu 2

Total 392

Tanjungsari 2

Sumber: Diskoperindag Kabupaten Bogor, 2012

4.4 Karakteristik Responden Pedagang Eceran Tradisional di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Tahun 2012

Pedagang eceran tradisional yang menjadi responden adalah pedagang eceran atau warung/toko kecil yang memiliki kesamaan barang yang dijual dengan minimarket minimal 50 persen dan lama usaha minimal tiga tahun. Jumlah pedagang eceran yang dijadikan responden adalah 25 pedagang yang berlokasi di sekitar minimarket dengan jarak maksimum 400 meter.


(34)

4.4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan pedagang eceran tradisional sebagian besar adalah Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada kenyataanya sebagian besar pedagang eceran tradisional sudah memenuhi wajib belajar sembilan tahun, tetapi keterbatasan lapangan kerja mendorong mereka untuk berwirausaha di bidang perdagangan eceran. Karakteristik perdagangan eceran (ritel) yang tidak memerlukan keahlian khusus serta pendidikan tinggi untuk menekuninya, membuat mereka terjun ke dunia ritel. Sebaran tingkat pendidikan masing-masing responden dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Hubungan antara tingkat pendidikan dengan perubahan omzet responden disajikan pada Tabel 6. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, omzet akibat pendirian minimarket seharusnya semakin meningkat, namun Tabel 6 menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan strategi dan pengalaman usaha. Pedagang eceran tradisional dengan tingkat pendidikan rendah ternyata memiliki strategi yang lebih baik dibandingkan dengan pedagang yang berpendidikan tinggi. Pedagang dengan tingkat pendidikan rendah lebih ramah terhadap pembeli dan dapat menjaga hubungan baik dengan pelanggannya. Pedagang eceran tradisional dengan pendidikan rendah mendapatkan bekal ilmu dari keluarga untuk berdagang. Mereka sudah terlatih sejak kecil untuk membantu keluarganya berdagang sehingga memiliki pengalaman usaha yang lebih banyak.

8

2

14

1 0

2 4 6 8 10 12 14 16

SD SMP SMA S1

Frekuensi Tingkat Pendidikan


(35)

Tabel 6. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Omzet Responden

Tingkat Pendidikan Omzet

Tetap Turun

Sekolah Dasar 2 6

Sekolah Menengah Pertama 0 2

Sekolah Menengah Atas 4 10

Strata Satu 0 1

Sengitnya persaingan diantara pedagang eceran tradisional dan dengan minimarket membuat sebagian pedagang eceran tradisional menerapkan strategi baru untuk mempertahankan pelanggannya. Ketika ditanya mengenai strategi yang dipakai untuk menarik pembeli, ternyata 40 persen pedagang tidak memiliki strategi untuk menarik pembeli dan pedagang tersebut adalah pedagang dengan tingkat pendidikan SMA (Tabel 7). Pedagang dengan yang tidak menerapkan strategi adalah pedagang yang tidak menjadikan keuntungan dari penjualannya sebagai sumber pendapatan utama. Empat puluh persen pedagang tersebut sumber pendapatan sebagai pendapatan utama seperti usaha sewa rumah, pemancingan, atau suami pedagang tersebut memiliki pekerjaan tetap sebagai karyawan swasta atau PNS. Enam puluh persen pedagang yang terdiri dari 32 persen pedagang dengan tingkat pendidikan SD, 8 persen pedagang dengan tingkat penddidikan SMP, dan 16 persen pedagang dengan tingkat pendidikan SMA dan 4 persen pedagang dengan tingkat pendidikan S1 menerapkan strategi untuk tetap mempertahankan pelanggannya.

Tabel 7. Strategi Pedagang Eceran Tradisional

Strategi untuk Menarik Pembeli Jumlah Pedagang Persen (%)

Keramahan dan sopan santun 8 32

Menambah keanekaragaman produk 1 4

Menerima pembayaran dalam bentuk hutang 2 8

Harga 4 16

Tidak ada strategi 10 40

Sebanyak 32 persen pedagang berusaha menarik pembeli dengan mengutamakan keramahan dan sopan santun, sedangkan 4 persen pedagang memilih menambah keragaman produknya dengan menjual barang yang tidak dijual di minimarket atau dengan mengecer barang-barang sembako. Pedagang lain pun menerapkan strategi yang berbeda, 8 persen pedagang menerima


(36)

pembayaran dalam bentuk hutang. Hutang tersebut biasanya dilunasi pada awal bulan setelah konsumen mendapatkan gaji atau upah dari pekerjaannya. Strategi lain yang digunakan pedagang adalah menetapkan harga yang lebih murah untuk komoditas yang laku terjual, 16 persen pedagang menerapkan strategi ini.

