18 bersama. Penumbuhan kelompok tani didasarkan atas faktor-faktor pengikat
antara lain: a adanya kepentingan bersama antara anggotanya; b adanya kesamaan kondisi sumberdaya alam dalam berusahatani; c adanya kondisi
masyarakat dan kondisi sosial yang sama; d adanya saling percaya mempercayai diantara sesama anggota. Kerjasama antara individu anggota kelompok dalam
proses belajar, proses berproduksi, pengolahan hasil, dan pemasaran hasil untuk peningkatan pendapatan dan kehidupan yang layak dapat dijalin melalui
pendekatan kelompok Abbas, 1995. Kelompok tani secara khusus biasanya mempunyai ciri-ciri: 1 antara
sesama anggota saling mengenal dengan baik, akrab dan saling mempercayai; 2 mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam berusahatani; 3
memiliki kesamaan-kesamaan seperti dalam tradisikebiasaan, pemukiman, hamparan usahatani, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial; dan 4 bersifat
non formal, dalam arti tidak berbadan hukum tetapi mempunyai pembagian tugas dan tanggungjawab atas kesepakatan bersama baik tertulis atau tidak Departemen
Pertanian, 1989. Terbentuknya kelompok tani tersebut memberikan banyak manfaat bagi
masyarakat. Kelompok tani ini akan berfungsi sebagai kelas belajar, wahana bekerjasama dan unit produksi serta sebagai sarana untuk menyampaikan suatu
program. Oleh sebab itu, pembentukan kelompok dalam rangka pelaksanaan program merupakan salah satu alternatif untuk keberhasilan program. Selain itu
kelompok dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama antar pesanggem, dalam hal ini adalah: modal, tenaga kerja, dan informasi serta lebih efektif melakukan
kontrol sosial Wong 1979 dalam Suharjito 1994. Kelompok sosial seperti kelompok tani ini bukan merupakan kelompok
yang statis, karena pasti mengalami perkembangan serta perubahan sebagai akibat formasi ataupun reformasi dari pola-pola didalam kelompok tersebut, dan karena
pengaruh dari luar Soekanto S, 1990. Lebih lanjut Soekanto S mengutarakan bahwa perubahan dalam setiap kelompok sosial, ada yang mengalami perubahan
secara lambat, namun adapula yang mengalami perubahan secara cepat Soekanto S, 1982. Suatu kelompok yang dinamis akan mudah melakukan kerjasama
dengan pihak manapun. Seperti dikemukakan oleh Djoni dkk 2000 bahwa
19 kelompok yang dinamis ditandai oleh selalu adanya kegiatan ataupun interaksi
baik di dalam maupun dengan pihak luar kelompok untuk secara efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuannya.
2.1.1.3. Hutan Rakyat
Pengertian dan Dasar Hukum Hutan Rakyat Pengertian hutan rakyat sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang
No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan SK Menteri Kehutanan No. 49Kpts- II1997 adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan ketentuan luas minimum
0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50 dan atau pada tanaman tahun pertama sebanyak minimal 500 tanaman. Adapun tujuan usaha
hutan rakyat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, penyediaan bahan baku industri, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan mutu lingkungan.
Hutan rakyat ini dapat dibangun pada lahan hak milik dan hak-hak lainnya serta pada kawasan hutan yang dapat dikonversi yang tidak bertumbuhan pohon-pohon.
Pendapat Hardjosoediro 1981, Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan
individu, lahan komunal bersama, lahan adat maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia
yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat terjadi secara
alami dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis. Lebih lanjut Hardjanto,2000 dalam Daniyati,2009 menegaskan bahwa
hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik. Hutan rakyat
yang ada di lokasi lahan milik perorangan dikelola berdasarkan keinginan pemiliknya, sedangkan hutan rakyat yang ada di lahan milik kelompok dikelola
secara kelompokkomunal yang terikat oleh peraturan kelompok. Sementara itu Hinrichs et.al, 2008 dalam Daniyati, 2009 memandang bahwa hutan rakyat
tidak hanya berdasarkan kepemilikan lahannya, namun juga keterlibatan masyarakat dalam mengelola kawasan hutan.
20 Sistem pengelolaan hutan rakyat tidak mengarah hanya pada kayu, namun
lebih pada pengembangan pengelolaan hasil hutan non kayu sebagai produk utama dari sistem hutan rakyat.
Pada umumnya hutan rakyat tidak berwujud suatu kawasan hutan yang murni, melainkan berdiri bersama-sama dengan
penggunaan lahan yang lain, seperti tanaman pertanian, tanaman perkebunan, rumput pakan ternak atau dengan tanaman pangan lainnya yang bisanya disebut
dengan pola Agroforestry atau wanatani. Pola Agroforestry atau wanatani bermanfaat secara ganda, disamping meningkatkan pendapatan petani, juga
menjaga kelestarian lingkungan ekologi karena pola ini berorientasi pada pemanfaatan lahan secara rasional baik dari aspek ekologi, ekonomi, maupun
aspek sosial budaya Fauzi, 2005.
2.1.1.4. Kemandirian Kelompok Tani
Ismawan 1994 mengemukakan bahwa definisi kemandirian adalah kemampuan untuk memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat digunakan
untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan berkelanjutan. Sedangkan Kartasasmita mengartikan bahwa kemandirian sesungguhnya mencerminkan sikap
seseorang atau suatu bangsa mengenali dirinya, masyarakatnya, serta semangat dalam menghadapi tantangan-tantangan. Kemandirian juga dapat diartikan
sebagai perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dicirikan oleh kemampuan dan
kebebasan menentukan perilaku yang terbaik Hubeis, 1992. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas, kemandirian dapat didefinisikan sebagai
keberadaan individu atau kelompok dalam melangsungkan kehidupan yang serasi dan berkelanjutan dengan kemampuan sendiri. Kemandirian petani adalah suatu
kondisi yang dapat ditumbuhkan melalui proses pemberdayaan empowerment. Kemandirian petani dapat diartikan sebagai perwujudan kemampuan perilaku
aktual yang ditampilkan petani untuk memanfaatkan segala potensi dirinya dalam menjalankan agribisnis sesuai kehendak sendiri merdeka dan diyakini
manfaatnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Steinberg 2001 menjelaskan bahwa dimensi kemandirian
meliputi kemandirian emosi emotional autonomy, kemandirian perilaku