4.4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jam Kerja

Usaha ritel tidak dibatasi oleh jam kerja. Pedagang eceran bebas menentukan jam kerjanya. Sebagian besar jam kerja responden berada pada rentang waktu 10-16 jam. Beberapa pedagang eceran tradisional menentukan jam kerja berdasarkan permintaan konsumen. Apabila ramai pembeli maka pedagang eceran tradisional dapat memperpanjang jam kerjanya, begitu juga sebaliknya. Apabila sepi pembeli maka pedagang eceran tradisional dapat mempersingkat jam kerjanya. Gambar 3 menunjukkan sebaran jam kerja masing-masing responden. Penentuan jam kerja bagi setiap respoden didasarkan pada rata-rata jam kerja responden per hari karena sebagian responden menetapkan jam kerja yang tidak sama setiap harinya.

Gambar 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Jam Kerja

Hubungan antara jam kerja dengan omzet responden disajikan pada Tabel 8. Semakin lama jam kerja responden maka omzet responden seharusnya semakin meningkat, namun Tabel 8 menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Penurunan omzet pada rentang jam kerja 16-21 jam disebabkan oleh lokasi usaha responden yang lebih dekat dengan minimarket. Kedekatan lokasi usaha dengan minimarket membuat omzet usaha responden turun secara drastis, sehingga untuk meminimalisir penurunan omzet, responden cenderung meningkatkan jam

15

10

0 2 4 6 8 10 12 14 16

10-16 17-21


(37)

kerjanya. Waktu operasi minimarket maksimum adalah 14 jam, yaitu pukul 8.00-22.00 WIB. Apabila responden meningkatkan jam kerjanya maka penurunan omzetnya akan lebih kecil.

Tabel 8. Hubungan Antara Jam Kerja dengan Omzet Responden

Jam Kerja (jam/hari) Omzet

Tetap Turun

10-16 5 14

17-21 1 5

4.4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Usaha

Penetapan lama usaha responden adalah minimal 3 tahun. Ketentuan ini berdasarkan tahun berdiri minimarket terbaru di Kecamatan Dramaga, yaitu Alfamidi pada tahun 2010. Penetapan lama usaha minimum bertujuan untuk mengetahui perubahan omzet pedagang sebelum dan setelah pendirian minimarket.

Gambar 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Usaha

Hubungan antara lama usaha dengan omzet responden disajikan pada Tabel 9. Semakin lama usaha responden maka omzet usaha responden seharusnya meningkat, namun Tabel 9 menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Mayoritas responden mengalami penurunan omzet yang lebih besar pada rentang lama usaha 5-10 tahun. Hal ini disebabkan oleh waktu pendirian minimarket. Pada lima tahun terakhir, tedapat peningkatan jumlah minimarket sebanyak tiga minimarket. Tiga minimarket tersebut adalah Alfamidi, Alfamart dan Ceriamart. Penambahan

4

17

2 2

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18


(38)

jumlah minimarket dalam jarak yang berdekatan menyebabkan omzet usaha responden di sekitar minimarket tersebut turun secara drastis, sehingga semakin lama usaha responden, maka akan semakin merasakan dampak minimarket yang berimbas pada penurunan omzet usaha responden.

Tabel 9. Hubungan Antara Lama Usaha dengan Omzet Responden

Lama Usaha (tahun) Omzet

Tetap Turun

3-5 1 3

5-10 5 12

11-15 0 2

16-30 0 2

4.4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jarak Usaha Responden dengan Minimarket

Penetapan jarak usaha responden berdasarkan jarak terdekat lokasi pedagang eceran tradisional terhadap minimarket. Penetapan jarak bertujuan untuk mengetahui perubahan omzet pedagang yang terkena dampak akibat pendirian minimarket.

Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jarak Antara Usaha Responden dengan Minimarket

Respon terhadap perubahan omzet berdasarkan lama usaha responden disajikan pada Tabel 10. Sebanyak 76 persen responden dengan jarak antara 0-300 meter mengalami penurunan omzet. Semakin dekat jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket membuat tingkat persaingan diantara keduanya

14

4

1

6 0

2 4 6 8 10 12 14 16


(39)

semakin besar sehingga terjadi perubahan omzet usaha yang lebih besar. Pendirian minimarket di Kecamatan Dramaga dalam jarak yang berdekatan dengan lokasi usaha responden menyebabkan omzet usaha responden di sekitar minimarket tersebut turun secara drastis.

Tabel 10. Hubungan Antara Jarak dengan Omzet Responden

Jarak (meter) Omzet Persen

Tetap Turun (%)

0-100 0 14 56

101-200 0 4 16

201-300 0 1 4

301-400 6 0 24

4.4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Pedagang eceran tradisional terdiri dari berbagai usia. Variabel Usia berfungsi sebagai variabel kontrol. Sebagian besar dari responden memiliki umur produktif dengan rentang 20-30 tahun. Pedagang eceran tradisional bergantung pada usaha ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.

Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia 4.5 Analisis Uji-t Berpasangan

Pada penelitian ini, peneliti harus memastikan perbedaan omzet pedagang eceran tradisional antara sebelum dan sesudah pendirian minimarket dengan melakukan pengujian hipotesis:

9

7 8

1 0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10


(40)

 H0 : tidak terdapat perbedaan omzet pedagang eceran tradisional antara sebelum dan sesudah pendirian minimarket.

 H1 : terdapat perbedaan omzet pedagang eceran tradisional antara sebelum dan sesudah pendirian minimarket.

Berdasarkan Paired Sample T-Test, nilai probabilitas yang diperoleh adalah 0,011, lebih kecil dari alpha (0,05) maka tolak H0. Artinya, omzet pedagang eceran tradisional antara sebelum pendirian minimarket berbeda nyata dengan sesudahnya. Rata-rata sebelum lebih besar dibandingkan rata-rata sesudah. Rata-rata omzet sebelum pendirian minimarket adalah Rp 55.260.000,00/bulan dengan standar deviasi 63.334.100, sedangkan rata-rata omzet pedagang eceran tradisional sesudah pendirian minimarket adalah Rp 33.664.000,00/bulan dengan standar deviasi 30.701.700. Rata-rata perubahan omzet pedagang adalah sebesar 30,57 persen/bulan dengan standar deviasi 22,15.

4.6 Analisis Crosstab Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Omzet Pedagang Eceran Tradisional Akibat Pendirian Minimarket

Analisis setiap variabel terhadap perubahan omzet pedagang eceran akibat pendirian minimarket dilakukan dengan alat analisis crosstab. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah setiap variabel bebas memiliki pengaruh nyata terhadap perubahan omzet yang diperoleh. Hasil (output) dari analisis crosstab disajikan pada tabel berikut:

Tabel 11. Hasil Analisis Crosstab (Uji Chi-Square) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Omzet Pedagang Eceran Tradisional Akibat Minimarket

Variabel Asymp. Sig

(2-sided) Df

Chi Square Hitung

Chi Square Tabel

Tingkat Pendidikan 0,774 3 1,112 7,815

Jam Kerja 0,629 1 0,233 3,841

Lama Usaha 0,673 3 1,538 7,815

Jarak 0,000* 3 25,000 7,815

Usia 0,076** 3 6,888 7,815

Keterangan: * Nyata pada taraf kepercayaan 95 persen ** Nyata pada taraf kepercayaan 80 persen

Berdasarkan hasil dari output crosstab pada Tabel 11, dapat dijelaskan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap perubahan omzet yaitu jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket dan usia pedagang eceran


(41)

tradisional. Artinya, terdapat hubungan antara jarak dengan dengan perubahan omzet pedagang eceran, juga terdapat hubungan antara usia dan perubahan omzet pedagang eceran.

Nilai Asymp. Sig (2-sided) untuk variabel jarak yang terdapat pada Chi-Square test adalah 0,000 lebih kecil dari alpha (α=0,05). Nilai tersebut menyatakan bahwa jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket berhubungan nyata terhadap perubahan omzet pedagang eceran tradisional.

Nilai Asymp. Sig (2-sided) untuk variabel usia yang terdapat pada Chi-Square test adalah 0,076, lebih kecil dari alpha (α=0,05). Nilai tersebut menyatakan bahwa usia pedagang eceran tradisional dengan perubahan omzet pedagang eceran tradisional berhubungan nyata.

4.7 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Omzet Pedagang Eceran Tradisional Akibat Pendirian Minimarket dengan Menggunakan Model Regresi Linear Berganda

Untuk melihat dampak minimarket terhadap omzet pedagang eceran tradisional dilakukan analisis dengan menggunakan model regresi linear berganda dan diuji signifikansinya dengan menggunakan aplikasi software SPSS version 16.0. Hasil pengolahan data pada Tabel 12 menunjukkan bahwa nilai R2 adalah 0,640 yang artinya 64 persen keragaman nilai omzet dapat dijelaskan oleh masing-masing variabel bebas yang ada dalam model. Selain itu, tidak ada pelanggaran asumsi autokorelasi yang terjadi pada setiap persamaan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Durbin-Watson yang mendekati 2. Scatterplot di Lampiran 5 menunjukkan bahwa titik-titik residual tidak membentuk pola yang jelas dan titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y. Hasil output uji white pada Lampiran 5 dengan menggunakan software eviews 6 menunjukkan nilai Obs*R-squared sebesar 23,59048 sedangkan nilai probabilitas (chi-square) adalah 0,2607 (lebih besar dari alpha 0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah heteroskedastisitas dalam model. Pada Lampiran 4, nilai asymp. sig. (2-tailed) pada one-sample kolmogorov-smirnov test adalah 0,656 (lebih besar dari alpha 0,05) artinya data terdistribusi normal. Nilai VIF masing-masing variabel bebas pada Tabel 12 lebih kecil dari 10, artinya data tidak mengalami multikolinearitas. Setelah melakukan pengujian normalitas,


(1)

Lampiran 6. Output Analisis Regresi Logistik

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 30 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 30 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 30 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

TIDAK MENINGKAT 0


(2)

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square Df Sig.

Step 1 Step 27.078 2 .000

Block 27.078 2 .000

Model 27.078 2 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 14.377a .594 .794

a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001.

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square Df Sig.

1 1.793 8 .987

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test

TP = TIDAK MENINGKAT TP = MENINGKAT

Total Observed Expected Observed Expected

Step 1

1 3 2.998 0 .002 3

2 3 2.980 0 .020 3

3 3 2.889 0 .111 3

4 3 2.656 0 .344 3

5 2 2.204 1 .796 3

6 1 1.660 2 1.340 3

7 1 .525 2 2.475 3

8 0 .069 4 3.931 4

9 0 .014 3 2.986 3

10 0 .004 2 1.996 2

Classification Tablea

Observed

Predicted TP

Percentage Correct TIDAK

MENINGKAT MENINGKAT

Step 1 TP TIDAK MENINGKAT 15 1 93.8

MENINGKAT 2 12 85.7

Overall Percentage 90.0


(3)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a US -.315 .141 5.020 1 .025 .730

JR -.012 .008 2.113 1 .146 .988

Constant 13.066 5.561 5.521 1 .019 4.726E5 a. Variable(s) entered on step 1: US, JR.

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

TP Percentage

Correct TIDAK MENINGKAT MENINGKAT

Step 0 TP TIDAK MENINGKAT 16 0 100.0

MENINGKAT 14 0 .0

Overall Percentage 53.3

a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 0 Constant -.134 .366 .133 1 .715 .875

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables US 17.447 1 .000

JR 12.090 1 .001


(4)

Lampiran 7. Data Primer Responden Pedagang Eceran Tradisional

No. Pendidikan

Jam Kerja (jam/hari)

Lama Usaha (tahun)

Jarak (meter)

Usia (tahun)

Omzet Sebelum (Rupiah/bulan)

Omzet Sesudah (Rupiah/bulan)

Perubahan Omzet (persen) 1 SD 10,0 22 25 50 180000000 120000000 33,33 2 SMA 15,0 4 35 26 15000000 10000000 33,33 3 SMA 16,0 10 100 28 25000000 15000000 40,00 4 SMA 17,0 3 320 41 18000000 18000000 0,00 5 SMP 18,0 4 10 34 30000000 18000000 40,00 6 SMA 16,0 5 150 28 51000000 45000000 11,76 7 SD 10,0 10 90 34 45000000 24000000 46,67 8 SD 13,0 30 44 20 300000000 105000000 65,00 9 SMA 17,5 5 60 26 75000000 60000000 20,00 10 SMA 20,0 5 50 22 36000000 22500000 37,50 11 SMA 12,0 5 200 49 45000000 15000000 66,67 12 SMA 15,0 6 230 45 6000000 3000000 50,00 13 SMA 10,0 5 200 36 36000000 25500000 29,17 14 SMA 15,0 15 29 30 60000000 30000000 50,00 15 SMA 14,0 11 32 35 45000000 15000000 66,67 16 SD 21,0 6 39 41 60000000 30000000 50,00 17 SD 17,0 4 66 30 37500000 30000000 20,00 18 SMP 13,0 10 19 20 105000000 60000000 42,86

19 SD 14,5 5 78 45 5000000 3600000 28,00

20 SD 14,0 9 350 53 7500000 7500000 0,00

21 SMA 14,0 5 320 32 60000000 60000000 0,00

22 SMA 12,0 6 370 36 4500000 4500000 0,00

23 S1 16,0 5 170 35 45000000 30000000 33,33 24 SD 14,5 8 340 48 75000000 75000000 0,00 25 SMA 16,0 10 360 45 15000000 15000000 0,00

Jumlah 370.5 208,0 3687,0 889,0 1381500000,0 841600000,0 764,3

Rata-rata 14,82 8,32 147,48 35,56 55260000 33664000 30,57


(5)

Lampiran 8. Data Primer Responden Perubahan Tingkat Pengeluaran Masyarakat

No. Usia

(tahun)

Jarak (meter)

Pengeluaran Sebelum (Rp/bln)

Pengeluaran Sesudah (Rp/bln)

Perubahan (Persen)

1 32 130 150000 175000 16,67

2 50 317 160000 160000 0,00

3 32 305 90000 120000 33,33

4 20 315 60000 80000 33,33

5 25 307 100000 110000 30,00

6 30 312 70000 70000 0,00

7 46 290 60000 60000 0,00

8 35 140 250000 350000 40,00

9 50 200 300000 300000 0,00

10 28 190 50000 50000 0,00

11 33 290 250000 300000 20,00

12 39 200 30000 30000 0,00

13 55 295 100000 100000 0,00

14 53 297 200000 200000 0,00

15 41 300 70000 70000 0,00

16 40 270 50000 50000 0,00

17 36 320 280000 280000 0,00

18 36 330 500000 500000 0,00

19 39 170 200000 200000 0,00

20 40 325 50000 50000 0,00

21 46 285 75000 75000 0,00

22 30 365 300000 300000 0,00

23 22 55 100000 200000 100,00

24 22 76 100000 150000 50,00

25 22 76 50000 80000 60,00

26 22 70 150000 185000 23,33

27 21 16 35000 120000 242,86

28 22 64 200000 300000 50,00

29 22 80 100000 150000 50,00

30 21 36 80000 160000 100,00

Jumlah 1010 6426 4210000 4975000 849,52

Rata-rata 33,67 214,2 140333,33 165833,33 28,32

Standar

Deviasi 10,72 111,2 107068,57 111115,68 49,82


(6)

Mega Kusyuniarti. Dampak Pendirian Minimarket terhadap Perubahan Omzet Pedagang Eceran Tradisional dan Tingkat Pengeluaran Masyarakat (Kasus: Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor) (dibimbing oleh M. FIRDAUS).

Pendirian kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Kecamatan Dramaga menjadi daya tarik bagi pemodal besar untuk menanamkan investasinya pada usaha waralaba sektor ritel dalam bentuk usaha ritel modern, yaitu minimarket. Kehadiran pendatang dalam jumlah besar yaitu mahasiswa IPB, menghadirkan peluang bagi para pengusaha untuk menawarkan barang dan jasanya untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa-mahasiswa tersebut. Keberadaan pedagang eceran tradisional semakin terpuruk dengan menjamurnya ritel modern, khususnya

minimarket. Lokasi minimarket dengan jarak yang sangat berdekatan di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor tentu akan memunculkan persaingan di wilayah tersebut. Kelengkapan barang, harga yang murah, potongan harga yang menarik penataan produk yang baik, dan tempat yang nyaman menjadi daya tarik yang ditawarkan minimarket kepada konsumen. Implikasinya, tingkat pengeluaran konsumen yang mengunjungi minimarket cenderung bertambah. Harapan pemilik pedagang eceran tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari pendapatan yang diperoleh semakin tersendat akibat hadirnya minimarket.

Penelitian ini menganalisis perubahan omzet pedagang eceran tradisional dan tingkat pengeluaran masyarakat antara sebelum dan sesudah pendirian

minimarket dengan menggunakan uji-t berpasangan. Penelitian ini juga

menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan omzet pedagang eceran tradisional dan tingkat pengeluaran masyarakat akibat pendirian minimarket di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor dengan menggunakan metode regresi linear berganda dan metode regresi logit yang didukung dengan uji crosstab.

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata penurunan omzet pedagang adalah sebesar 30,57 persen/bulan dengan standar deviasi 22,15. Berdasarkan uji-t berpasangan, omzet pedagang eceran tradisional antara sebelum pendirian

minimarket berbeda nyata dengan sesudahnya. Rata-rata peningkatan pengeluaran masyarakat adalah sebesar 28,32 persen/bulan dengan standar deviasi 49,82. Berdasarkan uji-t berpasangan, tingkat pengeluaran masyarakat antara sebelum pendirian minimarket berbeda nyata dengan sesudahnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan omzet pedagang eceran akibat berdirinya minimarket

adalah jarak antara lokasi usaha pedagang eceran tradisional dengan minimarket

dan tingkat pendidikan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tingkat pengeluaran masyarakat akibat pendirian minimarket adalah usia dan jarak antara tempat tinggal responden dengan minimarket.